Anda di halaman 1dari 27

KEGIATAN PEMBELAJARAN 1

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari teks drama peserta didik diharapakan mampu:
1. menentukan unsur-unsur intrinsik teks drama
2. Menganalisis yang terdiri atas alur cerita, babak demi babak, dan konflik dalam
drama
3. menentukan salah satu tokoh dalam drama yang dibaca atau ditonton.

B. Peta Konsep
Pada bagian ini penulis akan memaparkan peta konsep pada kegiatan pembelajaran 1
sebagai berikut,
Gambar 1. Peta Konsep Teks Eksplanasi

Pengetahuan
Alur Cerita

Menganalisis alur cerita, babak demi


babak, dan konflik dalam drama yang Babak Demi Babak
dibaca atau ditonton

Konflik dalam Drama

Keterampilan

Mempertunjukkan salah satu tokoh dalam menampilkan salah satu tokoh


drama yang dobaca atau ditonton secara lisan dalam drama yang dibaca atau
ditonton

C. Materi Pembelajaran
Kata drama berasal dari bahasa Yunani draiomai yang berarti perbuatan atau
tindakan. Drama diartikan sebagai kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di
atas pentas, disaksikan oleh orang banyak dengan media percakapan, gerak, dan laku,
dengan atau tanpa dekor (layar dan sebagainya) didasarkan pada naskah yang telah tertulis
dengan atau tanpa musik, nyanyian, dan tarian.Drama merupakan tiruan kehidupan
manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Melihat drama, penonton seolah-olah melihat
kejadian dalam masyarakat. Dalam hal ini, potret kehidupan dalam dunia nyata diangkat
atau disampaikan melalui pemeranan tokoh-tokoh cerita.
1. Menentukan Unsur Intrinsik Teks Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti ‘berbuat, berlaku,
bertindak’. Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan. Arti pertama dari drama adalah
kualitas komunikasi, situasi, action (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan
perhatian, kehebatan (acting), dan ketegangan pada para pendengar.
Menurut Krauss (1999: 249) dalam bukunya Verstehen und Gestalten, drama adalah
suatu bentuk gambaran seni yang datang dari nyanyian dan tarian adat Yunani kuno, yang
di dalamnya dengan jelas terorganisasi dialog dramatis, sebuah konflik dan
penyelesaiannya digambarkan di atas panggung.
Dalam perkembangan selanjutnya yang dimaksud drama adalah bentuk karya sastra
yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan manusia melalui gerak percakapan di
atas panggung ataupun suatu karangan yang disusun dalam bentuk percakapan dan dapat
yang dipentaskan.
Unsur-unsur intrinsik drama adalah berbagai unsur yang secara langsung terdapat
dalam karya sastra yang berwujud teks drama, seperti: plot, tokoh, karakter, latar, tema,
dan amanat, serta unsur bahasa yang berbentuk dialog.
a) Tema
Tema merupakan dasar atau inti cerita. Suatu cerita harus mempunyai tema atau
dasar, dan dasar inilah yang paling penting dari seluruh cerita. Cerita yang tidak memiliki
dasar tidak ada artinya sama sekali atau tidak berguna (Lubis, 1981: 15). Tema sebagai
central idea and sentral purpose merupakan ide dan tujuan sentral (Stanton, 1965: 16).
Tema dapat timbul dari keseluruhan cerita, sehingga pemahaman antara seorang penikmat
dengan penikmat lain tidak sama (Jones, 12968: 31). Ada pula yang berpendapat bahwa
tema merupakan arti dan tujuan cerita (Kenny, 1966: 88).
Menurut Nurgiyantoro (1995: 70), tema dapat dipandang sebagai gagasan dasar
umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan
sebelumnya oleh pengarang dan dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata
lain cerita harus mengikuti gagasan utama dari suatu karya sastra.
Pendapat di atas dapat menggambarkan simpulan bahwa: (1) tema merupakan dasar
suatu cerita rekaan; (2) tema harus ada sebelum pengarang mulai dengan ceritanya; (3)
tema dalam cerita atau novel tidak ditampilkan secara eksplisit, tetapi tersirat di dalam
seluruh cerita; dan (4) dalam satu cerita atau novel terdapat tema dominan atau tema
sentral dan tema-tema kecil lainnya.
b) Plot
Plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk dalam tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin suatu cerita yang utuh. Plot disusun tidak lepas dari tema. Jalan cerita
yang disusun atau dijalin tidak boleh meloncat ke lain tema. Tiap-tiap kejadian akan
berhubungan sehingga seluruh cerita merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
Lubis (1981: 18) menyampaikan cara memulai dan menyusun cerita yang
disampaikan oleh Tasrif yang dibagi menjadi lima tahapan, yakni penggambaran situasi
awal (exposition), peristiwa mulai bergerak menuju krisis diwarnai dengan konflik-konflik
(complication), keadaan mulai memuncak (rising action), keadaan mencapai puncak
penggawatan (klimaks), kemudian pengarang memberikan pemecahan atau jalan keluar
permasalahan sehingga cerita berakhir (denouement). Cara memulai dan menyusun cerita
seperti di atas dinamakan plot atau dramatic conflict.
c) Penokohan dan perwatakan
Esten (dalam Kelan, 2005: 14) menyatakan bahwa penokohan adalah permasalahan
bagaimana cara menampilkan tokoh: bagaimana membangun dan mengembangkan watak
tokoh-tokoh tersebut dalam sebuah karya fiksi? Jadi antara pengertian tokoh dan penokohan
memiliki makna yang berbeda. Tokoh berbentuk suatu individu, sedangkan penokohan
adalah proses menampilkan individu tersebut dalam cerita.
Dalam proses penciptaan pemeranan, sang aktor atau aktris harus memunyai daya
cipta yang tinggi untuk mencoba semaksimal mungkin menjadi tokoh yang diperankan. Ia
harus sanggup menjiwai peran yang dipegangnya, sehingga ia (seperti) benar-benar
merupakan sang tokoh dengan apa adanya dalam pementasan lakon tersebut. Pada
penampilan imajinasinya, tokoh juga dibantu oleh laku, pakaian yang dikenakan, dan rias.
Semua unsur tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan harus saling mendukung, sehingga
mampu mewujudkan karakter dari tokoh seperti yang dikehendaki dalam lakon yang
bersangkutan.
Untuk menggambarkan karakter seorang tokoh, pengarang dapat menggunakan
teknik sebagai berikut. (1) Teknik analitik: karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh
pengarang; (2) Teknik dramatik, yaitu teknik karakter tokoh dikemukakan melalui: (a)
penggambaran fisik dan perilaku tokoh; (b) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh; (c)
penggambatran ketatabahasaan tokoh; (d) pengungkapan jalan pikiran tokoh; dan (e)
penggambaran oleh tokoh lain. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Waluyo (2009: 30) yang
menuliskan bahwa penggambaran watak tokoh mempertimbangkan tiga dimensi watak,
yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah), dimensi sosiologis (latar
belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan)
d) Amanat
Amanat merupakan unsur cerita yang berhubungan erat dengan tema. Amanat akan
berarti apabila ada dalam tema, sedangkan tema akan sempurna apabila di dalamnya ada
amanat sebagai pemecah jalan keluar bagi tema tersebut. Sudjiman (dalam Alwi, 1998: 08)
manyatakan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat
terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit atau eksplisit. Amanat dinyatakan secara
implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku menjelang
cerita berakhir. Sementara itu, amanat dilukiskan secara eksplisit apabila pengarang pada
tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran,
larangan, dan sebagainya.
Pengertian amanat yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
amanat merupakan pesan yang disampaikan pengarang, baik secara implisit atau eksplisit
kepada pembaca. Di dalam drama, ada amanat yang langsung tersurat, tetapi pada
umumnya sengaja disembunyikan secara tersirat dalam naskah drama yang bersangkutan.
Hanya penonton yang profesional yang mampu menemukan amanat implisit tersebut.
2. Menganalisis Alur Cerita, Babak Demi Babak , dan Konflik dalam Drama
karya sastra terbagi atas prosa, puisi, dna drama. Perbedaan antara drama dan karya
sastra yang lain adalah bahwa drama tersusun atas dialog antar tokoh. Hal lain yang
membedakan drama dengan karya sastra lain adalah unsur pembentuknya.
Berikut akan disajikan perihal menganalisis drama.
Contoh Analisis Drama
"SEPASANG MERPATI TUA"
KARYA: BAKTI SOEMANTO

Para pelaku:
1. Nenek
2. Kakek
Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas
sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko,
sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak tengah ruangan itu terdapat sofa,
lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan jendela.
Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-sebentar ia
menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.
1. Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm…(Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
2. Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
3. Nenek : Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
4. Kakek : Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca Koran.
5. Nenek : Mengapa membaca koran mesti pakai kopiah segala?
6. Kakek : Agar komplit, Bu
7. Nenek : yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau. Tapi
sekarang, kopiah hanya bernilai tambah penghangat belaka.
8. Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke sofa, membuka
lembarannya)
9. Nenek : Mengapa tidak duduk di sini?
10. Kakek : Sebentar.
11. Nenek : Ada berita rahasia
12. Kakek : Rahasia?
13. Nenek : Habis kau baca Koran kenapa menyendiri?
14. Kakek : Malu.
15. Nenek : Malu? Kau aneh. Malu pada siapa?
16. Kakek : Dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua kenapa
pacaran terus….
17. Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu
menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
18. Kakek : Gila. Malah demonstrasi.
19. Nenek : Sekali waktu memang perlu.
20. Kakek : Ya, tapi kan bukan untuk saat ini?
21. Nenek : Kukira justru!
22. Kakek : Duilah apa-apaan ini.
23. Nenek : Agar orang tetap tahu, aku milikmu.
24. Kakek : Siapa mengira kita sudah cerai?
25. Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke
kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut kehilangan, tapi
menuntut kenyataan-kenyataan.
26. Kakek : Bagus!
27. Nenek : apa maksudmu?
28. Kakek : Tindakan terpuji, itu namanya.
29. Nenek : He, apa sih maksudmu, pak?
30. Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
31. Nenek : Hu…hu…hu… (Menangis)
32. Kakek : He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya?
33. Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh. Hu…hu…
hu…
34. Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji
tindakanmu yang berani.
35. Nenek : (Tiba-tiba berhenti menangis). Berani? Aku pemberani?
36. Kakek : Ya, kau pantas disejajarkan dengan ibu kita Kartini.
37. Nenek : Ibu Tin?
38. Kakek : Bukan, bukan bu tin, Ibu kita Kartini.
39. Nenek : Tetapi, kan ibu kita Kartini juga bisa kita sebut Bu Tin, kan. Apa
salahnya?
40. Kakek : Hush, diam! Ingat ini di depan orang banyak. Maka jangan main
semberono dengan sebutan-sebutan yang multi interpretable….
41. Nenek : Ah, laga profesormu kumat lagi, pak?
42. Kakek : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor.
43. Nenek : Dan kandas.
44. Kakek : Belum. O, malah sudah berhasil. Cuma tunggu pengakuan.
45. Nenek : Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di
perguruan tinggi maupun di dunia ini.
46. Kakek : Secara formal memang tidak. Secara material ia.
47. Nenek : Hah, bagaimana mungkin?
48. Kakek : Kau lihat, banyak mahasiswa yang dating kemari, bukan? Tidak hanya itu,
malahan para guru besar pada datang ke mari. Mereka mengajak diskusi aku, segala
macam soal. Dari soal-soal tata pemerintahan sampai bagaimana mengatasi kesepian.
49. Nenek : Bukankah itu Cuma omong-omong, mengapa mesti dikatakan diskusi?
50. Kakek : Siapa bilang orang memberi kuliah di depan kelas tidak pake omong,
he…?
51. Nenek : Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
52. Kakek : Aku kurang senang jadi diplomat.
53. Nenek : Tapi kau lebih terkemuka, lebih ternama, lebih terkenal.
54. Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung
tiba tiba)
55. Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi
diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keelamatan perkawinan kita.
56. Kakek : Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-
negara Barat? Timur? Asia? Atau PBB…?
57. Nenek : Ya, PBB saja….
58. Kakek : Tapi… (Lalu duduk di sofa termenung)
59. Nenek : Itu lebih terhormat di PBB. Siapa tahu kau akan dipilih jadi ketua sidang,
lantas kelak jadi sekretaris jenderal… (Kakek geleng kepala)
60. Nenek : Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja? (Kakek
memandang nenek)
61. Nenek : Tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma
diam saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang
rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap bukan? Bagaimana kau mengajukan
argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi? (Kakek geleng kepala)
62. Nenek : Nah, paling terhormat jadilah diplomat wakil republik kita tercinta di
PBB… (Kakek geleng kepala)
63. Nenek : Aku sungguh tidak mengerti cita-citamu, Pak.
64. Kakek : Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja….
65. Nenek : Ah, gila. Itu pekerjaan gila.
66. Kakek : Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos maupun di dunia ini. Tapi
pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di kolong
jembatan, bukan? Ini tidak adil. Maka aku menyatakan diri. Maka aku menyediakan
diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.
67. Nenek : Tapi kau akan terhina
68. Kakek : Selama kedudukan adalah diplomat, dimanapun ditempatkan sama saja
terhinanya, sama saja mulianya.
69. Nenek : Aku tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu.
70. Kakek : Kau balum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos dimanapun juga.
71. Nenek : Kau sudah tidak waras.
72. Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong.
Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu
perlu di bujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan
timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang
gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil
yang bisa membujuk….
73. Nenek : Ah... bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman.
Bagaimana jawabku, Pak. Coba bayangkan, bayangkan….
74. Kakek : Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau
tidak usah khawatir, kalau kau datang arisan yang lima ribuan, dan kau ditanya orang-
orang apa pekerjaanku jawab saja diplomat, titik. Kolong jembatannya tidak usah
disebut. Kalau kau dating ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada salahnya kalau
kau ngomong diplomat kolong jembatan…
75. Nenek : Tapi kalau teman-teman arisan lima ribuan tanya, di mana posnya?
76. Kakek : Ah… (memegangi kepalanya). Begini, diplomat bagian sosial… hebat
toh?
77. Nenek : Masak ada diplomat sosial?
78. Kakek : Kau ini bagaimana, diplomat itu serba mungkin asal kau pintar main lidah,
beres. Coba, kau kan tahu ada diplomat pimpong, ada diplomasi SPP, diplomasi
macam-macam saja ada.
79. Nenek : Ah, susah aku tak ingin kau jadi diploamat, Pak.
80. Kakek : Tapi, aku sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan itu.
(Nenek termenung)
81. Kakek : (Memandang Nenek). Susah…
82. Nenek : Siapa?
83. Kakek : Kita semua
84. Nenek : Termasuk para penonton itu?
85. Kakek : Ya.
86. Nenek : Kenapa?
87. Kakek : Karena kita hidup
88. Nenek : Mengapa begitu?
89. Kakek : Orang hidup punya beban sendiri. (pergi mengambil teko, menuang kopi,
lalu meminumnya)
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang suami. Kakek membuka stoples lalu
memakan makanannya)
90. Nenek : Seorang diplomat harus tahu aturan.
91. Kakek : Apa maksudmu?
92. Nenek : Makan tidak boleh sambil berdiri. Ini adalah adat Timur.
93. Kakek : Sudah nyopot dari pekerjaan.
94. Nenek : Mau pindah pekerjaan?
95. Kakek : Ya.
96. Nenek : Apa?
97. Kakek : Teknokrat.
98. Nenek : Gila.
99. Kakek : Aku mau jadi teknokrat dalam bidang….
100. Nenek : Ekonomi?
101. Kakek : Bukan.
102. Nenek : Politik?
103. Kakek : Bukan.
104. Nenek : Militer?
105. Kakek : Bukan.
106. Nenek : Lalu apa?
107. Kakek : Bidang persampahan.
108. Nenek : Apa?
109. Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir
di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di
jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar
biasa banyaknya… (Nenek termenung)
110. Kakek : Kau tidak senang?
111. Nenek : Mengapa kita berpikir yang bukan-bukan?
112. Kakek : Karena kita tak lagi sanggup melihat kenyataan-kenyataan.
113. Nenek : Mengapa?
114. Kakek : Kenyataan yang kita lihat, adalah tipuan belaka adanya.
115. Kakek : Hidup kita diwarnai dengan cara berpikir yang sadis.
116. Nenek : Ah, makin pusing mendengarkan bicaramu
117. Kakek : Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem,
sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi.
Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua.
Berjalan dengan satu disiplin mati. Dengan teori yang tidak kita pahami sendiri…
keutuhan manusia sudah dikerdilkan. Hubungan seks tinggal bernilai nafsu. Kesenian
diukur filsafat seketika, atau kesenian sudah dikonsepkan. Juga hidup kita
didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita tenggelam pada ukuran-ukuran mini.
Kita rindu Sofokles, Aristoteles, Albesepkan. Juga hidup kita didoktrinkan… ini tidak
bisa. Akibatnya, kita tenggelam pada ukuran-ukuran mini. Kita rindu Sofokles,
Aristoteles, Albesepkan. Juga hidup kita didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita
tenggelam pada ukuran-ukuran mini. Kita rindu Sofokles, Aristoteles, Albert Camus,
Amir Hamzah, Chairil Anwar,… Geoethe, Shakespeare. Mereka harus ditakdirkan
kembali di sini. Citra manusia yang terpancar dari karya-karya mereka harus
dipancarkan kembali di sini.
118. Nenek : Suamiku… Suamiku… Suamiku… Sudahlah….
119. Kakek : Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya, manusia harus….
120. Nenek : Sudahlah… (Menuntun ke sofa)
121. Kakek : Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati
itu… doktrin-doktrin itu harus… harus….
122. Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu
semangat begitu….
123. Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi
dengan merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh
keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma
meniru, meniru, meniru… (Kakek rebah, Nenek menjerit)
124. Nenek : (Terseduh)
125. Kakek : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa kau menangisi
aku, tangisilah dirimu sendiri.
126. Nenek : Kau masih hidup…?
127. Kakek : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya
mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati hidupku sendiri….
128. Nenek : Tetapi kau berbicara, kau bernapas….
129. Kakek : Bukan itu ukuran adanya kehidupan.
130. Nenek : Jangan bicara yang sukar-sukar, aku tidak mengerti.
131. Kakek : Tentu saja, karena kau belum mengerti hidup.
132. Nenek : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
133. Kakek : Umur pun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup kau mengikuti
doktrin-doktrin itu….
134. Nenek : Bagaimana seharusnya, Sayangku?
135. Kakek : Renungkan dirimu sendiri dan sudah itu menangis!
136. Nenek : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak…. (Terdengar suara jam
dinding dua belas kali).
137. Nenek : Sudah larut tengah malam.
138. Kakek : Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi akan datang.
139. Nenek : Kita akan menjadi segar kembali
140. Kakek : Dan tambah tua… (Nenek termenung. Kakek termenung)
141. Nenek : Kapan kita mati?
142. Kakek : Entah. Tapi kita harus siap-siap
143. Nenek : Sungguh ngeri!
144. Kakek : Memang. Tapi itulah kenyataannya.
145. Nenek : Aku takut
146. Kakek : Aku juga… (Terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)
147. Nenek : Dua belas kali…
148. Nenek : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
149. Kakek : Memang begitu. Kau tidak salah dengar.
150. Nenek : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya
bunyi lagi satu kali…, begitu kan?
151. Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan,
ukuran- ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok….
152. Nenek : Bagaimana cara kita mengerti…?
153. Kakek : Itulah soalnya….
(Layar turun, lampu mati)

a. Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto, yaitu “ Keinginan/
harapan Untuk Meraih Kesejahteraan Hidup”.
Hal ini dibuktikan dengan keinginan Kakek yang ingin menjadi seorang diplomat yang
diberi pos di kolong jembatan demi membujuk para penghuni kolong jembatan agar
mau memperbaiki hidup/nasib mereka dengan mencari pekerjaan yang layak dan
timbul kepercayaan diri sendiri. Serta keinginan Kakek untuk menjadi seorang
Teknokrat dalam bidang sampah-sampah demi menghindari terjadinya banjir akibat
dari menumpuknya sampah-sampah si selokan.

Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong.
Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu
perlu di bujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan
timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang
gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil
yang bisa membujuk….
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di
kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat jalan-
jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa
banyaknya…

2. Tokoh dan Penokohan


Tokoh-tokoh yang terdapat dalam drama Sepasang Merpati Tua, yaitu:
1. Tokoh utamanya, yaitu Nenek. Ia adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun dikenai kejadian.
2. Tokoh Tambahannya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang ada keterkaitannya
dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung.
3. Tokoh protagonisnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh yang baik dan pembangun
alur dalam cerita.
4. Tokoh antagonisnya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang yang memberi konflik
pada tema dan memiliki kehendak yang berlawanan dengan Nenek.
5. Tokoh sederhana, yaitu Nenek. Ia memiliki sifat yang baik dari awal hingga akhir
cerita.
6. Tokoh bulatnya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang memiliki perkembangan
dalam kehidupannya, yang awalnya ia merupakan orang yang percaya diri dan sehat.
Namun, pada saat ia mengungkapkan kemarahannya pada peraturan pemerintahan,
membuatnya rebah tak berdaya.
7. Tokoh datarnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh yang dari awal sampai akhir
cerita tetap menunjukan sikap kabaikannya.
8. Tokoh Sta tisnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh cerita yang secara esensial tidak
mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
9. Tokoh berkembangnya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang cenderung akan
menjadi tokoh yang kompleks. Hal itu disebabkan adanya berbagai perubahan dan
perkembangan sikap, watak dan tingkah lakunya itu dimungkinkan sekali dapat
terungkapkannya berbagi sisi kejiwaanya.
10. Tokoh sentralnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh yang sangat potensial dalam
menggerakan alur.
11. Tokoh bawahannya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang tidak begitu besar
pengaruhnya terhadap perkembangan alur, walaupun ia terlibat juga dalam
pengembangan alur itu.

Penokohan dalam drama Sepasang Merpati Tua, yaitu:


Nenek, seorang wanita yang baik, manja, pengkritik, cengeng, pemberani, gengsi, dan
peduli. Kebaikannya ia tunjukan ketika ia mau mendengarkan kata-kata Kakek
walaupun ia selalu tidak memahami arti dari kata-kata Kakek, tetapi ia pun
mendukung si Kakek untuk memenuhi keinginannya dalam menciptakan
kesejahteraan masyarakat disekelilingnya. Sikap manjanya ia tunjukan ketika ia berdiri
menghampiri Kakek dan duduk disebelahnya, yang kemudian menyandarkan
kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri. Sikap pengkritiknya ia tunjukan pada saat ia
selalu menyela dan mengkritik segala ucapan Kakek. Sikap cengengnya ia tunjukan
pada saat ia menangis karena tersinggung mendengar kata-kata Kakek yang
mengatakan bahwa “Mengaku dosa didepan orang banyak”, serta menangis pada saat
Nenek melihat Kakek rebah tak berdaya karena terlalu banyak bicara. Sikap
pemberaninya ia tunjukan ketika ia berani mengakui dosanya di depan penonton
dengan mengatakan bahwa “Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut
kehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan”. Sifat gengsinya ia tunjukan ketika ia
tidak mau menerima Kakek menjadi diplomat kolong jembatan dan teknokrat bidang
persampahan karena gengsi pada teman-temannya. Dan sifat pedulinya ia tunjukan
ketika ia memperingatkan Kakek agar tidak terlalu banyak bicara karena penyakit
napas yang dideritanya dan berusaha menyadarkan Kakek dalam rebahannya.

Kakek, seorang lelaki yang baik, bijaksana, bergaya, pemalu, peduli, pemuji,
pengkritik, percaya diri, dan semangat tingkat tinggi. Kebaikannya ia tunjukan dalam
jiwanya yang tertanam nilai-nilai kemanusiaan yang begitu kuat, ia ingin
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengubah pola pikir serta konsep
yang tidak mengutamakan masyarakat menjadi orang yang lebih baik.
Kebijaksanaannya ia tunjukan ketika ia mau mendengarkan nasehat istrinya dengan
penuh lapang dada dan dengan kebijaksanaanya pula ia menerima segala keluhan-
keluhan istrinya. Sifat bergayanya ia tunjukan pada saat ia bersolek dengan
22. Penjelasan Kakek tentang alasan mengapa ia memilih provesi barunya itu.
23. Kesadaran Nenek terhadap pemikiran-pemikiran mereka.
24. Penjelasan Kakek terhadap pertanyaan Nenek ketika menyadari pemikiran-
pemikiran yang mereka perdebatkan.
25. Kepusingan Nenek ketika mendengarkan penjelasan Kakek yang tidak
dipahaminya.
26. Penjelasan yang terus dilakukan Kakek kepada Nenek tentang kehidupan dunia
sekarang yang jauh berbeda dengan kehidupan yang dulu hingga sekarang.
memakai kopiah ketika keluar kamar hendak membaca koran. Sifat pemalunya ia
tunjukan ketika ia malu pada penonton ketika ia berduaan dengan istrinya. Sifat
pedulinya ia tunjukan pada keadaan masyarakat dan lingkungan hingga ia menghayal
ingin menjadi diplomat dan teknokrat demi meningkatkan kesejahteraan masyarakt
dan kebersihan lingkungan. Sifat pemujinya ia tunjukan ketika ia memuji sifat Nenek
yang pemberani ketika Nenek berani mengakui dosanya di depan penonton. Sifat
pengkritiknya ia tunjukan pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sifat
percaya dirinya ia tunjukan ketika ia mengaku bahwa ia adalah profesor layaknya guru
besar yang mengajar diperguruan tinggi walaupun keprofesorannya hanya tercermin
pada saat ia berdiskusi dengan para guru besar dan mahasiswa. Dan sifat semangat
tingkat tingginya ia tunjukan ketika ia mengeluarkan semua kekesalan di dalam
hatinya terhadap peraturan pemerintah hingga membuatnya rebah tak berdaya karena
penyakit napasnya kumat kembali.

3) Dialog
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm…(Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
Nenek : Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
Kakek : Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca Koran.
Nenek : Mengapa membaca koran mesti pakai kopiah segala?
Kakek : Agar komplit, Bu….
Kutipan di atas disebut dialog karena percakapan itu minimal dilakukan oleh dua
orang. Kutipan teks drama di atas dapat disebut sebagai dialog karena diucapkan
secara bergantian oleh tokoh Nenek dan Kakek.
4. Alur
Alur dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto ini adalah:
1) Eksposisi (pelukisan awal)
a. Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di
atas sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko,
sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak tengah ruangan itu terdapat sofa,
lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan jendela. (Pengenalan Latar
Pentas)
b. Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-sebentar ia
menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm…(Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
(Pengenalan Para Tokoh)
Dari penggalan drama di atas, terlihat bahwa drama Sepasang Merpati Tua ini dimulai
dengan penggambaran latar pentas yang dibuat oleh pengarang sebagai pengantar
cerita. kemudian, dilanjutkan dengan pengenalan para tokoh yang di awali dengan
Nenek duduk sendiri di ruang tengah rumah sambil menyulam dan sedang menunggu
Kakek datang, hingga Kakek datang dengan memakai kopiah.

2) Konflik
Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek : Hu…hu…hu… (Menangis)
Kakek : He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya?
Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh. Hu…hu…
hu…
Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu
yang berani.
Pada kutipan di atas terlihat bahwa drama sudah mulai masuk pada tahap konflik.
Penggambaran masalah sudah semakin jelas bahwa Nenek merasa di ejek/di olok-olok
oleh Kakek dengan kata-kata “Mengaku dosa di depan orang banyak”, hingga
membuatnya menagis dengan kata-kata tersebut.

3) Komplikasi (pertikaian)

Nenek : Ah, laga profesormu kumat lagi, pak?
Kakek : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor.
Nenek : Dan kandas.
Kakek : Belum. O, malah sudah berhasil. Cuma tunggu pengakuan.
Nenek : Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di perguruan
tinggi maupun di dunia ini.
Kakek : Secara formal memang tidak. Secara material ia…
.…
Nenek : Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
Kakek : Aku kurang senang jadi diplomat.
Nenek : Tapi kau lebih terkemuka, lebih ternama, lebih terkenal.
Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung
tiba tiba)
Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi
diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keelamatan perkawinan kita….

Nenek : Mau pindah pekerjaan?
Kakek : Ya.
Nenek : Apa?
Kakek : Teknokrat….

Cerita dilanjutkan dengan perdebatan antara Nenek dan Kakek tentang jabatan yang
ingin dicapai oleh Kakek. Dimulai dengan keinginan Kakek yang ingin menjadi
profesor tetapi ditentang oleh Nenek yang lebih mengizinkan Kakek untuk menjadi
diplomat dan Kakek pun menerima saran Nenek demi menyelamatkan perkawinan
mereka. Dan ceritanya dilanjutkan dengan keinginan Kakek yang ingin pindah jabatan
dari diplomat menjadi teknokrat.
4) Klimaks (puncak ketegangan)
Kakek : Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem
membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang
zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan
satu disiplin mati….
Nenek : Suamiku… Suamiku… Suamiku… Sudahlah….
Kakek : Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya, manusia harus….
Nenek : Sudahlah… (Menuntun ke sofa)
Kakek : Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu…
doktrin-doktrin itu harus… harus….
Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu
semangat begitu….
Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan
merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya
menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru,
meniru… (Kakek rebah, Nenek menjerit)
Nenek : (Terseduh)
Cerita mencapai puncaknya pada saat Kakek berbicara dengan penuh semangat hingga
ia tidak dapat mengontrol bicaranya sendiri yang membuat penyakit napasnya kambuh
kembali. Peringatan Nenek tidak didengarnya karena semangatnya tersebut. Karena
semangatnya yang terlalu berlebihan, hingga membuatnya rebah dan membuat Nenek
menjerit dan menangis.

5) Peleraian
Kakek : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa kau menangisi aku,
tangisilah dirimu sendiri. Nenek : Kau masih hidup…?
Kakek : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya
mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati hidupku sendiri….
Nenek : Tetapi kau berbicara, kau bernapas….
Kakek : Bukan itu ukuran adanya kehidupan….
Cerita ini dileraikan dengan bangkitnya Kakek dari rebahnya dan penjelasan Kakek
kepada Nenek tentang arti kehidupan yang sebenarnya.
6) Penyelesaian
Nenek : Dua belas kali…
Nenek : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
Kakek : Memang begitu. Kau tidak salah dengar.
Nenek : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi
lagi satu kali…, begitu kan?
Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuran-
ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok….
Nenek : Bagaimana cara kita mengerti…?
Kakek : Itulah soalnya….
Cerita ini diselesaikan dengan bunyinya lonceng jam dinding dua belas kali untuk
yang kedua kalinya yang membuat Nenek heran, dan penjelasan lebih lanjut oleh
Kakek tentang kehidupan bahwa kebiasaan, ukuran, dan konep tidak terlalu cocok
untuk hidup manusia. Dan juga masih menyisahkan pertanyaan tentang bagaimana
cara mengerti kahidupan. Cerita ini pun berakhir happy ending karena Kakek kembali
tersadar dari perebahannya dan bersatu kembali dengan Nenek.
Jika ditinjau dari pengarang mengakhiri cerita (pengakhirannya), alur drama tersebut
diakhiri dengan teknik plot terbuka, dimana pada akhir cerita masih menyisahkan
pertanyaan tentang arti kehidupan, sehingga masih menyisahkan pertanyaan dari
dalam diri penonton tentang bagaimana arti dari kehidupan tersebut. Dan cerita ini
beralur maju (progresif) karena ceritanya di mulai dari awal hingga akhir.
Penggambaran alur drama Sepasang Merpati Tua dalam bentuk sekuen, yaitu:
1. Deskripsi keadaan ruang tengah rumah sepasang orang tua (Kakek dan Nenek).
2. Kejengkelan Nenek kepada kakek yang masih saja bersolek.
3. Kakek memamerkan kopiahnya kepada Nenek.
4. Singgungan nenek kepda kakek yang membaca Koran dengan memakai kopiah (=
sekuen 2, 12, 19)
5. Jawaban santai Kakek terhadap singgungan pertanyaan Nenek.
6. Sikap mesra yang ditunjukan oleh Nenek kepada Kakek dengan menyandarkan
kepalanya ke bahu Kakek.
7. Sikap Kakek yang terkejut karena sikap mesra yang ditunjukan oleh Nenek.
8. Perkataan Kakek yang membuat Nenek menangis.
9. Jawaban Nenek yang menyatakan alasan mengapa ia menangis.
10. Penjelasan kakek terhadap jawaban dari Nenek.
11. Pujian yang dilontarkan Kakek kepada Nenek agar berhenti menangis.
12. Singgungan Nenek kepada Kakek yang mengandaikan Kakek sebagai professor (=
sekuan 2 dan 4, 19)
13. Penjelasan-penjelasan Kakek kepada Nenek dalam memuji diri.
14. Saran Nenek kepada Kakek untuk mengganti provesi.
15. Kebijaksanaan Kakek dalam menerima saran Nenek demi keselamatan perkawinan
mereka.
16. Berbagai jenis diplomat yang disarankan Nenek kepada Kakek.
17. Kekecewaan Nenek terhadap keputusan yang diambil oleh Kakek.
18. Kekecewaan Kakek terhadap kehidupan di dunia.
19. Singgungan nenek kepada kakek yang makan sambil berdiri (= sekuen 2,4,12)
20. Pernyataan Kakek untuk mengganti provesinya.
21. Kekagetan Nenek ketika mendengar provesi baru yang diinginkan oleh Kakek.a
membuat Kakek menjadi jatuh/rebah.
27. Jatuhnya Kakek membuat Nenek menjadi menangis.
28. Kekagetan Nenek karena melihat Kakek sadarkan diri.
29. Penjelasan Kakek terhadap kehidupan yang sebenarnya.
30. Jam 12 malam menunjukan waktu telah larut.
31. Ketakutan Kakek dan Nenek terhadap kematian yang datangnya secara tiba-tiba.
32. Kekagetan Nenek ketika mendengar jam berbunyi 12 kali untuk yang kedua
kalinya.
33. Penjelasan Kakek terhadap pendengaran Nenek.
34. Pertanyaan Nenek tentang bagaimana cara memahami kahidupan.
35. Jawaban Kakek terhadap pertanyaan Nenek.

5) Latar/setting
Latar dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto ini terbagi tiga dua
jenis, yaitu:
1) Latar Tempat
a) Ruangan tengah rumah, tempat Kakek dan Nenek duduk berbincang-bincang.
“Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua.”
b) Sofa, tempat Kakek duduk membaca Koran dan tempat Nenek menyandarkan
kepalanya ke bahu Kakek.
Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke sofa, membuka
lembarannya)” dan pada kutipan
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu menyandarkan
kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
c) Meja makan, tempat Nenek mengambil cangkir dan tempat Kakek mengambil
panganan dari toples.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm…(Mengambil cangkir, lalu meminumnya)” dan pada kutipan
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang suami. Kakek membuka stoples lalu
memakan makanannya)
d) Kursi, tempat Nenek duduk setelah bangkit dari sofa.
Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke
kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut kehilangan, tapi
menuntut kenyataan-kenyataan.

2) Latar Waktu
a) Menjelang malam hari, waktu Kakek dan Nenek berbincang-bincang.
Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-sebentar ia
menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.
b) Empat puluh tahun yang telah lampau, waktu Kakek menjadi juru tulis.
Nenek : yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau. Tapi
sekarang, kopiah hanya bernilai tambah penghangat belaka.
c) Delapan puluh tahun, waktu Nenek menjalani kehidupan.
Nenek : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
d) Jam 12 malam, waktu Kakek dan Nenek tersadar bahwa waktu telah larut.
Nenek : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak…. (Terdengar suara jam dinding
dua belas kali).
Nenek : Sudah larut tengah malam.
3) Latar Suasana
a. Jengkel, perasaan Nenek kepada Kakek karena selalu bersolek dengan memakai
kopiah ketika membaca koran.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm…(Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
Nenek : Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
Kakek : Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca Koran.
b. Romantis, suasana ketika Nenek duduk di samping Kakek sambil menyandarkan
kepalanya ke bahu kakek sebelah kiri.
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu menyandarkan
kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
c. Mengolok-olok, suasana ketika Kakek berbicara kepada Nenek hingga membuatnya
menangis.
Kakek : Tindakan terpuji, itu namanya.
Nenek : He, apa sih maksudmu, pak?
Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek : Hu…hu…hu… (Menangis)
Kakek : He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya.
Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh. Hu…hu…hu
d. Sedih, suasana hati Nenek ketika diolok-olok oleh Kakek dan suasana hatinya
ketika Kakek rebah tah berdaya.
Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek : Hu…hu…hu… (Menangis).
Dan pada kutipan:
Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan
merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya
menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru,
meniru… (Kakek rebah, Nenek menjerit)
Nenek : (Terseduh)
e. Menghibur, tindakan Kakek untuk membuat Nenek berhenti menangis.
Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu
yang berani.
f. Percaya diri, sikap Kakek ketika ia menyatakan diri ingin menjadi profesor,
diplomat, dan teknokrat.
Kakek : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor.
Kakek : Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara
Barat? Timur? Asia? Atau PBB…?
Kakek : Aku mau jadi teknokrat dalam bidang….
g. Ikhlas, sikap Kakek ketika menerima saran Nenek untuk menjadi diplomat demi
menyelamatkan perkawinan mereka.
Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi
diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keelamatan perkawinan kita.
h. Termenung, sikap Nenek ketika mendengar pembicaraan Kakek dan sikap Kakek
ketika mendengar pembicaraan Nenek.
Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung
tiba tiba)
Kakek : Tapi… (Lalu duduk di sofa termenung)
i. Berdebat, sikap Nenek dan Kakek yang memperdebatkan jabatan menjadi profesor,
diplomat, dan teknokrat.
j. Sadar, suasana ketika Nenek dan Kakek tersadar bahwa apa yang telah mereka
perdebatkan hanyalah hayalan semata.
Nenek : Mengapa kita berpikir yang bukan-bukan?
k. Menegangkan, suasana ketika Kakek berbicara dengan penuh semangat hingga
membuatnya rebah tak berdaya yang membuat Nenek menjerit dan menangis.
Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan
merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya
menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru,
meniru… (Kakek rebah, Nenek menjerit)
Nenek : (Terseduh)
l. Bangkit, keadaan Kakek setelah terbangun dari rebahannya.
Kakek : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa kau menangisi aku,
tangisilah dirimu sendiri.
m. Mengerikan, suasana hati Nenek ketika mengingat kematian.
Nenek : Kapan kita mati?
Kakek : Entah. Tapi kita harus siap-siap
Nenek : Sungguh ngeri!
n. Menakutkan, suasana hati Nenek dan kakek ketika mengingat kematian.
Kakek : Memang. Tapi itulah kenyataannya.
Nenek : Aku takut
Kakek : Aku juga… (Terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)
o. Aneh, suasana hati Nenek ketika mendengar suara jam dinding berbunyi dua belas
kali untuk yang kedua kalinya.
Nenek : Dua belas kali…
Nenek : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
p. Bingung, suasana hati Nenek yang tidak paham dengan arti kehidupan yang
dijelaskan oleh Kakek.
Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuran-
ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok….
Nenek : Bagaimana cara kita mengerti…?
Kakek : Itulah soalnya….
6. Petunjuk Laku
Petunjuk laku yang terdapat dalam drama Sepasang Merpati Tua, yaitu diantaranya
terdapat pada kutipan berikut:…
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm…(Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke sofa, membuka
lembarannya)
Kakek : Dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua kenapa pacaran
terus….
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu menyandarkan
kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke
kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut kehilangan, tapi
menuntut kenyataan-kenyataan.
7. Amanat
Amanat dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto ini, yaitu:
1. Jika kita memiliki ilmu, maka manfaatkanlah ilmu itu untuk kepentingan orang
banyak.
2. Jika kita menjadi seorang pemimpin, maka perhatikanlah kepentingan masyarakat
demi menciptakan
kesejahteraan.
3. Jika kita memiliki jabatan tertentu, maka manfaatkanlah jabatan tersebut dengan
sebaik-baiknya demi kepentingan diri sendiri dan orang lain.
4. Hargailah tiap jabatan yang diperoleh, bagaimana pun jenis jabatannya.
5. Hargailah tiap kehidupan yang diperoleh, karena kehidupan yang telah diperoleh
sebelumnya tidak akan pernah kembali lagi.

b. Unsur Ekstrinsik
Nilai-nilai yang terkandung dalam drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti
Soemanto, yaitu:
1) Nilai sosial-budaya
Nilai sosial-budaya terletak pada niat Kakek yang ingin menjadi diplomat kolong
jembatan untuk membantu orang-orang yang tinggal di kolong jembatan agar mau
hidup baik-baik dengan berusaha untuk mencari pekerjaan yang layak dan
menimbulkan kepercayaan diri sendiri. Juga dapat dilihat pada niat Kakek yang ingin
menjadi Teknokrat di bidang persampahan demi mencegah terjadinya banjir.
Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong.
Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu
perlu di bujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan
timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang
gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil
yang bisa membujuk….
Kakek : Aku mau jadi teknokrat dalam bidang….
Kakek : Bidang persampahan.
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di
kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di
jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar
biasa banyaknya… (Nenek termenung)

2) Nilai Moral
Nilai moral teletak pada sikap Kakek yang bijaksana dalam menanggapi segala sikap
Nenek terhadapnya. Juga pada sikap Kakek yang peduli terhadap sesama dengan
memperhatikan kehidupan orang-orang yang hidup di kolong jembatan dan niat Kakek
untuk membersihkan sampah-sampah demi mencegah terjadinya banjir yang dapat
merugikan banyak orang. Serta, teletak pada sikap Nenek yang peduli terhadap Kakek
dengan jabatan yang ingin diraihnya dan sikap pedulinya terhadap kondisi Kakek.

Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi
diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keelamatan perkawinan kita.
Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong.
Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu
perlu di bujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan
timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang
gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil
yang bisa membujuk….
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di
kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di
jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar
biasa banyaknya… (Nenek termenung)
Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu
semangat begitu….

3) Nilai Agama
Nilai agama terletak pada perkataan Nenek dengan membawa nama Tuhan dalam
menentukan jenis diplomat yang harus diambil oleh Kakek. Serta terletak pada niat
Kakek yang ingin membersihkan sampah-sampah yang menumpuk di selokan, sebab
dalam agama menyatakan bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman”.
Nenek : Tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma diam
saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang rencana-
rencana selanjutnya. Masih gelap bukan? Bagaimana kau mengajukan argumentasi-
argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi? (Kakek geleng kepala)
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di
kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di
jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar
biasa banyaknya… (Nenek termenung)

4) Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi terletak pada kehidupan Kakek dan Nenek yang hidup sederhana
dengan menikmati hidangan apa adanya, serta dengan perabotan rumah yang mulai
lusuh.
“Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas
sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko,
sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak tengah ruangan itu terdapat sofa,
lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan jendela.”

Anda mungkin juga menyukai