Anda di halaman 1dari 2

Nama : Anisa Nurrosyfawati

Prodi/Fakultas : Ilmu Hukum/Syariah dan Hukum


NIM : 22103040182
Tugas Membuat Resensi (Hari Kedua PBAK (19 Agustus 2022)) Pancasila vs khilafah
“Ancaman Hizbut Tahrir Terhadap ideology Negara”

Penerbit: Aksara Satu


ISBN: 978-602-53002-6-4
Tebal 172 halaman
Ukuran: 14 x 20 cm + Soft Cover
Berat: 190 gram
Penulis: Mohammad Nuruzzaman & Saeful

Buku ini ditulis berdasarkan kehendak untuk


meluruskan pandangan tersebut. Tujuannya ingin
menghadirkan berbagai fakta tentang HTI, baik sejarah
berdirinya, pemikiran politiknya, strategi gerakannya,
persebaran dan kegiatannya sebelum dinyatakan sebagai
organisasi terlarang. Serta menghadirkan pandangan HTI
terhadap dasar negara, ideology bangsa (pancasila)
HTI memang menolak Pancasila karena dasar negara ini dianggap sebagai dasar negara kafir
yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ada dua alasan mengapa HTI mengafirkan Pancasila.
Pertama, karena Pancasila dianggap menganut pluralisme agama. Kedua, karena Pancasila dianggap
menganut pluralisme ideologi. Yang dimaksud pluralisme agama di sini ialah perlindungan Pancasila
terhadap semua agama yang berkembang di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan prinsip Islam
sebagai satu-satunya agama yang benar. Sedangkan yang dimaksud sebagai pluralisme ideologi ialah
keberadaan ideologi-ideologi non-Islam, seperti nasionalisme, demokrasi dan sosialisme di dalam
Pancasila. Keberadaan ideologi-ideologi ini juga bertentangan dengan prinsip HTI bahwa hanya
Islamisme, ideologi yang paling benar.
Pusat pemerintahan yang dianut HTI pada awal-awal adalah Nabi, beliau memegang
kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Jika Nabi telah memutuskan, maka “sami’na wa
ato’na” – dengarkan dan laksanakan. Tidak ada lembaga kontrol. Jika Nabi salah, Allah
sendiri yang akan menegur melalui wahyunya atau malaikat. Kontrol dari Allah. Sebelum
HTI mengambil keputusan, beliau kadang meminta pendapat para sahabat. Akan tetapi
keputusan terakhir mutlak ditangan Nabi, beliau tidak terikat dengan masukan dari sahabat.
Bisa jadi keputusan Nabi berbeda dengan masukan sahabat, tetapi setelah nabi menetapkan,
wajib bagi umat Islam untuk taat kepada keputusan Nabi.
Di balik pusat pemerintahan yang dianut, Pemerintahan yang berpusat pada Nabi ini
mengalami banyak permasalahan saat Nabi wafat. Terjadi kebingungan, kepanikan diantara
para sahabat. Nabi tidak pernah menentukan siapa penggantinya, dengan cara bagaimana
penggantinya dipilih dan apa saja wewenang penggantinya. Setelah nabi wafat, dilanjutkan
dengan pusat pemerintah yang dipimpin oleh khalifah-khalifah pada masa itu.
Dari pusat pemerintahan era Khilafah Islam, ada beberapa contoh benang merah yang bisa
ditarik sebagai berikut:
1. Khalifah adalah Muslim dan memerintah berdasarkan hukum yang ditafsirkan dari
Qur’an & Hadits. Penafsiran dilakukan oleh ulama yang dianggap menguasai ilmu
agama. Kondisi dan aspirasi rakyat dianggap dapat diwakilkan dengan pertimbangan
ulama.
2. Tidak ada manusia atau lembaga yang bisa mengontrol Khalifah. Khalifah mungkin
membentuk lembaga penasehat atau meminta masukan ulama, akan tetapi keputusan
terakhir ada ditangan Khalifah. Diantara para Khalifah, hanya Nabi yang mempunyai
kontrol, yaitu Allah yang bisa menegur dan memerintahakan Nabi untuk memperbaiki
kesalahannya.
3. Pendapat atau kepentingan rakyat dan siapa pun tidak penting, karena sifatnya adalah
masukan dan tidak mengikat Khalifah. Rakyat hanya boleh berharap kemurahan hati
sang Khalifah.

Hizbut Tahrir disebut juga Partai Pembebasan. Ia adalah partai politik bertaraf
internasional yang bertujuan untuk menegakkan kembali kekhalifahan Islam atau Negara
Islam Dunia di bawah satu bendera. Dengan kata lain, konsep nation-state seperti yang kita
kenal sekarang harus diganti. Dengan kata lain ideologi Khilafah Islamiyah ini ibarat anti-tesa
bagi nation-state. Muhammad Taqiyuddin al-Nabhani (1909 – 1977) adalah penggagas
pertama pendirian Hizbut Tahrir. HTI menempatkan Islam sebagai agama yang melingkupi
semua penataan kehidupan, selayak modernisme mendasari segenap sistem kehidupan
modern. Modernisme yang berangkat dari rasionalisme dan humanisme ditolak oleh HTI,
karena ia bersifat rasionalis dan antroposentris.

Ancaman/ titik perlawanan HTI sebenarnya tidak mengarah pada Pancasila, melainkan
kepada sosialisme, kapitalisme, dan neo-liberalisme yang digunakan rezim politik di
Indonesia untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila. Sosialisme dikritik oleh HTI karena
sifatnya yang secular. HTI menerima Pancasila hanya sebagai gagasan filosofis atau set of
philosophy. Kedua, dengan menempatkan Pancasila an sich sebagai set of philosophy, maka
HTI tidak menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Karena tetap
ideology HTI adalah khilafah

Adapun jalan tengahnya yaitu Pancasila telah menggariskan prinsip hubungan agama dan
negara yang strategis baik dari sudut pandang negara maupun agama. Prinsip hubungan ini,
oleh Alfred Stephan disebut sebagai toleransi kembar (twin toleration) di mana negara
menoleransi agama dengan tidak bertindak interventif atas pengamalannya, namun tetap
melindungi dan menfasilitasi kehidupan beragama di kalangan umat. Demikian pula agama
menoleransi negara dengan tidak memaksakan nilainya, menjadi agama negara, namun pada
saat bersamaan menopang kehidupan bernegara melalui pembentukan etika politik di tengah
kehidupan kewarganegaraan

Dengan demikian, untuk memahami hubungan Islam dan negara di Indonesia, perlu
kiranya mengetahui keberadaan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.
Ideologi ini pada awalnya merupakan hasil konsensus dan oleh karenanya kompromi
ideologis dan politis di antara para pendiri bangsa yang secara umum terbagi dalam tiga aliran
politik; Islam, nasionalis dan komunis. Dalam perjalanannya, Pancasila menjadi titik temu
ideologi-ideologi dunia itu dan menghasilkan rumusan ideologis khas bangsa Indonesia yang
menyatukan prinsip ketuhanan di satu sisi, dan kebangsaan modern demokratis pada saat
bersamaan. Ini yang membuat corak Islam di Indonesia secara umum bersifat moderat dan
nasionalis.

Kelebihan buku ini sangat membuka wawasan generasi penerus bangsa akan tata cara
berfikir moderat dalam menyimpulkan segala sesuatu. Kekurangannya mungkin pemilihan
kata yang terlalu kompleks sehingga perlu dibaca ulang agar tidak salah dalam menyimpulkan
isinya.

Anda mungkin juga menyukai