Anda di halaman 1dari 14

POSISI PESANTREN DI TENGAH BANYAKNYA PARTAI ISLAM

(STUDI KASUS DAMPAK REFORMASI POLITIK TERHADAP PONDOK


PESANTREN IHYA ULUMUDDIN)
Oleh: Maldi Sukrin (200603020)
A. Latar Belakang Masalah
Pesantren adalah sebuah dunia yang menarik dikaji dan diteliti. Meskipun selama ini
banyak peneliti menjadikan pesantren sebagai objek kajian, selalu saja tersedia perspektif
tertentu yang belum bisa diungkap. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki
kekayaan khazanah pengetahuan sosial yang dapat diteliti dari berbagai aspek keilmuan.
Posisi pesantren yang demikian menjadi bukti bahwa pesantren bukan hanya lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia dan masih tetap eksis hingga kini, tetapi juga
merupakan entitas sosial yang memiliki pengaruh cukup kuat sekaligus unik dalam sistem
politik di Indonesia.1
Sejak era Reformasi yang ditandai demokratisasi dan keterbukaan sistem politik,
sikap politik kaum santri dirasakan semakin menonjol. Abdurrahman Wahid yang juga
seorang santri, berhasil menjadi presiden kelima RI. Komunitas pesantren dan para kiai
yang memimpin pesantren mengalami euforia politik, sehingga ramai-ramai terlibat dalam
politik praktis.

Sejauh ini perdebatan tentang keterlibatan pesantren dalam politik selalu berada
dalam tarik-menarik dua pendapat yang saling bertolak belakang. Pendapat pertama
mengasumsikan bahwa komunitas pesantren bagaimanapun juga merupakan entitas yang
memiliki hak dan aspirasi politik sebagaimana warga negara lain. Mereka didukung oleh
argumentasi teologis bagaimana dan mengapa praktik politik praktis dipilih. Pendapat ini
semakin kokoh apalagi disokong realitas semakin banyak pemimpin pesantren (kiai) yang
terjun dalam dunia politik langsung maupun tidak. Pendapat kedua mengkritik dengan
keras bahwa keterlibatan pesantren dalam dunia politik lebih banyak mendatangkan
bahaya daripada manfaat. (Ifadah, A. (2021).)2
Hal ini mengacu pada realitas politik kekinian yang sering dianggap “kotor”. Karena
itu, bagaimanapun baik dan kokoh landasan serta argumentasi teologisnya, pesantren yang
terlibat politik akan terseret ke dalam dunia yang “kotor” pula. Perdebatan seperti itu
memang tidak akan pernah selesai, sebab masing-masing akan menunjukkan berbagai
1
Saidin Ernas. Journal, Dampak keterlibatan pesantren dalam dunia politik. Kontekstualita, Vol. 25,
No. 2, 2010. dampak ponpes terhadap politik.pdf.
2
Ifadah, A. (2021). RESISTENSI SANTRI PADA FATWA KIAI. Paradigma, 10(1).

1
argumentasi etis maupun praksis untuk mendukung pendapat mereka. (Pasa, M. F. I., &
Marzuki, M. (2021).)3

Perempuan dalam Islam di era modern ini sudah


menjalani fungsi yang signifikan di
ruang publik. Mereka tidak lagi terkurung dalam
ruang domestik. Bahkan banyak diantaranya telah
menjadi pemimpin pada suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu bahkan menjadi
pemimpin daerah dan negara. Meski demikian
tak jarang perempuan masih diposisikan
sebagai
makhluk kedua (the second sex). Kenyataan ini
nampak masih muncul dalam konteks keagamaan.
Misalnya dalam kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak menempati jabatan
tertinggi. Perempuan tetap di anggap tidak
memiliki karakter laki-laki seperti pemberani
dan kuat
yang di anggap sebagai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tulisan ini akan mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan perempuan dengan
menggunakan analisis sosial dan hasilnya agama
dalam
hal ini Islam memberikan kesempatan yang luas
bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai
hal.
3
Pasa, M. F. I., & Marzuki, M. (2021). Partisipasi Politik Santri Pondok Pesantren Al
Luqmaniyyah Dalam Pasangan Joko Widodo Dan KH Ma’ruf Amin Pada Pilpres Tahun
2019. E-CIVICS, 10(5), 522-534.

2
Perempuan dalam Islam di era modern ini sudah
menjalani fungsi yang signifikan di
ruang publik. Mereka tidak lagi terkurung dalam
ruang domestik. Bahkan banyak diantaranya telah
menjadi pemimpin pada suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu bahkan menjadi
pemimpin daerah dan negara. Meski demikian
tak jarang perempuan masih diposisikan
sebagai
makhluk kedua (the second sex). Kenyataan ini
nampak masih muncul dalam konteks keagamaan.
Misalnya dalam kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak menempati jabatan
tertinggi. Perempuan tetap di anggap tidak
memiliki karakter laki-laki seperti pemberani
dan kuat
yang di anggap sebagai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tulisan ini akan mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan perempuan dengan
menggunakan analisis sosial dan hasilnya agama
dalam
hal ini Islam memberikan kesempatan yang luas
bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai
hal.
Perempuan dalam Islam di era modern ini sudah
menjalani fungsi yang signifikan di

3
ruang publik. Mereka tidak lagi terkurung dalam
ruang domestik. Bahkan banyak diantaranya telah
menjadi pemimpin pada suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu bahkan menjadi
pemimpin daerah dan negara. Meski demikian
tak jarang perempuan masih diposisikan
sebagai
makhluk kedua (the second sex). Kenyataan ini
nampak masih muncul dalam konteks keagamaan.
Misalnya dalam kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak menempati jabatan
tertinggi. Perempuan tetap di anggap tidak
memiliki karakter laki-laki seperti pemberani
dan kuat
yang di anggap sebagai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tulisan ini akan mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan perempuan dengan
menggunakan analisis sosial dan hasilnya agama
dalam
hal ini Islam memberikan kesempatan yang luas
bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai
hal.
Perempuan dalam Islam di era modern ini sudah
menjalani fungsi yang signifikan di
ruang publik. Mereka tidak lagi terkurung dalam
ruang domestik. Bahkan banyak diantaranya telah

4
menjadi pemimpin pada suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu bahkan menjadi
pemimpin daerah dan negara. Meski demikian
tak jarang perempuan masih diposisikan
sebagai
makhluk kedua (the second sex). Kenyataan ini
nampak masih muncul dalam konteks keagamaan.
Misalnya dalam kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak menempati jabatan
tertinggi. Perempuan tetap di anggap tidak
memiliki karakter laki-laki seperti pemberani
dan kuat
yang di anggap sebagai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tulisan ini akan mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan perempuan dengan
menggunakan analisis sosial dan hasilnya agama
dalam
hal ini Islam memberikan kesempatan yang luas
bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai
hal.
Perempuan dalam Islam di era modern ini sudah
menjalani fungsi yang signifikan di
ruang publik. Mereka tidak lagi terkurung dalam
ruang domestik. Bahkan banyak diantaranya telah
menjadi pemimpin pada suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu bahkan menjadi

5
pemimpin daerah dan negara. Meski demikian
tak jarang perempuan masih diposisikan
sebagai
makhluk kedua (the second sex). Kenyataan ini
nampak masih muncul dalam konteks keagamaan.
Misalnya dalam kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak menempati jabatan
tertinggi. Perempuan tetap di anggap tidak
memiliki karakter laki-laki seperti pemberani
dan kuat
yang di anggap sebagai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tulisan ini akan mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan perempuan dengan
menggunakan analisis sosial dan hasilnya agama
dalam
hal ini Islam memberikan kesempatan yang luas
bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai
hal.
Perempuan dalam Islam di era modern ini sudah
menjalani fungsi yang signifikan di
ruang publik. Mereka tidak lagi terkurung dalam
ruang domestik. Bahkan banyak diantaranya telah
menjadi pemimpin pada suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu bahkan menjadi
pemimpin daerah dan negara. Meski demikian
tak jarang perempuan masih diposisikan
sebagai
6
makhluk kedua (the second sex). Kenyataan ini
nampak masih muncul dalam konteks keagamaan.
Misalnya dalam kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak menempati jabatan
tertinggi. Perempuan tetap di anggap tidak
memiliki karakter laki-laki seperti pemberani
dan kuat
yang di anggap sebagai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tulisan ini akan mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan perempuan dengan
menggunakan analisis sosial dan hasilnya agama
dalam
hal ini Islam memberikan kesempatan yang luas
bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai
ha
Perempuan dalam Islam di era modern ini sudah
menjalani fungsi yang signifikan di
ruang publik. Mereka tidak lagi terkurung dalam
ruang domestik. Bahkan banyak diantaranya telah
menjadi pemimpin pada suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu bahkan menjadi
pemimpin daerah dan negara. Meski demikian
tak jarang perempuan masih diposisikan
sebagai
makhluk kedua (the second sex). Kenyataan ini
nampak masih muncul dalam konteks keagamaan.

7
Misalnya dalam kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak menempati jabatan
tertinggi. Perempuan tetap di anggap tidak
memiliki karakter laki-laki seperti pemberani
dan kuat
yang di anggap sebagai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tulisan ini akan mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan perempuan dengan
menggunakan analisis sosial dan hasilnya agama
dalam
hal ini Islam memberikan kesempatan yang luas
bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai
hal.
Perempuan dalam Islam di
era modern ini sudah
menjalani fungsi yang
signifikan di
ruang publik. Mereka tidak
lagi terkurung dalam ruang
domestik. Bahkan banyak
diantaranya telah
8
menjadi pemimpin pada
suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu
bahkan menjadi
pemimpin daerah dan
negara. Meski demikian tak
jarang perempuan masih
diposisikan sebagai
makhluk kedua (the second
sex). Kenyataan ini nampak
masih muncul dalam konteks
keagamaan.
Misalnya dalam
kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak
menempati jabatan
9
tertinggi. Perempuan tetap di
anggap tidak memiliki
karakter laki-laki seperti
pemberani dan kuat
yang di anggap sebagai
potensi untuk menjadi
pemimpin. Tulisan ini akan
mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan
perempuan dengan
menggunakan analisis sosial
dan hasilnya agama dalam
hal ini Islam memberikan
kesempatan yang luas bagi
perempuan untuk berkiprah
dalam berbagai
10
hal.
Perempuan dalam Islam di
era modern ini sudah
menjalani fungsi yang
signifikan di
ruang publik. Mereka tidak
lagi terkurung dalam ruang
domestik. Bahkan banyak
diantaranya telah
menjadi pemimpin pada
suatu komunitas atau
organisasi-organisasi tertentu
bahkan menjadi
pemimpin daerah dan
negara. Meski demikian tak

11
jarang perempuan masih
diposisikan sebagai
makhluk kedua (the second
sex). Kenyataan ini nampak
masih muncul dalam konteks
keagamaan.
Misalnya dalam
kepemimpinan Islam mereka
diposisikan sebaiknya tidak
menempati jabatan
tertinggi. Perempuan tetap di
anggap tidak memiliki
karakter laki-laki seperti
pemberani dan kuat
yang di anggap sebagai
potensi untuk menjadi
12
pemimpin. Tulisan ini akan
mencoba mengurai
persoalan kepemimpinan
perempuan dengan
menggunakan analisis sosial
dan hasilnya agama dalam
hal ini Islam memberikan
kesempatan yang luas bagi
perempuan untuk berkiprah
dalam berbagai
hal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. mengapa semakin banyak pesantren yang terlibat dalam politik?
2. apa motif yang melatar belakangai?
3. bagaimana dampak keterlibatan yang ditimbulkan dari keterlibatan ponpes?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
a Untuk mengetahui tujuan pondok pesantren terlibat dalam dunia perpolitikan.

13
b.untuk mengetahui motif penggerak tujuan pesantren dalam mengikuti politik.
b.untuk mengetahui apa dampak yang di timbulkan pesantren dalam keterlibatan politik.

2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dikatagorikan menjadi dua yaitu; manfaat penelitian secara
teoritis dan manfaat penelitian secara praktis.
Memahami manfaat penelitian secara teoritis adalah berhubungan dengan pengembangan
ilmu pengetahuan, pengembangan penelitian teoritis diharapkan dapat berguna dalam
pengembangan ilmu sekaligus tambahan ilmu pengetahuan mengenai studi.
Adapun penelitian secara praktis adalah berhubungan dengan peneliti itu sendiri dan pembaca,
manfaat penelitian pratis diharapkannya dapat memberikan kontribusi kepada pembaca
mengenai pemahaman suatu ilmu pengetahuan.

D. Ruang Lingkup dan Seeting Penelitian

Ruang lingkup pada penelitian ini adalah berkaitan dengan posisi pesantren
ihya ulumudin di tengah banyaknya partai islam, penelitian berfokus untuk meneliti
pondok pesantren ihya ulumudin dalam memposisikan atau mendukung banyaknya
partai islam yang marak mejamur di dunia perpolitikan di indonesia.

Daftar Pustaka
Saidin Ernas. Journal, Dampak keterlibatan pesantren dalam dunia politik. Kontekstualita,
Vol. 25, No. 2, 2010. dampak ponpes terhadap politik.pdf.
Ifadah, A. (2021). RESISTENSI SANTRI PADA FATWA KIAI. Paradigma, 10(1).
Pasa, M. F. I., & Marzuki, M. (2021). Partisipasi Politik Santri Pondok Pesantren Al
Luqmaniyyah Dalam Pasangan Joko Widodo Dan KH Ma’ruf Amin Pada
Pilpres Tahun 2019. E-CIVICS, 10(5), 522-534.

14

Anda mungkin juga menyukai