Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Tarjih - Volume 13 Nomor 1 (2016), hlm.

67-80

ULAMA SEBAGAI PENYEIMBANG KEKUATAN SOSIAL


POLITIK DI INDONESIA

Okrisal Eka Putra


Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
okrisal@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini mengkaji kaitan agama dengan bidang kehidupan sosial yang menjadikan
politik sebagai salah satu ruang lingkupnya. Mulai dari zaman Orde Lama, Orde Baru,
bahkan zaman reformasi pun, partai Islam yang nota bene merupakan perwakilan
aspirasi politik umat Islam tidak pernah menjadi pemenang dalam setiap pemilu.
Pertanyaannya adalah ada apa dengan umat Islam Indonesia sehingga dalam setiap
proses demokrasi hanya dimanfaatkan oleh kelompok yang ingin meraih kekuasaan di
negeri ini. Tulisan ini memperkaya khazanah pemikiran tentang peran ulama dalam
bidang politik dan juga dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam dalam kehidupan
bernegara. Permasalahannya berdasar pada pemahaman umat Islam tentang kekuasaan,
ayat, dan hadis yang berisi tentang kekuasaan yang selalu multi intrepretatif, yang pada
gilirannya melahirkan puspawarna pemahaman dan mengkristal menjadi kelompok yang
solid. Perbedaan itu cenderung sulit disatukan dalam satu wadah politik. Eksistensi
primodialisme lebih menonjol daripada memikirkan kemajuan umat Islam dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kata kunci: ulama dan politik, islam dan orde baru

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
68 Okrisal Eka Putra

Pendahuluan kata yang terucap adalah himbauan


Sejak era prakemerdekaan persatuan dan memerangi perpecahan
hampir tidak ada peristiwa sejarah umat. Kalau selama ini para ulama
penting dalam perjalanan berbangsa mengejawantahkan nilai ini dalam ruang
dan bernegara ini melainkan pasti lingkup kecil seperti pesantren, yayasan
melibatkan ulama sebagai poros utama pendidikan, dan lembaga-lembaga
proses penyadaran masyarakat tentang keagamaan, sekarang ulama dituntut
makna kemerdekaan. Ulama selalu lebih luas untuk menguasai disiplin ilmu
tampil pertama untuk mengajarkan yang komprehensif agar terintegrasi
kesadaran kolektif untuk memulai dengan nilai-nilai agama yang luhur.
perubahan. Seiring berjalannya waktu, Ulama juga tidak boleh gaptek terhadap
setelah kemerdekaan sampai era perkembangan tekonologi, karena
reformasi inipun umat islam mulai kemajuan tekonologi kalau tidak dikawal
kesulitan menemukan sosok ulama yang batasan-batasan agama akan merubah
mumpuni di masyarakat. Yang muncul menjadi senjata yang bisa mengancam
saat ini adalah ulama-ulama yang perabadaban manusia.
hanya ahli dalam bidang agama, tapi Fenomena ini dilandasi oleh
mengenyampingkan kemajuan ilmu- tipologi pemikiran formalistik, yakni
ilmu eksakta. lebih ironis lagi ulama pemikiran yang mengutamakan
hari ini lebih mementingkan benefit peneguhan dan ketaatan yang ketat pada
personal dengan lebih dikenal sebagai format ajaran Islam. Hal ini semakin
artis ketimbang ketokohan ulamanya, diperkuat dengan adanya konsep sakral
bahkan tidak tampil sebagai negarawan yang melingkupi nilai-nilai keagamaan
sejati sehingga mudah dipermainkan sehingga hal tersebut tidak mudah
oleh pihak-pihak yang ingin mengambil untuk dirubah dan memiliki otoritas
keuntungan dari ke-mayoritas-an umat yang kuat di masyarakat.1
islam di Indonesia. Akibatnya umat Salah satu godaan juga terhadap
Islam dapat terjebak dalam egoisme ulama adalah godaan politik, para ulama
sektoral yang berlebihan. Oleh karena yang selama ini dianggap manusia suci
itu kehadiran ulama makin dirasakan 1.  Dengan mendasarkan pada perspe-
kebutuhannya sebagai sebuah mediator ktif fungsionalis, Thomas F. O’Dea mengung-
kapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam
silaturahmi nasional umat Islam demi menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala
terciptanya persatuan dan kesatuan pandangan tentang dunia luar yang tidak
serta kebersamaan umat Islam. terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua,
Dalam sebuah etika yang tidak sarana ritual yang memungkinkan hubungan
tertulis para ulama mempunyai tanggung manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang
memberikan jaminan dan keselamatan bagi
jawab mendidik umat dengan nilai-nilai manusia; Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama:
luhur dan menyatukan umat dalam Suatu Pengenalan Awal ( Jakarta: PT Raja
harmonisasi bingkai kenegaraan, setiap Grafindo Persada, 1995), hlm.25-9.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Ulama ebagai Penyeimbang Kekuatan Sosial Politik di Indonesia 69

keulamaan mereka yang pada giliran


selanjutnya menghilangkan kewibawaan
agama.
juga tidak bisa mengelak dari fenomena Ta p i s i k a p i d e a l i s t i k i n i
bar u ini, kesucian mereka akan sering mendapatkan godaan dari
dipertaruhkan dengan dunia politik kelompok yang ingin memanfaatkan
yang sarat dengan aroma kelicikan kekarismatikan para ulama. Para pelaku
dan kobohongan, sebuah nilai yang poltik di negari ini yakin dengan sebuah
sangat mereka tentang dan jauhi serta hipotesa bahwa jika kekuasaan politik
ditanamkan kepada generasi muda. Tapi kuat, jadi hampir bisa dipastikan bahwa
bukan berarti para tokoh agama harus kekuatan ulama menjadi merosot.
menjauhi dunia politik dan lembaga Sebaliknya jika kekuasaan politik
pemerintahan, karena mendiamkan mengalami kemerosotan, maka ulama
kemaksiatan dan kemunafikan juga bisa tampil ke depan untuk mengisi
merupakan dosa karena melalaikan kevakuman kepemimpinan masyarakat.
tugas kenabian yang mereka emban. Tetapi tak jarang keterlibatan
Peran ulama juga dibutuhkan sebagai para ulama dalam berpolitik bukan
pengontrol kekuasaan. Maka mereka karena paksaan dan iming-iming
terpanggil untuk berperan aktif dalam sesuatu, mereka terjun ke kancah
membangun masyarakat seperti yang politik dengan kesadaran pribadi
pernah dilakukan oleh para ulama menggunakan argumen keadilan dan
pada zaman penjajahan dan perjuangan demokratisasi, karena menurut mereka
kemerdekaan. stabilitas politik merupakan persyaratan
mutlak untuk terseleng g aranya
Ulama dalam Pusaran Dinamika kewajiban-kewajiban agama. Dan
Politik sebaliknya kekacauan atau situasi
Pada tingkat konseptual dan akan mengakibatkan terganggunya
tataran praktis terdapat hubungan pelaksanaan kewajiban agama. Hal ini
yang problematik antara ad-dīn (agama) yang sering mendorong pada tokoh
dan siyāsah (politik). Akibatnya tidak agama memberikan legitimasi kepada
jarang terjadi ketegangan dan tarik kekuasaan, walaupun kadang kekuasaan
menarik penafsiran. Karena ketegangan itu diperoleh dengan cara yang tidak
tersebut, bisa dipahami ada kalangan wajar.
ulama yang secara cukup idealistik dan Pe r a n p a r a u l a m a d a l a m
memegangi ajaran-ajaran normatif masyarakat sesungguhnya memiliki
agama berusaha menjauhkan diri arti penting, ulama memiliki wibawa,
serta menjaga jarak dengan politik. karisma dan jelas dihormati masyarakat
Anggapan mereka berpolitik akan karena keluhuran akhlaknya. hal ini
mengurangi dan mengerogoti integritas akan berbeda ketika para tokoh agama

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
70 Okrisal Eka Putra

masuk dalam permainan politik yang secara adil dan seimbang apabila terjadi
mengharuskan ada lawan dan kawan. konflik antara penghuni bangsa ini.
keterlibatan ulama dalam permainan sebab, walaupun politik adalah suatu
politik akan membuat karisma dan karsa untuk menegakkan moralitas dan
wibawa perlahan-lahan akan terkikis rasionalitas publik, tetapi kenyataan di
dalam pandangan masyarakat yang negara kita masih jauh panggang dari
bukan kelompoknya. pada api. kedua, profesi politisi ternyata
Ulama sebagai tokoh panutan jauh lebih menggiurkanpadahal praktik
bagi masyarakat, hendaknya bisa politik kita bukan lahan subur untuk
bersikap netral di tengah masyarakat. idealitas dan perjuangan moral.2
ulama juga dituntut untuk memiliki Ulama har us pandai dalam
keberanian mengatakan yang benar, menunjukkan ragam isu pada umat,
itu benar dan salah itu salah. penguasa baik lewat tulisan maupun perbuatan,
harus bisa menghargai pendapat dan mulai dari kritik ekonomi, kebijakan
kritik dari ulama, walaupun itu terasa pemerintah, kebudayaan, politik,
pahit. lewat kejujuran dan keteladanan bahkan musik. tegasnya fungsi ulama
moral yang dimiliki ulama, diharapkan adalah berbicara benar pada kekuasaan,
mampu menghapus berbagai kegelapan terlebih pada penguasa yang lalim,
yang melanda masyarakat saat ini. korup,dan otoriter. oleh karena itu
Ulama memiliki peran yang cukup ulama ideal adalah mereka yang berani
penting di tengah masyarakat bagaikan menderita untuk idealismenya, yang
benteng moralitas, teladan ukhuwah berani mengatakan kebenaran walaupun
dan penyubur batin bagi masyarakat pahit, berani miskin walaupun diejek,
yang dilanda kegersangan spiritual. berani kritis walau dilecehkan, dan yang
ada yang menilai, bahwa ulama saat berani berbeda walaupun dianggap
ini telah mengalami pergeseran nilai, melawan arus. 3
sehingga karisma yang dimiliki ulama Dalam kaitannya dengan politik,
saat ini seolah mengalami kelenturan knowledge yang dimiliki para ulama
karena banyak godaan materialisme merupakan power yang sangat potensial
yang melanda ulama. digunakan untuk menggalang umat
Kalau diperhatikan ketika ulama secara keseluruhan guna mewujudkan
yang bermetamorfosis menjadi politisi. suatu tindakan atau proses politik
pertama, jagad keulamaan bangsa ini tertentu. Ini bisa dilihat ketika proses
akan mengalami penurunan moral. Kita memberikan suara dalam pemilu,
akan kehabisan cadangan independen masyarakat awam bukan hanya
yang mendudukkan dirinya di posisi
tengah-tengah antara rakyat dan 2.  Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie
Haryono, Manuver Politik Ulama (Yogyakarta:
pemerintah. kita akan kekurangan Jalasutra, 2004), hlm. 11,13.
manusia yang mampu menjaga jarak 3.  Ibid., hlm. 15.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Ulama ebagai Penyeimbang Kekuatan Sosial Politik di Indonesia 71

memahami sebagai tindakan politik, Politisi Muslim: Antara Nurani


tapi sebuah tindakan keagamaan bahkan dan Kekuasaan
ibadah, karena yang memerintahkan Politik Islam secara substansial
adalah ulama. mer upakan penghadapan Islam
Untuk kede pan kita tentu dengan kekuasaan dan negara yang
mengharapkan ulama kembali ke tugas melahirkan sikap dan perilaku (political
pokoknya yaitu memberikan bimbingan behavior) serta budaya politik (political
dan tuntunan kepada umat dalam culture) yang berorentasi pada nilai-nilai
mewujudkan kehidupan beragama Islam. Kecurigaan terhadap sesama
dan bermasyarakat yang sesuai dengan orang Islam ini karena didasari oleh
tuntunan Ilahi, memberikan nasihat dan ketidaktahuan, lebih dari itu adalah
fatwa mengenai masalah keagamaan wacana yang dikembangkan pada
dan kemasyarakatan kepada pemerintah zaman orde Baru bahwa Islam di
dan masyarakat, melakukan terobosan- Indonesia hanya ada 2 yaitu Islam
terobosan untuk terwujudnya ukhuwah tradisional yaitu NU dan Islam modern
Islamiyah dan kerukunan antar-umat yaitu Muhamadiyah.4 Dikotomi Islam
beragama,menjadi mediator antara umat yang mengkutub pada Gerakan
dan umaro guna menciptakan masyarakat Muhamadiyah dan Nahdhatul Ulama
madani, menjembatani hubungan serta yang menjadi simbol Islam modernis
kerjasama antar organisasi, lembaga dan Islam tradisional selama puluhan
Islam dan cendekiawan muslimin agar tahun telah menjadi wacana baku dalam
tidak mudah diadu domba. mengkaji Islam di Indonesia. Orang
Untuk kepentingan dakwah selalu saja mengkaitkan Islam dengan
jangka panjang, perlu juga dipikirkan Muhamadiyah dan NU. Jika ada gerakan
kembali penyaluran aspirasi umat islam
melalui para tokoh agama. Artinya,
kalau memang ulama dianggap sebagai 4.  Muhamadiyah dan NU menjadi
tokoh perekat tali ukhuwah di tengah mainstream wacana Islam di Indonesia, bukan
masyarakat, maka ada baiknya jika hanya karena jumlah massa yang besar. Bahwa
kepada ulama dan semua tokoh-tokoh Muhamadiyah dan NU selain karena jumlah
masanya yang besar, juga karena kedua organ-
agama diberi jatah kursi di legislatif isasi Islam itu mau mendukung penguasa orde
sebagai fraksi khusus sebagaimana dulu baru. Beberapa orang pemerintah ditempatkan
fraksi TNI/Polri. Sehingga aspirasi menjadi pengurus di kedua organisasi itu.
umat melalui ulama bisa disalurkan Penerimaan Pancasila oleh Muhamadiyah dan
dan memang sangat dibutuhkan untuk NU sebagai satu-satunya asas adalah simbol
ketundukan kedua organisasi itu terhadap
menciptakan negara Indonesia yang kekuasaan pemerintah orde baru. Dalam
sejahtera dan sejajar dengan negara lain. konteks ini Pancasila diposisikan sebagai totem,
atau malah sebagai sebagai “agama” yang dipak-
sakan oleh oleh pemerintah untuk diterima oleh
semua lapisan masyarakat.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
72 Okrisal Eka Putra

atau kelompok di luar Muhamadiyah5 yang mencakup kewajiban-kewajiban


dan NU maka akan segera dicap sebagai seorang muslim kepada Tuhan (sholat,
Islam sempalan, dan lebih ekstrem lagi puasa, pergi haji) dan kewajiban-
dicap sebagai Islam aliran sesat yang kewajiban kepada sesama manusia
harus dilarang dan dibubarkan. (hukum, keluarga, perdagangan,
Sikap perilaku serta budaya politik pidana). Oleh karena itu, tradisi Islam
memakai kata sifat Islam, hal ini berarti menawarkan suatu sistem normatif
lahir dari suatu keprihatinan moral dan dimana agama adalah integral dengan
doktinal terhadap keutuhan komunitas semua aspek kehidupan baik muslim
spritual Islam akan adanya gerakan politik, ekonomi baru telah banyak
dakwah. Indonesia dikenal sebagai dianalisis oleh para pengamat politik.
negara berpenduduk muslim terbesar Sejak awal, para pemimpin dan
di seluruh dunia. Islam menjadi faktor aktivis muslim sadar bahwa perbaikan
penting yang harus dipertimbangkan kondisi yang memprihatinkan itu
apabila ingin memahami politik memerlukan perjuangan politik, yaitu
Indonesia. Salah satu ciri khas dari berurusan dengan upaya memperoleh
tradisi keislaman adalah kepercayaan kekuasaan. Sebagai suatu kemampuan
bahwa Islam mer upakan sebuah untuk mempengaruhi tindakan dan
pandangan hidup yang menyeluruh pikiran orang lain dan mempengaruhi
dan terpadu. Agama mempunyai suatu proses pembuatan kebijakan
hubungan yang integral dan organik publik, kekuasaan sangat penting.
dengan politik dan masyarakat. Cita- Apapun tujuan akhir yang hendak
cita keislaman itu tercermin dalam diperjuangkan, setiap aktivis harus
perkembangan hukum Islam yang mencapai tujuan antara memperoleh
merupakan sebuah hukum terpadu, kemampuan mempengaruhi orang
dan proses kebijakan. Dengan kata
5.  Sebelum kemerdekaan Indonesia, lain, harus memperoleh kekuasaan.
ada tiga hal yang menarik dari gerakan Muham-
madiyah, yaitu: pertama, Muhammadiyah
Tujuan akhir seperti mengurangi
merupakan gerakan pembaharuan Islam yang kemiskinan rakyat pasti memerlukan
ide-idenya telah menyumbangkan pemeliharaan kemampuan mempengaruhi proses
Islam sehingga menjadi satu unsur penting kebijakan publik, jadi persoalan
dalam perpolitikan Indonesia. Kedua, Muham- politik dan kekuasaan selalu inheren
madiyah telah tampil menghadapi berbagai
ancaman ideologi politik modern seperti
di dalam setiap perjuangan. Dalam
kolonialisme dan sekulerisme. Ketiga, Muham- pengertian ini, perjuangan politik untuk
madiyah tetap bertahan dan memiliki akar kuat membebaskan umat Islam sendiri
dalam masyarakat, walaupun seringkali timbul dari kemiskinan adalah persoalan
persoalan intern. Selanjutnya baca Teuku enpowerment atau pemberdayaan
Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 340-343.
umat, yaitu pemberiaan daya pada
mereka sehingga bisa menyelesaikan

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Ulama ebagai Penyeimbang Kekuatan Sosial Politik di Indonesia 73

sendiri persoalan hidupnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat, sampai


lebih baik. perjuangan fisik, hal ini bisa dilihat
Namun yang sangat disayangkan, dari perlawanan kelompok Islam yang
untuk mewujudkan itu semua, para mengatasnamakan Islam sebagai simbol
aktivis muslim menempuh metoda dan perjuangan melawan pemerintah. Dan
strategi yang berbeda-beda, bahkan juga untuk menegaskan identitas yang
terkesan saling bertentangan dan membedakan diri dengan kelompok
seolah-olah berhadapan. Dari semua lain, sampai penguasaan birokrasi
strategi tersebut bisa disimpulkan pemerintah. Paling tidak sampai akhir
menjadi dua metoda: pertama adalah, 1980-an, hampir semua upaya itu
strategi islamisasi neg ara demi mengalami kegagalan. Ternyata strategi
masyarakat dan yang kedua adalah, ini tidak cukup kuat untuk membuat
strategi islamisasi masyarakat dalam pemegang kekuasaan mengakomodasi
negara nasional. Untuk memudahkan tuntutan mereka.
pemahaman terhadap dua strategi Diantara para pembuat strategi
tersebut bisa dijelaskan, jika model ini sedikit memudar, karena di akhir
pertama berasumsi bahwa negara tahun 1970-an muncul satu generasi
harus mengatur kehidupan masyarakat Islam dengan mutu intelektual yang
berdasarkan hukum Islam, maka strategi lebih baik dan tentu saja lebih mampu
kedua berasumsi bahwa negara tidak bersaing memperebutkan jabatan
terlalu ikut campur dalam kehidupan publik maupun politik. Dalam arena
masyarakat. politik muncul pula sekelompok lain
Untuk strategi pertama bisa dilihat dengan agenda yang lebih canggih.
dari perjalanan sejarah perjuangan Sumber dari hubungan yang
pada masa awal kemerdekaan itu canggung antara dakwah dan politik
mendorong para pemimpin Islam menurut Azyumardi Azra karena
untuk menerapkan kebijakan yang berkaitan dengan kenyataan bahwa din
konfrontatif, dalam wilayah aplikasi bisa dalam pengertian terbatas berkenaan
muncul dalam beragam wajah, seperti dengan bidang-bidang ilahiah, yang
memperjuangkan pemuatan hukum- bersifat suci dan sakral, meski bau
hukum Islam dalam konstitusi (melalui “keagamaan” bisa melekat dalam
Piagam Jakarta) dan penguasaan berlarut-larut yang pada akhirnya dibentuklah
dalam pembuat undang-undang,6 yaitu tim perumus yang beranggotakan 18 orang yang
mewakili masing-masing kelompok. Namun
6.  Setelah pemilu 1955 dan memun- sebelum berhasil menemukan kata sepakat, tim
culkan empat kekuatan besar yaitu: PNI, perumus tersebut dibubarkan oleh presiden
Masyumi, NU, dan PKI. Mereka beradu Soekarno karena sampai tanggal 2 juni 1959
argumentasi kembali mengenai dasar negara. belum juga ada kesepakatan, dengan dikeluar-
Ada tiga ideologi yang ditawarkan, yaitu Islam, kannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Konstitu-
Pancasila, dan Sosial-Ekonomi. Akan tetapi ante dibubarkan dan Demokrasi Parlementer
dalam perjalanannya pembahasan tentang ini diganti menjadi Demokrasi Terpimpin.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
74 Okrisal Eka Putra

tindakan politik, tetapi politik (siyasah) kiai terseret kondisi yang tidak sesuai
umumnya jelas merupakan bidang dengan nilai-nilai luhur agama.8
profan atau keduniaan. Apalagi by
definition, politik menyangkut upaya Peran Lembaga Pendidikan Islam
merebut, mempertahankan atau Di seluruh dunia Islam
melang gengkan kekuasaan, kalau ‑‑termasuk Indonesia‑‑ pembaruan
perlu dengan cara apapun. Jadi, by pendidikan Islam itu terwujud dalam
nature politik adalah “permainan”, yang dua langkah utama. Pertama, mendirikan
melibatkan berbagai macam tindakan lembaga-lembaga pendidikan baru
dan trick atau bahkan memanipulasi dengan menerapkan sistem pendidikan
yang tidak selaras dengan norma-norma modern. Kedua, mentrasformasikan
ilahiah atau agama. Di sinilah terdapat lembaga-lembaga pendidikan
akar-akar ketegangan konseptual antara tradisional menjadi lembaga-lembaga
norma-norma agama dengan politik, pendidikan modern. Dua cara tersebut
yang tidak selalu dengan mudah dapat dilakukan dengan cara mengadopsi
didamaikan.7 sistem pendididkan Barat. Untuk
Bila dunia politik dan dunia kasus Indonesia, mengadopsi sistem
dakwah dicermati, ada perbedaan amat pendidikan modern itu diperkenalkan
kontras. Kalau dunia politik penuh oleh pemerintah kolonial Belanda.
siasat bahkan tipu muslihat untuk Pembaruan pendidikan Islam di
mencapai sesuatu yang diinginkan. Indonesia khususnya dalam dasawarsa
Bahkan dalam kamus politik disebutkan 70-an lebih ditentukan oleh tangan-
yang berbicara adalah kepentingan tangan birokrasi. Gabungan Usaha
dan tidak mengenal kawan dan musuh Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI)
abadi. Itulah dalam praktek politik sejak berdirinya bertujuan melakukan
sering terjadi tindakan menghalalkan pembaruan pendidikan Islam, dalam
segala cara untuk mencapai tujuan. perkembangan berikutnya bergabung
Untuk itu apabila bila seorang kiai dengan salah satu kekuatan politik.
ingin memperbaiki keadaan yang rusak, Proses “urbanisasi” di lingkungan
sebaiknya dilakukan lewat seruan GUPPI melalui tangan birokrasi
dakwah. Jangan sampai seorang kiai pemerintah, bahkan mengikatkan diri
melibatkan diri dalam politik praktis, dengan Golkar yang merupakan mesin
sebab dikhawatirkan akan mengabaikan politik utama pemerintah Orde Baru. 9
kewajiban terhadap pembinaan 8.  Deliar Noer, Umat Islam di Panggung
masyarakat. Bahkan godaan politik yang Politik (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 112.
ada dikhawatirkan bisa membuat para 9.  Pendirian berbagai organisasi-organ-
isasi keagamaan Islam oleh GOLKAR meru-
7.  Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan pakan upaya untuk “menjinakkan” kekuatan
Agama dan Negara (Jakarta: Kompas, 2002), Islam politik. Disamping GUPPI, GOLKAR
hlm. 119. mendirikan Majelis Dakwah Islamiah (MDI),

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Ulama ebagai Penyeimbang Kekuatan Sosial Politik di Indonesia 75

Afiliasi terhadap salah satu cenderung disebabkan oleh terjadinya


kekuatan politik yang dilakukan oleh tarik-menarik antara sistem pendidikan
GUPPI tersebut pada masanya sangat tradisional dengan munculnya lembaga
beralasan, sebab pemerintah Orde pendidikan modern dari Barat. Ki
Baru menjadikan birokrasi sebagai alat Hajar Dewantara menyadari bahwa
efektif untuk menggerakkan program ulama telah melahirkan sistem
moder nisasi dan pembangunan. budaya kerakyatan yang bercorak
Dengan cara ini, birokrasi Orde Baru kemasyarakatan dan politik, disamping
berporos pada kekuatan teknokrat sipil spritual. Hal ini terbukti banyaknya para
dan militer, menjadi kekuatan yang alumni pesantren yang melanjutkan
tangguh dalam konstalasi Indonesia. studi ke universitas terkemuka baik di
Sayangnya, kesadaran untuk dalam maupun luar negeri.10 Madrasah
menjadikan politik sebagai strategi di Indonesia yang dikelola oleh suatu
pembaruan pendidikan tidak ditentukan organisasi sosial kemasyarakatan
oleh GUPPI. Keterlibatannya dalam banyak dipengaruhi oleh orientasi
politik lebih disebabkan oleh dorongan- organisasinya. Madrasah yang didirikan
dorongan dari luar organisasi. Dengan Muhammadiyah lebih bersifat ala
demikian, GUPPI yang hendak Muhammadiyah. Demikian halnya
menggunakan pengaruh politiknya deng an madrasah yang dikelola
untuk meng adakan pembar uan NU orientasi pendidikannya lebih
pendidikan Islam malah jadi sebaliknya, menitikberatkan pada kemurnian
yakni pendidikannya terkubur oleh misi mazhab.
politik. Konsekuensi dari keragaman
Sering dilupakan oleh banyak orientasi pendidikan tersebut adalah
kalangan bahwa salah satu aspek munculnya para tokoh formal dan
penting dalam pendidikan Islam adalah informal yang memiliki pemikiran
aspek politik. Dalam aspek ini dijelaskan dan pergerakan politik yang berbeda.11
hubungan antara masyarakat dengan
pemerintah, sistem pemerintahan, 10.  M. Dawan Raharjo, Intelektual, Intele-
hubungan antar negara, hubungan antar gensia, dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan
organisasi dan lain-lain. Atas dasar ini, Muslim (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 192; lihat
juga Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia
antara pendidikan Islam dan politik (Jakarta: Yayasan Risalah, 1983), hlm. 6-7.
punya hubungan erat yang sulit untuk 11.  Azyumardi Azra, “Pendidikan
dipisahkan. Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, Sebuah
Kemu n cu l a n m a d r a s a h d i Pengantar”, dalam Charles Michael Stanton,
Indonesia merupakan konsekuensi Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan
Hasan Asari (Jakarta: Logos, 1994); baca juga
dari proses modernisasi surau yang Lambton, State and Government in Medievel Islam,
An Introduction to the Study of Islamic Political
Satkar Ulama, Al Hidayah (kelompok pengajian Theory: The Yurists (Oxford: Oxford University
wanita GOLKAR). Press, 1991), hlm. 23.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
76 Okrisal Eka Putra

Ada yang berfikir lebih modernis, diantaranya untuk menciptakan


fundamentalis, tradisionalis dan dan memperkokoh citra penguasa
nasionalis. Meski perilaku politik sebagai orang-orang yang mempunyai
seorang tokoh semata-mata tidak hanya kesalehan, minat dan kepedulian umat,
ditentukan oleh institusi pendidikan dan hal ini lebih penting lagi yaitu
tertentu dan masih ada faktor lain sebagai pembela ortodosi Islam.
(lingkungan, sosiokultural, potensi Semua ini pada gilirannya untuk
berfikir, dan lain sebagainya), namun memperkuat legitimasi penguasa vis
pengaruh suatu institusi pendidikan a vis rakyat. Menurut Azyumardi,
cukup berarti dalam membentuk bahwa lembaga-lembaga pendidikan
karakter dan kepribadian seseorang Islam sejak masa klasik hing g a
untuk mempunyai paradigma berpikir masa pertengahan, atau tepatnya
yang berbeda. Sebagai contoh apa yang masa pramodern, tidak menjadikan
diungkapkan oleh Geertz, seorang santri “pendidikan politik” sebagai agenda.
(penganut aliran Islam) akan memilih Sebagaimana diketahui bahwa lembaga-
Masyumi atau partai NU tepatnya sejak lembaga pendidikan Islam di masa-
1952. Seorang yang berasal dari kelurga masa tersebut lebih merupakan salah
priyayi (pegawai) dan kaum abangan satu wahana utama bagi transisi
akan memilih Partai Nasional Indonesia bahkan” pengawetan ilmu-ilmu Islam”,
(PNI). Dengan demikian, Geertz meski pendirian madrasah, misalnya
menyimpulkan bahwa peranan politik sering dikaitkan erat dengan motif-
seseorang pastilah sesuai dengan basis motif politik, namun jika ditelusuri
sosial dan ideologinya. Peranan politik lebih jauh terdapat indikasi yang kuat
orang Indonesia selalu sejalan dengan bahwa ia tidak terlibat dalam proses-
corak keagamaan yang dianutnya, yang proses politik. Absolutisme politik
oleh Geertz disebutnya sebagai aliran. muslim sebagaimana terlibat dalam
Kesimpulan ini diperolehnya setelah ia eksistensi berbagai macam dinasti
mengadakan penelitian di “Mojokuto” tidak memberikan ruang, bukan hanya
(nama samaran untuk kota Pare, Kediri, bagi keterlibatan komunitas madrasah,
Timur Jawa) pada tahun 1950-an. melainkan bahkan masyarakat muslim
Signifikansi dan implikasi politik umumya, untuk turut serta dalam
terhadap pendidikan suatu institusi proses-proses politik, dan mewujudkan
pendidikan dan peng embang an partisipasi politik mereka.12
madrasah atau pendidikan Islam pada Pendidikan politik, dengan
umumnya bagi penguasa muslim sudah demikian mungkin sedikit sekali
sangat jelas. Dalam banyak kasus,
madrasah-madrasah didirikan untuk 12.  Azyumardi Azra, “Sosialisasi Politik
dan Pendidikan Islam”, Jurnal Komunikasi Dunia
menunjang kepentingan-kepentingan Perguruan Madrasah, Vol. I, nomor, 02/1/1997,
politik tertentu dari penguasa muslim, hlm. 22.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Ulama ebagai Penyeimbang Kekuatan Sosial Politik di Indonesia 77

mempunyai relavansi dengan sistem ini disebabkan karena pada tataran


dan kelembagaan pendidikan Islam konseptual sudah mengandung masalah
klasik dan abad pertengahan. Tetapi yang rumit. Sebut saja pembahasan
ini tidak berarti bahwa apa yang kita tentang konsep politik, pada tahap
sebut sebagai “pendidikan politik” ini saja sudah melahirkan beberapa
‑‑terlepas dari tingkatan intensitas dan presepsi yang berbeda-beda, belum lagi
kedalamannya tidak berlangsung dalam berbenturan dengan tradisi politik lokal.
masyarakat muslim umumnya. Bahkan Pada tingkat konseptual dan
“pendidikan politik” itu mungkin tataran praktis terdapat hubungan
menjadi salah satu fokus utama bagi yang problematik antara ad-dīn (agama)
para pemikir politik muslim untuk dan siyāsah (politik). Akibatnya tidak
merumuskan dan mengajarkan hak- jarang terjadi ketegangan dan tarik
hak dan kewajiban timbal balik antara menarik penafsiran. Karena ketegangan
penguasa dan rakyat. Bahkan para tersebut, bisa dipahami ada kalangan
pemikir semacam ini menerbitkan ulama yang secara cukup idealistik dan
kitab-kitab panduan, termasuk karya memegangi ajaran-ajaran normatif
al-Ghazali Naṣīḥat al-Mulk yang agama berusaha menjauhkan diri serta
diperuntukkan bagi para penguasa menjaga jarak dengan politik. Anggapan
dalam menjalankan kekuasaannya, mereka berpolitik akan mengurangi
semua hal yang bisa dipandang sebagai dan mengerogoti integritas keulamaan
“ pendidikan politik” ini pada umumnya mereka yang pada giliran selanjutnya
dilihat dari perspektif syariat dan fiqh.13 menghilangkan kewibawaan agama. Tapi
Deng an demikian, ter jadi sikap idealistik ini sering mendapatkan
ketidaksesuaian (incongruence) antara godaan dari kelompok yang ingin
sosialisasi politik yang diperoleh memanfaatkan kekarismatikan para
melalui pendidikan dengan apa yang ulama. Para pelaku poltik di negari
didapat dari lembaga-lembaga sosial ini yakin dengan sebuah hipotesa
lainnya. Kembali dalam konteks negara- bahwa jika kekuasaan politik kuat, jadi
negara muslim, ketidaksesuaian itu hampir bisa dipastikan bahwa kekuatan
disebabkan oleh dua factor, pertama, ulama menjadi merosot. Sebaliknya
tetap dominannya keutamaan keluarga jika kekuasaan politik mengalami
dalam proses sosialisasi masyarakat kemerosotan, maka ulama bisa tampil
yang sebagiannya bermukim di wilayah ke depan untuk mengisi kevakuman
pedesaan; kedua, sistem pendidikan kepemimpinan masyarakat. Tetapi tak
formal memikul beban sosialisasi yang jarang keterlibatan para ulama dalam
cukup berat. berpolitik bukan karena paksaan dan
Pembahasan politik Islam iming-iming sesuatu, mereka terjun ke
memang diakui sangat kompleks, hal kancah politik dengan kesadaran pribadi
menggunakan argumen keadilan dan
13.  Ibid., hlm. 23.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
78 Okrisal Eka Putra

demokratisasi, karena menurut mereka melanda masyarakat saat ini.


stabilitas politik merupakan persyaratan Ulama memiliki peran yang
mutlak untuk terseleng g aranya cukup penting di tengah masyarakat
kewajiban-kewajiban agama. Dan bagaikan benteng moralitas, teladan
sebaliknya kekacauan atau situasi ukhuwah dan penyubur batin bagi
akan mengakibatkan terganggunya masyarakat yang dilanda kegersangan
pelaksanaan kewajiban agama. Hal ini spiritual. ada yang menilai, bahwa ulama
yang sering mendorong pada tokoh saat ini telah mengalami pergeseran
agama memberikan legitimasi kepada nilai, sehingga karisma yang dimiliki
kekuasaan, walaupun kadang kekuasaan ulama saat ini seolah mengalami
itu diperoleh dengan cara yang tidak kelenturan karena banyak godaan
wajar. materialisme yang melanda ulama.
Ketika ada anggapan bahwa peran
Ulama Sebagai Penyeimbang politik kiai sudah mulai luntur mungkin
Kekuatan Politik ada juga benarnya. dalam hal ini, peran
Pe r a n p a r a u l a m a d a l a m ulama dalam bidang politik harus
masyarakat sesungguhnya memiliki jelas dibedakan. artinya dalam bidang
arti penting, ulama memiliki wibawa, agama kiai boleh saja menjadi panutan,
karisma dan jelas dihormati masyarakat namun dalam bidang politik belum
karena keluhuran akhlaknya. hal ini tentu demikian. hal ini menunjukkan
akan berbeda ketika para tokoh agama semakin dewasanya politik masyarakat.
masuk dalam permainan politik yang jadi untuk menentukan pilihan politik,
mengharuskan ada lawan dan kawan. masyarakat tidak lagi bergantung pada
keterlibatan ulama dalam permainan aspirasi politik kiai. Untuk kepentingan
politik akan membuat karisma dan dakwah jangka panjang, ulama sebaiknya
wibawa perlahan-lahan akan terkikis tidak perlu terlibat aktif dalam politik
dalam pandangan masyarakat yang praktis. ulama justru lebih baik kembali
bukan kelompoknya. Ulama sebagai pada peran ulamanya. barangkali untuk
tokoh panutan bagi masyarakat, menjaga kenetralan ulama pun, perlu
hendaknya bisa bersikap netral dipikirkan kembali penyaluran politik
di tengah masyarakat. ulama juga mereka. artinya, kalau memang ulama
dituntut untuk memiliki keberanian dianggap sebagai tokoh perekat tali
mengatakan yang benar, itu benar dan ukhuwah di tengah masyarakat, maka
salah itu salah. penguasa harus bisa ada baiknya jika kepada ulama dan
menghargai pendapat dan kritik dari semua tokoh-tokoh agama diberi
ulama, walaupun itu terasa pahit. lewat jatah kursi di dpr dan dprd. sehingga
kejujuran dan keteladanan moral yang aspirasi politik ulama memang tidak
dimiliki ulama, diharapkan mampu bisa dipasung.
menghapus berbagai kegelapan yang

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Ulama ebagai Penyeimbang Kekuatan Sosial Politik di Indonesia 79

Ada dua hal yang perlu dicermati pudarnya sikat kritis. Ulama harus
dengan makin maraknya gerbong ulama pandai dalam menunjukkan ragam isu
yang bermetamorfosis menjadi politisi. pada umat, baik lewat tulisan maupun
pertama, jagad keulamaan bangsa ini perbuatan, mulai dari kritik ekonomi,
akan mengalami defisit deposito kebijakan pemerintah, kebudayaan,
moral. kasarnya kita akan kehabisan politik, bahkan musik. tegasnya fungsi
deposito manusia independen yang ulama adalah berbicara benar pada
mendudukkan dirinya di posisi tengah- kekuasaan, terlebih pada penguasa yang
tengah antara rakyat dan pemerintah. lalim, korup,dan otoriter. oleh karena
kita akan kekurangan manusia yang itu ulama ideal adalah mereka yang
mampu menjaga jarak secara adil berani menderita untuk idealismenya,
dan seimbang apabila terjadi konflik yang berani mengatakan kebenaran
antara penghuni bangsa ini. sebab, walaupun pahit, berani miskin walaupun
walaupun politik adalah suatu karsa diejek, berani kritis walau dilecehkan,
untuk menegakkan moralitas dan dan yang berani berbeda walaupun
rasionalitas publik, tetapi kenyataan di dianggap melawan arus. 15
negara kita masih jauh panggang dari Dalam kaitannya dengan politik,
pada api. kedua, profesi politisi ternyata knowledge yang dimiliki para ulama
jauh lebih menggiurkan. para ulama merupakan power yang sangat potensial
merasa dengan berpolitik mereka akan digunakan untuk menggalang umat
ikut secara mudah memperjuangkan secara keseluruhan guna mewujudkan
idealitas dan moralitas. padahal praktik suatu tindakan atau proses politik
politik kita bukan lahan subur untuk tertentu. Ini bisa dilihat ketika proses
idealitas dan perjuangan moral. 14 memberikan suara dalam pemilu,
Seharusnya ulama menjaga jarak masyarakat awam bukan hanya
dari struktur kekuasaan, dan bukan memahami sebagai tindakan politik,
memamahnya mentah-mentah. tugas tapi sebuah tindakan keagamaan bahkan
seorang ulama dan intelektual agama ibadah, karena yang memerintahkan
tak lain dan tak bukan adalah terus adalah ulama.
menerus melakukan oposisi, yakni Pada akhirnya niat menegakkan
melakukan kritik terhadap apa-apa keadilan dan menciptakan kesatuan
yang merasa perlu dikritik. karena adalah tolak ukur partisipasi seorang
oposisionalitas merupakan kata kunci ulama dalam perjuangan melalui
dari fungsi ulama, maka gegar dan tapak beragam media sosial, sebuah keyakinan
ulama lewat fatwanya harus mengambil yang kokoh harus dimiliki dalam rangka
jarak dari dogma tertentu serta struktur amar ma’ruf nahi munkar,dan ketika
kekuasaan yang memungkinkan keyakinan itu lemah, media lain adalah
14.  Komaruddin Hidayat dan M. sebuah keharusan, toh memperjuangkan
Yudhie Haryono, Manuver Politik Ulama, hlm.
11, 13. 15.  Ibid., hlm. 15.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
80 Okrisal Eka Putra

nilai rahmatan lilalamin yang sarat dengan Pengantar”, dalam Charles Michael
nilai keadilan dan kesejahteraan umat Stanton, Pendidikan tinggi dalam
bukan hanya melalui satu media. Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari,
Jakarta: Logos, 1994.
Kesimpulan ­—, Reposisi Hubungan Agama dan Negara,
Sosok ulama yang suci dan bersih Jakarta: Kompas, 2002.
dari kebejatan social akan dipertaruhkan Hidayat, Komaruddin dan M. Yudhie
ketika ingin ikut terjun ke dunia politik Haryono, Manuver Politik Ulama,
yang nota bene penuh dengan tipu daya Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
dan nilai-nilai keburukan yang selama ini Noer, Deliar, Administrasi Islam di
diajarkan kepada manusia agar dijauhi. Indonesia, Jakarta: Yayasan Risalah,
Tapi mendiamkakn kemaksiatan juga 1983.
merupakan dosa. Sebuah teori social
mengatakan bahwa kejahiliyaan terjadi —, Umat Islam di Pang gung Politik,
bukan karena banyaknya pejahatan, Jakarta: UI Press, 1988.
tapi karena orang-orang baik diam dan O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama:
membiarkan. Disinilah peran ulama Suatu Pengenalan Awal, Jakarta: PT
dan tokoh agama dibutuhkan untuk Raja Grafindo Persada, 1995.
menjadi kekuatan positif antara nilai Rahar jo, M. Dawan, Intelektual,
yang diperjuangkan dengan kenyataan Intelegensia, dan Perilaku Politik,
yang jauh dari norma-norma kepatutan. Risalah Cendikiawan Muslim,
Ketika berharap ke depan para tokoh Bandung, Mizan, 1993.
agama dan ulama mendapat jatah kursi
di dewan legislativ untuk menjadi suara
penyeimbang dan menjadi penyambung
lidah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Teuku Ibrahim, Perang di
Jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1989.
Azra, Azyumardi, “Sosialisasi Politik dan
Pendidikan Islam”, Jurnal Komunikasi
Dunia Perguruan Madrasah, Vol. I,
nomor, 02/1/1997.
—, “Pendidikan Tinggi Islam dan
Kemajuan Sains: Sebuah

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M

Anda mungkin juga menyukai