Anda di halaman 1dari 5

MEMPERTANYAKAN ARGUMENTASI PENOLAKAN RUU APP

Oleh : Husnul Khotimah


(Anggota Lajnah Fa’aliyah DPD HTI Jawa Barat)

Ditengah keprihatinan akan merebaknya praktek pornografi-pornoaksi berikut segala


dampaknya, kemunculan gagasan untuk memberlakukan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi
ternyata tidak lantas mendapat sambutan positif dari masyarakat. Disamping pernyataan
dukungan, ternyata suara penolakanpun tak kalah santer menyeruak ke permukaan. Berbagai
alasan dikemukaan, mulai dari yang tidak logis, pragmatis hingga alasan yang ideologis! Berikut
beberapa argumentasi yang sering dilontarkan para penolak RUU APP:
Pertama, pemberlakuan UU APP akan memasung kreativitas dan melanggar kebebasan
berekspresi. Argumentasi ini umumnya disampaikan oleh kalangan seniman dan budayawan yang
beranggapan bahwa ketelanjangan dan erotisme tidak identik dengan pornografi dan pornoaksi.
Bahkan keduanya bisa dipandang sebagai bentuk ekspresi berkesenian jika memang didedikasikan
untuk kepentingan seni dan budaya. Dalam hal ini mereka beranggapan bahwa seni adalah ranah
yang bebas nilai. Sehingga, wajar ketika kasus goyang ngebor Inul Daratista dan foto-foto
telanjang Anjasmara dan Isabele Yahya menuai protes dari berbagai kalangan, dengan enteng
mereka berdalih “ini pure art!” dan karenanya agama tak berkepentingan masuk ke ranah ini.
Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya batasan seni dan kreatif dalam berkesenian? dan
benarkah seni merupakan ranah yang bebas nilai? Ketika seni diartikan sebagai hasil cipta karsa
budi manusia, dan kreatif dalam berkesenian berarti seseorang mampu menggali inovasi baru
dalam aspek berkesenian, maka apakah eksploitasi ketelanjangan dan erotisme atasnama seni
sejalan dengan keluhuran budi manusia dan diakui sebagai sebuah karya inovatif, bahkan menjadi
standar kreativitas dalam berkesenian dan berkebudayaan? Jika demikian, alangkah naïf. Terlebih-
lebih lagi jika dipandang dari aspek kemaslahatan yang ingin diraih. Kesenian dan kreativitas
semacam ini tentu layak dipertanyakan hubungan/kontribusinya dengan peningkatan martabat
kemanusiaan dan pemecahan atas persoalan-persoalan kemanusiaan yang seharusnya dijawab
melalui kreativitas yang sebenarnya dibutuhkan, seperti di bidang ilmu dan teknologi. Justru di
dua bidang inilah kreativitas dan kebebasan berekspresi --dalam arti peluang melakukan berbagai
eksperimen keilmuan-- seharusnya didorong untuk ditingkatkan, sehingga secepatnya persoalan-
persoalan masyarakat bisa diselesaikan.
Betul bahwa, kreativitas dalam bidang seni dan budaya tidak boleh dibunuh. Tetapi tetap
saja keduanya harus diarahkan, jangan sampai dengan dalih kreativitas lantas hasil-hasil kesenian
dan budaya malah merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang senyatanya sudah jatuh ke
kubangan krisis. Justru pada tataran inilah kita berkeyakinan bahwa seni tidak boleh bebas nilai.
Karena bukankah tidak bisa dibantah jika ketelanjangan dan erotisme --yang mereka klaim
sebagai produk seni bebas nilai— yang selama ini bebas terjaja di pinggir-pinggir jalan bahkan
sudah menerobos masuk ke setiap rumah melalui pesawat-pesawat televisi telah menginspirasi
maraknya dekadensi moral di masyarakat? Ataukah konklusi ini belum cukup bukti, sehingga
mereka atau anak isteri mereka terlebih dahulu harus merasakan dampak dari kejahatan ini?
Kedua, pemberlakuan UU APP akan mematikan industri pariwisata. Pertanyaannya,
pariwisata macam apa yang bisa tersingkir jika undang-undang anti pornografi dan pornoaksi
diberlakukan? Tentu pariwisata yang menawarkan pornografisme dan pornoaksi!
Diakui atau tidak, industri pariwisata yang berkembang saat ini memang sangat dekat –
kalau tidak bisa dikatakan identik—dengan kegiatan yang mengeksploitasi erotisme dan
seksualisme. Bahkan keduanya seolah menjadi ‘menu wajib’ yang menjadi faktor daya tarik
sebuah industri pariwisata. Tak mengherankan jika daerah-daerah tertentu bahkan dianggap
sebagai surganya sex tourism dan child sex tourism yang industrinya dikelola secara professional
oleh sindikasi global dan ditengarai meraup keuntungan luar biasa besar.
Dalam tataran kapitalisme, industri semacam ini memang dianggap absah dan bahkan
dianggap sebagai bagian dari kegiatan ekonomi bayangan (shadow economic) yang memberikan
keuntungan yang sangat besar. Akan tetapi dalam konteks kemanusiaan dan kemasyarakatan,
keberadaannya tentu sangat merugikan, karena bukan hanya menyangkut eksploitasi kemanusiaan
yang berdampak pada merebaknya children and women trafficking, tetapi industri semacam ini
tak dipungkiri telah membawa dampak lanjutan berupa merebaknya penyakit-penyakit sosial dan
seksual semacam AIDS, dan lain-lain yang dalam jangka panjang bisa menghancurkan keberadaan
generasi mendatang. Jika demikian faktanya, masih layakkah industri kemesuman dipertahankan,
sementara kita punya sekian banyak potensi pariwisata yang layak jual dan bisa dikembangkan,
seperti keindahan panorama alam, keragaman dan kelezatan makanan, dan lain-lain?
Ketiga, UU APP akan memberangus kebudayaan. Dalam pandangan mereka,
pemberlakuan undang-undang yang mengatur mengenai batasan-batasan moral dan kesantunan
yang antara lain tercermin dalam pola bertingkahlaku, bertutur kata dan berpakaian, berarti
hegemoni budaya mayoritas atas budaya minoritas, karena pada akhirnya –mau tidak mau- harus
ada parameter budaya partikular dari kelompok masyarakat tertentu yang diadopsi untuk
mengatur seluruh elemen bangsa. Menurut mereka hal ini tidak mungkin dan tidak boleh
dilakukan, mengingat setiap elemen memiliki ukuran-ukuran tertentu mengenai aspek moral dan
kesantunan yang bisa jadi malah saling bertolak belakang. Sebut saja masyarakat Papua yang
terbiasa memakai koteka dan bertelanjang, atau masyarakat Bali dan Jawa yang terbiasa
berpakaian terbuka, yang berbeda dengan masyarakat Aceh dan Sumatera yang terbiasa dengan
pakaian tertutup.
Untuk mejawab argumentasi ini tentu harus disepakati terlebih dahulu kebudayaan seperti
apa yang harus dipertahankan dan harus dilestarikan? Dalam hal ini kita tidak perlu terjebak
dalam dikotomi mayoritas-minoritas melainkan cukup berpikir jernih saja mengenai standar apa
yang layak digunakan sebagai dasar penilaiannya. Semestinya semua sepakat bahwa kebudayaan
yang layak dan harus dilestarikan adalah kebudayaan yang mencerminkan ketinggian martabat
manusia yang selaras dengan nilai-nilai yang telah digariskan Sang Pencipta Manusia, yakni Allah
SWT. Kebudayaan seperti inilah yang justru akan melahirkan peradaban yang tinggi yang akan
memperkokoh kepribadian dan jatidiri sebuah masyarakat atas masyarakat yang lainnya.
Sementara budaya jahiliyah dan terbelakang yang tidak sesuai dengan ketinggian martabat
manusia dan nilai-nilai yang digariskan Sang Pencipta seperti halnya budaya telanjang, budaya
yang mengumbar aurat dan mengeksploitasi perempuan jelas tidak perlu dilestarikan. Karena
kebudayaan seperti ini adalah cerminan rendahnya peradaban yang seharusnya segera
ditanggalkan dan menjadi kewajiban Negara untuk memberantasnya melalui program-program
pencerdasan budaya dan politik yang komprehensif dan berkesinambungan.
Keempat, pemberlakuan UU APP tidak mendidik masyarakat, karena masyarakat
melakukan perbuatan-perbuatan bermoral sekedar dilandasi keterpaksaan sebagai akibat
diterapkannya hukum, bukan atas kesadaran pribadi. Padahal menurut mereka, kesadaran pribadi
inilah yang seharusnya dikembangkan. Terlebih, apa yang diatur dalam undang-undang tersebut
menyangkut hal-hal yang sangat privat dan menyangkut persepsi seseorang terhadap nilai-nilai
moralitas sehingga seharusnya Negara tidak boleh memaksakan nilai-nilai tertentu untuk diadopsi
apalagi menerapkan sanksi hukum tertentu atas pilihan-pilihan privat mereka.
Argumentasi ini jelas mengada-ada. Sebab jika logika ini dipakai, maka Negara tidak
perlu mengatur apapun untuk meraih kemaslahatan masyarakat.Tidak perlu ada undang-undang
yang mengatur tindak pidana/kriminalitas, undang-undang anti korupsi, undang-undang anti
narkoba, peraturan lalu-lintas dan lain-lain. Biarkan saja masyarakat dengan kesadarannya sendiri
memilih untuk tidak melakukan tindak kriminal, korupsi, menggunakan narkoba dan lain-
lain.Faktanya, hal ini tidak mungkin, bukan?
Pada kasus pornografi-pornoaksi, diakui bahwa dampak keduanya sudah sangat
memprihatinkan. Maraknya kejahatan berbasis seksualitas dan merebaknya budaya permissif yang
mengarah pada dekadensi moral sudah sampai pada taraf yang mengerikan yang siapapun bisa
terkena imbasnya. Persoalannya, pembinaan moral dan etika yang selama ini dilakukan melalui
berbagai media pendidikan, seperti sekolah, pembinaan keagamaan dan lain-lain ternyata tidak
cukup untuk menekan pornografi dan pornoaksi. Sehingga mau tidak mau memang harus ada
perangkat hukum yang berfungsi menekan tindak pornografi dan pornoaksi berikut berbagai
dampak yang ditimbulkannya.
Bahwa proses penyadaran adalah penting memang tidak bisa dibantah. Bahkan tanpa
kesadaran masyarakat, hukum sebagus apapun tidak akan ada artinya. Akan tetapi keberadaan
perangkat hukum di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang menyangkut sanksi atas
pelanggarannya juga tidak dapat diabaikan. Bahkan mau tidak mau harus ada, karena salah satu
fungsi hukum atau undang-undang –disamping untuk merekayasa masyarakat—adalah juga untuk
mendidik dan membentuk kesadaran masyarakat supaya mereka tahu mana yang benar dan mana
yang salah, mana yang bermoral mana yang tidak, dan seterusnya. Hukum atau undang-undang
pula yang akan menjamin agar masyarakat senantiasa berjalan di koridor yang benar, sehingga
tercipta kebaikan dan kedamaian bagi masyarakat tersebut secara keseluruhan.
Kelima, UU APP adalah undang-undang yang mubadzir. Karena kalau tujuannya adalah
menekan merebaknya pornografi dan pornoaksi maka tidak diperlukan produk hukum lagi; tinggal
diefektifkan saja undang-undang yang sudah ada seperti KUHP dan UU Pers.
Alasan ini juga tidak dapat diterima karena faktanya perangkat hukum yang ada, yakni
KUHP –sekalipun mengatur pasal-pasal kesusilaan-- dan UU Pers, selama ini tidak berdaya dalam
menjerat kasus-kasus pornografi dan pornoaksi. Karena itu, adanya UU APP ini justru harus kita
pahami sebagai pelengkap atau penguat UU yang sudah ada. Hanya saja, memang harus dipastikan
pahwa UU yang baru ini memuat materi-materi hukum yang secara definitif jelas, tegak di atas
paradigma yang sahih dan mendasar serta memberi sanksi hukum yang tegas dan berkeadilan,
bukan UU yang sarat pasal karet dengan paradigma yang cenderung pragmatis seperti yang selama
ini ada.
Keenam, tubuh manusia adalah keindahan yang merupakan anugerah dari Tuhan sehingga
perlu disyukuri dan ‘dinikmati’. Salah satu bentuk syukur dan menikmati keindahan ini adalah
dengan membiarkannya terbuka dan membiarkan orang lain menikmati keindahannya.
Selain lucu, argumentasi ini jelas merupakan logika orang yang ‘kurang iman’ dan ‘kurang
ajar’. Seharusnya ketika menyadari bahwa tubuh adalah keindahan yang diciptakan Sang Pencipta
maka harus dipahami juga bagaimana Sang Pencipta mengatur tubuh manusia. Jelas, bahwa Allah
SWT, Sang Pencipta dan Pemilik manusia, Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Sempurna telah
melarang kita memamerkan keindahan tubuh ditempat umum, dengan memberi batasan-batasan
aurat tertentu, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah SWT, misalnya memerintahkan kaum
wanita untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan dengan
kerudung/khimar (QS.24:31) dan jilbab atau pakaian sejenis abaya/gamis yang longgar dan tipis
(QS.33:59) ketika mereka hendak ke luar rumah. Demikian pula bahwa Allah SWT telah
memerintahkan pada kaum laki-laki untuk menutup auratnya, sekalipun dengan batasan yang
berbeda, yaitu minimal bagian tubuh antara lutut dan pusar. Taat terhadap perintah seperti inilah
yang justru merupakan manifestasi rasa syukur kita kepada Sang Pencipta.
Ketujuh, kekhawatiran mayoritas menjadi tiran atas minoritas. Yang dimaksud mayoritas
tentu Islam, sedangkan yang minoritas adalah non Islam. Artinya dalam pandangan mereka, jika
UU APP ini disahkan, maka Islam akan menjadi tiran dan menindas non Islam.
Tudingan ini sebenarnya dipicu oleh kenyataan bahwa mayoritas desakan pemberlakuan
UU APP datang dari umat Islam, sekalipun jika RUU APP dan revisinya dicermati, sebenarnya sama
sekali tidak mengakomodir hukum-hukum yang berasal dari Islam. Adapun bahwa Islam anti
pornografi dan pornoaksi, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan dalih bahwa UU APP adalah
Islamisasi, karena senyatanya agama samawi manapun menganggap pornografi dan pornoaksi
sebagai perbuatan terkutuk. Dan kalaupun misalnya spirit dan materi UU APP ini memang
mengadopsi hukum-hukum Islam secara utuh, maka sebenarnyapun tidak perlu muncul
kekhawatiran akan terjadinya tirani mayoritas atas minoritas, dalam hal ini tirani Islam atas non
Islam. Sebab syariat Islam senyatanya tidak hanya datang dan berlaku untuk umat Islam, tetapi
juga untuk manusia secara keseluruhan. Bahkan tatkala Islam diterapkan secara sempurna, maka
sejarah membuktikan bahwa kebaikan dan kemaslahatan tidak hanya dirasakan oleh orang muslim
saja, tetapi umat manusia secara keseluruhan. Sebab watak Islam adalah rahmat bagi manusia,
karena Islam datang dari Dzat Pencipta Manusia Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Sempurna,
sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat atas seluruh alam”.
(TQS. Al-Anbiya[21]:107)
Dengan demikian, alasan ini sebenarnya muncul bukan semata-mata untuk menolak UU
APP, melainkan lebih kepada upaya stigmatisasi untuk memojokkan Islam dan kaum muslimin di
tengah maraknya wacana mengembalikan sistem Islam dalam kehidupan.
Kedelapan, UU APP akan memicu desintegrasi (perpecahan) bangsa. Argumentasi ini
muncul menyusul penolakan tegas dan diperkuat dengan ‘ancaman’ pemisahan diri beberapa
entitas masyarakat, seperti yang dilakukan masyarakat Bali dan Papua, yang merasa dirugikan
dengan pemberlakuan UU APP ini. Mereka beranggapan bahwa UU APP membawa spirit
‘penyeragaman’ sekaligus marjinalisasi kekhasan entitas mereka, sebuah anggapan yang terkesan
emosional dan mengada-ada. Sebab, jika saja mereka berpikir atas dasar kepentingan bersama
dan berpijak pada semangat yang sama, maka mereka akan menerima pemberlakuan undang-
undang yang memang dibuat untuk kepentingan bersama, yakni kepentingan menyelamatkan
bangsa dari kerusakan moral akibat merebaknya pornografi dan pornoaksi.
Kesembilan, UU APP dinilai mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan.
Mendiskriminasi, karena menurut mereka UU ini dibuat dengan paradigma yang bertumpu pada
sudut pandang kepentingan laki-laki (bias jender) dan pada saat yang sama melanggar integritas
tubuh perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan adalah obyek yang harus diatur karena
keberadaannya dianggap sebagai penyebab merebaknya dekadensi moral, termasuk merebaknya
pornografi-pornoaksi beserta berbagai dampaknya, sementara laki-laki tidak. Mengkriminalisasi
perempuan, karena UU ini dipandang berpotensi melahirkan kekerasan baru dan bersifat refresif,
karena selain akan menjadikan korban yang kebanyakan perempuan menjadi pelaku, juga
penerapannya akan menghancurkan budaya masyarakat beserta ekspresi-ekspresi mereka yang
manusiawi, khususnya perempuan. Mereka mencontohkan fakta kriminalisasi perempuan ini
seperti pada kasus VCD porno yang dibuat sebagai konsumsi pribadi tapi kemudian ada pihak lain
yang mengkomersilkan dan menyebarluaskannya tanpa izin. Atau pada kasus tertentu, penerapan
pasal-pasal pornoaksi yang antara lain memuat pelarangan memperlihatkan payudara atau pantat
di tempat umum ditengarai akan banyak menjerat kaum perempuan sebagai pelaku kriminal,
karena tidak sedikit dari mereka yang terbiasa menyusui anaknya di muka umum, mandi di kali,
berpakaian ketat dan ‘terbatas’, dan lain-lain.
Argumentasi seperti ini biasanya dilontarkan secara keras oleh kalangan feminis yang
memiliki kerangka pandang jenderis. Kerangka pandang ini tegak atas asumsi bahwa budaya
masyarakat yang dominan saat ini adalah budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai
sumber dan fokus orientasi. Budaya inilah yang kemudian dianggap bertanggungjawab melahirkan
ketidakadilan jender, dimana secara sadar atau tidak, masyarakat telah menempatkan kaum
perempuan sebagai warga kelas dua. Kerangka pandang yang asumtif inilah yang kemudian selalu
mejadi dasar pembacaan dan penilaian atas fakta yang terjadi, sekaligus menjadi dasar
penyelesaian atas persoalan-persoalan perempuan, termasuk ketika menanggapi UU APP ini.
Sesungguhnya, persoalan pornografi dan pornoaksi tidak bisa dipandang secara parsial,
karena keduanya melibatkan banyak unsur, termasuk laki-laki dan perempuan. Pada kedua kasus
ini kedua-duanya bisa bertindak sebagai pelaku sekaligus korban, sehingga keduanya sebenarnya
berkepentingan untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan problem bersama ini. Adapun ketika
faktanya perempuan yang seolah menjadi banyak diatur, karena fakta pula yang menunjukkan
bahwa sensualitas perempuanlah yang sering memicu perilaku amoral, sekalipun tentu tak bisa
dilepaskan dari faktor cara pandang laki-laki atas sensualitas perempuan. Sebagai gambaran kasar,
fakta bahwa gambar-gambar perempuan telanjang lebih banyak konsumennya dibandingkan
gambar laki-laki telanjang mungkin bisa menguatkan fakta ini.
Adapun tentang kriminalisasi, maka seharusnya tidak menjadi kekhawatiran sepanjang
mereka menyadari akan urgensi menyelesaikan persoalan pornografi-pornoaksi ini dengan
penyelesaian yang tuntas dan menyeluruh. Terlebih, apa yang mereka sebut dengan budaya dan
ekspresi masyarakat yang manusiawi seperti kebiasaan menyusui dan mandi di tempat umum,
berpakaian ketat dan serba terbatas dan lain-lain merupakan kebiasaan yang selayaknya diubah,
sekalipun untuk itu Negara harus menanggung konsekuensi melakukan penyadaran terus-menerus
dan menyediakan berbagai infrastruktur yang memungkinkan masyarakat tadi mengubah
kebiasaan-kebiasaan ‘buruknya’ menjadi lebih baik.
Kesepuluh, pemberlakuan UU APP berarti ‘talibanisasi’. Argumentasi ini dipakai untuk
menunjuk gambaran negatif Negara yang otoriter, terbelakang, dan bertindak diskriminatif
terhadap perempuan, karena Negara dalam hal ini berhak melakukan intervensi untuk mengatur
segala hal termasuk yang berada di wilayah privat seperti batasan moral, nilai-nilai baik-buruk,
selera orang dan lain-lain.
Istilah talibanisasi sebenarnya mengandung stigmatisasi yang sangat keji, karena di
dalamnya mengandung tudingan miring terhadap penerapan syariat Islam dan sosok Negara Islam.
Ironisnya, dalam kasus UU APP ini, pengaitan rencana pemberlakuan undang-undang tersebut
dengan isu talibanisasi sesungguhnya salah alamat. Setidaknya ada 2 alasan, pertama, sekali-lagi
bahwa jika dicermati, materi dan paradigma yang mendasari penyusunan RUU APP faktanya sama
sekali tidak mengakomodir satupun hukum Islam, termasuk dalam masalah penetapan definisi,
implementasi hukum, pengecualian-pengecualian maupun sanksi yang diterapkan. Kalaupun
ternyata mengadopsi hukum Islam dan diterapkan dalam kerangka sistem Islam, maka dapat
dibuktikan bahwa Islam akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bersama. Kedua, sistem Islam
tidak bisa diidentikan dengan Taliban, dan sebaliknya Taliban bukan model ideal bagi sebuah
sistem Islam, karena masih ada beberapa aspek hokum yang tidak sesuai dengan syariat Islam
sekalipun secara verbal dinisbahkan kepada Islam.
Sistem Islam adalah sistem kehidupan yang unik dan mencakup seluruh kaum muslimin,
yang di dalamnya Negara bertanggungjawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh dalam
kerangka mengatur urusan umat baik di dalam maupun luar negeri, sehingga umat mendapatkan
jaminan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh, baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam Islam, negara sangat menghargai kebebasan seseorang untuk berekspresi,
sepanjang tidak keluar dari koridor syariat, disamping juga memahami bahwa manusia memiliki
naluri seksual yang pemenuhannya harus dijamin tanpa menelantarkan kebutuhan yang lainnya.
Jaminan atas pemenuhan berbagai kebutuhan ini dilakukan dengan penerapan aturan-aturan Islam
secara komperehensif dan utuh (kaffah). Sehingga, Negara –misalnya-- tidak sekedar menetapkan
agar tak seorangpun yang mengumbar aurat kecuali dalam hal yang dibenarkan syariat, melainkan
negara juga menerapkan perangkat aturan yang menjamin agar ekonomi berjalan dengan benar
sehingga tak ada alasan bagi seseorang untuk mencari nafkah melalui praktek pornografi dan
pornoaksi. Demikian pula Negara akan menerapkan aturan sosial yang bersih sekaligus melakukan
internalisasi pemahaman melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, sehingga setiap anggota
masyarakat memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki, dan pada akhirnya secara
otomatis akan memberangus bisnis kotor semacam ini. Demikian pula, Negara akan menerapkan
sanksi yang tegas untuk mencegah sekaligus menghukum setiap pelanggaran yang terjadi,
termasuk mengontrol faktor-faktor pemicu kegiatan pornografi dan pornoaksi, seperti media
massa, dan lain-lain, sehingga kebersihan masyarakat akan senantiasa terjaga.
Persoalannya semua ini hanya mungkin terwujud jika masyarakat menyadari bahwa akar
masalah sebenarnya bertumpu pada sistem hidup sekularistik yang mereka jalani. Maraknya
pornografi dan pornoaksi berikut segala dampaknya hanya merupakan salah satu bentuk
kebobrokan yang dihasilkan dari sistem rusak ini. Sehingga, memberangusnya hanya mungkin
dilakukan dengan mencampakkan sistem hidup ini, dan menggantinya dengan sistem Islam yang
diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Dengan demikian, pemberlakuan UU APP saja,
sebenarnya belum bisa menjamin penyelesaian persoalan pornografi dan pornoaksi. Terlebih jika
faktanya, paradigma yang dipakai dalam penyusunannya masih bertumpu pada asas sekularisme
dan semangat pragmatisme. Wallahu a’lam.[]

Anda mungkin juga menyukai