Ditengah keprihatinan akan merebaknya praktek pornografi-pornoaksi berikut segala
dampaknya, kemunculan gagasan untuk memberlakukan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi ternyata tidak lantas mendapat sambutan positif dari masyarakat. Disamping pernyataan dukungan, ternyata suara penolakanpun tak kalah santer menyeruak ke permukaan. Berbagai alasan dikemukaan, mulai dari yang tidak logis, pragmatis hingga alasan yang ideologis! Berikut beberapa argumentasi yang sering dilontarkan para penolak RUU APP: Pertama, pemberlakuan UU APP akan memasung kreativitas dan melanggar kebebasan berekspresi. Argumentasi ini umumnya disampaikan oleh kalangan seniman dan budayawan yang beranggapan bahwa ketelanjangan dan erotisme tidak identik dengan pornografi dan pornoaksi. Bahkan keduanya bisa dipandang sebagai bentuk ekspresi berkesenian jika memang didedikasikan untuk kepentingan seni dan budaya. Dalam hal ini mereka beranggapan bahwa seni adalah ranah yang bebas nilai. Sehingga, wajar ketika kasus goyang ngebor Inul Daratista dan foto-foto telanjang Anjasmara dan Isabele Yahya menuai protes dari berbagai kalangan, dengan enteng mereka berdalih “ini pure art!” dan karenanya agama tak berkepentingan masuk ke ranah ini. Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya batasan seni dan kreatif dalam berkesenian? dan benarkah seni merupakan ranah yang bebas nilai? Ketika seni diartikan sebagai hasil cipta karsa budi manusia, dan kreatif dalam berkesenian berarti seseorang mampu menggali inovasi baru dalam aspek berkesenian, maka apakah eksploitasi ketelanjangan dan erotisme atasnama seni sejalan dengan keluhuran budi manusia dan diakui sebagai sebuah karya inovatif, bahkan menjadi standar kreativitas dalam berkesenian dan berkebudayaan? Jika demikian, alangkah naïf. Terlebih- lebih lagi jika dipandang dari aspek kemaslahatan yang ingin diraih. Kesenian dan kreativitas semacam ini tentu layak dipertanyakan hubungan/kontribusinya dengan peningkatan martabat kemanusiaan dan pemecahan atas persoalan-persoalan kemanusiaan yang seharusnya dijawab melalui kreativitas yang sebenarnya dibutuhkan, seperti di bidang ilmu dan teknologi. Justru di dua bidang inilah kreativitas dan kebebasan berekspresi --dalam arti peluang melakukan berbagai eksperimen keilmuan-- seharusnya didorong untuk ditingkatkan, sehingga secepatnya persoalan- persoalan masyarakat bisa diselesaikan. Betul bahwa, kreativitas dalam bidang seni dan budaya tidak boleh dibunuh. Tetapi tetap saja keduanya harus diarahkan, jangan sampai dengan dalih kreativitas lantas hasil-hasil kesenian dan budaya malah merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang senyatanya sudah jatuh ke kubangan krisis. Justru pada tataran inilah kita berkeyakinan bahwa seni tidak boleh bebas nilai. Karena bukankah tidak bisa dibantah jika ketelanjangan dan erotisme --yang mereka klaim sebagai produk seni bebas nilai— yang selama ini bebas terjaja di pinggir-pinggir jalan bahkan sudah menerobos masuk ke setiap rumah melalui pesawat-pesawat televisi telah menginspirasi maraknya dekadensi moral di masyarakat? Ataukah konklusi ini belum cukup bukti, sehingga mereka atau anak isteri mereka terlebih dahulu harus merasakan dampak dari kejahatan ini? Kedua, pemberlakuan UU APP akan mematikan industri pariwisata. Pertanyaannya, pariwisata macam apa yang bisa tersingkir jika undang-undang anti pornografi dan pornoaksi diberlakukan? Tentu pariwisata yang menawarkan pornografisme dan pornoaksi! Diakui atau tidak, industri pariwisata yang berkembang saat ini memang sangat dekat – kalau tidak bisa dikatakan identik—dengan kegiatan yang mengeksploitasi erotisme dan seksualisme. Bahkan keduanya seolah menjadi ‘menu wajib’ yang menjadi faktor daya tarik sebuah industri pariwisata. Tak mengherankan jika daerah-daerah tertentu bahkan dianggap sebagai surganya sex tourism dan child sex tourism yang industrinya dikelola secara professional oleh sindikasi global dan ditengarai meraup keuntungan luar biasa besar. Dalam tataran kapitalisme, industri semacam ini memang dianggap absah dan bahkan dianggap sebagai bagian dari kegiatan ekonomi bayangan (shadow economic) yang memberikan keuntungan yang sangat besar. Akan tetapi dalam konteks kemanusiaan dan kemasyarakatan, keberadaannya tentu sangat merugikan, karena bukan hanya menyangkut eksploitasi kemanusiaan yang berdampak pada merebaknya children and women trafficking, tetapi industri semacam ini tak dipungkiri telah membawa dampak lanjutan berupa merebaknya penyakit-penyakit sosial dan seksual semacam AIDS, dan lain-lain yang dalam jangka panjang bisa menghancurkan keberadaan generasi mendatang. Jika demikian faktanya, masih layakkah industri kemesuman dipertahankan, sementara kita punya sekian banyak potensi pariwisata yang layak jual dan bisa dikembangkan, seperti keindahan panorama alam, keragaman dan kelezatan makanan, dan lain-lain? Ketiga, UU APP akan memberangus kebudayaan. Dalam pandangan mereka, pemberlakuan undang-undang yang mengatur mengenai batasan-batasan moral dan kesantunan yang antara lain tercermin dalam pola bertingkahlaku, bertutur kata dan berpakaian, berarti hegemoni budaya mayoritas atas budaya minoritas, karena pada akhirnya –mau tidak mau- harus ada parameter budaya partikular dari kelompok masyarakat tertentu yang diadopsi untuk mengatur seluruh elemen bangsa. Menurut mereka hal ini tidak mungkin dan tidak boleh dilakukan, mengingat setiap elemen memiliki ukuran-ukuran tertentu mengenai aspek moral dan kesantunan yang bisa jadi malah saling bertolak belakang. Sebut saja masyarakat Papua yang terbiasa memakai koteka dan bertelanjang, atau masyarakat Bali dan Jawa yang terbiasa berpakaian terbuka, yang berbeda dengan masyarakat Aceh dan Sumatera yang terbiasa dengan pakaian tertutup. Untuk mejawab argumentasi ini tentu harus disepakati terlebih dahulu kebudayaan seperti apa yang harus dipertahankan dan harus dilestarikan? Dalam hal ini kita tidak perlu terjebak dalam dikotomi mayoritas-minoritas melainkan cukup berpikir jernih saja mengenai standar apa yang layak digunakan sebagai dasar penilaiannya. Semestinya semua sepakat bahwa kebudayaan yang layak dan harus dilestarikan adalah kebudayaan yang mencerminkan ketinggian martabat manusia yang selaras dengan nilai-nilai yang telah digariskan Sang Pencipta Manusia, yakni Allah SWT. Kebudayaan seperti inilah yang justru akan melahirkan peradaban yang tinggi yang akan memperkokoh kepribadian dan jatidiri sebuah masyarakat atas masyarakat yang lainnya. Sementara budaya jahiliyah dan terbelakang yang tidak sesuai dengan ketinggian martabat manusia dan nilai-nilai yang digariskan Sang Pencipta seperti halnya budaya telanjang, budaya yang mengumbar aurat dan mengeksploitasi perempuan jelas tidak perlu dilestarikan. Karena kebudayaan seperti ini adalah cerminan rendahnya peradaban yang seharusnya segera ditanggalkan dan menjadi kewajiban Negara untuk memberantasnya melalui program-program pencerdasan budaya dan politik yang komprehensif dan berkesinambungan. Keempat, pemberlakuan UU APP tidak mendidik masyarakat, karena masyarakat melakukan perbuatan-perbuatan bermoral sekedar dilandasi keterpaksaan sebagai akibat diterapkannya hukum, bukan atas kesadaran pribadi. Padahal menurut mereka, kesadaran pribadi inilah yang seharusnya dikembangkan. Terlebih, apa yang diatur dalam undang-undang tersebut menyangkut hal-hal yang sangat privat dan menyangkut persepsi seseorang terhadap nilai-nilai moralitas sehingga seharusnya Negara tidak boleh memaksakan nilai-nilai tertentu untuk diadopsi apalagi menerapkan sanksi hukum tertentu atas pilihan-pilihan privat mereka. Argumentasi ini jelas mengada-ada. Sebab jika logika ini dipakai, maka Negara tidak perlu mengatur apapun untuk meraih kemaslahatan masyarakat.Tidak perlu ada undang-undang yang mengatur tindak pidana/kriminalitas, undang-undang anti korupsi, undang-undang anti narkoba, peraturan lalu-lintas dan lain-lain. Biarkan saja masyarakat dengan kesadarannya sendiri memilih untuk tidak melakukan tindak kriminal, korupsi, menggunakan narkoba dan lain- lain.Faktanya, hal ini tidak mungkin, bukan? Pada kasus pornografi-pornoaksi, diakui bahwa dampak keduanya sudah sangat memprihatinkan. Maraknya kejahatan berbasis seksualitas dan merebaknya budaya permissif yang mengarah pada dekadensi moral sudah sampai pada taraf yang mengerikan yang siapapun bisa terkena imbasnya. Persoalannya, pembinaan moral dan etika yang selama ini dilakukan melalui berbagai media pendidikan, seperti sekolah, pembinaan keagamaan dan lain-lain ternyata tidak cukup untuk menekan pornografi dan pornoaksi. Sehingga mau tidak mau memang harus ada perangkat hukum yang berfungsi menekan tindak pornografi dan pornoaksi berikut berbagai dampak yang ditimbulkannya. Bahwa proses penyadaran adalah penting memang tidak bisa dibantah. Bahkan tanpa kesadaran masyarakat, hukum sebagus apapun tidak akan ada artinya. Akan tetapi keberadaan perangkat hukum di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang menyangkut sanksi atas pelanggarannya juga tidak dapat diabaikan. Bahkan mau tidak mau harus ada, karena salah satu fungsi hukum atau undang-undang –disamping untuk merekayasa masyarakat—adalah juga untuk mendidik dan membentuk kesadaran masyarakat supaya mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bermoral mana yang tidak, dan seterusnya. Hukum atau undang-undang pula yang akan menjamin agar masyarakat senantiasa berjalan di koridor yang benar, sehingga tercipta kebaikan dan kedamaian bagi masyarakat tersebut secara keseluruhan. Kelima, UU APP adalah undang-undang yang mubadzir. Karena kalau tujuannya adalah menekan merebaknya pornografi dan pornoaksi maka tidak diperlukan produk hukum lagi; tinggal diefektifkan saja undang-undang yang sudah ada seperti KUHP dan UU Pers. Alasan ini juga tidak dapat diterima karena faktanya perangkat hukum yang ada, yakni KUHP –sekalipun mengatur pasal-pasal kesusilaan-- dan UU Pers, selama ini tidak berdaya dalam menjerat kasus-kasus pornografi dan pornoaksi. Karena itu, adanya UU APP ini justru harus kita pahami sebagai pelengkap atau penguat UU yang sudah ada. Hanya saja, memang harus dipastikan pahwa UU yang baru ini memuat materi-materi hukum yang secara definitif jelas, tegak di atas paradigma yang sahih dan mendasar serta memberi sanksi hukum yang tegas dan berkeadilan, bukan UU yang sarat pasal karet dengan paradigma yang cenderung pragmatis seperti yang selama ini ada. Keenam, tubuh manusia adalah keindahan yang merupakan anugerah dari Tuhan sehingga perlu disyukuri dan ‘dinikmati’. Salah satu bentuk syukur dan menikmati keindahan ini adalah dengan membiarkannya terbuka dan membiarkan orang lain menikmati keindahannya. Selain lucu, argumentasi ini jelas merupakan logika orang yang ‘kurang iman’ dan ‘kurang ajar’. Seharusnya ketika menyadari bahwa tubuh adalah keindahan yang diciptakan Sang Pencipta maka harus dipahami juga bagaimana Sang Pencipta mengatur tubuh manusia. Jelas, bahwa Allah SWT, Sang Pencipta dan Pemilik manusia, Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Sempurna telah melarang kita memamerkan keindahan tubuh ditempat umum, dengan memberi batasan-batasan aurat tertentu, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah SWT, misalnya memerintahkan kaum wanita untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan dengan kerudung/khimar (QS.24:31) dan jilbab atau pakaian sejenis abaya/gamis yang longgar dan tipis (QS.33:59) ketika mereka hendak ke luar rumah. Demikian pula bahwa Allah SWT telah memerintahkan pada kaum laki-laki untuk menutup auratnya, sekalipun dengan batasan yang berbeda, yaitu minimal bagian tubuh antara lutut dan pusar. Taat terhadap perintah seperti inilah yang justru merupakan manifestasi rasa syukur kita kepada Sang Pencipta. Ketujuh, kekhawatiran mayoritas menjadi tiran atas minoritas. Yang dimaksud mayoritas tentu Islam, sedangkan yang minoritas adalah non Islam. Artinya dalam pandangan mereka, jika UU APP ini disahkan, maka Islam akan menjadi tiran dan menindas non Islam. Tudingan ini sebenarnya dipicu oleh kenyataan bahwa mayoritas desakan pemberlakuan UU APP datang dari umat Islam, sekalipun jika RUU APP dan revisinya dicermati, sebenarnya sama sekali tidak mengakomodir hukum-hukum yang berasal dari Islam. Adapun bahwa Islam anti pornografi dan pornoaksi, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan dalih bahwa UU APP adalah Islamisasi, karena senyatanya agama samawi manapun menganggap pornografi dan pornoaksi sebagai perbuatan terkutuk. Dan kalaupun misalnya spirit dan materi UU APP ini memang mengadopsi hukum-hukum Islam secara utuh, maka sebenarnyapun tidak perlu muncul kekhawatiran akan terjadinya tirani mayoritas atas minoritas, dalam hal ini tirani Islam atas non Islam. Sebab syariat Islam senyatanya tidak hanya datang dan berlaku untuk umat Islam, tetapi juga untuk manusia secara keseluruhan. Bahkan tatkala Islam diterapkan secara sempurna, maka sejarah membuktikan bahwa kebaikan dan kemaslahatan tidak hanya dirasakan oleh orang muslim saja, tetapi umat manusia secara keseluruhan. Sebab watak Islam adalah rahmat bagi manusia, karena Islam datang dari Dzat Pencipta Manusia Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Sempurna, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat atas seluruh alam”. (TQS. Al-Anbiya[21]:107) Dengan demikian, alasan ini sebenarnya muncul bukan semata-mata untuk menolak UU APP, melainkan lebih kepada upaya stigmatisasi untuk memojokkan Islam dan kaum muslimin di tengah maraknya wacana mengembalikan sistem Islam dalam kehidupan. Kedelapan, UU APP akan memicu desintegrasi (perpecahan) bangsa. Argumentasi ini muncul menyusul penolakan tegas dan diperkuat dengan ‘ancaman’ pemisahan diri beberapa entitas masyarakat, seperti yang dilakukan masyarakat Bali dan Papua, yang merasa dirugikan dengan pemberlakuan UU APP ini. Mereka beranggapan bahwa UU APP membawa spirit ‘penyeragaman’ sekaligus marjinalisasi kekhasan entitas mereka, sebuah anggapan yang terkesan emosional dan mengada-ada. Sebab, jika saja mereka berpikir atas dasar kepentingan bersama dan berpijak pada semangat yang sama, maka mereka akan menerima pemberlakuan undang- undang yang memang dibuat untuk kepentingan bersama, yakni kepentingan menyelamatkan bangsa dari kerusakan moral akibat merebaknya pornografi dan pornoaksi. Kesembilan, UU APP dinilai mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan. Mendiskriminasi, karena menurut mereka UU ini dibuat dengan paradigma yang bertumpu pada sudut pandang kepentingan laki-laki (bias jender) dan pada saat yang sama melanggar integritas tubuh perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan adalah obyek yang harus diatur karena keberadaannya dianggap sebagai penyebab merebaknya dekadensi moral, termasuk merebaknya pornografi-pornoaksi beserta berbagai dampaknya, sementara laki-laki tidak. Mengkriminalisasi perempuan, karena UU ini dipandang berpotensi melahirkan kekerasan baru dan bersifat refresif, karena selain akan menjadikan korban yang kebanyakan perempuan menjadi pelaku, juga penerapannya akan menghancurkan budaya masyarakat beserta ekspresi-ekspresi mereka yang manusiawi, khususnya perempuan. Mereka mencontohkan fakta kriminalisasi perempuan ini seperti pada kasus VCD porno yang dibuat sebagai konsumsi pribadi tapi kemudian ada pihak lain yang mengkomersilkan dan menyebarluaskannya tanpa izin. Atau pada kasus tertentu, penerapan pasal-pasal pornoaksi yang antara lain memuat pelarangan memperlihatkan payudara atau pantat di tempat umum ditengarai akan banyak menjerat kaum perempuan sebagai pelaku kriminal, karena tidak sedikit dari mereka yang terbiasa menyusui anaknya di muka umum, mandi di kali, berpakaian ketat dan ‘terbatas’, dan lain-lain. Argumentasi seperti ini biasanya dilontarkan secara keras oleh kalangan feminis yang memiliki kerangka pandang jenderis. Kerangka pandang ini tegak atas asumsi bahwa budaya masyarakat yang dominan saat ini adalah budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai sumber dan fokus orientasi. Budaya inilah yang kemudian dianggap bertanggungjawab melahirkan ketidakadilan jender, dimana secara sadar atau tidak, masyarakat telah menempatkan kaum perempuan sebagai warga kelas dua. Kerangka pandang yang asumtif inilah yang kemudian selalu mejadi dasar pembacaan dan penilaian atas fakta yang terjadi, sekaligus menjadi dasar penyelesaian atas persoalan-persoalan perempuan, termasuk ketika menanggapi UU APP ini. Sesungguhnya, persoalan pornografi dan pornoaksi tidak bisa dipandang secara parsial, karena keduanya melibatkan banyak unsur, termasuk laki-laki dan perempuan. Pada kedua kasus ini kedua-duanya bisa bertindak sebagai pelaku sekaligus korban, sehingga keduanya sebenarnya berkepentingan untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan problem bersama ini. Adapun ketika faktanya perempuan yang seolah menjadi banyak diatur, karena fakta pula yang menunjukkan bahwa sensualitas perempuanlah yang sering memicu perilaku amoral, sekalipun tentu tak bisa dilepaskan dari faktor cara pandang laki-laki atas sensualitas perempuan. Sebagai gambaran kasar, fakta bahwa gambar-gambar perempuan telanjang lebih banyak konsumennya dibandingkan gambar laki-laki telanjang mungkin bisa menguatkan fakta ini. Adapun tentang kriminalisasi, maka seharusnya tidak menjadi kekhawatiran sepanjang mereka menyadari akan urgensi menyelesaikan persoalan pornografi-pornoaksi ini dengan penyelesaian yang tuntas dan menyeluruh. Terlebih, apa yang mereka sebut dengan budaya dan ekspresi masyarakat yang manusiawi seperti kebiasaan menyusui dan mandi di tempat umum, berpakaian ketat dan serba terbatas dan lain-lain merupakan kebiasaan yang selayaknya diubah, sekalipun untuk itu Negara harus menanggung konsekuensi melakukan penyadaran terus-menerus dan menyediakan berbagai infrastruktur yang memungkinkan masyarakat tadi mengubah kebiasaan-kebiasaan ‘buruknya’ menjadi lebih baik. Kesepuluh, pemberlakuan UU APP berarti ‘talibanisasi’. Argumentasi ini dipakai untuk menunjuk gambaran negatif Negara yang otoriter, terbelakang, dan bertindak diskriminatif terhadap perempuan, karena Negara dalam hal ini berhak melakukan intervensi untuk mengatur segala hal termasuk yang berada di wilayah privat seperti batasan moral, nilai-nilai baik-buruk, selera orang dan lain-lain. Istilah talibanisasi sebenarnya mengandung stigmatisasi yang sangat keji, karena di dalamnya mengandung tudingan miring terhadap penerapan syariat Islam dan sosok Negara Islam. Ironisnya, dalam kasus UU APP ini, pengaitan rencana pemberlakuan undang-undang tersebut dengan isu talibanisasi sesungguhnya salah alamat. Setidaknya ada 2 alasan, pertama, sekali-lagi bahwa jika dicermati, materi dan paradigma yang mendasari penyusunan RUU APP faktanya sama sekali tidak mengakomodir satupun hukum Islam, termasuk dalam masalah penetapan definisi, implementasi hukum, pengecualian-pengecualian maupun sanksi yang diterapkan. Kalaupun ternyata mengadopsi hukum Islam dan diterapkan dalam kerangka sistem Islam, maka dapat dibuktikan bahwa Islam akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bersama. Kedua, sistem Islam tidak bisa diidentikan dengan Taliban, dan sebaliknya Taliban bukan model ideal bagi sebuah sistem Islam, karena masih ada beberapa aspek hokum yang tidak sesuai dengan syariat Islam sekalipun secara verbal dinisbahkan kepada Islam. Sistem Islam adalah sistem kehidupan yang unik dan mencakup seluruh kaum muslimin, yang di dalamnya Negara bertanggungjawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh dalam kerangka mengatur urusan umat baik di dalam maupun luar negeri, sehingga umat mendapatkan jaminan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam Islam, negara sangat menghargai kebebasan seseorang untuk berekspresi, sepanjang tidak keluar dari koridor syariat, disamping juga memahami bahwa manusia memiliki naluri seksual yang pemenuhannya harus dijamin tanpa menelantarkan kebutuhan yang lainnya. Jaminan atas pemenuhan berbagai kebutuhan ini dilakukan dengan penerapan aturan-aturan Islam secara komperehensif dan utuh (kaffah). Sehingga, Negara –misalnya-- tidak sekedar menetapkan agar tak seorangpun yang mengumbar aurat kecuali dalam hal yang dibenarkan syariat, melainkan negara juga menerapkan perangkat aturan yang menjamin agar ekonomi berjalan dengan benar sehingga tak ada alasan bagi seseorang untuk mencari nafkah melalui praktek pornografi dan pornoaksi. Demikian pula Negara akan menerapkan aturan sosial yang bersih sekaligus melakukan internalisasi pemahaman melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, sehingga setiap anggota masyarakat memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki, dan pada akhirnya secara otomatis akan memberangus bisnis kotor semacam ini. Demikian pula, Negara akan menerapkan sanksi yang tegas untuk mencegah sekaligus menghukum setiap pelanggaran yang terjadi, termasuk mengontrol faktor-faktor pemicu kegiatan pornografi dan pornoaksi, seperti media massa, dan lain-lain, sehingga kebersihan masyarakat akan senantiasa terjaga. Persoalannya semua ini hanya mungkin terwujud jika masyarakat menyadari bahwa akar masalah sebenarnya bertumpu pada sistem hidup sekularistik yang mereka jalani. Maraknya pornografi dan pornoaksi berikut segala dampaknya hanya merupakan salah satu bentuk kebobrokan yang dihasilkan dari sistem rusak ini. Sehingga, memberangusnya hanya mungkin dilakukan dengan mencampakkan sistem hidup ini, dan menggantinya dengan sistem Islam yang diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Dengan demikian, pemberlakuan UU APP saja, sebenarnya belum bisa menjamin penyelesaian persoalan pornografi dan pornoaksi. Terlebih jika faktanya, paradigma yang dipakai dalam penyusunannya masih bertumpu pada asas sekularisme dan semangat pragmatisme. Wallahu a’lam.[]