Anda di halaman 1dari 4

TANTANGAN ABAD KE DUA AISYIYAH

JAKARTA, KOMPAS - Lahir tahun 1917, organisasi perempuan tertua di Indonesia, Aisyiyah,
menginjak umur satu abad. Sebuah capaian penting mengingat organisasi lain sezaman atau
bahkan sesudahnya banyak yang mati suri.

Sejumlah tonggak dicatat sebagai sumbangan Aisyiyah kepada bangsa. Sejumlah catatan patut
pula disampaikan sebagai tanda kecintaan pada Aisyiyah.

Dengan berdirinya Aisyiah saja telah menjadi bukti langkah ijtihad Muhammadiyah dalam
menerjemahkan nilai-nilai Islam yang berkemajuan. Melalui teladan yang ditunjukkan Kiai
Ahmad Dahlan, Muhammadiyah tegas memperlihatkan pentingnya perempuan dalam organisasi
dan mendidik umat. Dimulai dari berdirinya perkumpulan Sopo Tresno yang mengajari
perempuan baca tulis dan mengaji, lalu berubah menjadi Aisyiyah, Muhammadiyah
menunjukkan sikapnya dalam melawan politik jajahan yang membatasi akses pendidikan bagi
umat Islam dan kaum perempuan.

Sumbangan Aisyiyah

Melalui Aisyiyah, dalam Aisyiyah, dan bersama Aisyiyah, Muhammadiyah telah menawarkan
satu pandangan berkemajuan yang memungkinkan perempuan Muslim punya pilihan yang
dibenarkan secara syar'i untuk bergerak di ranah domestik dan publik, menjalankan peran
dakwah dan tajdid. Aktualisasi gerakan Aisyiyah itu diwujudkan dalam penguatan dan
pembaruan keagamaan, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan disiplin berorganisasi.

Semua aktivitas itu digerakkan anggotanya yang berkehendak beramal dan beribadah di bawah
satu komando organisasi yang berjenjang dari pusat ke anak ranting. Dengan caranya, mereka
berusaha menerjemahkan prinsip dakwah yang dapat menjauhkan manusia dari kebodohan
melalui aksi dakwah nyata menyantuni duafa-mustadh'afin.

Bersama perkembangan negeri ini, Aisyiyah menunjukkan tonggak-tonggak capaiannya yang


selaras zaman. Di Masa Orde Baru, ketika sejumlah ormas Islam tumbang tak lolos "litsus",
Muhammadiyah dan Aisyiyah ternyata kokoh bertahan sebagai organisasi kelas menengah kota
banyak yang meniscayakan sikap akomodatif mereka terhadap kehendak negara. Pada
kenyataannya tak semudah itu sebab bagaimanapun Muhammadiyah dan Aisyiyah harus
menjaga ideologi dan iman anggotanya. Padahal, ketika itu tak gampang untuk bersikap beda
dengan pandangan negara yang ngotot memaksakan ideologi Pancasila dalam tafsir tunggal Orde
Baru.

Demikian halnya dalam isu perempuan. Kala itu, negara berkeras mengusung ideologi "Ibuisme"
yang memosisikan perempuan semata pendamping suami. Ideologi itu merambah luas hingga
dalam bentuk pemaksaan KB versi negara. Di antara sulitnya untuk beroposisi, Aisyiyah
memilih berpijak pada prinsip gerakan "Amar Makruf Nahi Mungkar" menyeru pada kebaikan
dan menolak kemungkaran. Atas dukungan penuh Pak AR Fachrruddin, Ketua PP
Muhammadiyah ketika itu, Aisyiyah menyodorkan konsep "Keluarga Sakinah" sebagai cara
pandang beda atas ideologi "Kekonco-wingkingan" ciptaan Orde Baru itu.

Meski terkesan sederhana, dalam konsep "Keluarga Sakinah" ide dasarnya adalah soal tanggung
jawab yang harus diemban masing-masing individu terlepas dari apa pun posisinya dalam
keluarga. Peran itu kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Peran ibu dalam
konsep itu adalah melindungi anggota keluarganya.

Secara kritis gagasan itu dimaknai sebagai bentuk ketundukan Aisyiyah kepada kehendak Orde
Baru. Di lain pihak gagasan itu dicurigai sebagai upaya Islamisasi keluarga. Harap dicatat ketika
itu negara begitu fobia terhadap hal-hal berbau Islam. Nyatanya gagasan "Keluarga Sakinah"
memberi landasan berbeda dalam soal cara pengaturan keluarga karena tumpuannya adalah soal
tanggung jawab dunia akhirat masing-masing anggota keluarga. Belakangan ketika negara
melunak kepada umat Islam, gagasan itu diadopsi negara guna menggenjot program KB.

Kehilangan hak dasar

Kini, pemberian tempat layak bagi perempuan dalam organisasi itu telah menunjukkan capaian
luar biasa. Aisyiyah telah berhasil membangun modal sosial yang sangat berharga, yang tersebar
di seluruh Tanah Air. Berbagai jenis atau bentuk amal usaha Aisyiyah antara lain lembaga
pendidikan (dari tingkat PAUD/Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Atfal sampai tingkat
perguruan tinggi, termasuk pendidikan nonformal).
Jumlahnya kira-kira 24.000 lembaga pendidikan. Mereka mendirikan ribuan lembaga
kesejahteraan sosial (panti asuhan), panti lansia, dan rumah aman korban KDRT. Di bidang
kesehatan, Aisyiyah bekerja dari sisi hulu-penyediaan tenaga terampil kesehatan hingga hilir
dalam pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, balai kesehatan ibu anak, dan poliklinik.
Jumlahnya pun ribuan dengan kapasitas layanan besar, sedang, dan kecil.

Di tengah catatan keberhasilan itu, Aisyiyah berhadapan dengan persoalan yang membutuhkan
sikap tajdid baru menghadapi abad kedua gerakan mereka. Luasan persoalan yang dihadapi
makin besar dan mendasar. Globalisasi telah memengaruhi rumah tangga, bahkan hingga ke
kamar tidur. Relasi-relasi yang dibayangkan dalam gagasan "Keluarga Sakinah" tak lagi cocok
digunakan dalam melihat persoalan itu. Ini disebabkan berubahnya ruang hidup akibat hilangnya
akses rakyat/umat, utamanya kaum miskin yang sebagiannya perempuan, atas tanah dan sumber
ekonomi.

Alih kepemilikan dan fungsi lahan menjadi raksasa-raksasa industri ekstraktif, pembukaan hutan
untuk batubara dan sawit, pembongkaran gunung-gunung untuk semen, serta penangkapan ikan
oleh kapal keruk raksasa jelas telah mengubah ketahanan keluarga dan warga di desa-desa.
Perubahan ruang hidup itu menyebabkan jutaan perempuan bermigrasi sebagai tenaga kerja
berketerampilan rendah di kota, tetapi mereka jarang terhubung dengan organisasi keagamaan.
Jutaan perempuan itu kehilangan hak-hak dasarnya dengan kondisi kesehatan fisik dan
reproduksi yang rentan.

Demikian juga ribuan pekerja perempuan dengan perlindungan sangat minimal. Mereka perlu
disapa dengan pendekatan yang juga memahami bentuk-bentuk eksploitasi baru dalam era
globalisasi. Ini menunjukkan persoalan kemanusiaan yang disebabkan perubahan ruang hidup,
relasi kuasa ekonomi harus dilihat sebagai persoalan umat dan bukan perempuan semata.

Mengiringi perubahan sosial ekologi serupa itu, berubah pula struktur-struktur relasi sosial di
wilayah urban dan perdesaan. Peran pamong, pemuka agama banyak terserap melayani
korporasi. Atau mereka tergilas oleh eksploitasi dan ekspansi industri-industri raksasa itu. Ketika
terjadi "kekosongan" kepemimpinan umat, posisi itu diisi oleh para pemain baru yang sama
sekali tak paham konteks Islam dan kebangsaan. Mereka melakukan penafsiran baru yang lebih
diskriminatif terhadap perempuan, tetapi menggunakan otoritas agama yang makin keras dan
konservatif. Perkawinan anak tumbuh subur, demikian halnya penyingkiran perempuan dari
ruang publik atas nama syar'i. Inilah agaknya dua isu besar yang membutuhkan pemikiran yang
tak hanya dijawab oleh Aisyiyah, tetapi juga Muhammadiyah. Lies Marcoes Peneliti Masalah
Jender, Kemiskinan, Penegakan Hukum Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4
Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Tantangan Abad Kedua Aisyiyah".

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tantangan Abad Kedua


Aisyiyah", https://nasional.kompas.com/read/2015/08/04/16000021/Tantangan.Abad.Kedua.Aisy
iyah?page=all.

Anda mungkin juga menyukai