PEREMPUAN
Author 1
Fahul Khair, M. Pd
fathulkhair@itekesmukalbar.ac.id
Author 2
Ananda Puspitasari, S.Kep, Ns
ananda@untan.ac.id
Author 3
Sri Murthi Lestari, S.Kep, Ns
Lsri7467@gmail.com
Pendahuluan
Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat mencakup
tiga dimensi, yaitu kemampuan kerakyatan, kemampuan
sosiopolitik, dan kemampuan partisipatif. Selain itu, pemberdayaan
juga merujuk pada tigal hal. Pertama sebuah proses Pembangunan
yang bermula dari pertumbuhan individual kemudian berkembang
menjadi perubahan sosial yang lebih besar. Kedua sebuah keadaan
psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna, dan mampu
mengendalikan diri dan orang lain. Ketiga, pembebasan yang
dihasilkan dari sebuah Gerakan sosial. Pembebasan ini dimulai dari
pendidikan terhadap orang-orang lemah dan selanjutnya melibatkan
upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk
memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih
menekan (Sofia, 2021).
Pemberdayaan dapat dilakukan dengan adanya sebuah
modal sosial yang terdapat dalam masyarakat. Modal sosial itu
merupakan hubungan-hubungan antara manusia, yaitu orang-orang
yang melakukan aksi kepada sesamanya karena adanya kewajiban
sosial dan timbal balik, solidaritas sosial, dan komunitas. Modal
sosial ini merupakan perekat yang menyatukan masyarakat. Oleh
karena itu, suatu pemberdayaan akan berhasil jika memperkuat
Fathul Khair,M.Pd, Ananda Puspitasari, S.Kep, Ns, Ns Sri murthi Lestari,
S.Kep : Muhamaddiyah dan Pemberdayaan Perempuan | 3
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
kepustakaan yaitu metode yang sumber datanya berasal dari buku, artikel
ilmiah maupun dokumen yang berkaitan dengan topik permasalahan.
Metode kepustakaan merupakan penelitian dengan melakukan
pegumpulan data-data melalui data atau karya ilmiah yang isinya relevan
dengan topik permasalahan khususnya berkaitan dengan kepribadian
Muhammadiyah. Dimana didalamnya terfokus pada penjabaran tentang
kemuhamadiyaan dan pemberdayaan perempuan.
Hasil dan Pembahasan Penelitian
A. Cara KH Ahmad Dahlan Memberdayakan Perempuan
KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang hingga
kini masih eksis sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di
tanah air, adalah salah satu dari sedikit ulama terkemuka di awal
abad ke 20 yang sangat memperhatikan kepentingan Perempuan.
Jauh sebelum isu kesetaraan gender atau feminisme berkembang di
tanah air, Ahmad Dahlan sudah bekerja untuk menempatkan kaum
Perempuan dalam posisi yang setara dengan pria meskipun dengan
tugas yang berbeda (Mulkhan, 2010).
“Apakah tidak malu jika aurat kalian dilihat oleh kaum
lelaki?” Tanya Kiai Ahmad Dahlan dihadapan anak-anak
Perempuan didikan Muhammadiyah pada suatu kali. Yang ditanya
serempak menjawab bahwa mereka akan sangat malu jika itu
terjadi. Sang kiai pun berkata, “Jika malu, mengapa ketika kalian
sakit lalu pergi ke dokter laki-laki? Apalagi bila hendak melahirkan
anak. Jika kalian benar-benar malu, hendaknya terus belajar dan
belajar dan jadilah dokter, sehingga akan ada dokter Perempuan
untuk kaum Perempuan.” Fragmen yang dikutp dari buku Pesan &
Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah itu
hanya secuil dari jejak langkah sang pencerah dalam upayanya
untuk memuliakan serta menaikkan harkat dan martabat kaum
Perempuan (Raditya, 2018).
Pemberdayaan Perempuan menjadi strategi penting dalam
meningkatkan potensi dan peran Perempuan agar lebih mampu,
mandiri, dan berkarya. Sejak awal Muhammadiyah berdiri, Ahmad
Dahlan memposisikan Perempuan sebagai pilar penting untuk
mendukung organisasinya tersebut. Ahmad Dahlan dibantu Nyai
Walidah menggerakkan Perempuan untuk memperoleh ilmu,
Fathul Khair,M.Pd, Ananda Puspitasari, S.Kep, Ns, Ns Sri murthi Lestari,
S.Kep : Muhamaddiyah dan Pemberdayaan Perempuan | 5
melakukan aksi sosial di luar rumah yang bisa disebut radikal dan
revolusioner saat itu. kaum Perempuan didorong meningkatkan
kecerdasan melalui pendiidkan formal dan nonformal seperti
pengajian dan kursus-kursus. Mereka berdua sudah melakukan
pembinaan pada Perempuan kampung kauman Yogyakarta untuk
terjun dan ikut ambil bagian dalam memurnikan persoalan sosial
kemasyarakatan (Yuliati, 2023).
Pada tahun 1911, yaitu setahun sebelum Muhammadiyah
berdiri, didirikan Madrasah Diniyah. Tahun 1913, yakni setahun
setelah Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan menganjurkan
kepada tetangga-tetangganya untuk menyekolahkan anak-anak
Perempuan mereka di sekolah Belanda Neutraal Meisjes School di
Ngupasan. Tiga orang gadis yang saat itu berhasil masuk ke
sekolah itu ada Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah
(Yuliati, 2023).
Tahun 1914, Ahmad Dahlan dan istrinya Nyai Walidah
mengadakan kursus-kursus agama atau pengajian khusus untuk
kaum Perempuan yang dilaksanakan sesudah waktu ashar yang
diberi nama Wal’asri, kursus itu diikuti pula oleh siswi-siswi
Sekolah Netral Belanda. Pemberdayaan Perempuan dapat
dilakukan melalui organisasi keperempuanan. Muhammadiyah
memandang bahwa Perempuan juga berpotensi untuk aktif dalam
menggerakkan organisasi yang kala itu didominasi oleh kaum laki-
laki (Yuliati, 2023).
Berdasarkan usulan KH Ahmad Dahlan, pada tahun 1917
terbentuklah organisasi yang secara khusus bertujuan untuk
memajukan kaum Perempuan yang kemudian diberi nama
‘Aisyiyah yang merupakan nama usulan diberikan oleh KH
Fachruddin, salah seorang murid KH Ahmad Dahlan. ‘Aisyiyah
berawal dari sebuah pertemuan yang berlangsung di rumah KH
Ahmad Dahlan yang dihadiri oleh KH Fachruddin, KH Mochtar,
Ki Bagus Hadi Kusumo, dan enam orang gadis Muslimah yang
memang telah dikader sebelumnya melalui Sopo Tresno, yakni Siti
Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busjro, Siti Wadingah,
dan Siti Badilah. Hasil rapat memutuskan bahwa organisasi
Perempuan yang Bernama ‘Aisyiyah akan segera dibentuk bukan
untuk membedakan posisi antara laki-laki dan Perempuan. Justru
Ahmad Dahlan menyadari bahwa Muhammadiyah sangat
memerlukan peran dari kaum hawa. ‘Aisyiyah merupakan tangan
kanan Muhammadiyah untuk merespon isu-isu Perempuan dan
sekaligus memberdayakannya melalui jalur pendidikan dan
pelayanan sosial (Raditya, 2018).
Bersama ‘Aisyiyah, Ahmad Dahlan memobilisasi
Perempuan untuk memasuki peradaban yang modern, termasuk
menjadi pelopor bermunculannya juru dakwah Perempuan yang
sebelumnya masih sangat langka. ‘Aisyiyah menjadi salah satu
warisan Ahmad Dahlan yang paling berharga, tentu saja dengan
peran krusial sang istri, Siti Walidah (Sofia, 2021). ‘Aisyiyah
tercatat sebagai organisasi kewanitaan pertama yang berdiri di
Indonesia dan telah membuka lembaran Sejarah baru tentang
peranan Perempuan dalam keikutsertaan pembangunan negara
(Arifin, 2017). Kepada para Wanita, Ahmad Dahlan berpesan
“Urusan dapur janganlah dijadikan halangan untuk menjalankan
tugas dalam menghadapi masyarakat.”
B. Kesetaraan Gender dalam Muhammadiyah
Ajaran KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah
memandang bahwa laki-laki dan Perempuan adalah setara. Ahmad
Fathul Khair,M.Pd, Ananda Puspitasari, S.Kep, Ns, Ns Sri murthi Lestari,
S.Kep : Muhamaddiyah dan Pemberdayaan Perempuan | 7
Artinya:
“Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-
laki maupun Perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun.”
Menurut tokoh Muhammadiyah, ayat ini mengandung
kesetaraan gender antara laki-laki dan Perempuan untuk membentuk
suatu perkumpulan umat untuk menjalankan dakwah Islam secara
terorgananisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung
penegasan tentang hidup berorganisasi (Yusuf, 2020).
Kesimpulan
Pemberdayaan Perempuan menjadi strategi penting dalam
meningkatkan potensi dan peran Perempuan agar lebih mampu, mandiri,
dan berkarya. Sejak awal Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan
memposisikan Perempuan sebagai pilar penting untuk mendukung
organisasinya tersebut. Berdasarkan usulan KH Ahmad Dahlan, pada
tahun 1917 terbentuklah organisasi yang secara khusus bertujuan untuk
memajukan kaum Perempuan yang kemudian diberi nama ‘Aisyiyah
yang merupakan nama usulan diberikan oleh KH Fachruddin, salah
seorang murid KH Ahmad Dahlan.
DAFTAR PUSTAKA