Anda di halaman 1dari 5

B.

Organisasi Aisyiyah Muhammadiyah dan Perannya dalam Mendukung


Kemajuan Perempuan Indonesia
Oleh Fitri Dzariyatinnisa
Perkembangan suasana keislaman pada awal Abad 19 di Nusantara ini
menarik dicermati. Diantara hal yang tercatat dalam sejarah, adalah
berkembangnya tradisi Patriarkhi yang menganggap bahwa laki-laki mempunyai
derajat yang lebih tinggi dibandingkan Wanita (Ahmad&Sugiarti,2013). Sehingga
pada saat itu terlihat perbedaan yang sangat mencolok dalam pendidikan, kegiatan
sosial, dan profesi. Pada umumnya, Wanita dianggap hanya bertugas untuk
mengurusi urusan rumah tangga saja tanpa terlibat atau dilibatkan dalam urusan
lainnya.
Muhammadiyah yang telah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun
1912, merespon hal ini (bersama dengan istrinya) dengan mendirikan “Sapa
Tresna” (Ahmad& Sugiarti, 2013). Sapa Tresna adalah sebuah perkumpulan
perempuan yang menyelenggarakan pengajian ilmu agama Islam dan ilmu umum
sekaligus. Kemudian akhirnya perkumpulan ini menjadi cikal bakal berdirinya
organisasi Aisiyah pada tanggal 19 Mei tahun 1917. Tujuan mendasar dari
berdirinya Aisyiyah adalah mengembalikan harga diri perempuan dan juga
memberikan pendidikan kepada para perempuan (Muarif & Hajar, 2011).

Awal Mula Kegiatannya


Awal mula kegiatannya, K.H. Ahmad Dahlan bersama istrinya Siti Walidah
menyelenggarakan kursus-kursus agama khusus untuk perempuan yang dinamakan
Wal’ashri (Mawardi,19178). Kursus ini diselenggarakan setiap hari pada sore hari
setelah Ashar. Pesertanya adalah santri-santri di madrasah diniyah dan siswa
sekolah Neutraal Meisjes School (Sekolah yang didirikan Belanda). Diantara hal
yang unik dalam kegiatan kursus ini adalah banyaknya praktik memberikan
pertolongan kepada fakir miskin sebagai pengamalan dari surat Al-Ma’un.
Nyai Ahmad Dahlan juga menyelenggarakan Maghribi School pada tahun 1914
sebagai sebuah respon banyaknya perempuan pekerja batik dari luar daerah
Yogyakarta yang minim pemahaman Islam dan tidak berpendidikan (Mu’arif &
Hajar, 2011). Maka Nyai mengajarkan pendidikan agama, membaca, dan belajar
menulis kepada mereka di waktu Mahgrib setelah mereka pulang sekolah. Walashri
dan Maghribi School menjadi embrio lahirnya pengajian-pengajian perempuan
Muhammadiyah diluar Yogyakarta.

Pemilihan Nama Aisyiyah dan Prinsip Dasar Perjuangan Pendiriannya


Nama Aisyiyah diusulkan oleh K.H. Fahrodin dalam Forum Pimpinan Muhammadiyah
untuk menggantikan nama perkumpulan “Sapa Tresna” atau “Sopo Tresno”.
Aisyiyah diambil dari nama istri Nabi yakni Aisyah R.A. Aisyah R.A merupakan
sosok istri yang solihah dan perempuan yang cerdas namun juga berkiprah di ruang
publik seperti berdagang, aktif kegiatan sosial, dan juga politik.
Pemilihan Nama Aisyiyah juga dimaksudkan untuk menghindari jebakan paham
feminisme kebablasan yang berkembang dan menjadi panutan priyai pada saat itu
(Arief Subhan, 2003). Feminisme cenderung melanggar batas kefitrahan perempuan
sebagai istri dan ibu dalam keluarga yang memiliki peranan yang tidak boleh
dipisahkan juga.
Dengan pemilihan nama ini, maka perkembangan ideologi pergerakan perempuan
berkembang dalam 4 Tahapan ( (Ahmad& Sugiarti, 2013); (1). Penegasan
kedudukan perempuan di tengah dunia laki-laki di dalam hal agama maupun
keluarga, (2). Perempuan dianjurkan aktif mengambil peran dalam aktifitas sosial
dan politik, (3). Pembinaan keluarga, agar perempuan juga tidak melupakan
fitrahnya, dan (4).Penegasan peran perempuan dalam pembangunan bangsa.
K.H Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, secara khusus memberikan wejangan
dasar-dasar perjuangan organisasi Aisyiyah (Ahmad & Sugiarti, 2013), yakni :
Pertama, Perjuangan hendaklah disertai dengan rasa keikhlasan hati dalam
menunaikan tugas-tugasnya sebagai Wanita Islam sesuai dengan bakat-bakat dan
kecapakannya. Tidak menghendaki sanjungan, pujian, dan tidak pernah merasa
auntuk mundur jika mendapatkan suatu hinaan.
Kedua, Penuh keinsafan bawah beramal itu harus berilmu.
Ketiga, Jangan mengadakan akasan yang tidak dianggap sah oleh Allah hanya untuk
menghindari suatu tugas yang diserahkan kepadanya.
Keempat, Membulatkan tekad atau beriltizam untuk membela kesucian agama
Islam.
Kelima, Menjaga persaudaraan dan kesatuan temen sekerja dan seperjuangan.

Perkembangannya di Masa Kini

Sebagai organisasi perempuan di Indonesia yang berusia hampir 100 tahun,


‘Aisyiyah sudah memiliki pengalaman dalam berkontribusi memajukan perempuan
Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang pendidikan, kesehatan,
ekonomi, kesejahteraaan sosial, penyadaran hukum, pendidikan politik, dan
pemberdayaan perempuan. ‘Aisyiyah sebagai organisasi otonom perempuan
Muhammadiyah bekerja di seluruh provinsi di Indonesia dari Sabang sampai
Merauke.
 
Aisyiyah merintis berdirinya pendidikan untuk anak-anak yang pertama di Indonesia
dengan nama Frobel School, yang saat ini bernama TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK
ABA). Dalam perjalanannya, ‘Aisyiyah juga mencanangkan pemberantasan buta
huruf baik buta huruf Latin maupun buta huruf Arab, memberikan pendidikan
keagamaan bagi para buruh batik , mendirikan mushola perempuan pertama di
tahun 1922 yang kemudian direplikasi oleh ‘Aisyiyah di Indonesia dan menjadi ciri
khas ‘Aisyiyah. Berbagai kegiatan yang diinisiasi oleh ‘Aisyiyah tersebut merupakan
upaya meningkatkan pengetahuan dan mendorong partisipasi perempuan dalam
dunia publik. Selain itu, untuk menyebarkan ide-ide pembaharuan, pada tahun
1926 ‘Aisyiyah menerbitkan majalah organisasi yang bernama Suara ‘Aisyiyah dan
masih terus terbit hingga saat ini.
 
Adapun dalam konteks pergerakan perempuan Indonesia, ‘Aisyiyah merupakan
salah satu organisasi yang terlibat aktif dalam penyelenggaraan Kongres
Perempuan Indonesia I, 22-25 Desember 1928, di Yogyakarta, yang merupakan
basis kuat ‘Aisyiyah. Warga ‘Aisyiyah banyak hadir meramaikan perhelatan
kongres, dan ‘Aisyiyah menjadi salah satu organisasi pemrakarsa terbentuknya
badan federasi organisasi-organisasi perempuan Indonesia. Dua pimpinan ‘Aisyiyah
kemudian terpilih sebagai pimpinan, yaitu Siti Moendjijah sebagai Wakil Ketua dan
Siti Hajinah sebagai anggota.
 
Untuk memajukan derajat perempuan dan mendorong partisipasi perempuan
dalam bidang ekonomi, ‘Aisyiyah telah mendirikan 568 koperasi untuk perempuan
dan melakukan pemberdayaan ekonomi keluarga melalui 1029 Bina Usaha Ekonomi
Keluarga (BUEKA), mendirikan Baitul Maal wa Tamwil, dan pembinaan home
industry. Dalam bidang pendidikan, ‘Aisyiyah telah memiliki amal usaha pendidikan
mulai dari tingkat PAUD/TK sampai dengan Perguruan Tinggi yang tersebar di
seluruh Indonesia termasuk Pendidikan Luar Sekolah dan Keaksaraan Fungsional. Di
tingkat PAUD/TK, ‘Aisyiyah memiliki sebanyak 19.181 lembaga termasuk di
dalamnya TPA dan TPQ.
 
Selanjutnya, kontribusi dalam bidang kesehatan, ‘Aisyiyah mendirikan Rumah Sakit
Umum, Rumah Sakit Bersalin, Pusat Kesehatan, Pusat Kesehatan Komunitas, Pusat
Kesehatan Ibu dan Anak, serta Poliklinik. Secara keseluruhan amal usaha di bidang
kesehatan yang dikelola Muhammadiyah–‘Aisyiyah sejumlah: 87 Rumah Sakit
Umum, 16 RS Ibu dan Anak, 70 RS Bersalin, 106 Balai Pengobatan (BP), 20
Balkesmas, 76 BKIA, 105 Rumah Bersalin, serta posyandu yang tersebar di seluruh
Indonesia.
 
Kontribusi ‘Aisyiyah dalam bidang kesejahteraan sosial diwujudkan dalam bentuk
pendirian Panti Asuhan, Panti Lansia, Balai Latihan Kerja, dan bantuan untuk anak
miskin dan lansia di komunitas. Adapun untuk mendorong perubahan kebijakan di
tingkat lokal dan nasional yang berpihak kepada kelompok miskin dan perempuan
serta anak-anak, ‘Aisyiyah mengembangkan dakwah advokasi dalam berbagai
bidang.

Peranannya dalam Mendukung Kemajuan Perempuan Indonesia


a. Bidang Pendidikan
Keterikatan para wanita muslimah dalam penyelenggaraan pendidikan sudah
dimulai sejak than 1919, dua tahun setelah kelahiran Aisyiyah yaitu dengan
mempelopori pendirian Frobelschool yang merupakan sekolah pertama yang
didirikan oleh kaum pribumi Selain itu, Frobelschool adalah embrio dari TK ABA
(Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Bustanul Athfal) . Pesona dan daya tarik pendidikan
pra sekolah ini begitu kuat, sehingga menempatkan cikal bakal dari TK ABA
tersebut sebagai salah satu amal usaha Muhammadiyah dan Aisyiyah yang paling
istimewa. Sekolah tersebut telah menyediakan alternatif saluran pendidikan
karena sekolah lain pada waktu itu tidak begitu terbuka untuk kalangan pribumi.
Pendirian Frobelschool dipelopori oleh angkatan muda wanita Muhammadiyah yang
ada di dalam SPW (Siswo Proyo Wanita) pimpinan Siti Umniyah dan K.R.P.H.
Muhammad Kamaluddiningrat atau biasa dikenal sebagai K.H. Sangidu, yang pada
waktu itu menjabat sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta.
b. Bidang Keagamaan
Reformasi Islam yang dijalankan Aisyiyah telah membuat perubahan pandangan
tentang wanita. Sebelum gerakan pembaruan muncul di Kauman, para wanita
belum banyak yang menjalankan syariat Islam dengan memakai pakaian Islam.
Sebagian wanita yang telah berjilbab di kampung ini hanyalah para wanita yang
telah menunaikan ibadah haji. Kondisi ini mulai berubah sejak para gadis Kauman
mulai mengikuti aktivitas secara terorganisasi di dalam Sopo Tresno. Selain
mengadakan pengajian, program pertama yang dilakukan adalah mengusahakan
dan menerbitkan para wanita peserta pengajian memakai jilbab dari kain sorban
berwarna putih.
Sejalan dengan mengenakan kerudung bagi wanita muslimah inilah, maka
muncullah kerajinan menylam kerudung songket bermotif Bungan yang dinamakan
kudung.. Pembuatan songket jkudung ini memakan waktu pembuatan satu bulan
karena teknik pembuatannya sangat rumit, motif yang dipilih adalah bunga-
bungaan yang digambar terlebih dahulu di atas kertas strimin agar menghasilkan
kerudung songket yang halus. Setelah Aisyiyah secara resmi berdiri pada tanggal 19
Mei 1917, para wanita di dalam organisasi itu merintis pembangunan musala khusus
bagi kaum wanita Kauman pada tahun 1922 untuk mendukung kapasitas mereka
dalam beramal saleh dan memenuhi tuntunan para wanita yang ingin menjalankan
ibadah salat. Bentuk musalah tersebut tampak tak jauh beda dengan bangunan
musalah saat ini. Musalah yang berdiri di Kauman ini memang pernah direnovasi,
tetapi bentuknya (termasuk pagar musalah), masih seperti semula. Sebelum
Mushola Aisyiyah didirikan, salat berjamaah biasanya dilakukan di rumah orang tua
Siti Hayinah Mawardi, serambi rumah Nyai Ahmad Dahlan, dan berpindah-pindah.
Perlu diketahui pula bahwa mushola yang selanjutnya menjadi tradisi
Muhammadiyah di beberapa tempat ini merupakan mushola wanita pertama yang
didirikan di Indonesia (PP. Aisyiyah, 1990:60). Selain digunakan untuk salat
berjamaah, musalah ini juga digunakan untuk menarik orang-orang yang belum
melaksanakan salat dengan baik menurut ajaran Rasulullah Saw. Pada sore hari,
mushola ini digunakan untuk mengaji anak-anak. Mereka yang belum fasih bacaan
salatnya dapat belajar memperlancar bacaannya di musalah ini. Di tempat ini
pulalah para wanita Aisyiyah melaksanakan penerangan untuk meluruskan akidah
masyarakat dengan memberikan tuntunan akhlak dan muamalah
b. Bidang Sosial Kemasyarakatan
Kegiatan Aisyiyah dalam social kemasyarakatan dimulai dengan penyantunan anak-
anak yatim. Kegiatan ini diperluas hingga meliputi sub bidang bantuan kepada
korban bencana alam. Santunan kepada anak-anak yatim merupakan salah satu
bidang kegiatan Aisyiyah dalam subbidang perlindungan dan kesejahteraan
keluarga. Santunan tersebut tidak hanya dilakukan terhadap anak-anak yatim saja,
tetapi terhadap anak-anak miskin juga. Santunan terhadap anak-anak yatim dan
anak-anak miskin merupakan realisasi ajaran K.H. Ahmad Dahlan untuk
mengamalkan surat Al-Ma’un. Pada intinya, surat Al-Ma’un mengajarkan bahwa
ibadah ritual itu tidak ada artinya apabila pelakunya tidak melaksanakan amal
sosial.
Dalam kerangka gerak inilah perspektif kedermawanan Aisyiyah dilakukan untuk
melakukan yang terbaik untuk masyarakat dan melindunginya dari diskriminasi atas
dasar status sosial, etnis, atau faktor diskriminatif lainnya. K.H. Ahmad Dahlan
sendiri mengistilahkannya dengan etika “welas asih” – Allah Maha Pengasih dan
Penyayang atas semua makhluk-Nya, terutama kaum duafa dalam masyarakat. K.H.
Ahmad Dahlan tidak hanya meletakkan prinsip tersebut untuk kepentingan
kelompok, melainkan juga demi kepentingan seluruh masyarakat. Dengan kata
lain, Muhammadiyah ataupun Aisyiyah adalah gerakan Islam yang memilih dan
menempatkan diri secara sadar dalam masyarakat dan menjadikan masyarakat
sebagai ruang geraknya.

Referensi
Ahmad, Heffryan. Sugiarti,Eny. 2013. “Berdirinya Gerakan Pembaharuan Organisasi
Perempuan Aisiyah”. Jurnal Verleden : Jurnal Kesejarahan Vol.2 No. 2
Mawardi, H.mh. 1978. “Perkembangan Perguruan Muhammadiyah”. Suara
Muhammadiyah No.10. Th. 58/1978.
Arief Subhan, dkk. 2003. “Citra Perempuan dalam Islam : Pandangan Ormas dalam
Keagamaan”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai