Anda di halaman 1dari 3

Strategi Kyai Ahmad Dahlan Memberdayakan Perempuan

Oleh : Muhammad Ghifar Hawary

Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah yang hingga saat ini tetap eksis
sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di tanah air, adalah salah satu dari sekian
ulama terkemuka di awal abad ke-20 yang sangat memperhatikan kepentingan
perempuan, melalui berbagai daya dan upayanya. Jauh sebelum isu kesetaraan jender
atau feminisme berkembang di tanah air, beliau sudah bekerja untuk menempatkan
kaum perempuan dalam posisi yang setara dengan pria meskipun dengan tugas yang
berbeda.
Salah satu bukti bahwa Ahmad Dahlan tidak menjadikan perbedaan jenis
kelamin sebagai masalah, terlihat dalam penempatan daftar pendakwah
Muhammadiyah yang tidak selalu didominasi oleh kaum adam. Bisa dibilang ini
merupakan gebrakan baru pada dekade kedua abad ke-20 itu dimana juru dakwah
perempuan masih sangat sedikit sekali jumlahnya.
Sejak awal Muhammadiyah berdiri di Yogyakarta pada tanggal 18 November
1912, Ahmad Dahlan memposisikan perempuan sebagai pilar penting untuk
mendukung organisasinya itu. Itulah kemudian, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti
Walidah membentuk Aisyiyah pada tahun 1914 yang bertujuan sebagai wadah
pergerakan bagi perempuan Muhammadiyah.
Aisyiyah didirikan bukan untuk membedakan posisi antara laki-laki dan
perempuan. Justru Ahmad Dahlan menyadari bahwa Muhammadiyah sangat
memerlukan peran dari kaum hawa. Aisyiyah menjadi tangan kanan Muhammadiyah
untuk merespons isu-isu perempuan dan sekaligus memberdayakannya melalui jalur
pendidikan dan pelayanan sosial.
Bersama Aisyiyah, Ahmad Dahlan memobilisasi perempuan untuk memasuki
peradaban yang modern, termasuk menjadi pelopor bermunculannya juru dakwah
perempuan yang sebelumnya masih teramat langka. Aisyiyah menjadi salah satu
warisan Ahmad Dahlan yang paling berharga, tentu saja juga dengan peran krusial
sang istri, Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan. Hingga tahun 1938, Aisyiyah telah
menghasilkan lebih dari 2.000 orang muballighah dan mengelola banyak sekali
sekolah perempuan.
Persoalan sosial yang saat ini menjadi banyak perhatian masyarakat adalah
tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak- anak. Bermuculannya kriminalitas
yang menjadikan perempuan sebagai korban telah cukup lama menjadi perhatian
pemerintah maupun organisasi sosial kemasyarakatan. Sampai saat ini, persoalan
tersebut masih relevan untuk terus dicarikan formula antisipasinya.
Muhammadiyah merupakan salah satu dari sekian elemen masyarakat yang
cukup konsen dalam menyelesaikan persoalan perempuan akibat diskriminasi yang
melanda mereka. Diskriminasi terhadap perempuan menjadi perhatian sejak awal
berdirinya persyarikatan Muhammadiyah di era Kyai Dahlan.
Ajaran KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah memandang bahwa laki-
laki dan perempuan adalah setara. Kyai Dahlan sangat memperhatikan perempuan
sebagai generasi penerus umat islam. Karena itulah, Kyai Dahlan menyuruh agar
perempuan juga harus belajar dan bersekolah selayaknya para kaum laki- laki.
Komitmen Muhammadiyah dalam hal perlindungan hak perempuan salah satunya
adalah dengan dibentuknya ortom Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah.
Gerakan Aisyiyah sejak awal berdiri, dan dari waktu ke waktu terus
berkembang dan memberi manfaat bagi peningkatan dan kemajuan harkat dan
martabat perempuan Indonesia. Pada tahun 1919 mendirikan Frobel, Sekolah Taman
Kanak-Kanak pertama milik pribumi di Indonesia. Bersama organisasi wanita lain
pada tahun 1928 mempelopori dan memprakarsai terbentuknya federasi organisasi
wanita yang kemudian dan sampai sekarang dengan KOWANI.
Kepada para wanita beliau berpesan: “ urusan dapur janganlah dijadikan
halangan untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat”. Rupanya beliau
mengetahui bahwa tak mungkin pekerjaan besar akan berhasil tanpa bantuan kaum
wanita. Dalam melaksanakan cita-cita beliau, bantuan dari kaum hawa yang berbadan
halus itu diperlukan, dan ini sebetulnya ikut menentukan berhasil tidaknya usaha
beliau. Karenanya, mereka oleh beliau dihimpun dan diajak serta melaksanakan tugas
kewajiban yang berat, tetapi luhur itu. Oleh karena itu wanita atau perempuan itu
memegang peranan penting pula, tidak hanya laki-laki yang memiliki peran penting
dalam kemuhammadiyahan.
Perbedaan gender sesunguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai
bentuk ketidakadilan, yaitu marjinalisasi (peminggiran), subordinasi (penomorduaan
atau anggapan tidak penting), stereotipe (pelabelan negatif biasanya dlam bentuk
pencitraan yang negatif), violence ( kekerasan), double burden (beban kerja ganda
atau lebih), dan sosialisasi ideologi peran gender. Perbedaan gender ini hanya dapat
mempersulit baik laki-laki maupun perempuan.
Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang hendak diwujudkan
Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah masyarakat yang rahmatan lil’alamin, Aisyiyah
sebagai komponen perempuan Muhammadiyah dalam mewujudkan masyarakat yang
berkeseteraan dan berkeadilan gender, berkiprah dengan merespon isu-isu perempuan
(seperti KDRT, kemiskinan, trafficking, pornografi dan aksi, pendidikan, kesehatan,
dan kesejahteraan) dan sekaligus memberdayakannya secara terorganisir, terprogram,
dengan menggunakan dan memanfaatkan seluruh potensi.
Muhammadiyah dan Aisyiyah sampai sekarang tetap berkomitmen dalam
pemberdayaan perempuan untuk kesetaraan dan keadila jender, hal ini dapat dilihat
dari hasil Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta mengenai
Program Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang terdiri dari
Visi Pengembangan dan Program Pengembangan.
Aisyiyah memiliki garapan program kerja yang sangat khusus, strategis dan
visioner, yaitu perempuan. Peran dan fungsi perempuan merupakan bagian terpenting
dalam gerak roda kehidupan, sebab pepatah bilang wanita adalah tiang negara,
apabila wanitanya baik maka akan makmur negaranya tetapi kalau wanita di negara
tersebut hancur maka akan hancur pula derajat negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai