Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang
dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan
perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda,
dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai


manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan
bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-
laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya.
Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan
hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa
peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus
keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak
penting.

Sosok perempuan yang berprestasi dan bisa menyeimbangkan


antara keluarga dan karir menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan
seringkali takut untuk berkarir karena tuntutan perannya sebagai ibu
rumah tangga. Namun Dunia saat ini banyak melahirkan orang-orang yang
cerdas dan memliki pemikiran yang maju untuk merubah bangsanya ke hal
yang lebih baik.

Untuk melihat sisi lain dari orang-orang yang cerdas ini


dibutuhkan sebuah peninggalan yang berupa bentuk tulisan mengenai
kehidupannya. Dalam penulisan kreatif dikenal dengan biografi atau
autobiografi yang merupakan isi dari riwayat hidup dari seseorang.
      Dalam makalah ini kami akan membahas Biografi dari Nyai
Ahmad Dahlan/ Siti Walidah yang merupakan salah satu sosok perempuan
yang berjasa dalam penyetaran gender di Nasional.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas 2 pokok bahasan tentang Nyai Ahmad Dahlan/Siti
Walidah yaitu :
1. Bagaimana biografi Nyai Ahmad Dahlan/Siti Walidah ?
2. Bagaimana Kiprah Nyai Ahmad Dahlan/Siti Walidah dalam
peradaban Perempuan ?
C. Tujuan
Mengetahui sejarah kehidupan dari Nyai Ahmad Dahlan/Siti Walidah
dalam hal:
1. Mengetahui biografi dari Nyai Ahmad Dahlan/Siti Walidah.
2. Mengetahui Kiprah Nyai Ahmad Dahlan/Siti Walidah dalam
peradaban Perempuan.

D. Manfaat
Diharapkan dari makalah ini bisa dipetik contoh-contoh
keteladanan yang diberikan oleh seorang Nyai Ahmad Dahlan/Siti
Walidah khususnya bagi para pembaca dan generasi muda pada umumnya
supaya bisa dijadikan penyemangat dengan menjadi pribadi yang baik dan
berjuang baik untuk kehidupannya pribadi maupun memajukan bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi
Nyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama Siti Walidah
di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Ia adalah putri dari Kyai Haji
Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta, daerah
bertempatnya tokoh agama banyak dari keraton Dia bersekolah di rumah,
diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Qur'an, ia
membaca Al Qur'an dalam naskah Jawi.
Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan sepupunya, Ahmad Dahlan. Saat
Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah saat itu,
Nyai mengikuti suaminya dalam perjalanannya. Namun, karena beberapa dari
pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap kali
menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan yang dijadwalkan
ke Banyuwangi, Jawa Timur mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum
konservatif di sana.

B. Kesetaraan Gender
Pada awal abad ke-20, kaum wanita belum merasa mendapatkan
persamaan hak dalam memperoleh pendidikan, sehingga bermuncullah tokoh-
tokoh emansipasi wanita dalam sejarah Indonesia.

Sikap keagamaan pada waktu itu sangat tradisional terutama bagi kaum
perempuan. Perempuan pada waktu tu tidak boleh mengenyam pendidikan formal,
mereka hanya diperbolehkan belajar agama. Pendidikan yang didirikan oleh
Belanda pada waktu itu terbatas dan hanya untuk goglongan tertentu. Walaupun
dari kalangan kaum ulama, Nyai Ahmad Dahlan hanya dididik agama oleh kedua
orang tuannya. Dahaga ilmu agama seolah terpuaskan setelah ia menikah dengan
KH Ahmad Dahlan, sepupunya. Ia mengikuti segala hal yang diajarkan oleh
suaminya. Bahkan, ia kemudian mengikuti jejak KH A Dahlan menggerakkan
Muhammadiyah, yang menambah ilmu, pengalaman, dan amal baktinya. Setelah
beliau menikah dengan Muhammad Darwis, atau lebih dikenal dengan Kiai Haji
Ahmad Dahlan, beliau mulai belajar banyak dari suaminya yang merupakan tokoh
dan pendiri organisasi Muhammadiyah. beliau juga akrab dengan tokoh-tokoh
nasioanl teman-teman suaminya. Meskipun Nyai Dahlan hanya memperoleh
pendidikan dari lingkungan keluarga, namun ia mempunyai pandangan yang luas.
Hal itu diperoleh karena pergaulannya dengan para tokoh, baik tokoh-tokoh
Muhammadiyah maupun tokoh pemimpin bangsa lainnya, yang kebanyakan
adalah teman seperjuangan suaminya. Di antara mereka adalah, Jenderal
Soedirman, Bung Tomo, Bung Karno, dan Kiai Haji Mas Mansyur. Dari tokoh-
tokoh itulah, Nyai Ahmad Dahlan meski hanya memperoleh pendidikan dari
lingkungan keluarga, tumbuh menjadi seseorang yang berwawasan luas.
Berangkat dari kenyataan yang ada, Nyai Ahmad Dahlan mulai memikirkan untuk
memperjuangkan hak-hak wanita, dimulai dengan membuat pengajian untuk
kalangan wanita, tidak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama tetapi juga
mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat.

Keterlibatannya dengan Muhammadiyah dimulai saat ia turut merintis


kelompok pengajian wanita Sopo Tresno, yang artinya ‘siapa cinta’ tahun 1914.
Kelompok ini belum merupakan organisasi tetapi hanya suatu gerakan kelompok
pengajian saja, karena belum mempunyai anggaran dasar dan peraturan lain.
Kegiatan Sopo Tresno berupa pengkajian agama yang disampaikan secara
bergantian oleh Kyai Dahlan dan Nyai Dahlan. Dalam pengajian itu, diterangkan
ayat-ayat Alquran dan hadis yang mengupas tentang hak dan kewajiban
perempuan. Dengan kegiatan seperti diatas diharapkan akan timbul suatu
kesadaran bagi kaum wanita tentang kewajibannya sebagai manusia, isteri, hamba
Allah, serta sebagai warga negara.

Dalam suatu pertemuan di rumah Nyai A Dahlan, yang dihadiri oleh Kyai
Muhtar, Kyai Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhruddin, dan
pengurus Muhammadiyah lainnya, timbul pemikiran untuk mengubah Sopo
Tresno menjadi sebuah organisasi wanita Islam yang mapan. Semula “Fatimah”
diusulkan sebagai nama organisasi itu, tetapi tidak disepakati seluruh tokoh yang
hadir. Kemudian oleh almarhum Haji Fakhrudin dicetuskan nama “Aisyiyah”.
Semua sepakat. Maka pada tanggal 22 April 1917 organisasi itu diresmikan.
Upacara peresmian bertepatan waktunya dengan peringatan Isra Miraj Nabi
Muhammad SAW yang diadakan oleh Muhammadiyah untuk pertama kalinya
secara meriah dan besar. Siti Bariyah tampil sebagai ketuanya. Dan pada tahun
1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.

Penuh tantangan Tak gampang membesarkan organisasi wanita pada


zaman itu. Nyai Dahlan dan pengurus Aisyiyah berjuang membuang kepercayaan
kolot yang menyebut sepak terjangnya sebagai ‘melanggar kesusilaan wanita’. Di
sisi lain, ia menanamkan ide baru bahwa wanita bisa berdaya dan sepadan
perannya dengan laki-laki.

Nyai Dahlan memilih ‘mengajari’ masyarakat dengan karya nyata. Ia


membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri dan mengadakan kursus-kursus
pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu,
ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta
menerbitkan majalah bagi kaum wanita.

Ia bersama-sama dengan pengurus Aisyiyah, sering mengadakan


perjalanan ke luar daerah sampai ke pelosok desa untuk menyebarluaskan ide-
idenya. Ia pun kerap mendatangi cabang-cabang Aisyiyah seperti Boyolali,
Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan sebagainya.
Karenanya, meski tidak duduk dalam pengurus Aisyiyah, organisasi itu
menganggap Nyai A Dahlan adalah Ibu Aisiyah dan juga Ibu Muhammadiyah.

Tahun 1926 saat Konggres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Nyai


Dahlan membuat catatan sejarah. Dialah wanita pertama yang tampil memimpin
kongres itu. Saat itu, dalam sidang ‘Aisyiyah yang dipandunya, duduk puluhan
pria di samping mimbar. Mereka adalah wakil pemerintah, perwakilan organisasi
yang belum mempunyai bagian kewanitaan, dan wartawan. Seluruh pembicara
dalam sidang itu adalah kaum perempuan, hal yang tidak ‘lumrah’ pada masa itu.
Koran Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po menulis besar-besar di halaman
depan mengenai tampilnya wanita memimpin kongres anak organisasi
Muhammadiyah tersebut. Media menuliskan, Munculnya para istri turut serta dan
memimpin Bagian ‘Aisyiyah, perkumpulan yang mulai tampak dan merata di
seluruh Indonesia, bukan hanya di Jawa saja.

Dalam organisasi Muhammadiyah, di bidang pendidikan. Nyai Ahmad


Dahlan mencoba memperkenalkan pemikiran bahwa perempuan mempunyai hak
yang sama untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Di samping itu, dia juga
menentang praktik kawin paksa.Pemikiran Nyai Ahmad Dahlan pada awalnya
mendapat tantangan dari masyarakat, tetapi kemudian dapat diterima sedikit demi
sedikit. Upaya Nyai Ahmad Dahlan ini mendapat dukungan secara kelembagaan.
Muhammadiyah, yang dikenal sebagai organisasi pembaharu yang mulai
mengakar dalam masyarakat, mendukung gerakan Nyai Ahmad Dahlan.
Muhammadiyah mulai berperan dalam memajukan pendidikan kaum perempuan
kemudian berkiprah dalam merespon isu-isu perempuan dan sekaligus
memberdayakannya melalaui jalur pendidikan dan pelayanan sosial.

Pada masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan republik


Indonesia pada tahun 1945-1946, walau dalam keadaan sakit-sakitan, beliau
senantiasa berbuat untuk kepentingan perjuangan bangsa Indonesia. Apapun yang
ditempuh Nyai Ahmad Dahlan semata-mata beliau menginginkan agar bangsa
Indonesia terutama kaum perempuan lebih maju dalam pendidikan, sosial agar
terlepas dari penjajah. Aktivitas Nyai Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan hak
wanita membuktikan bahwa spirit Islam mampu mendorong kemajuan wanita.
Inilah yang akhirnya menarik untuk dikaji ulang mengenai perjuangan beliau
menyadarkan kaum perempuan tentang artinya pendidikan serta kiprah beliau
mendidik kaum untuk turut serta melawan penjajah.

Nyai Ahmad Dahlan berpulang ke Rahmatullah, pada tanggal 31 Mei


1946. Tidak hanya kaum Muhammadiyyah dan Aisyiyah saja yang berkabung,
tapi hampir seluruh kaum Muslimin di Indonesia. Dia dimakamkan di pemakaman
di belakang Masjid Besar Kauman Jogyakarta. Menteri Sekretaris Negara, Mr AG
Pringgodigdo, mewakili pemerintah memberikan penghormatan terakhir. Atas
jasa-jasanya, pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1971 di Istana Presiden Negara
Jakarta, presiden menyerahkan secara resmi SK pengukuhannya sebagai Pahlawan
Nasional. Penghargaan itu diterima salah seorang cucunya, Ny M Wardan, isteri
KHM Wardan, salah seorang ketua PP Muhammadiyah pada waktu itu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nyai Ahmad Dahlan mulai memikirkan untuk memperjuangkan
hak-hak wanita, dimulai dengan membuat pengajian untuk kalangan
wanita, tidak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama tetapi juga
mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Nyai
Ahmad Dahlan juga mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta
keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan Dia juga
berkhotbah menentang kawin paksa. Dia juga mengunjungi cabang-cabang
di seluruh Jawa. Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki,
Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk
menjadi mitra suami mereka. Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi
pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah,
pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di
tempat-tempat ibadah.
Daftar Pustaka

Immawati. Nyai Ahmad Dahlan dalam Peradaban Perempuan. Diakses tanggal 1


Maret 2017 pukul 15.45 WIB.

http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/01/nyai-ahmad-dahlan-
melawan-arus.html

http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-
uinsuka–ekaratnaca-1143

Anda mungkin juga menyukai