PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang
dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan
perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda,
dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
D. Manfaat
Diharapkan dari makalah ini bisa dipetik contoh-contoh
keteladanan yang diberikan oleh seorang Nyai Ahmad Dahlan/Siti
Walidah khususnya bagi para pembaca dan generasi muda pada umumnya
supaya bisa dijadikan penyemangat dengan menjadi pribadi yang baik dan
berjuang baik untuk kehidupannya pribadi maupun memajukan bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Nyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama Siti Walidah
di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Ia adalah putri dari Kyai Haji
Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta, daerah
bertempatnya tokoh agama banyak dari keraton Dia bersekolah di rumah,
diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Qur'an, ia
membaca Al Qur'an dalam naskah Jawi.
Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan sepupunya, Ahmad Dahlan. Saat
Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah saat itu,
Nyai mengikuti suaminya dalam perjalanannya. Namun, karena beberapa dari
pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap kali
menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan yang dijadwalkan
ke Banyuwangi, Jawa Timur mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum
konservatif di sana.
B. Kesetaraan Gender
Pada awal abad ke-20, kaum wanita belum merasa mendapatkan
persamaan hak dalam memperoleh pendidikan, sehingga bermuncullah tokoh-
tokoh emansipasi wanita dalam sejarah Indonesia.
Sikap keagamaan pada waktu itu sangat tradisional terutama bagi kaum
perempuan. Perempuan pada waktu tu tidak boleh mengenyam pendidikan formal,
mereka hanya diperbolehkan belajar agama. Pendidikan yang didirikan oleh
Belanda pada waktu itu terbatas dan hanya untuk goglongan tertentu. Walaupun
dari kalangan kaum ulama, Nyai Ahmad Dahlan hanya dididik agama oleh kedua
orang tuannya. Dahaga ilmu agama seolah terpuaskan setelah ia menikah dengan
KH Ahmad Dahlan, sepupunya. Ia mengikuti segala hal yang diajarkan oleh
suaminya. Bahkan, ia kemudian mengikuti jejak KH A Dahlan menggerakkan
Muhammadiyah, yang menambah ilmu, pengalaman, dan amal baktinya. Setelah
beliau menikah dengan Muhammad Darwis, atau lebih dikenal dengan Kiai Haji
Ahmad Dahlan, beliau mulai belajar banyak dari suaminya yang merupakan tokoh
dan pendiri organisasi Muhammadiyah. beliau juga akrab dengan tokoh-tokoh
nasioanl teman-teman suaminya. Meskipun Nyai Dahlan hanya memperoleh
pendidikan dari lingkungan keluarga, namun ia mempunyai pandangan yang luas.
Hal itu diperoleh karena pergaulannya dengan para tokoh, baik tokoh-tokoh
Muhammadiyah maupun tokoh pemimpin bangsa lainnya, yang kebanyakan
adalah teman seperjuangan suaminya. Di antara mereka adalah, Jenderal
Soedirman, Bung Tomo, Bung Karno, dan Kiai Haji Mas Mansyur. Dari tokoh-
tokoh itulah, Nyai Ahmad Dahlan meski hanya memperoleh pendidikan dari
lingkungan keluarga, tumbuh menjadi seseorang yang berwawasan luas.
Berangkat dari kenyataan yang ada, Nyai Ahmad Dahlan mulai memikirkan untuk
memperjuangkan hak-hak wanita, dimulai dengan membuat pengajian untuk
kalangan wanita, tidak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama tetapi juga
mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat.
Dalam suatu pertemuan di rumah Nyai A Dahlan, yang dihadiri oleh Kyai
Muhtar, Kyai Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhruddin, dan
pengurus Muhammadiyah lainnya, timbul pemikiran untuk mengubah Sopo
Tresno menjadi sebuah organisasi wanita Islam yang mapan. Semula “Fatimah”
diusulkan sebagai nama organisasi itu, tetapi tidak disepakati seluruh tokoh yang
hadir. Kemudian oleh almarhum Haji Fakhrudin dicetuskan nama “Aisyiyah”.
Semua sepakat. Maka pada tanggal 22 April 1917 organisasi itu diresmikan.
Upacara peresmian bertepatan waktunya dengan peringatan Isra Miraj Nabi
Muhammad SAW yang diadakan oleh Muhammadiyah untuk pertama kalinya
secara meriah dan besar. Siti Bariyah tampil sebagai ketuanya. Dan pada tahun
1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.
A. Kesimpulan
Nyai Ahmad Dahlan mulai memikirkan untuk memperjuangkan
hak-hak wanita, dimulai dengan membuat pengajian untuk kalangan
wanita, tidak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama tetapi juga
mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Nyai
Ahmad Dahlan juga mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta
keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan Dia juga
berkhotbah menentang kawin paksa. Dia juga mengunjungi cabang-cabang
di seluruh Jawa. Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki,
Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk
menjadi mitra suami mereka. Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi
pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah,
pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di
tempat-tempat ibadah.
Daftar Pustaka
http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/01/nyai-ahmad-dahlan-
melawan-arus.html
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-
uinsuka–ekaratnaca-1143