Anda di halaman 1dari 3

BERPIKIR TERBALIK SOAL LEDAKAN PENDUDUK Oleh : Siti Nafidah, Muslimah HTI Jabar 11 Juli biasa diperingati sebagai

Hari Kependudukan Dunia dengan tujuan memfokuskan perhatian dunia pada masalah urgensi isu-isu kependudukan. Momen ini pertama kali dicanangkan oleh lembaga organis PBB, UNDP (the United Nations Development Programme) pada 11 juli 1987 yang ditandai dengan lahirnya bayi Yugoslavia sebagai penduduk bumi ke-lima milyar. Perspektif yang berusaha dibangun melalui momen ini adalah bahwa pertambahan jumlah penduduk yang terlalu pesat merupakan ancaman bagi kemanusiaan. Isu-isu tentang kemiskinan, konflik horizontal, buruknya tingkat kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan, ketimpangan gender serta persoalan-persoalan ekonomi dan sosial lainnya kemudian selalu dikaitkan dengan isu ledakan penduduk dunia. Sejak Thomas Robert Malthus menggagas teorinya pada 1798, kepanikan akan dampak meningkatnya jumlah penduduk memang terus menyebar ke seantero dunia. Teori Malthus berangkat dari dua postulat. Pertama bahwa manusia membutuhkan makanan. Kedua, bahwa dorongan seks bersifat terusmenerus sepanjang masa. Dari dua postulat ini, Malthus mengajukan teorinya bahwa, bila tidak ada pengendalian kelahiran, maka pertumbuhan penduduk akan lebih cepat daripada pertumbuhan pangan. Menurutnya, pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan mengikuti deret hitung. Dengan teorinya ini Malthus menyimpulkan bahwa jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan, maka di masa depan, manusia akan mengalami ancaman kekurangan pangan. Pengaruh teori Malthus begitu mengkooptasi pemikiran masyarakat dunia terutama semenjak teori ini diadopsi dan diinjeksikan oleh AS melalui PBB --terutama ke negara dunia ketiga-- melalui International Conference on Population and Depelovement di Kairo pada tahun 1994. Dalam konferensi itu, 179 negara menyetujui Visi 20 Tahun (Program Aksi-ICPD) yang menetapkan pentingnya pendekatan kepeloporan terhadap kependudukan dan pembangunan, melalui apa yang disebut program kendali kependudukan dengan pendekatan yang bertumpu pada kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan HAM, terutama kaum perempuan. Hasilnya, program KB, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain kian menjadi isu penting dan global dalam program pembangunan di tiap negara peserta, yang pelaksanaannya terus dipantau, diadvokasi bahkan dibantu pendanaannya oleh PBB. Persoalannya, benarkah pertumbuhan penduduk merupakan ancaman? Sementara banyak kritik ilmiah yang disampaikan para pakar kependudukan berhasil membongkar kelemahan teori Malthus yang mereka anggap terlalu abstrak dan asumtif. Terlebih, pada kenyataannya, ada negara-negara tertentu seperti halnya Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, yang hari ini justru sedang bertarung menghadapi masalah tingginya proporsi jumlah penduduk usia tua akibat pertumbuhan populasi yang rendah. Teori Malthus, Tak Produktif dan Batal! Brendan ONeill, seorang editor ternama saat ini, termasuk yang tidak sepakat dengan berbagai upaya mengendalikan jumlah penduduk yang diilhami teori Malthus. (lihat. http://www.spiked-online.com). Jauh sebelumnya, ilmuwan seangkatan Malthus sendiri seperti Marx dan Engels bahkan mengkritik habishabisan teori itu. Ketidak sepakatan mereka berangkat dari keyakinan, bahwa manusia adalah makhluk yang pintar dan tidak statis. Malthus mereka anggap terlalu meremehkan kemampuan manusia terutama sebagai masyarakat industri untuk memproduksi pangan lebih banyak. Padahal, ada banyak hal terkait kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berakal yang dalam menjalani kehidupannya mampu mengembangkan peradaban, termasuk dalam pelembagaan pemenuhan kebutuhan biologis, upaya-upaya pemenuhan kebutuhan akan pangan, teknologi, dll. Lebih dari itu ONeill menangkap berbagai ketidak jujuran dalam ide-ide semacam Malthusian ini. Misal menyangkut masalah terbatasnya sumber daya dan ruang, serta ide bahwa banyaknya jumlah manusia akan menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan. Realitanya apa yang disebut dengan sumber daya, terus berkembang sesuai dengan sifat dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Menurutnya, sumberdaya bukan sejumlah benda yang mampu dihitung sebagaimana benda biasa. Sumberdaya memiliki sebuah sejarah dan masa depan yang sejalan dengan perkembangan yang dicapai oleh sekelompok manusia di masa tertentu. Sebagai contoh, dulu lautan dianggap sebagai rintangan yang buruk yang membatasi kehidupan. Namun ketika teknologi berkembang, lautan justru jadi tujuan perjalanan, bahkan menjadi ladang untuk mencari sumberdaya dan penghidupan. Batu-bara awalnya dianggap sebagai sumber daya kunci untuk mengembangkan industri Barat. Namun hari ini batubara menjadi sumberdaya yang kurang penting, tergantikan oleh jenis lain yang diperoleh sebagai hasil perkembangan peradaban manusia. Dengan demikian, sebetulnya tidak ada yang tahu apa yang akan kita pikirkan sebagai sumberdaya di masa depan.

Namun yang pasti, realitanya sumberdaya memiliki sejarah yang sangat ditentukan oleh dinamika kehidupan manusia dan perkembangan taraf berpikirnya. Begitupun dengan ruang. Jika Malthus menganggap bahwa ledakan penduduk akan membuat bumi ini penuh sesak, realitanya, hari inipun milyaran manusia yang ada, sebenarnya hanya menempati sebagian kecil wilayah di permukaan planet bumi. Bahkan menurut ONeill, dengan perkiraan dan perencanaan yang benar, maka kita dapat menggandakan dengan nyaman jumlah penduduk dunia hingga lebih dari seratus kali. Adapun tentang ide bahwa jumlah penduduk yang padat akan menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan, ONeill tidak hanya menganggapnya salah, tapi juga sebagai pengaruh jahat dari teori Malthus. Realitanya, ada daerah yang jumlah penduduknya sangat padat semisal California, justru penduduknya kaya raya. Sementara daerah yang penduduknya jarang, tanahnya kaya dan subur seperti Irlandia dan Sudan, justru penduduknya miskin dan tergantung pada negara lain. ONeill menuding alasan-alasan semacam itu sebagai cara menutupi ketidakbecusan pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan sosial dan pembangunan, dengan menyederhanakan solusi persoalan-persoalan tersebut pada program-program pengurangan penduduk. Karenanya menurut ONeill, berbagai alasan untuk melegitimasi dan mendorong program-program pengendalian penduduk tadi, hanyalah merupakan wujud kebingungan besar para pengikut Malthus akibat terbatasnya kepercayaan diri mereka dalam kehidupan manusia. Alhasil,Teori Malthus jelas tidak produktif dan batal! Tak Hanya Batal, Tapi Konspiratif! Jika ONeill mengungkap dengan begitu cerdas kebatalan teori Malthus dan anggapan para pengikutnya melalui pendekatan ilmiah, maka tak sedikit kalangan yang membaca dari sisi yang lebih politis. Temuan Dokumen National Security Study Memorandum 200: Implications of Worldwide Population Growth for US Security and Overseas Interests ( NSSM200 ) yang digagas Dewan Keamanan Nasional AS di bawah arahan Menlu Henry Kisingger tahun 1974 justru menunjukkan adanya konspirasi AS dalam isu kontrol populasi di dunia ketiga. Di dalamnya disebutkan bahwa program kontrol populasi di negeri2 dunia ketiga sesungguhnya merupakan agenda AS terkait keamanan nasional mereka. Disebutkan dalam dokumen, bahwa ada empat alasan yang menjadikan pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin bisa menjadi ancaman bagi keamanan nasional AS, yakni : (1). Negara-negara dengan jumlah penduduk lebih besar punya pengaruh politik lebih besar; (2). Negara-negara semacam itu akan lebih mampu untuk menolak akses bagi Barat atas sumber-sumber daya dan material; (3). Meningkatnya jumlah kaum muda akan bisa menantang struktur kekuasaan global;(4). Meningkatnya penduduk bisa merupakan ancaman bagi para investor Amerika di Negara-negara itu. Dan Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara yang dimaksud sebagai the least developed countries (LDCs) itu. (http://nixonlibrary.gov/ virtuallibrary/documents/ nssm200). Selain soal tujuan dan alasan, NSSM juga menjelaskan tentang sarana-sarana yang dapat digunakan secara bergantian, baik berupa upaya untuk menyakinkan maupun untuk memaksa negeri-negeri tersebut agar melaksanakan program pembatasan kelahiran. Diantaranya adalah memberi dorongan kepada para penjabat/tokoh masyarakat untuk memimpin program pembatasan kelahiran di negeri-negeri mereka, dengan cara mencuci otak para penduduknya agar memusnahkan seluruh faktor penghalang program pembatasan kelahiran, yakni faktor individu, sosial, keluarga dan agama yang kesemuanya menganjurkan dan mendukung kelahiran. Dokumen tersebut kemudian diperkuat oleh presiden Gerald Ford melalui National Security Decision Memorandum (NSDM) 314 yang dikeluarkan tahun 1985 dan diekspose pemerintah AS pada Mei 1991. Dalam dokumen itu, sejumlah negeri muslim selain Indonesia disebut2 menjadi sasaran program kontrol populasi, yang bisa dipahami mengingat potensi ideologisnya yang mengancam hegemoni AS di masa depan ( http://www.population-security.org/mumf-94-03.htm). Pada tataran praktis, AS sendiri telah menyalurkan dana yang cukup besar untuk mewujudkan dua strategi ini. Dari tahun 1968-1995 saja, sudah sebesar US$1,5 M. Dana sebesar itu digunakan untuk membeli sekaligus mendistribusikan alat kontrasepsi berupa 10,5 juta kondom, 2 juta pil aborsi, lebih dari 73 juta IUD, lebih dari 116 juta tablet vagina foaming. Semua itu ditujukan untuk negara-negara berkembang, yaitu negara-negara muslim. Bantuan disalurkan melalui lembaga underbouw AS khususnya PBB (melalui UNFPA, WHO, UNICEF,ILO,UNESCO), World Bank dan ADB. Anehnya di satu sisi, pil KB sekarang sudah dilarang di AS dan Eropa karena membahayakan kesehatan. Namun kenyataannya di Indonesia pil KB dibagikan secara gratis, bahkan bisa didapatkan dengan mudah oleh remaja-remaja putri. Pertanyaannya, sadarkah kita akan konspirasi yang terjadi?

Mengubah Ancaman Jadi Peluang Ada hal menarik untuk direnungkan. Disertasi Wilson Rajagukguk berjudul Pertumbuhan Penduduk sebagai Faktor Endogen dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang disampaikan saat ujian untuk meraih gelar doktor ilmu ekonomi di UI pada awal Januari 2010 lalu menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi justru dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Serupa dengan itu, penelitian yang dipublish Bank For International Settlement (BIS) yang bermarkas di Basel, Swiss menyebut bahwa, saat ini ada pandangan baru dunia tentang demografi penduduk. China bisa menjadi negara kaya dan saat ini justru membiayai perekonomian AS adalah dikarenakan usia penduduk angkatan kerjanya lebih besar dibandingkan orang tua dan anak-anak, sementara di AS, angkatan kerjanya mulai menurun (www.bis.org). Dari sini, sepertinya kita juga harus mulai mau berpikir terbalik atas isu ledakan penduduk. Jumlah penduduk yang besar harus mulai dipandang sebagai peluang dan potensi untuk membangkitkan bangsa dari keterpurukan dan bukan ancaman. Hanya saja, tentu dibutuhkan upaya serius dan fokus untuk memperbaiki pengelolaan negara serta meningkatkan kualitas SDM yang ada, agar mampu menjadi SDM-SDM unggul yang mampu menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya yang telah Allah SWT anugrahkan secara berlimpah. Jadi bukan malah menghabiskan energi (dan dana besar) untuk mengurangi jumlah penduduk sebagaimana keinginan Barat. Apalagi terbukti bahwa isu kependudukan dan kontrol populasi ternyata hanyalah alat propaganda negara-negara kapitalis, terutama AS untuk menutupi ketidakadilan, sikap boros dan kerakusannya akan sumber2 alam dunia. AS misalnya diketahui hanya memproduksi 8% minyak bumi, namun mengkonsumsi 25% total minyak yang ada di dunia. Begitupun jumlah penduduk Barat diketahui hanya 20%, tapi menghabiskan 80% produksi pangan dunia. Lebih dari itu, isu kontrol populasi pun tak bisa dilepaskan dari cita-cita AS untuk mempertahankan hegemoni ideologi, melalui apa yang mereka sebut The New World Order, dimana AS berharap bisa menjadi Sang Nomor Satu hingga selamanya.[][]

Anda mungkin juga menyukai