Anda di halaman 1dari 3

HARI ANTI KEMISKINAN DAN PEMISKINAN GLOBAL Oleh : Siti Nafidah Anshory Tak banyak yang mengetahui, bahwa

tanggal 17 Oktober merupakan hari anti kemiskinan sedunia. Momen ini dibuat sebagai bagian dari kampanye global yang dimobilisasi aliansi dunia bernama Global Call Against to Poverty (GCAP) sejak 2005 untuk mengingatkan para pemimpin negaranegara di dunia segera mewujudkan komitmen Millenium Declaration Goals (MDGs), yakni menghapus kemiskinan hingga separuh kondisi pada tahun 1990. Sebagaimana diketahui, pada September tahun 2000, perwakilan dari 189 negara di dunia telah berkumpul di New York dalam acara KTT Millenium yang digagas PBB. Hasilnya adalah ditandatanganinya sebuah deklarasi (Millenium Declaration) yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan yang harus dicapai negara-negara peserta sebelum tahun 2015. Ke delapan proyek itu meliputi penghapusan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim (dengan standar penghasilan di bawah 1,25 USD/hari), pemerataan pendidikan dasar, persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, perlawanan terhadap penyakit khususnya HIV AIDS dan malaria, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, penjaminan daya dukung lingkungan dan membangun kemitraan global untuk pembangunan. Jika dicermati, semua proyek itu bermuara pada satu target, yakni eliminasi problem besar bernama kemiskinan . MDGs dan Mimpi Menghapus Kemiskinan Apa yang disebut dalam deklarasi, realitasnya memang menjadi pekerjaan rumah bagi semua negara di dunia, terutama negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Karena itulah programprogram implementasi MDGs mendapat sambutan dan dukungan berbagai ngara dimanapun. Persoalannya, mungkinkah target itu diwujudkan? Selain menetapkan bidang-bidang apa yang harus menjadi fokus pembangunan negara peserta, KTT tersebut memang menyebutkan tentang ukuran-ukuran kuantitatif dan kualitatif dari target yang harus dicapai sebelum tahun 2015. Misal, target point 1 adalah mengurangi setengah dari penduduk miskin dan menekan jumlah yang kelaparan di dunia hingga 10 %. Target poin 2, seluruh penduduk dunia bisa mengenyam pendidikan dasar. Target poin 3, bisa mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015. Target poin 4, mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun. Target poin 5, mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan. Target poin 6, menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya. Target poin 7, mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program pengurangan hilangnya sumber daya lingkungan, mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat dan tahun 2020 mencapai pengembangan kualitas hidup 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh. Target poin 8, mengembangkan lebih jauh masalah perdagangan terbuka, sistem keuangan, utang negara miskin, kerjasama bidang farmasi, dll. Kini setelah 10 tahun komitmen itu dicanangkan, ternyata masih banyak catatan mengenai pencapaian target-target tersebut. Di tingkat dunia, angka kemiskinan ekstrim memang diklaim menurun hingga tinggal 25%, jauh dari kondisi tahun 1990 yang mencapai angka 45%. Namun ironisnya, di saat yang sama, jumlah orang yang kelaparan dan pengidap gizi buruk justru makin besar, mendekati angka 1 milyar orang atau rata-rata 16% penduduk di negara-negara berkembang. Dua pertiga jumlah orang kelaparan itu terdapat di tujuh negara: Bangladesh, Cina, Kongo, Ethiopia, India, Indonesia dan Pakistan, sementara 40%-nya terdapat di Cina dan India. Catatan UNESCAP pada pertemuan MDGs pada September 2010 lalu bahkan menyebutkan bahwa angka kemiskinan, gizi buruk, pengangguran dan penduduk yang kesulitan akan akses sanitasi yang baik di Asia Pasifik dengan penduduk lebih dari separuh populasi dunia, pada 2015 mendatang diprediksi akan terus bertambah menyusul ancaman

krisis pangan akibat pemanasan global. Bahkan prediksi ini menjadi semacam early warning bagi negaranegara tersebut untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk merealisasikan target MDGs di sisa 5 tahun mendatang. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 2006 lalu, Indonesia, bersama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina pernah dinyatakan sebagai negara paling gagal dalam pencapaian MDGs oleh Asian Development Bank (ADB). Namun berdasarkan evaluasi pada sidang ADB mengenai pencapaian target MDGs pada September tahun 2010 ini, Indonesia dianggap berhasil di beberapa bidang target MDGs. Sebagaimana di tingkat dunia, Indonesia memang mengklaim diri telah mampu mengejar target MDGs dengan berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga level 13,33% dari tahun sebelumnya yang nyaris mendekati angka 15%. Ironisnya, klaim ini justru bertolak belakang dengan evaluasi MDGs itu sendiri yang menilai Indonesia masih belum prestatif dalam penanganan gizi buruk, penurunan angka kematian ibu, penanganan HIV/AIDS dan penyediaan air bersih yang kesemuanya justru sangat berhubungan dengan problem kemiskinan. Untuk kasus gizi buruk dan kekurangan gizi misalnya, catatan Global Hunger Index (HGI) 2010 justru memasukkan Indonesia pada katagori serius , yakni di bawah level mengkhawatirkan dan sangat mengkhawatirkan . Dan data statistik memang menunjukkan, untuk kelompok balita saja, setidaknya masih ada sekitar 4,9 % balita yang jumlahnya 12% dari total penduduk Indonesia (238 juta) menderita gizi buruk di tahun 2010 ini. Ibarat gunung es, kenyataan yang terjadi sesungguhnya jauh lebih buruk dari angka-angka tersebut. Fakta menunjukkan, tingkat kehidupan ekonomi ril masyarakat terasa makin sulit, menyusul kian meningkatnya harga-harga, terutama harga pangan dan harga bahan bakar yang membawa berbagai dampak lanjutan yang menambah beratnya beban hidup mereka. Sejalan dengan itu, persoalan-persoalan sosialpun kian meluas, mulai masalah anak terlantar, anak dan keluarga jalanan, kriminalitas, ancaman krisis pangan, dll. Sehingga klaim keberhasilan pencapaian target-target MDGs baik di tingkat dunia maupun di level Indonesia seakan tak menemukan buktinya. Jauh panggang dari api! Jika kita mengkritisi perspektif yang dibangun MDGs mengenai apa yang disebut dengan kemiskinan , hal ini sebetulnya bisa dipahami. Selain perhitungan melulu didasarkan pada angka ratarata dan bersifat agregat (bukan individu per individu), standar yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan pun memang tidak manusiawi, bahkan manipulatif. Bagaimana tidak? MDGs hanya fokus pada upaya pengentasan orang-orang yang berpenghasilan di bawah 1,25 USD/hari. Sementara di atas itu, tidak menjadi target MDGs. Padahal standar kemiskinan versi World Bank adalah 2 USD/hari. Inipun masih sangat jauh dari standar kemiskinan di Eropa yang 30-35 USD/hari. Adapun di Indonesia, standar yang digunakan jauh lebih tidak manusiawi lagi, yakni Rp. 211.000/kap/bln. Artinya, di Indonesia, orang yang berpenghasilan Rp. 212.000/bulan sudah tidak dikatagorikan miskin lagi! Padahal realitanya, sangat sulit dibayangkan dengan kondisi sekarang bisa hidup layak dengan hanya 2 USD apalagi hanya 1,25 USD per hari atau terlebih-lebih Rp. 211.000/bln. Fakta inilah yang menjawab pertanyaan, mengapa MDGs dinyatakan berhasil, sementara persoalan sosial terus meluas. Kapitalisme dan Paradoks Cita-Cita MDGs Adanya ketimpangan antara cita-cita MDGs dengan kenyataan sebetulnya merupakan hal yang wajar jika dikaitkan dengan situasi global yang tengah didominasi sistem kapitalisme yang melahirkan berbagai paket kebijakan neoliberal dan cenderung imperialistic-eksploitatif. Sistem inilah yang realitasnya paling bertanggungjawab atas ketimpangan sosial yang terus melebar antara negara kaya dan negara miskin dan mendistribusikan kemiskinan hampir ke seluruh negara di dunia. Sebagaimana pula, dalam konteks nasional bertanggung jawab atas terciptanya gap sosial yang besar antara si kaya dan si miskin dan atas terpeliharanya kemiskinan itu sendiri.

Berbagai data perkembangan dunia sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa globalisasi sistem kapitalisme-neoliberal memang telah berhasil mengglobalkan kemiskinan daripada kemakmuran, yang praktis bertolakbelakang dengan target MDGs. Kebijakan pasar bebas yang menjadi senjata andalan sistem kapitalisme yang diterapkan sejak pertemuan Bretton Woods 1944 dan terus dikukuhkan hingga sekarang melalui berbagai perjanjian internasional, telah menjadi alat imperialisme baru negaranegara kapitalis (baca : penggagas dan motor program-program MDGs) atas negara-negara dunia ketiga untuk menguras habis kekayaan mereka dan merampas kedaulatannya. Senjata inilah yang telah membuat milyaran rakyat negara dunia khususnya di dunia ketiga yang sejatinya kaya raya itu-- hidup di bawah garis kemiskinan; dan membuat 54% pendapatan dunia masuk ke hanya 10% kantung orangorang terkaya di negeri-negeri maju. Begitupun jebakan krisis ekonomi yang dikelola AS dan resep debt swap yang mematikan ala IMF yang bukan kebetulan pendonornya juga adalah negara-negara kapitalis penggagas dan motor program MDGs-- telah memaksa negara-negara lemah korban krisis itu menanggung beban utang ribawi yang luar biasa besar, sementara di saat yang sama sumber-sumber alam dan berbagai asset strategis yang mereka miliki harus rela dikuasai kapitalis asing akibat fasilitasi IMF yang mewajibkan pasiennya melakukan program-program privatisasi, pencabutan subsidi, deregulasi dan liberalisasi. Untuk kasus Indonesia, kebijakan ekonomi makro yang pro neoliberalisme dan di setir kepentingan asing semacam IMF pun jelas tidak memberikan syarat bagi kesuksesan MDGs. Bagaimana bisa angka kemiskinan dan kelaparan diturunkan jika pembangunan ekonomi sektor ril mandeg akibat kebijakan pasar bebas dan privatisasi asset-aset strategis milik rakyat? Bagaimana bisa, kualitas pendidikan, kesehatan dan daya dukung lingkungan ditingkatkan, sementara akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan kian mahal akibat program privatisasi dan swastanisasi sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk bidang farmasi? Bagaimana semua itu diwujudkan, sementara tanggungjawab sosial negara kian hilang akibat kebijakan anti rakyat semacam penghapusan subsidi? Bagaimana bisa, kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan karenanya kemiskinan dihapuskan jika sumber pendapatan negara hanya mengandalkan pajak dari rakyat dan hutang luar negeri sementara kekayaan yang melimpah ruah habis dihadiahkan kepada asing melalui berbagai perjanjian yang dilegalisasi undangundang? Jika demikian halnya, memberantas kemiskinan dengan MDGs, memang cuma mimpi di siang bolong. Atas realita bahwa sistem kapitalistik dan neoliberal ini disetir dan dijalankan secara global oleh pemerintah negara-negara adidaya dengan menggunakan alat lembaga-lembaga internasional semacam PBB (yang justru menggagas MDGs) dan lembaga-lembaga finansial global (International Financial Institutions, IFIs) semacam World Bank, IMF, ADB (yang justru menjadi donatur programprogram implmentasi MDGs), wajar jika muncul kecurigaan bahwa MDGs sejatinya hanyalah mantel ideologi bagi kepentingan neoliberalisme (meminjam istilah Samir Amin) sekaligus menjadi alat negara adidaya untuk melempar tanggungjawab atas dampak busuk kapitalisme yang mereka ekspor ke seluruh dunia. Wajar pula jika MDGs, ditengarai sebagai alat negara-negara imperialis itu untuk membuai negara-negara kaya tapi lemah dengan apa yang disebut keberhasilan pencapaian target pembangunan millennium dengan membuat standar-standar yang sangat minimalis yang membuat mereka mabuk dan lupa atas penjajahan terselubung yang tengah menimpa dan menghinakan mereka selama ini. Karenanya, waspadalah![][]

Anda mungkin juga menyukai