Anda di halaman 1dari 3

AROMA PRAGMATISME DIBALIK RUU NIKAH SIRRI Oleh : Siti Nafidah Rencana pemerintah dan DPR mensahkan RUU

Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan (RUU HMPA) yang lebih dikenal sebagai RUU Nikah Siri tak urung memunculkan kontroversi. Pihak yang pro menganggap bahwa praktik nikah siri merugikan anak-anak dan perempuan sehingga sudah saatnya diatur dan dibatasi. Sementara yang kontra menganggap bahwa RUU ini selain bertentangan dengan hukum-hukum Islam, juga membuka celah kriminalisasi praktik perkawinan yang akan menggoyah konstruksi keluarga Muslim. Sebagaimana diketahui, RUU HMPA termasuk salah satu dari 58 RUU target prioritas pembahasan Prolegnas 2010 di DPR. RUU ini dianggap sebagai penyempurna bagi Kompilasi Hukum Islam yang hanya berstatus Inpres, sekaligus menjadi pelengkap bagi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Selama ini, KHI dan UU Perkawinan memang menjadi acuan utama bagi para hakim di lembaga Peradilan Agama dalam memutus perkaraperkara terkait perkawinan. Hanya saja, kedua produk hukum tersebut dianggap masih belum mengakomodir kepentingan anak dan perempuan serta belum memberi jaminan perlindungan atas anak dan perempuan yang dianggap sering menjadi korban dalam persoalan relasi perkawinan semisal pada kasus nikah siri dan poligami. Bahwa praktik nikah siri telah membawa banyak persoalan memang tak bisa dinafikan. Penelantaran isteri dan anak akan mudah terjadi tanpa bisa dituntut. Tanpa buku nikah, seorang istri siri yang ditelantarkan, dicerai talak atau cerai mati akan mengalami kesulitan untuk menuntut hak hukumnya berupa nafkah di masa iddah atau hak waris karena tak memiliki bukti tertulis yang menjelaskan keabsahan satusnya sebagai isteri. Begitupun dengan si anak. Mereka akan sulit memperoleh berbagai hak hukum terkait ayah kandungnya (semisal nafkah, waris dan perwalian) karena merekapun tak memiliki identitas jelas berupa akta kelahiran yang secara administratif pembuatannya mensyaratkan keberadaan akta nikah dari kedua orangtuanya. Persoalan-persoalan seperti inilah yang melatarbelakangi penyusunan RUU HMPA. Kelahirannya dipandang sebagai bukti keseriusan pemerintah untuk terus memberikan jaminan pemenuhan hak-hak kaum perempuan dan anak, sekaligus memberi perlindungan terhadap dampak relasi perkawinan yang (dianggap selalu) merugikan mereka. Pertanyaannya, bisakah RUU yang antara lain membatasi nikah siri melalui pemidanaan pelaku dengan pemberian sanksi penjara dan denda ini meng-cover persoalan-persoalan yang diklaim sebagai dampak nikah siri? Sementara, konten yang ditawarkan dalam RUU sama sekali tak menyentuh akar persoalan mengapa nikah siri menjadi pilihan banyak orang. Terlebih pada faktanya kasus-kasus penelantaran isteri dan anak pun tak jarang didapati pada pernikahan yang sah tercatat oleh negara. Jika ditelusuri, setidaknya ada 2 hal yang menjadi alasan kenapa nikah siri dilakukan. Pertama, bagi banyak kalangan terutama rakyat miskin, menikah di KUA, selain tidak mudah (karena prosedural) juga tidak murah alias mahal. Selain harus ruwet mengurus administrasi, merekapun harus siap merogoh kocek minimal 300 ribu rupiah bahkan lebih agar pernikahan sakral mereka mendapat legalitas dari negara. Dan ini, tentu bukan hal ringan buat mereka. Kedua, nikah siri banyak dipilih oleh para pelaku poligami dikarenakan aturan yang ada masih mempersulit praktik nikah seperti ini. Dalam UU No.1 tahun 1974 pasal 3 ayat 2, pasal 4 dan pasal 5, serta dalam KHI Pasal 55 dan 56 sampai 59, diatur bahwa selain harus mengantongi izin dari isteri-isteri sebelumnya, peminat poligami juga harus memperoleh izin dari Pengadilan Agama sebelum melakukan pernikahan poligami. Izin inipun hanya akan diberikan jika memenuhi kondisi-kondisi yang membolehkan seorang suami berpoligami

sebagaimana disebutkan dalam UU, seperti si isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, cacat atau sakit yang tidak bisa sembuh atau mandul. Selain itu, suami juga harus memenuhi syarat-syarat lainnya, seperti bisa menjamin keperluan para isteri dan bisa bertindak adil. Khusus bagi pegawai negeri atau ABRI, praktik poligami bahkan menjadi hal yang haram, yang jika ketahuan, pelakunya harus siap dimakzulkan. Ironisnya, alih-alih dipermudah agar pelaku poligami tidak memilih nikah siri, RUU HMPA malah memperkuat pembatasan poligami dengan mengkriminalisasi para pelaku dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Padahal sudah jelas, bahwa adanya pembatasan poligami menjadi salah satu alasan kenapa seseorang memilih nikah siri. Inilah yang menjadi pertanyaan banyak orang, apa yang sebenarnya dimaui pemerintah jika RUU ini benar-benar disahkan? Mengingat lepas dari pro dan kontra, praktek poligami sudah menjadi realita sosial yang diniscayakan bahkan diakui keabsahannya secara syari. Berharap praktik poligami bisa dihilangkan dari muka bumi, sama saja dengan mimpi di siang bolong. Tentunya pemerintah tidak ingin jika akhirnya masyarakat lebih merasa aman hidup bersama tanpa nikah alias kumpul kebo daripada nikah siri atau poligami tapi dihadapkan pada resiko dikriminalisasi. Karenanya, jika benar bahwa rencana pengesahan RUU HMPA adalah untuk meminimalisir persoalan seputar anak dan perempuan, maka solusi seharusnya fokus pada akar masalah kenapa nikah siri menjadi pilihan, bukan pada nikah siri dan poligaminya itu sendiri. Nikah siri --termasuk yang dilakukan para pelaku poligamihanyalah akibat. Akar penyebabnya justru biaya dan prosedur yang menyulitkan serta adanya aturan-aturan yang membatasi poligami. Sehingga solusinya menjadi sederhana; permudah dan permurah pernikahan resmi oleh KUA, dan permudah pula jalan bagi orang yang menghendaki poligami. Maka yakin, masyarakat kecil dan pelaku poligamipun akan dengan senang hati melegalkan perkawinannya. Implikasi positifnya, para isteri dan anak-anak pun akan beroleh hak-hak hukum yang sama dan kuat karena memiliki bukti legalitas atas status mereka. Bahkan dengan cara ini pula klaim dan stereotipe poligami sebagai kejahatan terselubung atas perempuan dan anak, dengan sendirinya akan terhapus oleh pelegalan poligami. Terlebih faktanya tak sedikit perempuan yang sebetulnya rela dipoligami. Hanya saja di luar itu semua, ada persoalan prinsip yang tak bisa diabaikan, bahwa rencana pengesahan RUU Nikah Siri oleh pemerintah telah memaksa kalangan Muslim berada dalam posisi dilematik. Di satu sisi, mereka tak mungkin mengabaikan keyakinan akan ajaran Islam yang membolehkan dan mensahkan pernikahan siri dan poligami sepanjang semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Namun di sisi lain mereka dipaksa oleh undangundang/hukum positif untuk percaya, bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan (nikah siri) dan poligami adalah sebuah tindak kriminal dan cacat hukum alias tidak sah. Artinya dengan aturan semacam ini, persoalan administratif yang dalam pandangan syariat hukumnya boleh ternyata digunakan oleh penguasa untuk menganulir keabsahan sebuah penikahan sehingga seolah menjadi haram. Ironisnya, di saat yang sama, RUU ini justru tidak mengatur hal yang lebih krusial yakni bagaimana mencegah dan mempidana pelaku perzinahan yang kini sudah merajalela dengan pemidanaan sebagaimana dituntut oleh Islam. RUU ini justru terkesan melegalkan perzinahan dengan dimuatnya aturan yang memaksa seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang dizinahinya. Selain membuat bingung, ambiguitas peraturan semacam ini tentu akan berdampak besar terhadap kadar religiusitas masyarakat. Mereka akan selalu gamang menempatkan loyalitas mereka antara kepada syariat atau pada negara. Dan ini merupakan syndrom masyarakat sekuler yang secara sadar telah menerima peminggiran agama dalam penyelesaian masalah kehidupan. Padahal, penerapan sistem sekularisme oleh penguasa, jelas bertentangan dengan iman Islam. Karena prinsip sekulerisme adalah fashl ad-din an alhayah wa ad-dawlah (pemisahan agama dengan urusan hidup dan negara), sementara Islam tak pernah memisahkan keduanya.

Seharusnya, jika negeri ini konsisten dengan politik hukumnya yang menempatkan Islam sebagai (salah satu) sumber rujukan, maka tak boleh ada kebijakan yang bertentangan dengan hukum Islam. Sayangnya ini tak terjadi. Hukum Islam yang sudah lama dikebiri menjadi sekedar hukum-hukum perkawinan (NTCR), waris dan wakaf-pun, kini kian terkebiri oleh aturan-aturan pragmatik seperti RUU HMPA ini. Pertanyaannya, sebenarnya pemerintah memihak pada Umat Islam atau tidak? []

Anda mungkin juga menyukai