Anda di halaman 1dari 4

SEKULARISASI POLITIK DAN MIMPI MENYELAMATKAN BANGSA

Oleh : Siti Nafidah HK

Menarik menyimak perbincangan di acara Save Our Nation MetroTV pada


Rabu malam, 17 Oktober 2008 bertajuk “Sekularisasi Politik Islam di Indonesia”.
Selain menggagas keharusan melakukan sekularisasi politik dan menolak gagasan
ideologisasi politik (Islam) dalam konteks ‘penyelamatan bangsa’, acara yang
dipandu Rizal Mallarangeng dan menghadirkan tamu seorang aktivis demokrasi,
professional dan Direktur LSI ini juga mencermati kecenderungan moderasi parpol-
parpol Islam, termasuk yang awalnya dikenal kental dengan ruh ideologis atau
bahkan dikenal sebagai kelompok “garis keras” (versi sdr Rizal) semisal PKS.
Selain itu, diskusi juga menukik pada sebuah kesimpulan bahwa proses
moderasi ini adalah sebuah keniscayaan, bahkan keharusan jika parpol Islam mau
bersaing dan keluar sebagai pemenang dalam pesta demokrasi. Terlebih, seperti
disitir Rizal dan Saiful Mujani, mesin politik besI yang ada (system demokrasi?)
memang akan memaksa siapapun untuk melakukan kompromi-kompromi, sehingga
mau tidak mau parpol Islampun ketika ingin tetap bermain, maka dia harus mau
bermain di tengah dan siap bersikap moderat dengan cara melakukan kompromi
tadi. Dengan kata lain, dalam konteks ini, parpol Islam tak boleh lagi bicara ideologi
dan ideologisasi (dengan Islam), bahkan harus siap menerima kenyataan bahwa
sekularisasi politik adalah final, meski kata Saiful, itu akan menjadikan parpol Islam
tak ada beda dengan parpol lain. Ditekankan pula, bahwa sikap “keukeuh” pada
ideology dan cita-cita membumikan ideology (sikap anti sekularisasi) adalah
merupakan bentuk kontra penyelamatan bangsa, sekaligus upaya penentangan
pada sejarah. Padahal menurut Rizal, menentang sejarah akan beresiko dilindas
sejarah.
Menyimak diskusi tersebut, banyak pertanyaan menggelitik di benak saya
seputar hubungan sekularisasi politik dan keinginan menyelamatkan bangsa, serta
masalah parpol-parpol Islam yang dalam kenyataan saya akui memang kian tak ada
beda dengan partai-partai sekuler yang ada.
Bahwa bangsa ini harus diselamatkan, saya sangat setuju. Terlebih, kita tak
bisa menutup mata bahwa begitu banyak persoalan dan krisis yang harus dihadapi
bangsa ini, sehingga cita-cita luhur bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan hakiki
dengan jaminan diperolehnya kesejahteraan dan kemakmuran oleh seluruh rakyat
hingga kini masih jadi mimpi. Kemiskinan, masih jadi kekayaan terbesar negeri ini.
Kebodohan, krisis moral, konflik horizontal, disintegrasi, masih jadi ancaman. Belum
lagi penjajahan politik dan ekonomi, ketergantungan pada asing dan bentuk
ketidakberdayaan politik lain begitu kental mengungkung negeri ini. Tapi haruskah
diselamatkan dengan sekularisasi?
Bagi saya, sebenarnya sangat mudah memahami bahwa konklusi ini (maaf)
sangat serampangan. Bukankah selama ini –sejak bangsa ini “merdeka”- kita (baca:
para penguasa kita) sudah begitu konsisten memegang teguh sekularisme? Dan
bukankah krisis multidimensi –yang faktanya tidak hanya terjadi di negeri ini- justru
bermunculan saat kita ‘istiqamah’ mengabdi dan mendewakan sekularisme?
Lantas, sekularisme versi mana lagi yang kita harapkan bisa menyelamatkan
bangsa ini?
Nampak jelas, bahwa selama ini analisis kita masih berputar di permukaan,
belum pada akar. Padahal jelas, bahwa selain persoalan person, krisis multidimensi
yang terjadi selama ini adalah akibat kesalahan system; bagaimana kekayaan
negeri yang melimpah ruah ini dikelola, bagaimana sumberdaya manusia yang
sangat besar ini diberdayakan, bagaimana kewibawaan dan keutuhan negeri ini
dibangun dipertahankan, dan lain-lain. Dan ini semua berbicara tentang penerapan
system yang dipakai; system ekonomi, system politik, system pendidikan, system
social, system hokum, system hankam, dan lain-lain.
Faktanya, dengan sekularisme, selama ini kita hanya memiliki dua opsi
tentang system apa yang akan dipakai mengatur hidup ini; apakah system
kapitalisme dengan segala turunannya atau sosialisme dengan berbagai
turunannya juga? Dan faktanya pula, kita sudah bereksperimen dengan kedua
ideology ini. Di masa Soekarno, kita sudah ‘bermain-main’ dengan sosialisme –
meski diversi Indonesiakan-, dan hasilnya kita gagal. Masa Soeharto, bahkan hingga
sekarang, kitapun mencoba mengadopsi kapitalisme, dan buktinya kita collaps.
Bahkan, kita justru terjebak dalam permainan kapitalisme global, yang sayangnya
bukan jadi subyek, tapi menjadi obyek Negara-negara kapitalis! Dan buah dari itu
semua, kekayaan kita dirampas dan kehormatan kita diinjak-injak ! Lantas, apalagi
pilihan kita, sementara selain kedua ideology ini, tak ada opsi lain yang ditawarkan
sekularisme?
Jawabannya, memang tak mungkin berharap pada sekularisme!. Sebagai
sebuah ide, sekularisme jelas batil, karena selain mengajarkan keharusan
menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh),
termasuk politik, secara aqidah juga telah menafikan hak prerogative Sang Pencipta
dalam mengatur kehidupan ini, dan sebaliknya justru memberi hak penuh
pengaturan tersebut pada manusia. Padahal, tak ada yang bisa memungkiri betapa
terbatasnya akal manusia, terutama dalam memahami kebahagiaan dan keadilan
hakiki yang diinginkan seluruh manusia serta jalan mewujudkannya. Hal ini terbukti
dengan aturan-aturan yang kemudian dibuat oleh manusia di atas landasan
sekularisme (yakni sosialisme-kapitalisme) yang tidak hanya telah gagal memberi
jaminan keadilan dan menghantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki, tapi
bahkan telah menjerumuskan manusia pada kehancuran.
Harapan satu-satunya justru terletak pada Islam. Tentu saja Islam yang
dimaksudkan adalah Islam yang bukan hanya ritual, akan tetapi Islam sebagai
sebuah ideology (aqidah dan system hidup) dan menjadi versus bagi ideology
sosialisme kapitalisme. Karena itu, jika benar-benar berniat tulus ingin
menyelamatkan bangsa, seharusnya siapapun memperlakukan Islam ideology ini
secara fair, yakni dengan cara memberinya kesempatan membuktikan
kemampuannya memberi solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi. Jangan
sampai, jargon kebebasan dan demokrasi yang selama ini digembar-gemborkan
para pengabdi sekularisme hanya menjadi jargon belaka.
Sayangnya, itulah yang terjadi. Phobia mereka atas Islam, telah membuat
mereka secara sadar berbuat tidak adil. Islam, mereka tuding sebagai biang konflik,
anti modernisasi, tidak manusiawi, mengungkung kebebasan, merendahkan
perempuan, dan lain-lain. Bahkan, atas semua krisis yang terjadi saat ini, mereka
lemparkan kesalahan pada Islam ideology sebagai pihak yang bertanggungjawab.
Padahal, siapapun bisa melihat fakta, bahwa saat ini Islam tidak diterapkan, dan
berbagai krisis ini terjadi saat Islam justru tidak diterapkan. Fairkah jika demikian?
Sayangnya, klaim mereka selama ini atas keagungan ilmu, semangat intelektual
dan fakta-fakta ilmiah, tak cukup mampu mendorong mereka mau secara objektif
mempelajari dan menilai, serta secara legowo mengakui kepurnaan system Islam,
baik secara konsep maupun aplikasinya. Padahal secara konsep, Islam bisa
dikomparasikan dengan konsep system-sistem lain. Dan secara factual, sejarah
mencatat, sepanjang 13 abad Islam telah berhasil membangun peradaban manusia,
lepas dari adanya fakta-fakta kesalahan penerapan yang seharusnya justru
membuktikan betapa manusiawinya system Islam.
Oleh karena itu, jika dikembalikan pada pernyataan sdr Rizal mengenai
penentangan sejarah tadi, maka saya ingin bertanya, sejarah mana yang
dimaksudkan? Sejarah justru mencatat, banyak bangsa yang hancur setelah
menenggak racun sekularisme. Peradaban Islam yang sudah tegak belasan abad,
hancur saat Turki sebagai pusat kekhilafahan termakan propaganda Barat untuk
mengadopsi sekularisme. Hingga kini, nama Turki (Utsmani) yang dulu tampil
sebagai pusat negara pertama dan ditakuti semua bangsa tak pernah bisa berhasil
bangkit dengan sekularisme. Begitupun negeri-negeri Islam yang awalnya
dipersatukan dalam satu kekhilafahan dan memilih berpecah-belah dengan
sekularisme, tak ada satupun yang mampu bangkit dengan kebangkitan hakiki.
Bahkan Negara-negara adidaya yang dianggap Negara maju dan menjadi orientasi
para pengabdi sekulerismepun hanya berhasil mengalami kebangkitan semu,
dimana kemajuan di bidang saintek yang mereka raih tak mampu mencegah
kehancuran moral dan spiritual yang menimpa kehidupan mereka. Inikah yang
dicari dari sekularisme?

Oleh karena itu, penting meyakinkan umat bahwa hanya Islamlah satu-
satunya solusi. Hanya saja, keyakinan ini akan terwujud jika mereka paham tentang
kepurnaan system Islam sebagai system yang datang dari Sang Maha Pencipta
Manusia dan Kehidupan ini seluruhnya, Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Maha
Sempurna. Hal ini mengharuskan adanya upaya sosialisasi tentang gambaran rinci
system Islam dan bagaimana metoda penerapan rilnya, mulai dari bagaimana Islam
mengatur masalah individu, masalah ekonomi termasuk pengelolaan SDA, politik,
pendidikan, budaya, hankam, mencegah pelanggaran (system hokum),
menciptakan clean government and good governance, dan lain-lain. Dan tugas
berat ini sesungguhnya merupakan tugas hakiki parpol Islam! Dengan kata lain,
parpol Islamlah yang seharusnya menjadi pioneer keyakinan dan pioneer
perjuangan menegakkan Islam di tengah-tengah umat, bukan malah menanggalkan
Islam demi kekuasaan!
Memang sangat disayangkan jika parpol Islam yang ada sekarang terjebak
dengan mesin politik besi yang ada dan akhirnya cenderung menanggalkan
ideology atau bersikap kompromistik dengan sekularisme dengan dalih strategi
atau keinginan bermain cantik. Meskipun bisa dipahami bahwa mengusung ideology
Islam memang berat, terlebih di tengah propaganda negatif Negara-negara adidaya
yang ketakutan akan munculnya kekuatan Islam sebagai ancaman hegemoni
mereka. Akan tetapi, selain tuntutan syara’, konsistensi terhadap ideology ini justru
akan menjadi kunci diraihnya kepercayaan dan simpati masyarakat. Karena
sesungguhnya masyarakat sudah muak dengan keadaan dan siap menerima Islam,
sepanjang Islam disampaikan dengan gamblang dan dengan uslub yang baik serta
tetap bermain cantik (tanpa kekerasan). Konsistensi terhadap ideology inilah
pulalah yang akan memunculkan loyalitas mereka terhadap perjuangan parpol dan
menjadikan mereka siap dipimpin oleh parpol . Karena umat melihat parpol yang
demikian, pasti hanya akan berjuang demi Islam dan masyarakat secara
keseluruhan, bukan demi kelompok atau kekuasaan.
Oleh karena itu, applause dan apresiasi para pengusung sekularisme pada
kiprah parpol Islam yang mereka nilai kian moderat hendaknya tidak diartikan
sebagai pujian. Akan tetapi seharusnya justru menjadi bahan introspeksi dan
evaluasi; sudah sejauhmana kita melangkah atasnama Islam dan kepentingan
umat/masyarakat? Karena sesungguhnya, tak ada sedikit langkahpun yang akan
luput dari pertanggungjawaban!

-----

Anda mungkin juga menyukai