1
(Retrospeksi arah perjuangan muslimah)
Oleh : Siti Nafidah (HTI)
Pendahuluan
Alvarez dalam bukunya Engendering Democracy in Brazil: Women's Movement in Transition Politics
(terj.,1990)2 mendefinisikan gerakan perempuan sebagai sebuah gerakan sosial dan politik yang terdiri dari
sebagian besar perempuan yang memperjuangkan keadilan dan jender. Definisi ini sejalan dengan realita
bahwa, sekalipun muncul dengan berbagai corak dan bentuk, gerakan-gerakan perempuan yang ada di dunia
memang memiliki kesamaan arah dan tujuan, yakni bertumpu pada usaha memperjuangkan nasib perempuan
yang selama ini dianggap terbelenggu oleh dominasi tatanan sosial yang tidak berkeadilan jender.
Senyatanya, isu jender memang menjadi perspektif bagi hampir seluruh gerakan perempuan dalam
berkiprah melakukan transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Mereka berangkat dari asumsi
feministik bahwa selama berabad-abad lamanya kaum perempuan telah mengalami penindasan dan
ketidakadilan akibat adanya kultur patriarkat yang mendominasi kehidupan masyarakat. Kultur inilah yang
dianggap bertanggung jawab melahirkan 'mitos-mitos peran jender dan stereotype yang merugikan kaum
perempuan', sekaligus menjadi penyebab munculnya ketimpangan pola relasi dan kekuasaan antara laki-laki
dan perempuan, baik pada lingkup pribadi, keluarga maupun publik. Munculnya kasus-kasus kekerasan,
praktek diskriminasi dan marjinalisasi (termasuk domestikasi perempuan yang dianggap merendahkan), serta
persoalan-persoalan lain yang saat ini diklaim sebagai persoalan perempuan kemudian dianggap sebagai
manifestasi dari keadaan ini.
Sebagai solusinya, para aktivis gerakan perempuan meyakini, bahwa perubahan kultur yang mengarah
pada liberalisasi/pembebasan perempuan merupakan pondasi untuk mencapai kemajuan dan kesetaraan
jender. Karena dengan cara ini, kaum perempuan bisa keluar dari status inferior mereka dan sekaligus
berkesempatan secara ekspresif mengejar 'ketertinggalan' dari kaum laki-laki tanpa harus khawatir dengan
pembatasan-pembatasan kultur dan struktural yang dianggap menghambat kehidupan mereka. Karena itu, isu
perubahan kultur dan liberalisasi ini kemudian menjadi salah satu isu sentral bagi perjuangan mereka. Dan
sebagai penguat bagi kebenaran konklusinya, mereka menjadikan 'kemajuan' perempuan Barat yang
mengadopsi perspektif ini sebagai model, dimana standar 'kemajuan' tadi diukur antara lain dengan
meningkatnya rasio jumlah perempuan terdidik dibanding laki-laki, meningkatnya rasio partisipasi perempuan
dalam aktivitas ekonomi dan politik formal dibanding laki-laki (khususnya yang terkait dengan penetapan
kebijakan dan kekuasaan), dan lain-lain. Adapun sebagai legitimasi lokal, mereka nisbatkan perjuangan
mereka pada gagasan dan kiprah-kiprah Kartini yang mereka klaim sebagai pelopor feminisme di Indonesia.
Diakui bahwa, secara fakta gagasan pembebasan perempuan telah memberi sisi positif bagi kalangan
perempuan. Tetapi persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, isu ini
juga telah membawa berbagai dampak sampingan bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan
akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan. Di dunia Islam, ide-ide
semacam ini bahkan telah mengarah pada deideologisasi Islam dengan dalih Islam sebagai sebuah ajaran juga
bertanggungjawab melanggengkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan. Karenanya, wajar jika
muncul berbagai pertanyaan mengenai seberapa absah perspektif feministik ini --baik yang menyangkut
asumsi-asumsi dasar yang digunakan, pembacaan perspektif ini terhadap akar persoalan, maupun solusi yang
ditawarkan-- akan menjamin kebahagiaan bagi kaum perempuan? Sehingga dengan demikian kita bisa menilai
seberapa efektif dan absah langkah-langkah yang dilakukan gerakan perempuan hingga layak diadopsi dan
dijadikan model bagi gerakan muslimah untuk memajukan perempuan?
.Disampaikan pada acara Bedah Buku “Tragedi Kartini” Kampus TEDC, Cimahi, 20 April 2008 1
2
Dalam Pengantar Analisis Gender, PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mc Gill-ICIHEP, 2003 hal 11.
laki dan perempuan berbeda, akan tetapi perbedaan tersebut tidak boleh berimplikasi pada perbedaan
jender, karena perbedaan jender hanya akan memunculkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan.
Berdasarkan kerangka berpikir ini mereka kemudian menolak konsep pembagian peran sosial yang
dikaitkan dengan perbedaan biologis. Yakni, tidak boleh misalnya hanya karena secara biologis perempuan
punya rahim dan payudara, kemudian dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat
keperempuanan (feminitas) --seperti sifat lembut, keibuan dan emosional--, sehingga kodratinya perempuan
lahir untuk menjalani fungsi-fungsi keibuan dan kerumahtanggaan. Sementara di sisi lain, laki-laki terlahir
dengan sifat-sifat maskulinitas, yang secara kodrati mengarahkannya untuk menjadi pemimpin atas kaum
perempuan.
Bagi mereka, persepsi-persepsi seperti ini muncul lebih dikarenakan faktor budaya yang berpengaruh
pada pembentukan konsep jender itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. "Kebetulan", saat ini budaya
masyarakat --dalam pandangan mereka-- sedang didominasi kultur patriarkat yang menempatkan posisi laki-
laki lebih superior dibandingkan perempuan. Karena dianggap merugikan, maka mereka berobsesi untuk
mengubah masyarakat yang patriarki ini menjadi masyarakat berkesetaraan, baik melalui perubahan secara
kultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak, perubahan 'persepsi' keagamaan
yang dianggap bias jender, dan lain-lain) maupun secara struktural (melalui perubahan kebijakan). Mereka
berharap, ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar
kelamin), maka pembagian peran sosial (domestik vis a vis publik) akan cair dengan sendirinya. Artinya semua
orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap
menyalahi kodrat.
Jika kita cermati, secara konsep dan praktis ide kesetaraan seperti ini sangat absurd dan utopis. Ini
karena mereka seolah tak bisa menerima mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas
dan feminitas, sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin mengabaikan fakta bahwa manusia
memang terdiri dari dua jenis yang berbeda. Lantas logika apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa
di dunia harus ada laki-laki dan perempuan dengan 'bentuk' dan 'jenis' yang berbeda, jika bukan karena
keduanya memang memiliki peran dan fungsi yang berbeda? Bukankah ketika perempuan punya rahim dan
payudara --sementara laki-laki tidak-- memungkinkan hanya perempuan yang bisa hamil, melahirkan dan
menyusui? Bukankah fungsi kehamilan, melahirkan dan menyusui ini merupakan fungsi yang tak bisa
digantikan laki-laki? Bukankah 'aneh' jika setelah melahirkan kaum perempuan bisa melepas fungsi dan peran
keibuannya dengan alasan perempuan pada dasarnya tidak harus menjadi ibu sehingga peran ini bisa
dipertukarkan dengan laki-laki?
Dari sini saja kita sebenarnya bisa melihat adanya ketidakcermatan dalam memahami dan mensikapi
realitas. Kesan emosional justru dominan tatkala mensikapi 'perbedaan' tersebut sebagai sebuah
ketidakadilan. Padahal realitasnya, tidak setiap perbedaan berarti ketidakadilan manakala perbedaan peran
dan fungsi ini difahami justru akan memungkinkan direalisasikannya tuuan-tujuan luhur masyarakat secara
keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki ataukah perempuan.
Jika dilihat dari kacamata Islam, perspektif feminisme seperti ini tentu sangat bertentangan. Sebagai
din yang sempurna, Islam memiliki cara pandang yang sangat khas, adil dan objektif terhadap persoalan
keberadaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan paradigma Islam berkaitan
dengan tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah yang harus beribadah kepadaNya dan tujuan
penciptaan jenis laki-laki dan perempuan untuk melestarikan keturunan dalam kerangka pandang
penghambaan tadi.
Dalam konteks inilah Islam memandang bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah sama/setara,
sekalipun dalam prakteknya Islam kadang memberikan aturan yang sama dan kadang memberikan aturan yang
berbeda diantara keduanya. Sama, ketika laki-laki dan perempuan dilihat dari sisi insaniyahnya yang secara
realitas memang sama, yakni sebagai sosok manusia yang memiliki seperangkat potensi berupa akal, naluri
(untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan diri), dan kebutuhan jasmani. Berbeda,
tatkala keduanya dilihat realitasnya sebagai 'jenis' yang berbeda dengan kekhasan masing-masing yang
memang mengharuskannya diberi aturan-aturan yang berbeda pula.
Adanya perbedaan ini tentu tidak bisa dipandang sebagai sebuah ketidak adilan, karena semua ini
ditetapkan oleh Allah sebagai Pencipta manusia semata-mata demi kemaslahatan, kelestarian dan kesucian
hidup manusia dengan cara saling melengkapi dan bekerjasama sesuai
aturanNya, bukan demi kemaslahatan laki-laki saja atau perempuan saja. Apalagi dalam pandangan Islam
kemuliaan tidak dilihat dari jenis kelamin ataupun kedudukan seseorang, melainkan diukur oleh derajat
ketakwaannya, yakni ketaatan mereka terhadap seluruh aturan-aturan Allah, baik yang menyangkut
keberadaan mereka sebagai manusia maupun keberadaan mereka sebagai laki-laki atau perempuan.
Oleh karenanya ide kesetaraan jender yang memaksakan penyamaan peran dan fungsi laki-laki dan
perempuan dalam kancah kehidupan sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap realitas yang
ada, sekaligus merupakan pengingkaran terhadap ke-Maha Adilan dan ke-Maha Sempurnaan Allah SWT sebagai
Pencipta dan Pengatur manusia. Sehingga tidak layak para muslimah dan kaum muslimin meyakini kebohongan
ide ini, apalagi mengembannya.
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan (syari’at)Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang
sempit. Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" . (TQS. Thaha[20]:124)
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan
sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah
menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan “. (TQS. Al-
Mujadilah[58] : 5)
Inilah yang dimaksudkan dengan berpikir mendasar; berpikir bahwa persoalan kita yang sedemikian
banyak, ternyata berakar pada satu soal saja, yakni persoalan ideologis; Ketiadaan sistem Islam. Selama
persoalan ini tidak terpecahkan, maka selama itu pula kita akan larut dalam krisis tak berkesudahan.
Dalam kerangka perjuangan mengembalikan sistem kehidupan Islam inilah seharusnya gerakan
perempuan (muslimah) bangkit dan bergerak mengambil peran. Yakni dengan cara bersinergi dengan gerakan
umat secara keseluruhan untuk melakukan perubahan yang bersifat mendasar. Gerakan perempuan
(muslimah) tidak boleh lagi terus berkutat pada persoalan-persoalan cabang (yang kemudian sering diklaim
sebagai ‘persoalan perempuan’), karena selain hanya akan melalaikan umat dalam persoalan-persoalan yang
parsial, lebih dari itu justru akan kian mengukuhkan dominasi sistem kufur dalam kehidupan kaum muslimin.