Kabar disahkannya UU Pemilu pada Selasa 18 Pebruari 2003 -yang salah satu
pasalnya yakni pasal 65 ayat 1 mencantumkan kuota 30 % bagi keterwakilan perempuan
(affirmative action) dalam pencalonan anggota legislatif pada seluruh tingkat- disambut
dengan gembira oleh sebagian besar aktifis perempuan. Mereka menganggap, bahwa
perjuangan panjang kaum perempuan selama ini akhirnya membuahkan hasil. Setidaknya
sekalipun sebenarnya kuota 30 % ini masih merupakan ‘jumlah kritis’ agar suara perempuan
didengar, akan tetapi keberadaan UU Pemilu yang memuat affirmative action ini mereka
harap akan menjadi pelopor bagi munculnya kebijakan-kebijakan senada di bidang-bidang
yang lainnya, mengingat dalam pandangan mereka saat ini begitu banyak kebijakan yang
tidak memiliki sensitivitas gender.
Sebagaimana diketahui, diskursus seputar isu disparitas gender, terutama yang terkait
dengan masalah minimnya partisipasi politik dan representasi perempuan dalam penetapan
kebijakan dan kekuasaan memang bukan hal yang baru. Bahkan wacana mengenai
pemberdayaan peran politik perempuan akhirnya menjadi salah satu isu penting yang mencuat
di tengah euphoria demokratisasi, yang secara lebih jauh memunculkan tuntutan untuk
melakukan reinterpretasi atas logika dasar penataan interaksi dan interrelasi antara
perempuan, laki-laki dan dunia politik.
Selama ini dianggap, bahwa pola interaksi dan interrelasi antara perempuan, laki-laki
dan politik sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat kita yang patriarkhis, dimana
kekuatan dan kekuasaan, baik secara kultural maupun struktural terpusat pada laki-laki.
Dalam tataran politis, stuktur masyarakat seperti ini dianggap cenderung menjadikan peran
politik perempuan berada pada posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi sub ordinat bagi
peran politik laki-laki, terutama jika sudah masuk di lingkaran kekuasaan dan legislasi.
Kondisi inilah yang ditengarai menjadi penyebab utama bagi tetap langgengnya praktek-
praktek penindasan dan diskriminasi struktural maupun kultural terhadap perempuan di
seluruh aspek kehidupan, baik pada skala rumahtangga, masyarakat, maupun negara.
Mengingat dominasi laki-laki pada wilayah-wilayah strategis tadi seka-igus diduga akan
menjadi alat legitimasi untuk lebih memarjinalisasi dan mengabaikan hak-hak asasi kaum
perempuan, termasuk melakukan penindasan atas mereka.
Khatimah
Inilah pengaturan Islam mengenai kiprah politik perempuan dalam kehidupan
masyarakat, dimana pelaksanaannya bersama aturan-aturan kehidupan yang lainnya secara
menyeluruh, secara pasti akan menjamin terwujudnya kehidupan yang ideal. Yakni sebuah
kehidupan dimana seluruh permasalahan akan terpecahkan dengan sempurna, termasuk
persoalan-persoalan yang diklaim sebagai persoalan perempuan. Justru, yang seharusnya
menjadi agenda perjuangan hari ini adalah bagaimana menghadirkan perspektif Islam dalam
pengaturan kehidupan ummat secara ril melalui wadah Daulah Khilafah, sehingga kaum
muslimin bisa segera keluar dari keterpurukannya dan sekaligus bangkit kembali sebagai
khairul ummah. Inilah hakekat pemberdayaan politik sesungguhnya, yang harus dilakukan
tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada masyarakat secara keseluruhan. Wallahu
a’lam.