Anda di halaman 1dari 7

KIPRAH POLITIK PEREMPUAN

DALAM SISTEM DEMOKRASI DAN SISTEM ISLAM


Oleh : Husnul Khotimah*

Kabar disahkannya UU Pemilu pada Selasa 18 Pebruari 2003 -yang salah satu
pasalnya yakni pasal 65 ayat 1 mencantumkan kuota 30 % bagi keterwakilan perempuan
(affirmative action) dalam pencalonan anggota legislatif pada seluruh tingkat- disambut
dengan gembira oleh sebagian besar aktifis perempuan. Mereka menganggap, bahwa
perjuangan panjang kaum perempuan selama ini akhirnya membuahkan hasil. Setidaknya
sekalipun sebenarnya kuota 30 % ini masih merupakan ‘jumlah kritis’ agar suara perempuan
didengar, akan tetapi keberadaan UU Pemilu yang memuat affirmative action ini mereka
harap akan menjadi pelopor bagi munculnya kebijakan-kebijakan senada di bidang-bidang
yang lainnya, mengingat dalam pandangan mereka saat ini begitu banyak kebijakan yang
tidak memiliki sensitivitas gender.
Sebagaimana diketahui, diskursus seputar isu disparitas gender, terutama yang terkait
dengan masalah minimnya partisipasi politik dan representasi perempuan dalam penetapan
kebijakan dan kekuasaan memang bukan hal yang baru. Bahkan wacana mengenai
pemberdayaan peran politik perempuan akhirnya menjadi salah satu isu penting yang mencuat
di tengah euphoria demokratisasi, yang secara lebih jauh memunculkan tuntutan untuk
melakukan reinterpretasi atas logika dasar penataan interaksi dan interrelasi antara
perempuan, laki-laki dan dunia politik.
Selama ini dianggap, bahwa pola interaksi dan interrelasi antara perempuan, laki-laki
dan politik sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat kita yang patriarkhis, dimana
kekuatan dan kekuasaan, baik secara kultural maupun struktural terpusat pada laki-laki.
Dalam tataran politis, stuktur masyarakat seperti ini dianggap cenderung menjadikan peran
politik perempuan berada pada posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi sub ordinat bagi
peran politik laki-laki, terutama jika sudah masuk di lingkaran kekuasaan dan legislasi.
Kondisi inilah yang ditengarai menjadi penyebab utama bagi tetap langgengnya praktek-
praktek penindasan dan diskriminasi struktural maupun kultural terhadap perempuan di
seluruh aspek kehidupan, baik pada skala rumahtangga, masyarakat, maupun negara.
Mengingat dominasi laki-laki pada wilayah-wilayah strategis tadi seka-igus diduga akan
menjadi alat legitimasi untuk lebih memarjinalisasi dan mengabaikan hak-hak asasi kaum
perempuan, termasuk melakukan penindasan atas mereka.

Kiprah Politik Perempuan Dalam (Logika) Sistem Demokrasi


Berdasarkan pandangan terhadap fakta tersebut, para aktivis perempuan telah
menjadikan isu sentral perjuangan politik mereka terfokus pada tiga hal, yakni seputar
masalah kepemimpinan wanita dalam kekuasaan, masalah tuntutan kuota perempuan di dalam
parlemen, serta masalah tuntutan independensi hak suara perempuan dalam pemilu. Tiga isu
tersebut dianggap sangat strategis, karena dalam logika mereka, besarnya aksesibilitas ke
dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi inilah yang akan menjadi jalan bagi munculnya
perubahan stuktur masyarakat ke arah yang lebih equal dan egaliter, dimana aspirasi
perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang diterapkan.
Dengan demikian diharapkan pada akhirnya persoalan-persoalan krusial yang selama ini
dihadapi perempuan pun akan secara otomatis terselesaikan.
Tentu saja, pada tataran praktisnya pemunculan isu-isu tersebut mengundang banyak
kontroversi. Apalagi intensivitas publikasi isu-isu berbau feminis tersebut ke tengah
masyarakat seringkali dibarengi dengan upaya gigih mereka untuk melakukan berbagai uji
kritis (baca: penentangan) terhadap nilai-nilai yang mereka anggap menjadi faktor
pelegitimasi bagi kekuasaan laki-laki, sekaligus menjadi pangkal ketidakadilan sistemik yang
menimpa perempuan dari masa ke masa, baik berupa nilai-nilai, pemikiran, maupun mitos-
mitos yang terlahir dari adat istiadat dan agama. Dalam hal ini, Islam sering menjadi sasaran
bidik untuk dihujat, terutama karena keberadaan wacana fiqih perempuan yang dianggap
rentan ‘pemlesetan’ serta kental dengan semangat misoginis (anti perempuan/pemihakan
kepada laki-laki). Misalnya saja konsep Islam tentang masalah poligami, kepemimpinan laki-
laki dalam rumahtangga dan kekuasaan, hijabisasi perempuan di kehidupan umum, konsep
nusyuz dan lain-lain. Sehingga tak heran jika tuntutan untuk melakukan reinterpretasi dan
rekonstruksi nash-nash fiqih perempuan juga menjadi hal yang mengemuka.
Jika dicermati, terkristalnya keyakinan bahwa persoalan-persoalan perempuan akan
terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politis,
sangat dipengaruhi oleh wacana pemikiran demokrasi kapitalistik yang kini men-dominasi
kultur masyarakat kita. Sebagaimana diketahui, sistem demokrasi kapitalistik dengan
kebebasan individu sebagai intinya dipercaya sebagai sistem politik yang paling ideal dan
progresif sekaligus menjadi versus bagi sistem politik lain yang dianggap absolut, otoriter dan
kuno. Karena secara teoritis, dengan jargon vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara
tuhan) yang kemudian melahirkan prinsip ‘kedaulatan di tangan rakyat’, sistem ini memberi
peluang sebesar-besarnya bagi seluruh individu masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan, untuk berpartisipasi dan terlibat secara penuh dalam proses pengambilan
kebijakan yang menyangkut diri mereka. Sementara itu, lembaga pemerintah, dalam hal ini
bertindak sebagai implementasi dari kedaulatan rakyat tadi, yakni sebagai institusi resmi
yang akan melaksanakan volontĕ gĕnĕralĕ (keinginan rakyat), dimana mereka diangkat
dengan kontrak oleh rakyat untuk melaksanakan apapun yang menjadi kehendak rakyat.
Dalam hal ini, konsep kebebasan individu menjadi hal yang sangat ditekankan dalam
praksis kehidupan bermasyarakat dalam perspektif demokrasi, sekalipun pada faktanya
masyarakat demokratis yang sesungguhnya tidak (akan) pernah terwujud kecuali pada
masyarakat Yunani Kuno yang merupakan negara kota dengan jumlah penduduk sangat
sedikit. Oleh karenanya, untuk menjembatani kemustahilan ini, demokrasi mengharuskan
adanya sistem perwakilan, dimana aspirasi individu-individu rakyat dalam masyarakat
ditampung dan direpresentasikan oleh wakil-wakil mereka di Parlemen.
Hanya saja, karena secara faktual tidak mungkin mempersatukan aspirasi masya-rakat
yang multiragam, maka mekanisme mayoritas menjadi penentu dalam proses peng-ambilan
keputusan. Tentu dengan asumsi, bahwa keberadaan para wakil tadi benar-benar
merepresentasikan aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Masalahnya, seperti disinyalir
oleh Alexis de Tocqueville yang mencermati fakta penerapan demokrasi di Amerika, prin-sip
mayoritas ini seringkali berubah menjadi tirani mayoritas (Dalam ‘Demokrasi dan
Kebebasan’, Nurkholis Majid,1999). Sehingga kekuasaan mayoritas ini mau tidak mau ha-rus
digandengkan dengan jaminan atas perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, keterbukaan
dan keadilan dalam kesetaraan. Itulah mengapa saat ini kita melihat bahwa ide kesetaraan,
kebebasan berpikir, kebebasan bertindak, berpendapat dan beragama yang kesemuanya
dianggap sebagai bagian prinsip dari HAM menjadi sangat inhern dan bahkan menjadi tolok
ukur untuk menilai demokratis tidaknya suatu masyarakat.
Cara pandang dalam perspektif demokrasi seperti inilah yang mendasari langkah
perjuangan aktivis perempuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Setidaknya mereka melihat bahwa demokrasi telah memberi harapan yang besar bagi kaum
perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Persoalannya, kultur yang ada selama ini
mereka anggap tidak memberi ruang gerak yang besar bagi kaum perempuan untuk
mengaktualisasikan dirinya berkiprah di kancah publik, terutama di dunia politik. Oleh
karenanya, para aktivis perempuan menjadikan tujuan terpenting dari perjuangannya adalah
membongkar penghalang budaya yang selama ini kokoh mengurung kaum perempuan dalam
apa yang disebut sebagai ‘wilayah domestik’ sekaligus membebaskan mereka untuk berkiprah
seluas-luasnya di sektor publik. Mengingat bagi mereka ‘keberadaan perempuan dalam
wilayah domestik’ dianggap tidak produktif secara materi, sehingga membuat perempuan
lemah secara ekonomi, tergantung pada suami, tertindas dan terbelakang. Dan ujung-
ujungnya mereka tidak memiliki bargaining position dalam proses pengambilan keputusan,
baik dalam skala mikro (rumahtangga) maupun skala makro (masyarakat dan negara).
Adapun caranya tidak lain dengan melakukan berbagai upaya strategis yang mereka
anggap bisa mengubah kultur tidak adil tadi, yakni dengan masuk ke tataran kekuasaan dan
legislasi. Karena dalam sistem demokrasi, legislasi dan kekuasaan yang secara sederhana
didefinisikan sebagi kontrol terhadap sumberdaya dan ideologi, merupakan aspek yang sangat
menonjol dan menentukan corak masyarakat (Sulasikin Moerpratomo, dalam Jurnal
Pemikiran Islam, 2000). Sementara itu, konsep mengenai mekanisme mayoritas yang inhern
pada sistem ini, telah pula mengilhami munculnya logika feministik, yang menyebut bahwa,
jika mayoritas kekuasaan dan legislasi didominasi oleh kaum perempuan, atau setidaknya
imbang, maka dipastikan perspektif keperempuanan mereka akan berpengaruh secara
signifikan dalam produk-produk keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan. Dengan begitu,
perempuan yang selama ini menjadi obyek dan bahkan menjadi korban kebijakan akan bisa
terlindungi.

Memahami Kerancuan Perspektif Demokrasi


Dari sini nampak, bahwa ada beberapa poin yang menjadi ciri menonjol pemikiran
feministik yang dipengaruhi oleh logika pemikiran demokrasi. Pertama politik dalam
perspektif feminis melulu diartikan sebagai kekuasaan dan legislasi. Sehingga, ide
pemberdayaan peran politik perempuan dalam kaca mata merekapun selalu diarahkan untuk
menjadikan kaum perempuan mampu menempatkan diri dan berkiprah di elit kekuasaan,
lembaga legislasi, atau minimal berani memperjuangkan aspirasinya sendiri secara
independen tanpa pengaruh maupun tekanan pihak manapun. Padahal kenyataannya, masalah
ada tidaknya hubungan antara kiprah politik perempuan seperti itu dengan tuntasnya
persoalan perempuan masih sangat debatable. Kedua, cara pandang mereka yang
individualistik dan emosional telah menempatkan persoalan perempuan dan keberadaan
perempuan terpisah dari masyarakat (laki-laki) dan persoalan masyarakat secara keseluruhan,
sehingga pemecahannyapun hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif
perempuan. Ini terkait dengan pandangan demokrasi yang menganggap, bahwa masyarakat
adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di satu sisi dan
perempuan di sisi yang lain. Padahal, realitasnya masyarakat bukan sekedar terbentuk dari
individu-individu saja, tetapi terbentuk juga dari kesamaan pemikiran, kesamaan perasaan
dan kesamaan aturan yang diterapkan. Sehingga dengan perspektif yang benar, persoalan
yang muncul pada sebagian individu (baik komunitas laki-laki maupun komunitas
perempuan) harus dipandang sebagai persoalan masyarakat secara keseluruhan dengan
pandangan yang holistik dan sistemik. Ketiga, feminisme bertolak dari asas berpikir dan
bertindak yang sama dengan demokrasi, yakni ide sekularisme yang prinsip dasarnya menolak
campur tangan agama (Islam) dalam menyelesaikan problema kehidupan, sekaligus
menyerahkannya kepada asas rasionalitas dan kemampuan manusia semata. Akibatnya,
karena akal dan kemampuan manusia terbatas serta bersifat relatif, maka kita lihat bahwa
penyelesaian masalah yang mereka sodorkan tidak memiliki standar yang jelas. Keempat,
mereka menjadikan realitas sebagai sumber pemikiran, sehingga pemecahan yang mereka
sodorkanpun tidak pernah mengakar. Bahkan selama ini mereka seperti sedang berlari dari
satu fakta ke fakta yang lainnya. Ini nampak ketika mereka mengatakan, bahwa ketidakadilan
sistemik yang menimpa perempuan tidak lain adalah akibat bias gender yang melembaga
secara universal dalam struktur masyarakat yang patriarkhis. Sehingga merekapun yakin,
bahwa ketika suatu saat kita bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas
gender), maka pembagian peran domestik versus publikpun akan cair dengan sendirinya.
Artinya semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa
harus khawatir dianggap menyalahi kodrat. Padahal, secara faktual ‘obsesi’ feminisme ini
tidak akan pernah terwujud, karena yang menjadi masalah bukan kenapa manusia harus lahir
dengan membawa kodrat kelaki-lakian dan keperempuanan sehingga muncul ketidak-adilan,
tetapi apakah sistem yang mengatur pembagian peran dan tugas masing-masing jenis ini benar
atau tidak.
Lebih dari itu, terlepas dari kontroversi yang muncul, kenyataannya alam demokrasi
hanya bisa memberikan janji. Karena terbukti perjuangan feminis selama ini hanya
mengukuhkan ketidakmungkinan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi
perempuan secara tuntas. Bahkan ide kesetaraan (gender), kebebasan dan individualisme
sebagai pemikiran pokok dari demokrasi yang intens mereka serukan ke tengah-tengah
masyarakat justru menjadi racun yang kemudian memunculkan berbagai persoalan lanjutan
yang memperparah kondisi sebelumnya. Kehidupan yang penuh persaingan, merebaknya
pergaulan bebas dan dekadensi moral, runtuhnya struktur sosial dan keluarga, dilema wanita
karir, fenomena single parrent dan un-wed, anak-anak bermasalah dan lain-lain ditengarai
kuat merupakan hasil dari merebaknya ide-ide seperti ini. Sehingga wajar jika saat ini muncul
pula pemikiran yang seolah menjadi ‘arus balik’ dari pemikiran feminisme, termasuk di
negara-negara yang menjadi cikal bakal kemunculannya. Sayangnya, gaung pemikiran ini
belum keras terdengar.

Kiprah Politik Perempuan Dalam Sistem Islam


Sebagai din yang menyeluruh dan purna, Islam memiliki pandangan yang khas dan
berbeda secara diametral dengan pandangan demokrasi dalam melihat dan menyelesaikan
persoalan perempuan, termasuk dalam memandang bagaimana hakekat politik dan kiprah
politik perempuan di dalam masyarakat. Hal ini terkait dengan bagaimana pandangan
mendasar Islam tentang keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana diketahui, Islam memandang bahwa perempuan hakekatnya sama dengan laki-
laki, yakni sama-sama sebagai manusia, yang memiliki potensi dasar yang sama berupa akal,
naluri dan kebutuhan fisik. Sedangkan dalam konteks masyarakat, Islam juga memandang
bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki,
dimana keduanya diciptakan dengan mengemban tanggungjawab yang sama dalam mengatur
dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur
makhluq-Nya. (QS.9:71,51:56)
Pada tataran praktisnya, Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan
peran dan fungsi masing-masing keduanya dalam menjalani kehidupan ini, yang memang
adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Hanya saja adanya perbedaan dan persamaan pada
pembagian peran dan fungsi masing-masing ini tidak bisa dipandang sebagai adanya
kesetaraan atau ketidaksetaraan gender, melainkan semata-mata merupakan pembagian tugas
yang dipandang sama-sama pentingnya di dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi
kehidupan masyarakat, yakni tercapainya kebahagiaan hakiki di bawah keridloan Allah SWT
semata.
Mengenai peran politik, Islam memandang bahwa keberadaan perempuan sebagai
bagian dari masyarakat menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk
mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum. Hanya saja
harus diluruskan, bahwa pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatasi pada masalah
kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam
negeri maupun luar negeri, baik menyangkut aspek negara maupun umat. Dalam hal ini
negara bertindak secara langsung mengatur dan melihara umat, sedangkan umat bertindak
sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara. Karena itu, dalam
Islam tidak menjadi masalah apakah posisi seseorang sebagai penguasa (penentu kebijakan)
ataupun sebagai rakyat biasa, karena keduanya memiliki kewajiban yang sama dalam
memajukan Islam dan umat Islam serta memiliki tanggungjawab yang sama dalam
menyelesaikan seluruh problematika umat tanpa membedakan apakah problema itu menimpa
laki-laki atau perempuan. Keseluruhannya dianggap sebagai problematika umat yang harus
diselesaikan secara bersama-sama. Sehingga, ketika kaum muslimin berupaya memfungsikan
segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan permasalahan umat, maka pada dasarnya
dia sudah melakukan aktivitas politik.
Berdasarkan pengertian ini, maka jelas, bahwa terjun ke dalam aktivitas politik bukan
hanya kewajiban laki-laki saja, melainkan juga merupakan kewajiban kaum perem-puan. Hal
ini secara tegas diungkap dalam beberapa nash yang bersifat umum, diantaranya QS. Ali
Imran 104: “Dan hendaknya ada di antara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada
al-khoir (Islam) dan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Mereka itulah orang-orang yang menang”. Kemudian di dalam hadits yang diriwayatkan dari
Hudzaifah ra Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang tidak memperhatikan
kepentingan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka. Dan
barangsiapa bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia
bukanlah golongan mereka” (HR. Ath-Thabari)
Hanya saja untuk merealisasikan kewajibannya berkiprah dalam aktivitas politik,
maka ada beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh seorang muslimah, diantaranya
Pertama, harus disadari bahwa terjunnya mereka ke kancah politik hanyalah semata-mata
untuk melaksanakan perintah dari Allah SWT. Kedua, bahwa Allah telah menetapkan bentuk-
bentuk aktivitas politik yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang
muslimah, yaitu (1) Yang dibolehkan : (a) Hak dan Kewajiban Baiat berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ummu Athiyyah ra bahwa “Kami telah membaiat Nabi. Beliau kemudian
memerintahkan kepada kami untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun dan
melarang kami untuk melakukan niyahah …”(HR. Bukhari). (b) Hak memilih dan dipilih
menjadi anggota majelis ummah, yaitu suatu badan di dalam negara Islam yang terdiri dari
wakil-wakil rakyat yang bertugas memberi nasihat dan pendapat ummat kepada negara. Hal
ini didasarkan pada apa yang terjadi pada pasca peristiwa baiat Aqabah II, dimana Rasulullah
meminta 12 orang dari ke-75 orang pelaku baiat yang 2 orang di antaranya adalah wanita
untuk menjadi penjamin atas berbagai tanggungan mereka. (c) Kewajiban berdakwah dan
amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana tertera pada QS. 3:104 dan QS. 9:71. (d) Kewajiban
menasehati dan mengoreksi penguasa, berdasarkan hadits : “Sesungguhnya agama itu
nasehat, bagi Allah, Rasul dan kaum mu’minin ….” (2) Yang diharamkan yakni duduk dalam
posisi pemerintahan (pengambil keputusan) berdasarkan hadits dari Abi Bakrah ra : “Tidak
akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan)
kepada para wanita” (HR. Bukhari-Muslim). Ketiga, Ketika dalam pelaksanaannya terjadi
benturan antara kewajiban melakukan aktivitas politik dengan kewajiban yang lainnya, maka
Islam telah memberikan aturan berupa fiqih prioritas (al-Aulaawiyaat) yang harus dipahami
oleh mereka.

Belajar Dari Para Shahabiyat


Sejarah telah mencatat bagaimana para wanita di masa Rasulullah (para shahabiyat)
melakukan aktivitas dan perjuangan politik bersama-sama Rasulullah saw dan para shahabat
lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan shahabatnya. Bergitupun
dengan peran isteri-isteri Rasulullah dalam perjuangan menegakkan Islam di muka bumi ini
serta dukungan mereka kepada perjuangan Rasul saw, sesungguhnya merupakan bukti nyata
bahwa mereka melakukan aktivitas politik.
Asma binti Abu Bakar, wanita yang dijuluki dengan perempuan pemilik dua ikat
pinggang (dzatun nithaqain) adalah seorang muhajirah yang agung, yang mengorbankan jiwa,
raga dan hartanya hanya untuk Islam. Asmalah yang mengirim makanan untuk Rasulullah
dan ayahnya di Gua Tsur ketika suasana sedang genting, dimana orang-orang kafir Quraisy
yang sangat benci kepada kaum muslimin saat itu memburu Rasulullah untuk dibunuh.
Siapa tidak mengenal Fathimah binti Khaththab, adik shahabat Rasulullah Umar Bin
Khaththab, yang dengan keberanian, ketegaran dan kesabarannya mengenalkan dan
menyampaikan Islam kepada Umar hingga beliau masuk ke dalam Islam dan menjadi Muslim
dan pembela Islam yang tangguh.
Demikian pula Sumayyah binti Hubath, Isteri Yasir ra, yang demi mempertahankan
keimanannya dia menyatakan penentangannya terhadap orang-orang kafir yang menyiksanya,
beserta suami dan anaknya, hingga beliau dan suaminya menemui syahid. Mereka merupakan
orang yang pertama-tama masuk Islam.
Selain itu, Shafiyyah Binti Abdul Muthalib, seorang wanita yang dikenal dengan
kesabarannya tetapi ia juga sangat tangkas dan gesit. Beliau berperan aktif di medan Perang
Uhud dan menyaksikan jasad saudaranya yang rusak –Hamzah Bin Abdul Muthalib- dengan
penuh ridha dan sabar. Demikian pula ketika perang Khandak, beliau tidak gentar sedikitpun
menghadapi seorang Yahudi yang menyusup ke benteng kaum muslimin seraya
membunuhnya hanya dengan tiang kemah.
Lalu bagaimana dengan amar ma’ruf nahi munkar? Tidak sedikit para wanita, baik di
masa Rasul maupun shahabat yang melakukannya tanpa ada keraguan sedikitpun, sekalipun
yang dikoreksi adalak seorang kepala negara. Adalah Khaulah binti Malik bin Tsa’labah,
beliau mengajukan gugatan kepada suaminya atas perlakuan suaminya kepadanya hingga
turun QS. Al-Mujadilah ayat 1-4 untuk menyelesaikan permasalahannya. Demikian pula
ketika Khalifa Umar menentukan jumlah mahar tertentu bagai wanita dikarenakan tingginya
permintaan mahar dari para wanita. Maka kala itu Khaulah mengingatkan dan menasehati
Khalifah karena Allah SWT sendiri tidak menentukan jumlah mahar tertentu bagi wanita,
sehingga tidak ada hak bagi manusia untuk menentukannya (QS. An-Nisaa : 20). Atas protes
dan nasehat Khaulah itu, Khalifahpun merubah kebijakannya.

Khatimah
Inilah pengaturan Islam mengenai kiprah politik perempuan dalam kehidupan
masyarakat, dimana pelaksanaannya bersama aturan-aturan kehidupan yang lainnya secara
menyeluruh, secara pasti akan menjamin terwujudnya kehidupan yang ideal. Yakni sebuah
kehidupan dimana seluruh permasalahan akan terpecahkan dengan sempurna, termasuk
persoalan-persoalan yang diklaim sebagai persoalan perempuan. Justru, yang seharusnya
menjadi agenda perjuangan hari ini adalah bagaimana menghadirkan perspektif Islam dalam
pengaturan kehidupan ummat secara ril melalui wadah Daulah Khilafah, sehingga kaum
muslimin bisa segera keluar dari keterpurukannya dan sekaligus bangkit kembali sebagai
khairul ummah. Inilah hakekat pemberdayaan politik sesungguhnya, yang harus dilakukan
tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada masyarakat secara keseluruhan. Wallahu
a’lam.

Anda mungkin juga menyukai