1. Pendahuluan
Selama tiga dekade dimulai pertengahan 1960an, perekonomian Indonesia berkembang
dengan baik yang terlihat dari kombinasi tingginya pertumbuhan ekonomi, stabilitas
makro ekonomi dan berkurangnya tingkat kemiskinan. Selama waktu itu rata-rata GNP
per kapita per tahun lebih dari 5 persen. Tingkat inflasi tiap tahunnya dapat ditekan di
bawah dua digit serta jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
berkurang dari 60 persen pada tahun 1970 menjadi 11 persen pada tahun 1996.
Terdepresiasinya rupiah terhadap US Dollar sejak pertengahan 1997 telah menjadi
pemicu berlangsungnya krisis ekonomi di Indonesia. GDP terkontraksi secara drastis
sebesar 13 persen pada tahun 1998, tingkat inflasi melonjak mencapai 58 persen,
pertumbuhan import dan ekspor terkontraksi masing-masing 30,9 persen dan 10,5
persen. Kelompok industri yang kurang mengakar pada pemanfaatan sumberdaya lokal
banyak yang terpaksa gulung tikar. Akibatnya tingkat pengangguran naik dengan
tajam, tingkat kemiskinan meningkat.
Krisis moneter diperparah dengan rusaknya sistem perbankan nasional serta
membengkaknya utang luar negeri. Beberapa bank pemerintah terpaksa digabungkan.
Sementara bank swasta banyak yang dilikuidasi. Dibandingkan tahun 1996, jumlah
bank swasta pada tahun 2000 tinggal separuhnya (dari 164 menjadi 83 bank). Upaya
pemerintah dalam menyelamatkan perbankan nasional melalui BPPN berbuntut pada
meningkatnya hutang domestik pemerintah hingga 647,9 trilyun rupiah. Sedangkan
beban hutang luar negeri menjadikan perekonomian Indonesia semakin sulit untuk
pulih. Depresiasi rupiah terhadap US Dollar menyebabkan beban pembayaran yang
menjadi berlipat-ganda. Pada September 2001 hutang luar negeri mencapai 1.376
Trilyun rupiah yang terdiri dari 741,6 trilyun hutang pemerintah dan 647,4 trilyun
rupiah hutang swasta.
Para pengamat ekonomi banyak menggali faktor-faktor ekonomi yang menjadi
penyebab krisis. McLeoad (1998) misalnya menyatakan bahwa krisis ekonomi
Indonesia yang sangat parah disebabkan oleh adanya kepanikan, mismanajemen dalam
merespon permulaan krisis, tajamnya penurunan nilai mata uang, ketidak mampuan
1
Disampaikan pada Seminar Dwibulanan ISTECS Eropa, pada tangal 5 Juli 2003 di Pusat Studi Asia
Tenggara Universitas Frankfurt am Main.
2
Staf Pengajar Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian - IPB, Bogor. Kandidat doktor
pada Institute for Cooperation in Developing Countries, Philipps University of Marburg
2
mempertahan sistem nilai tukar mengambang terkendali dan karena besarnya utang
yang tidak mampu dibayar.3 Sementara Iwan Jaya Aziz (1998) melihat kesalahan tidak
semata pada pihak pengelola moneter, melainkan karena ketidakcermatan yang
dilakukan para pengusaha swasta dan pemerintah sejak tahun 1994 dalam
memanfaatkan kredit dari bank-bank asing berbunga murah pada proyek di sektor “non-
traded goods” yang berisiko tinggi dan spekulatif.4
Studi yang dilakukan oleh Chaniago (2001) menelusuri penyebab yang lebih tepat
mengapa Indonesia begitu sulit melepaskan diri dari krisis ekonomi, sementara negara-
negara lain yang juga terkena krisis seperti Thailand dan Korea Selatan telah mulai
pulih perekonomiannya. Kajian terhadap berbagai kebijakan pembangunan ekonomi
yang berlangsung selama era Soeharto, mengantarkan Chaniago sampai pada
kesimpulan bahwa ada faktor penting yang umumnya terabaikan dalam analisis para
ekonom lainnya, yaitu telah rusaknya kohesifias sosial bangsa Indonesia. Kerusakan
kohesifitas sosial ini diwarnai dengan tujuh jenis ketimpangan, yaitu: (1) Ketimpangan
penyebaran aset antara pengusaha; (2) Ketimpangan laju pertumbuhan antar sektor; (3)
Ketimpangan pembangunan antar wilayah; (4) Ketimpangan pembangunan antar sub-
wilayah; (5) Ketimpangan pembangunan antara Desa-Kota; (6) Ketimpangan antar
golongan sosial ekonomi; dan (7) ketimpangan yang paling jarang disoroti adalah
ketimpangan pembagnunan diri sebagian besar manusia Indonesia, khususnya di lapisan
masyarakat bawah.5
Oleh karenanya, upaya pemulihan perekonomian Indonesia tidak bisa diperoleh jika
hanya membenahi masalah teknis ekonomi saja tanpa mengkaitkannya dengan upaya
pembangunan kembali kohesivitas sosial dengan cara mengurangi berbagai
ketimpangan sosial ekonomi yang ada. Mendukung argumen ini, para pakar ekonomi
Indonesia seolah sepakat bahwa strategi pembangunan perlu diorientasikan pada
modernisasi pertanian dalam konteks yang terkait dengan pengembangan industri
pertanian.6
9
Saragih, 1998, hal. 47) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan kesalahan selama
PJP I, yaitu dengan membangun pertanian yang hanya terfokus pada subsistem usahatani saja, tidak
secara simultan mengkaitkannya dengan subsistem lainnya. Subsistem lainnya mencakup subsistem
agroindustri dan subsistem agromarketing serta subsistem penunjang yang mencakup peran pemerintah
dalam regulasi. Selanjutnya Saragih (1998 menyatakan bahwa sektor pertanian telah menjadi korban
strategi industrialisasi di Indonesia. Kebijakan makro-ekonomi semisal kebijakan kurs yang
mensubsidi produk impor dan bahkan mengenakan pajak ekspor dinilai sangat merugikan sektor
agribisnis. Belum lagi kebijakanan perdagangan yang distorsif pada berbagai komoditas agribisnis.
Sehingga tidak heran agribisnis domesti berkembang lambat dan rendah produktivitasnya (hal 239-
242).
10
Sonka and Hudson, 1998.
11
Baga, et.al., 1999.
12
Saragih, op.cit, hal. 48.
4
Dalam kondisi tidak efektifnya sub-sistem pendukung agribisnis yang dimotori oleh
pemerintah, maka mau tidak mau para petani harus mampu memperjuangkan berbagai
kepentingan mereka sendiri. Pengalaman di berbagai negara maju menujukkan bahwa
koperasi pertanian merupakan wadah yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan
petani ini. Melalui koperasi diharapkan petani mampu mewujudkan kekuatan
penyeimbang (coutervailing power) terhadap berbagai iklim usaha yang selama ini
merugikan mereka, melakukan pengembangan pasar input dan output yang lebih
menguntungkan, memperbaiki efisiensi produksi dan pemasaran, lebih baik dalam
mengendalikan resiko, serta menjamin kelangsungan usaha dan meningkatkan
pendapatan petani.13
Note : Support system agribisnis such as research and development, information, education,
training and extension, consultation, financing, insurance, regulation, etc.
Pembangunan agribisnis melalui gerakan koperasi memiliki nilai yang sangat strategis.
Hal ini karena pemulihan ekonomi membutuhkan tidak hanya aspek pertumbuhan saja,
namun perlu disertai dengan upaya untuk menekan berbagai ketimpangan untuk
memulihkan kembali kohesifitas sosial di kalangan masyarakat.
Namun disadari bahwa pengembangan agribisnis berbasiskan gerakan koperasi bukan
suatu hal yang mudah. Hal ini tidak lepas dari perjalanan gerakan koperasi di Indonesia
13
Bekkum and Dijk, 1997, hal.21.
5
yang hingga kini masih diliputi dengan berbagai permasalahan. Oleh karenanya paper
ini bertujuan untuk menelaah langkah-langkah strategis yang perlu dikembangkan
dalam upaya pengembangan agribisnis melalui kelembagaan koperasi.
14
Istilah Koperasi Pertanian digunakan sebelum tahun 1974. Dengan keluarnya Inpres 4/1973 tentang
Unit Desa, menyebabkan istilah ini tidak digunakan lagi, karena baik Koperasi Pertanian bersama
dengan Koperasi Desa digabungkan menjadi Badan Usaha Unit Desa yang merupakan cikal bakal
berdirinya KUD (lihat Djohan, 1997, hal 55-64).
15
Menteri Muda Koperasi saat itu adalah Bustanul Arifin SH, yang memiliki perhatian khusus terhadap
pembangunan agribisnis susu melalui gerakan koperasi, memberi izin khusus kepada koperasi peternak
sapi perah untuk tetap beroperasi di pedesaan (Djohan, 1996, hal136.)
16
Berbeda dengan koperasi peternak sapi perah pada point di atas, koperasi perkebunan tidak diijinkan
untuk beroperasi di pedesaan setelah di keluarkannya Inpres 4 tahun 1984. Oleh karenanya koperas-
koperasi perkebunan ini diharuskan untuk beramalgamisasi dengan KUD yang dibentuk pada tiap
kecamatan.
6
masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih sangat awam terhadap masalah
koperasi. Di sisi lain, sejarah perkembangan koperasi di dunia justeru mengingatkan
bahwa pada saatnya koperasi bangkit sebagai countervailing power dari kondisi yang
sangat tidak bersahabat terhadap masyarakat lemah seperti petani. Masalahnya adalah,
bagaimana agar proses penyeimbangan ini dapat berlangsung dalam waktu yang lebih
singkat, khususnya dalam menghadapi berbagai gempuran beruntun dari makhluk yang
bernama pasar bebas.
Oleh karenanya dibutuhkan suatu strategi untuk mengembangkan koperasi agribisnis
yang lebih terarah (efektif) dengan proses yang lebih ringkas (efisien). Salah satu
strategi yang saat ini mengedepan dalam kancah manajemen bisnis dan organisasi
adalah benchmarking strategy. Benchmarking (patok duga) merupakan proses
pembelajaran dari yang terbaik.19 Spendolini mendifinisikan benchmarking sebagai:
A continuous, systematic process for evaluation the products, services, and
work processes of organization that are recognized as representing best
practices for the purpose of organizational inprovement.20
Tidaklah sepenuhnya benar jika dinyatakan bahwa koperasi agribisnis di Indonesia
memiliki kinerja yang buruk. Sejarah perkoperasian di Indonesia menunjukkan bahwa
tidak sedikit koperasi persusuan yang tumbuh dengan baik, sebagaimana juga dijumpai
banyaknya koperasi susu di negara-negara lain yang berkembang dengan sangat baik.
Oleh karenanya perlu ditarik pelajaran dari pengalaman koperasi persusuan ini,
sehingga koperasi agribisnis komoditi lain mampu melakukan proses patok duga guna
meningkatkan kinerjanya.
4. Agribisnis Susu
Kebiasaan minum susu sapi diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Bersamaan dengan era
penjajahan, sejak abad 17 sudah mulai didatangkan sapi perah ke Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Belanda. Pada abad ke-19 kebutuhan susu semakin
meningkat, maka sapi perah semakin banyak di datangkan tidak hanya dari Eropa tapi
juga dari Australia. Usaha peternakan sapi perah di Indonesia mulai berkembang,
khususnya di daerah ketinggian yang bertemperatur rendah namun terletak tidak jauh
dengan kota besar, yaitu: di daerah Malang dan Pasuruan yang dekat dengan kota
Surabaya; di daerah Bandung, Cianjur, Sukabumi dan Bogor yang dekat dengan kota
Jakarta; serta di daerah Ungaran dan Boyolali yang dekat dengan kota Semarang.
Selanjutnya daerah produksi susu terus berkembang di Pulau Jawa. Walau pernah coba
dikembangkan beberapa sentra prosduksi susu di luar Jawa namun kurang berhasil.
Perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, yaitu: (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan
komoditas susu; (2) masih rendahnya skala usaha pemilikan sapi oleh peternak, dimana
rata-rata hanya 2-4 ekor; (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang
rendah; (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas
sumberdaya manusia peternak yang juga rendah; (5) kesulitan bahan pakan ternak
19
Watson, 1993.
20
Spendolini, 1992, hal. 9-10.
8
berkualitas, sementara lahan sumber rumput hijauan di Jawa sudah semakin sempit; (6)
masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat; (7) masih rendahnya
kualitas susu yang dihasilkan; (8) kondisi infrastruktur transportasi yang kurang
memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi; dan (9) masalah
dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masayarakat
Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor.
Pada tahun 1970-an pemerintah menjalankan program kampanye minum susu setiap
hari. Tingkat permintaan susu semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selanjutnya
pemeritah membuka kesempatan investasi dalam pendirian industri persusuan di
Indonesia, sehingga mulailah berdiri industri pengolah susu di Pulau Jawa. Pada tahun
1979 tercatat tujuh pabrik susu besar yang beroperasi di Indonesia. Namun demikian
pada awalnya industri susu ini tidak bergantung pada bahan baku dari para peternak
lokal, dimana umumnya bahan baku susu diimpor. Selain faktor harga susu impor yang
lebih murah, juga dikarenakan kualitas yang lebih baik serta kuantitas yang selalu
tercukupi.
Saat ini tingkat konsumsi susu per kapita bangsa Indonesia masih sangat rendah. Pada
tahun 1998 hanya sebesar 4,16 kg per kapita per tahun, yang masih lebih rendah dari
Standard Gizi Masyarakat Nasional, yaitu sebesar 7,2 kg per kapita per tahun. Jumlah
ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia, semisal Kamboja dan
Bangladeh yang masing-masing sebesar 12,97 dan 31,33 kg per kapita per tahun.
21
Djohan, 1996, hal.132. Drh. Memet Adinata saat itu bertugas sebagai Kepala Dinas Kehewanan Dati II
Kabupaten Malang (Sjarif, 1997, hal. 206).
22
Sjarief, 1997, hal.25-42. Pada saat GAPPSIP tutup, Daman termasuk yang menyayangkan.
Pengalaman masa kecilnya di Pangalengan sangat dekat dengan GAPPSIP yang menurutnya banyak
membantu para peternak dalam memasarkan susu. Setelah mendapat gelar dokter hewan dari IPB,
Daman bertugas sebagai Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Bandung, yang selanjutnya
memudahakannya dalam membangun kembali koperasi susu di Pangalengan
9
Suka Makmur di Grati. Sementara di Propinsi lain terdapat juga beberapa koperasi
susu, namun tidak melakukan kegiatan yang berarti, seperti halnya KPS Bogor,
Koperda Jakarta dan Koperasi SPP Ungaran.
Produksi susu antara tahun 1969-1978 berkembang dengan sangat lambat dari 28.900
ton menjadi 62.300 ton. Perjalanan koperasi persusuan di Indonesia jatuh dan bangun
dihantam berbagai permasalahan. Disamping masalah rendahnya kemampuan
manajemen koperasi, permasalahan utama yang dihadapi oleh koperasi persusuan
adalah dalam hal pemasaran susu kepada industri pengolah susu (IPS). Koperasi susu
memiliki posisi rebut tawar yang sangat lemah berhadapan dengan IPS, baik dalam
menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan serta harga yang diperoleh.23
Masalah yang dihadapi muncul dikarenakan IPS menggunakan susu impor sebagai
bahan baku dan tidak mau menyerap susu domestik. Walau minum susu teus
dikampanyekan, permintaan susu murni yang dihasilkan koperasi justeru mendapat sai-
ngan berat dengan hadirnya berbagai produk susu olahan IPS. Peternak yang telah
berhasil diarahkan untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri menjadi kecewa
karena banyak susu yang rusak dan harus dibuang.24
Titik balik perkembagan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978. Dimana
Menteri Muda Urusan Koperasi yang baru saja diangkat pada tahun itu langsung
memberikan perhatian besar terhadap pengembangan potensi agribisnis persusuan.25
Sejak itu, komunikasi antara gerakan koperasi persusuan dengan pemerintah berjalan
lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis susu di
Indonesia.
Dukungan pemerintah ini memiliki arti yang besar bagi perkembangan agribisnis
persusuan melalui gerakan koperasi. Namun perkembangan ini tidak bisa lepas dari
peran drh Daman Danuwidjaya. Sebagai Ketua KPBS Pangalengan, dia tidak hanya
berusaha untuk memajukan koperasinya sendiri, namun juga mendorong agar koperasi-
koperasi susu semakin mampu meningkatkan kerjasama antara koperasi dalam
memperjuangkan kemajuan persusuan nasional.26
23
Muslimin Nasution (dalam Sjarif, 1997, hal.242). IPS pada setiap hari libur tutup dan tidak bersedia
menampung susu peternak, maka pada akhir pekan banyak susu yang terbuang. Menghadapi hal ini,
Daman melakukan aksi protes melalui media film yang dikenal dengan Revolusi Putih dari Bandung
Selatan. Film ini menceritakan tentang banyaknya susu yang terbuang percuma terutama pada hari-hari
libur. Dampaknya, pemerintah kemudian mendesak IPS untuk mau menampung susu rakyat dalam
jumlah yang tdak terbatas, termasuk pada hari libur.
24
Sebagai contoh yang dialami KPBS Pangalengan antara tahun 1969-1979 tercatat kerusakan susu di
tingkat peternak yang harus dibuang mencapai 250.000 liter per tahun (lihat Sjarif, 1997, hal.59).
25
Bustanil Arifin SH ditunjuk menjadi Menteri Muda Urusan Koperasi yang baru dibentuk pada Kabinet
Pembangunan III pada tahun 1978. Sebelumnya pengembangan koperasi di Indonesia hanya ditangani
pejabat setingkat Direktur Jenderal. Bustanil Arifin saat itu juga menjabat sebagai Kepala Badan
Urusan Logistik (BULOG), yaitu lembaga yang mengurus masalah ketersediaan pangan nasional. Saat
itu masih belum jelas benar apa yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Koperasi. Secara
kebetulan saja Bustanil Arifin mendapatkan gagasan tentang pengembangan produksi susu melalui
gerakan koperasi. Selanjutnya dia mengutus Tim yang dipimpin oleh Ir. Muslimin Nasution (saat itu
menjabat sebagai Sekretaris Menteri Muda Koperasi) untuk melakukan studi banding koperasi
persusuan di Anand, India (lihat Djohan, 1996, hal.136)
26
Saat Muslimin Nasution mengunjungi Anand, India, dia bertemu dengan tokoh koperasi susu India
yaitu Dr. Kurien yang ternyata adalah kawan dekat Daman Danuwidjaja. Daman lebih dulu pernah
10
Atas prakarsanya yang mendapat dukungan pemerintah pada bulan Juli 1978 dapat
dilaksanakan Temu Karya Koperasi Susu Pertama di Jakarta yang diikuti oleh 11
koperasi susu. Temu Karya ini memutuskan terbentuknya Badan Koordinasi Koperasi
Susu Indonesia (BKKSI) yang secara aklamasi menunjukan drh Daman Danuwidjaja
sebagai Ketua Umumnya. Selanjutnya Temu Karya tersebut merekomendasikan peran
aktif pemerintah dalam mendukung pengembangan koperasi persusuan Indonesia.
Beberapa permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi sedikit dapat diatasi
dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintah, seperti halnya penetapan kuota
impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan
ternak serta impor sapi perah berkualitas. 27
Selanjutnya pada Temu Karya Koperasi Kedua pada tahun 1979, didirikan Gabungan
Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai organisasi koperasi susu tingkat sekunder
yang berskala nasional dengan drh Daman Danuwidjaya sebagai ketuanya. Dengan
posisi ini, Daman banyak melakukan terobosan untuk meningkatkan agribisnis
persusuan melalui gerakan koperasi. Dikarenakan kegigihan dan prestasinya dalam
memajukan persusuan nasional, Daman yang juga seorang pejabat di lingkungan
Departemen Pertanian kemudian dipercaya menjadi Derektur Jenderal Peternakan pada
tahun 1982-1988.
Pada tahun 1982 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang merupakan
titik awal pengembangan pemasaran susu di Indonesia, yang sekaligus menjadi entry
point dalam pengembangan koperasi persusuan di Indonesia. SKB tersebut mewajibkan
semua IPS untuk menyerap susu rakyat. 28 Selanjutnya SKB Tiga Menteri ini diperkuat
dengan dikeluarkannya Inpres No. 2 Tahun 1985 yang ditujukan kepada tujuh
Departemen untuk bekerjasama dalam sebuah tim kerja yang bernama Tim Koordinasi
Persusuan Nasional (TKPN). TKPN bertugas memantau perkembangan produksi dan
konsumsi susu di Indonesia. Direktur Jenderal Peternakan secara Ex-officio ditunjuk
menjadi ketua TKPN. Posisi ini semakin memungkinkan Daman dalam melakukan
terobosan yang bersifat lintas sektoral dalam pengembangan agribisnis susu nasional
berbasis koperasi.
belajar koperasi susu di Anand selama 6 bulan. Setelah pulang dari India, Muslimin Nasution banyak
berhubungan dengan Daman, yang ternyata keduanya cocok dalam memulai langkah yang disebut
Gerakan Nasional Persusuan (lihat Sjarif, 1997, hal. 239-248).
27
Rekomendasi yang dikeluarkan antara lain: (1) mendesak pemerintah untuk mengendalikan susu impor,
(2) mewajibkan IPS menggunakan susu dalam negeri dalam jumlah yang tidak dibatasi, (3) penentuan
harga susu secara nasional, (4) pembebasan pajak bagi koperasi, (5) terus memajukan persusuan
nasional melalui gerakan koperasi, serta (6) secepat mungkin untuk merealisir usaha pengembangan
sapi perah di Indonesia. Lihat Sjarif 1997, hal.81-84 dan Djohan, 1996, hal.139-140.
28
Yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Koperasi.
11
Share produksi susu dari koperasi terhadap produksi susu nasional meningkat dari
sekitar 17,5% pada tahun 1979 menjadi 92,6% pada tahun 1984. Hal ini tidak terlepas
dengan dilaksanakannya kebijakan BUSEP (bukti serap) yang mewajibkan IPS untuk
menyerap susu dari koperasi. Dengan kebijakan ini ratio penyerapan susu domestik
dapat diperjuangkan menjadi 1:3,5 pada tahun 1984 dari perbandingan 1:20 pada tahun
1979. Kewajiban busep ini diterapkan untuk melindungi peternak dalam negeri
dikarenakan susu import lebih murah harganya.29
Tabel 1. Perkembangan Agribisnis Persusuan di Indonesai (1979-2000)
No Items 1979 1984 1989 1994 1999 2000*
I No. of Diary Co-ops and KUD Milk 27 180 198 206 221 221
Unit:
• Member of GKSI 27 180 198 204 221 221
• Non Member of GKSI - - - 2 - -
II Labor Absorption (people) 4.800 97.979 173.569 235.276 236.383 243.306
• Farmer 1.497 32.999 58.797 80.066 79.560 81.840
• Labor 2.495 54.999 97.995 133.443 132.600 136.400
• No. of Co-ops Staffs 578 6.910 11.615 15.070 16.769 17.354
• No. of Labor outside Co-op 231 3.071 5.162 6.698 7.453 7.713
/KUD
III Dairy Cattle Population (heads):
• National (1) 94.000 203.000 287.665 334.000 332.000 341.000
• Dairy Co-op and KUD 5.987 131.997 235.188 320.262 318.241 327.360
• Local 4.908 75.674 151.403 233.098 318.241 327.360
• Imported (cumulative) 1.079 56.323 83.785 87.164 0 0
• Cattle Value (billion Rp) 2,25 73,87 226,15 424,62 1..424,26 1.800,12
IV Milk Production (million kg)
• National (1) 72,20 179,00 338,20 426,70 436,00 452,70
• Dairy Co-op and KUD 12,61 165,84 279,15 361,69 402,47 416,48
• Sold to Milk Processing 10,51 138,20 232,62 301,41 335,39 345,68
Industry (2)
• Others 2,10 27,64 46,52 60,28 67,08 69,14
• Milk Ration between Domestic 1 : 20 1 : 3,5 1 : 0,7 1:2 - -
Milk and Imported
V Milk Price (Rp/kg)
• Milk Processing Industry Price 196,50 314,00 440,00 615,00 1.246,00 1.582,42
• Milk Farm Gate price 147,50 262,50 385,00 516,50 1.090,25 1.392,53
• Consumer Price (3) 265,00 750,00 1.261,00 1.823,00 4.800,00 5.424,00
Note : *) Prileminary Figures
(1) Resource of Data from Directorate General Livestocks
(2) Resource of Data from Annual Report of GKSI
(3) Equal with Fresh Milk
Dikarenakan posisi rebut tawar yang rendah, maka harga susu yang diterima peternak
sangat rendah. Hal ini baru menjadi perhatian pemerintah pada tahun 1978 untuk
sesegera mungkin melakukan pendekatan terhadap IPS. Harga susu di tingkat peternak
yang semula hanya berkisar antara Rp 60-105 per liter berhasil dinaikkan menjadi Rp.
165-185 per liter disesuaikan dengan tingkat kebutuhan biaya hidup peternak saat itu.
29
Rendahnya harga susu impor dikarenakan ada kebijakan dumping yang dilakukan oleh negara
pengekspor. Buktinya harga susu pada tingkat farm gate di luar negeri antara 23-26 sen dollar US per
liter (lihat Latco Vol.II, No.8, 2001). Sementara di Indonesia pada tingkat farm gate harga susu sekitar
15-16 sen dollar US (Latco Vol I, No.3, 2001).
12
Namun dalam perkembangannya tingkat harga yang diterima oleh peternak tidak terus
membaik. Besarnya ratio farm gate price terhadap consumer price semakin menurun
dati tahun ke tahun. Besarnya ratio pada tahun 2000 kurang dari separuhnya ratio pada
tahun 1979.
Jumlah koperasi susu yang tadinya hanya 27 buah pada tahun 1979 berkembang 7 kali
lipat menjadi 198 pada tahun 1989. Demikian pula terjadi peningkatan yang signifikan
pada jumlah tenaga kerja yang terserap pada agribisnis persusuan, baik sebagai peternak
pemilik maupun sebagai pekerja.
Meningkatnya jumlah koperasi ini tidak terlepas dengan gencarnya program pemerintah
dalam pengembangan KUD di wilayah pedesaan30. Namun demikian, berdirinya GKSI
pada tahun 1979 sangat berperan dalam mengkondisikan KUD-KUD untuk mengem-
bangkan unit usaha persusuan, atau disebut KUD Susu. Dukungan penuh GKSI terlihat
dalam mengembangkan sub-sub sistem agribisnis off-farm baik hulu maupun hilir yang
dibutuhkan oleh sub-sistem on-farm sapi perah yang dikembangkan oleh koperasi-
koperasi primer. Pengembangan agribisnis persusuan nasional yang dikaitkan dengan
memperhatikan pengembangan pada semua sub-sub sistem secara simultan
memungkinkan banyaknya lahir koperas-koperasi susu baru.
Pada dasarnya semua koperasi susu di Indonesia adalah anggota GKSI, sebagaimana
yang diarahkan sejak semula bahwa pengembagan agribisnis persusuan di Indonesia
ditekankan melalui jalur koperasi. Namun pada tahun 1994 terdapat dua koperasi susu
yang bukan anggota GKSI. Sekitar tahun tersebut terjadi perbedaan pendapat antara
Daman Danuwidjaja dengan pihak pemerintah dalam hal pengembangan koperasi
persusuan nasional terkait dengan penerapan Undang-undang Koperasi No. 25 tahun
1992 yang baru dikeluarkan. Selanjutnya KPBS bersama beberapa koperasi lain
membentuk PUSKOPSI yaitu koperasi sekunder di tingkat propinsi Jawa Barat. Namun
keberadaan Puskopsi ini tidak direstui pemerintah, dan bahkan keanggotaan KPBS pada
GKSI sementara waktu dihentikan.31
30
Yaitu sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1978 tentang Koperasi Unit Desa.
31
Sebenarnya gagasan pembentukan sekunder di tingkat propinsi ini sudah menjadi kebutuhan, dimana
jumlah anggota GKSI sudah berkembang menjadi lebih dari 200 koperasi sehingga span of control
GKSI menjadi terlalu melebar. Terdapat banyak hal yang akan lebih efisien dan efektif jika
dikoordinasikan oleh koperasi sekunder di tingkat propinsi, sementara GKSI terus berkonsentrasi
memajukan kepentingan koperasi persusuan di tingkat nasional. Sayangnya, karena gagasan ini
dicetuskan oleh Daman yang saat itu berseberangan dengan pemerintah, maka gagasan ini ditolak.
Belakangan pada tahun 2000 gagasan ini akhirnya dilaksanakan juga oleh GKSI, dimana GKSI Pusat
membentuk GKSI cabang di tingkat propinsi seperti GKSI Jawa Barat dan GKSI Jawa Timur.
13
jumlah penduduk mencapai 300 juta jiwa dan tingkat konsumsi susu menjadi 16 liter
per kapita, maka dibutuhkan susu sebesar 4,8 juta ton. Sementara produksi dalam
negeri diperkirakan mencapai 3,04 juta ton, sehingga masih dibutuhkan import susu
dengan jumlah yang sangat besar, sekitar 1,76 juta ton.32
Perkembangan produksi susu sangat tergantung pada jumlah populasi sapi.
Berdasarkan proyeksi yang dibuat GKSI, pada tahun 2020 jumlah populasi ini
diharapkan meningkat menjadi 1,4 juta ekor atau tumbuh 8-10 persen per tahun. Angka
proyeksi ini dibuat dengan skenario yang pesimis, dimana untuk mencapai tingkat
pertumbuhan tersebut disinyalir bukanlah hal yang mudah. Namun dengan proyeksi
permintaan susu yang terus meningkat, maka angka proyeksi pertumbuhan populasi ini
seolah menjadi target yang perlu dicapai oleh gerakan koperasi susu Indonesia. Jika
tidak maka ketergantungan pada impor akan semakin tinggi.
Agar dapat mencapai tingkat pertumbuhan tersebut, maka beberapa hal yang perlu
diupayakan adalah dengan: (1) mengembangkan peternak profesional dalam bentuk
koloni dengan rata-rata pemilikan sapi 10 ekor, (2) Tersedianya pakan ternak berupa
complete feed untuk mengurangi ketergantungan pada pakan hijauan yang semakin sulit
di peroleh di Pulau Jawa, dan (3) pengembangan ternak sapi perah di luar Jawa.33
Selain itu tingkat produktivitas sapi perlu ditingkatkan baik produksi susu per laktasi
yang saat ini baru mencapai rata-rata 3.000 liter, dan memperpendek jarak antar beranak
(calving interval).
Tantangan lain yang perlu diantisipasi adalah pasar susu, dimana saat ini
ketergantungan pemasaran susu rakyat terhadap beberapa IPS sangat tinggi. Pada era
dimana tidak ada lagi peranan pemerintah dalam menetapkan aturan yang
menguntungkan koperasi, maka masalah pemasaran ini dapat muncul sewaktu-waktu.
Saat ini sudah mulai dirintis pengembangan usaha koperasi susu baik di tingkat primer
maupun sekunder ke arah pengembangan industri down stream, melalui pengembangan
susu pasteurisasi maupun UHT. Pendirian pabrik susu yang dimiliki oleh gerakan
koperasi susu nampaknya menjadi suatu keniscayaan di masa depan.
32
Proyeksi GKSI dalam Latco Vol.II, No.7, Okt-Nop 2001, hal 23.
33
Latco, Vol. II, No. 7, Oct-Nov 2001, hal.23.
14
C
O Input Supply Farming Processing Marketing
0
P Qualified human
E resources Intermediate Processing
R Transporting
A
T Primary Milk Milk
I Co-operatives Industries
V
E Education Willingness to absorbs
Technology Suitable price
Price
E Input Quality Control
Input factors
N Suppliers Milk
T Commitment
R Feed, Straw, Cow,
E Vaccine, Grass
Members Consumers
P
R
E
N
E Input Subsidies HR and Institutional Policy on : Investment, Price, Import and
U Supervised Credit development, R&D Domestic Market Development
R
Government as Support Sub System
6. Co-operative entrepreneur terdiri dari para dokter hewan yang telah merintis
pengembangan koperasi primer persusuan di tingkat pedesaan. Adalah suatu
fenomena yang agak langka dijumpai, adanya lulusan perguruan tinggi yang mau
berkiprah dalam pembangunan wilayah pedesaan. Hal ini bisa jadi bukan suatu
kebetulan, namun merupakan suatu keterpaksaan, dimana tenaga dokter hewan
masih belum banyak dibutuhkan di wilayah perkotaan Indonesia. Namun hal ini
mengisyaratkan dibutuhkannya suntikan sumberdaya manusia yang memiliki
idealisme, berpendidikan dan memiliki keahlian teknis dalam suatu bidang yang
terkait dengan pengembangan pedesaan.
7. Fenomena menarik lainnya adalah bahwa sebagian dari para dokter hewan yang
merintis pengembangan perkoperasian ini merupakan para pejabat pemerintah di
daerah. Artinya selain memiliki kapasitas keilmuan dalam pengembangan usaha
sapi perah, mereka juga memiliki kewenangan untuk memfasilitasi berkembangnya
usaha sapi perah di wilayah kerjanya. Sebagaimana yang dinyatakan McClelland
16
bahwa tanpa adanya kewenangan bertindak, sulit bagi para entrepreneur meraih
prestasi.34
8. Diantara para dokter hewan ini, dijumpai sosok Daman Danuwidjaja sebagai co-
operative entrepreneur yang paling menonjol perannya. Selain mengembangkan
KPBS yang dirintis dan diketuainya, Daman juga membantu koperasi-koperasi susu
lainnya untuk sama-sama berkembang. Inisiatifnya untuk mendirikan GKSI sebagai
koperasi sekunder persusuan merupakan hal yang sangat penting dalam sejarah
persusuan nasional. Demikian pula pada saat Daman menjabat sebagai Dirjen
Peternakan yang secara ex-officio sekaligus merupakan Koordinator TKPN. Pada
saat itu banyak kebijakan pemerintah lintas sektoral yang diarahkan untuk
mendukung usaha peternakan rakyat. Masa-masa tersebut tercatat sebagai masa
emas pengembangan persusuan nasional melalui jalur koperasi.
9. Keyakinan Daman terhadap manfaat positif lembaga koperasi (co-operative effects)
tidak lepas dari pengalaman masa kecilnya ketika bersentuhan dengan GAPPSI.
Disamping itu, kesan yang mendalam pada perkuliahan koperasi yang diberikan
Prof. Teko Sumodiwirjo saat kuliah di IPB, serta transfer wawasan dan motivasi
dari drh Memet Adinata saat menjalani kuliah kerja di Malang. Keyakinan Daman
semakin tinggi setelah menjalani pelatihan selama enam bulan pada gerakan
koperasi susu yang telah berkembang baik di Anand, India. Anand merupakan
model pengembangan sistem agribisnis susu melalui gerakan koperasi dengan
kondisi permasalahan pada suatu negara berkembang, sehingga relatif sesuai dengan
kondisi peternakan rakyat di Indonesia.35
10. Keyakinan yang kuat disertai wawasan yang luas telah mengantarkan Daman
mampu menjadikan KPBS sebagai Koperasi Teladan Nasional. Hal yang sangat
membantu dalam proses pembelajaran koperasi susu lainnya. Berdirinya GKSI
menyebabkan proses pembelajaran dan juga kerjasama antara koperasi persusuan
berjalan lebih baik lagi. Artinya, dalam pengembangan sistem agribisnis persusuan
melalui gerakan koperasi tidak terlepas dari proses pembelajaran dari koperasi yang
terbaik (benchmarking process).
34
McClelland, 1969, hal.123-125, 250-251.
35
Lebih jauh tentang model AMUL (Anand Milk Union Limited) silahkan baca Mascarenhas, 1988,
tentang strategi pengembangan pedesaan melalui gerakan koperasi persusuan di India.
36
Spendolini, 1993, hal.33.
17
Table 2. Indikator Patok duga dalam Pengembangan Beberapa Komoditi Agribisnis di Indonesia
Pemasaran Dukungan Co-operative’
Keter- Pengem- Pengo- Kebijakan Role Co-op
Jenis sediaan bangan lahan Kebu- Indus Pemerintah Entre- Catatan: faktor dominan
No Harga Total
Komoditi Input usaha- paska tuhan -tri pre- penghambat
bagi Pro- Pema- Pri-
faktor tani panen pasar penye Sekun- neur
petani duksi saran mer der
rap
9 Cengkeh 1 0 1 3 1 4 0 -3 3 3 -2 11 BPPC
Catatan: 0 = tidak ada; 1 = sedikit; 2 = cukup; 3 = baik; 4 = dangat baik. Tanda minus menunjukkan pengruh yang negatif.
Skoring dilakukan dengan ekspert judgement berdasarkan pengalaman dalam berbagai penelitian yang terkait disamping dari berbagai artikel maupun pemberitaan
surat khabar antara tahun 1999-2003..
1)
Dijadikan ukuran pada saat gerakan koperasi persusuan mencapai masa pertumbuhan terbaiknya pada tahun 1980-an.
19
37
Soedjono, 1997b, hal.177.
22
38
Bandingkan dengan Röpke, 1992, hal. 69-78.
23
6. Disadari bahwa gerakan koperasi masih memiliki berbagai kelemahan. Oleh karena
itu aliansi strategis merupakan suatu keniscayaan untuk dikembangkan. Aliansi
terbaik adalah dengan perguruan tinggi, dimana kedua lembaga akan memperoleh
manfaat timbal balik yang sangat besar.
7. Proses patok duga sebagai pembelajaran aktif perlu selalu diupayakan. Agar
kesalahan dapat seminimal mungkin dilakukan. Dan para insan koperasi tidak
menjadi orang yang miskin gagasan-gagasan perbaikan.
11. Penutup
Mungkin saatnya yang ditunggu telah tiba. Yaitu saat pengembangan koperasi
agribisnis yang berkualitas melalui sentuhan tangan para wirakoperasi. Momentum ini
menjadi penting ketika Indonesia sedang dirudung krisis. Momentum untuk
meningkatkan kesadaran bangsa, bahwa gerakan koperasi mampu mengantarkan pada
perbaikan ekonomi, tidak hanya bagi anggotanya, namun juga pada perekonomian
nasional.
Kehadiran para wirakoperasi menjadi harapan. Pada saat pemerintah sudah menekan
kendali politiknya pada lembaga koperasi. Pada saat pemerintah harus memposisikan
dirinya kembali sebagai fasilitator profesional bukannya sebagai eksekutor pada
berbagai program pengembangan wilayah pedesaan. Pada saat pemerintah kehilangan
kemampuan dalam pengembangan sektor agribisnis sebagai tumpuan ekonomi
kerakyatan. Koperasi agribisnis diharapkan bangkit sebagai bentuk koreksi dari
berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang berlangsung selama ini.
Saragih Bungaran. 1998. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Pertanian. Yayasan
Mulia Persada Indonesia-PT Surveyor Indonesia and Pusat Studi Pembangunan LP-IPB. Jakarta.
Solahuddin Soleh. 1998. “Sistem Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri dalam Mengatasi Krisis
Ekonomi”. Argimedia, Vol.4, No.2, Juni.
Soejono Ibnoe. 1997. Koperasi di Tengah Arus Liberalisasi Ekonomi. Yayasan Formasi. Jakarta.
Soedjono Ibnoe. 1997b. Koperasi dan Pembangunan Nasional. PIP-Dekopin. Jakarta.
Sonka S T and M A Hudson. 1989. “Why Agribusiness Anyway?” Agribusiness, 5, 4, 305-314.
Spendolini Michael J. 1992. The Benchmarking Book. Ammcom. New York.
Suprapto Ato. 1999. “Komoditas Unggulan Ekspor Agribisnis Indonesia”. Agrimedia, Vol.5, No.2,
July.
Syarief A. 1997. Membangun Usha Koperasi Persusuan Mandiri, Pengalaman, Pemikiran dan
Perjuangan Drh. H. Dman Danuwidjaja. KPBS Pangalengan.
Watson G H. 1993. Benchmarking, Vom Besten Lernen. Verlag Moderne Industrie. Landsberg.
Yustika Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonseia. Grasindo.
Jakarta.