Anda di halaman 1dari 24

1

Peran Wirakoperasi dalam Pengembangan Sistem Agribisnis


Kajian terhadap Pengembangan Agribisnis Persusuan di Indonesia1

Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec.2


Peneliti ISTECS Eropa

1. Pendahuluan
Selama tiga dekade dimulai pertengahan 1960an, perekonomian Indonesia berkembang
dengan baik yang terlihat dari kombinasi tingginya pertumbuhan ekonomi, stabilitas
makro ekonomi dan berkurangnya tingkat kemiskinan. Selama waktu itu rata-rata GNP
per kapita per tahun lebih dari 5 persen. Tingkat inflasi tiap tahunnya dapat ditekan di
bawah dua digit serta jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
berkurang dari 60 persen pada tahun 1970 menjadi 11 persen pada tahun 1996.
Terdepresiasinya rupiah terhadap US Dollar sejak pertengahan 1997 telah menjadi
pemicu berlangsungnya krisis ekonomi di Indonesia. GDP terkontraksi secara drastis
sebesar 13 persen pada tahun 1998, tingkat inflasi melonjak mencapai 58 persen,
pertumbuhan import dan ekspor terkontraksi masing-masing 30,9 persen dan 10,5
persen. Kelompok industri yang kurang mengakar pada pemanfaatan sumberdaya lokal
banyak yang terpaksa gulung tikar. Akibatnya tingkat pengangguran naik dengan
tajam, tingkat kemiskinan meningkat.
Krisis moneter diperparah dengan rusaknya sistem perbankan nasional serta
membengkaknya utang luar negeri. Beberapa bank pemerintah terpaksa digabungkan.
Sementara bank swasta banyak yang dilikuidasi. Dibandingkan tahun 1996, jumlah
bank swasta pada tahun 2000 tinggal separuhnya (dari 164 menjadi 83 bank). Upaya
pemerintah dalam menyelamatkan perbankan nasional melalui BPPN berbuntut pada
meningkatnya hutang domestik pemerintah hingga 647,9 trilyun rupiah. Sedangkan
beban hutang luar negeri menjadikan perekonomian Indonesia semakin sulit untuk
pulih. Depresiasi rupiah terhadap US Dollar menyebabkan beban pembayaran yang
menjadi berlipat-ganda. Pada September 2001 hutang luar negeri mencapai 1.376
Trilyun rupiah yang terdiri dari 741,6 trilyun hutang pemerintah dan 647,4 trilyun
rupiah hutang swasta.
Para pengamat ekonomi banyak menggali faktor-faktor ekonomi yang menjadi
penyebab krisis. McLeoad (1998) misalnya menyatakan bahwa krisis ekonomi
Indonesia yang sangat parah disebabkan oleh adanya kepanikan, mismanajemen dalam
merespon permulaan krisis, tajamnya penurunan nilai mata uang, ketidak mampuan

1
Disampaikan pada Seminar Dwibulanan ISTECS Eropa, pada tangal 5 Juli 2003 di Pusat Studi Asia
Tenggara Universitas Frankfurt am Main.
2
Staf Pengajar Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian - IPB, Bogor. Kandidat doktor
pada Institute for Cooperation in Developing Countries, Philipps University of Marburg
2

mempertahan sistem nilai tukar mengambang terkendali dan karena besarnya utang
yang tidak mampu dibayar.3 Sementara Iwan Jaya Aziz (1998) melihat kesalahan tidak
semata pada pihak pengelola moneter, melainkan karena ketidakcermatan yang
dilakukan para pengusaha swasta dan pemerintah sejak tahun 1994 dalam
memanfaatkan kredit dari bank-bank asing berbunga murah pada proyek di sektor “non-
traded goods” yang berisiko tinggi dan spekulatif.4
Studi yang dilakukan oleh Chaniago (2001) menelusuri penyebab yang lebih tepat
mengapa Indonesia begitu sulit melepaskan diri dari krisis ekonomi, sementara negara-
negara lain yang juga terkena krisis seperti Thailand dan Korea Selatan telah mulai
pulih perekonomiannya. Kajian terhadap berbagai kebijakan pembangunan ekonomi
yang berlangsung selama era Soeharto, mengantarkan Chaniago sampai pada
kesimpulan bahwa ada faktor penting yang umumnya terabaikan dalam analisis para
ekonom lainnya, yaitu telah rusaknya kohesifias sosial bangsa Indonesia. Kerusakan
kohesifitas sosial ini diwarnai dengan tujuh jenis ketimpangan, yaitu: (1) Ketimpangan
penyebaran aset antara pengusaha; (2) Ketimpangan laju pertumbuhan antar sektor; (3)
Ketimpangan pembangunan antar wilayah; (4) Ketimpangan pembangunan antar sub-
wilayah; (5) Ketimpangan pembangunan antara Desa-Kota; (6) Ketimpangan antar
golongan sosial ekonomi; dan (7) ketimpangan yang paling jarang disoroti adalah
ketimpangan pembagnunan diri sebagian besar manusia Indonesia, khususnya di lapisan
masyarakat bawah.5
Oleh karenanya, upaya pemulihan perekonomian Indonesia tidak bisa diperoleh jika
hanya membenahi masalah teknis ekonomi saja tanpa mengkaitkannya dengan upaya
pembangunan kembali kohesivitas sosial dengan cara mengurangi berbagai
ketimpangan sosial ekonomi yang ada. Mendukung argumen ini, para pakar ekonomi
Indonesia seolah sepakat bahwa strategi pembangunan perlu diorientasikan pada
modernisasi pertanian dalam konteks yang terkait dengan pengembangan industri
pertanian.6

2. Masalah Pengembangan Agribisnis di Indonesia


Selama krisis berlangsung, sektor pertanian telah menjadi sektor penyelamat ekonomi,
dimana sektor ini relatif tahan banting terhadap goncangan moneter, serta mampu
menyerap banyak tenaga kerja, tidak membutuhkan biaya produksi yang besar dan
relatif cepat menghasilkan.7 Pengembangan agribisnis memiliki nilai strategis
dikarenakan bersifat resource based, meningkatkan devisa, serta memililki dimensi
pemerataan karena adanya keterkaitan ke depan dan ke belakang yang sangat besar
(forward and backward linkages).8 Selain produk yang terkait dengan masalah
3
Chaniago, 2001, hal. 298
4
Ibid, hal. 300-303.
5
Ibid, hal. 309.
6
Yustika, 2001, hal. 105.
7
Suprapto, 1999. Juga lihat Daryanto (1999, hal. 63), bahwa terjadinya penurunan tingkat upah di
sektor pertanian padahal GDP sektor pertanian masih tumbuh 0,2 persen pada tahun 1998 menunjukkan
adanya kontribusi sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja limpahan dari luar sektor pertanian.
8
Solahuddin, 1998.
3

ketahanan pangan, pembangunan agribisnis diharapkan mampu untuk mengurangi


berbagai ketimpangan yang diwarisi pemerintah Orde Baru. Namun berbagai seruan ini
tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Berbagai peluang bagi sektor
agribisnis pada kenyataannya masih belum termanfaatkan dengan baik. Kegagalan ini
tidak lepas dari kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral yang terfokus pada
pengembangan produksi pertanian namun mengabaikan pengembangan sistem
agribisnis secara utuh.
Agribisnis merupakan paradigma baru bagi sektor pertanian. Sistem agribisnis tidak
hanya berhubungan dengan kegiatan usahatanai (sub-sistem on-farm) saja, namun juga
terkait dengan sub-sistem off-farm (baik hulu maupun hilir) serta sub-sistem penunjang.
Pengembangan sistem agribisnis secara parsial merupakan hal yang dapat menimbulkan
permasalahan baru lainnya.9
Secara ketersediaan sumberdaya, Indonesia memiliki potensi agribisnis yang sangat
besar, baik di daratan maupun lautan. Sayangnya potensi yang besar ini belum dapat
termanfaatkan dengan baik dikarenakan beberapa masalah besar yang dihadapi, yaitu:
1. Penguasaan asset produksi dan skala usaha petani yang sangat kecil serta
kemampuan permodalan usaha yang rendah
2. Ketersediaan infrastruktur yang minim, terutama di luar Jawa, baik terkait dalam
pengadaan input produksi, proses produksi, maupun paska produksi (pengolahan
dan pemasaran).
3. Produktivitas dan kualitas produk yang masih rendah dikarenakan pengusahaan
yang tradisional dan belum menggunakan teknologi secara tepat
4. Posisi rebut tawar (bargaining position) petani yang lemah dalam memperoleh nilai
jual yang menggairahkan usahanya.
5. Belum adanya kebijakan terpadu dari pemerintah yang mendukung berkembangnya
agribisnis di Indonesia.
Khususnya terkait dengan sub-sistem pendukung, pengembangan sistem agribisnis tidak
lepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang terkait.10 Sayangnya penentuan
kebijakan dan berbagai bentuk pendukung pengembagan sistem agribisnis ini tersekat-
sekat ke dalam berbagai instansi.11 Dalam kondisi seperti ini pemerintah bukannya
menjadi solusi tapi justeru menjadi sumber permasalahan.12

9
Saragih, 1998, hal. 47) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan kesalahan selama
PJP I, yaitu dengan membangun pertanian yang hanya terfokus pada subsistem usahatani saja, tidak
secara simultan mengkaitkannya dengan subsistem lainnya. Subsistem lainnya mencakup subsistem
agroindustri dan subsistem agromarketing serta subsistem penunjang yang mencakup peran pemerintah
dalam regulasi. Selanjutnya Saragih (1998 menyatakan bahwa sektor pertanian telah menjadi korban
strategi industrialisasi di Indonesia. Kebijakan makro-ekonomi semisal kebijakan kurs yang
mensubsidi produk impor dan bahkan mengenakan pajak ekspor dinilai sangat merugikan sektor
agribisnis. Belum lagi kebijakanan perdagangan yang distorsif pada berbagai komoditas agribisnis.
Sehingga tidak heran agribisnis domesti berkembang lambat dan rendah produktivitasnya (hal 239-
242).
10
Sonka and Hudson, 1998.
11
Baga, et.al., 1999.
12
Saragih, op.cit, hal. 48.
4

Dalam kondisi tidak efektifnya sub-sistem pendukung agribisnis yang dimotori oleh
pemerintah, maka mau tidak mau para petani harus mampu memperjuangkan berbagai
kepentingan mereka sendiri. Pengalaman di berbagai negara maju menujukkan bahwa
koperasi pertanian merupakan wadah yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan
petani ini. Melalui koperasi diharapkan petani mampu mewujudkan kekuatan
penyeimbang (coutervailing power) terhadap berbagai iklim usaha yang selama ini
merugikan mereka, melakukan pengembangan pasar input dan output yang lebih
menguntungkan, memperbaiki efisiensi produksi dan pemasaran, lebih baik dalam
mengendalikan resiko, serta menjamin kelangsungan usaha dan meningkatkan
pendapatan petani.13

Figure 2.2. Existing Agribusiness System in Indonesia

Input Factor Farming Processing Marketing


Supplies

Fertilizer Food Crop Grading Advertising


Pesticide Horticulture Handling Promotion
Machinery Plantation Processing Negotiation
Equipment Fisheries Packaging Distribution
Seed, Feed Livestock Storing
Transportation Forestry

Support System Support System Support System Support System


Input Factor Farming Processing Marketing

Note : Support system agribisnis such as research and development, information, education,
training and extension, consultation, financing, insurance, regulation, etc.

Sumber: Baga et.al., 1999

Pembangunan agribisnis melalui gerakan koperasi memiliki nilai yang sangat strategis.
Hal ini karena pemulihan ekonomi membutuhkan tidak hanya aspek pertumbuhan saja,
namun perlu disertai dengan upaya untuk menekan berbagai ketimpangan untuk
memulihkan kembali kohesifitas sosial di kalangan masyarakat.
Namun disadari bahwa pengembangan agribisnis berbasiskan gerakan koperasi bukan
suatu hal yang mudah. Hal ini tidak lepas dari perjalanan gerakan koperasi di Indonesia
13
Bekkum and Dijk, 1997, hal.21.
5

yang hingga kini masih diliputi dengan berbagai permasalahan. Oleh karenanya paper
ini bertujuan untuk menelaah langkah-langkah strategis yang perlu dikembangkan
dalam upaya pengembangan agribisnis melalui kelembagaan koperasi.

3. Koperasi Agribisnis di Indonesia


Terminologi koperasi agribisnis masih belum banyak digunakan di Indonesia.
Sementara istilah koperasi pertanian hanya tercatat dalam sejarah perkoperasian
Indonesia.14 Adapun jenis koperasi yang umumnya dijumpai bergerak di sektor
pertanian adalah Koperasi Unit Desa (KUD). KUD adalah satu-satunya jenis koperasi
yang diizinkan pemerintah (antara tahun 1984-1998) beroperasi di pedesaan, sehingga
keterkaitan KUD dengan sektor pertanian/agribisnis sangatlah dekat. Dalam
pembentukkan KUD lebih banyak diinisiasi oleh pemerintah (top-down), dan dalam
aktivitas usahanya banyak menjadi alat perpanjangan tangan pemerintah dalam
pelaksanaan program pengembangan ekonomi pedesaan. Hal ini menyebabkan KUD
lebih dikenal sebagai koperasi program, yang menjalankan usaha berbasiskan pada
program pemerintah dan bukannya berbasis pada kepentingan anggota.
Dalam program pengadaan pangan, khususnya beras, peran KUD sangat besar. KUD
berfungsi dalam penyaluran kredit usahatani berupa pupuk, bibit dan sarana produksi
lainnya ke para petani. Namun untuk pengembangan komoditas agribisnis lainnya
peran KUD masih kurang. Untuk komoditas perikanan terdapat beberapa KUD yang
berspesialisasi pada usaha perikanan yang disebut KUD Mina. Sementara untuk
komoditas peternakan dikenal beberapa KUD Susu disamping beberapa koperasi
peternak sapi perah yang memperoleh izin khusus untuk tetap berjalan.15 Namun
demikian peran KUD dalam pengembangan kedua komoditi ini masih belum optimal
terkait dengan besarnya peluang usaha yang ada.
Untuk komoditi perkebunan, disinyalir bahwa kebijakan pengembangan KUD justeru
telah mengubur aktivitas beberapa koperasi perkebunan yang sudah cukup mapan,
misalnya koperasi karet dan koperasi kopra.16 Kondisi yang sangat menyedihkan terjadi
pada perdagangan cengkeh yang dimonopoli BPPC (1992-1998), dimana keterlibatan
KUD dalam perdagangan komoditi ini justeru menghancurkan sistem agribisnis
cengkeh. Karena tidak boleh menggunakan lembaga koperasi lainnya, pada beberapa

14
Istilah Koperasi Pertanian digunakan sebelum tahun 1974. Dengan keluarnya Inpres 4/1973 tentang
Unit Desa, menyebabkan istilah ini tidak digunakan lagi, karena baik Koperasi Pertanian bersama
dengan Koperasi Desa digabungkan menjadi Badan Usaha Unit Desa yang merupakan cikal bakal
berdirinya KUD (lihat Djohan, 1997, hal 55-64).
15
Menteri Muda Koperasi saat itu adalah Bustanul Arifin SH, yang memiliki perhatian khusus terhadap
pembangunan agribisnis susu melalui gerakan koperasi, memberi izin khusus kepada koperasi peternak
sapi perah untuk tetap beroperasi di pedesaan (Djohan, 1996, hal136.)
16
Berbeda dengan koperasi peternak sapi perah pada point di atas, koperasi perkebunan tidak diijinkan
untuk beroperasi di pedesaan setelah di keluarkannya Inpres 4 tahun 1984. Oleh karenanya koperas-
koperasi perkebunan ini diharuskan untuk beramalgamisasi dengan KUD yang dibentuk pada tiap
kecamatan.
6

daerah dijumpai para petani perkebunan yang memperjuangkan usahanya melalui


kelompok dengan nama asosiasi17.
Seiring dengan proses reformasi politik dan ekonomi maka hak monopoli KUD di
pedesaan dihapuskan dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 18 tahun 1998. Di sisi lain
kemampuan pendanaan pemerintah saat itu juga semakin terbatas dalam melakukan
program pengembangan ekonomi pedesaan. Hal ini menyebabkan KUD dipaksa untuk
mandiri dan sekaligus harus siap berkompetisi dengan pelaku-pelaku ekonomi baru di
wilayah pedesaan. Banyak KUD mengalami kesulitan dalam posisinya yang baru.
Terbukanya pasar domestik maupun ekspor selama masa krisis ekonomi tidak dapat
dimanfaatkan oleh KUD dengan baik. Antara tahun 1997 sampai 2000 terjadi
penurunan jumlah KUD sebesar 15 persen yaitu dari 8.427 menjadi 7.150 buah.
Penurunan jumlah KUD ini khususnya dijumpai pada KUD yang berstatus Non
Mandiri, yaitu dari 1.026 tinggal menjadi 204 (-80 persen).18
Penurunan jumlah KUD ini sangat bertolak belakang dengan pertumbuhan jumlah
koperasi pada umumnya. Dengan dikeluarkannya Inpres 18 tahun 1998 yang disusul
dengan SK Menteri Nomor 139 tahun 1998, menyebabkan jumlah koperasi bertambah
secara significant, yaitu dari 51.881 pada tahun 1997 menjadi 102.227 pada tahun 2000
(97 persen). Namun demikian pertumbuhan jumlah koperasi ini belum menjadi berita
yang menggembiarakan bagi perkembangan koperasi agribisnis di Indonesia.
Sebagaimana yang disinyalir oleh banyak pihak bahwa tidak sedikit koperasi-koperasi
baru ini terkategori sebagai koperasi merpati, yaitu koperasi yang bermunculan saat
fasilitas pemerintah diberikan, ketika fasilitas itu habis, maka merpatipun pergi.
Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa proses pembangunan koperasi di
Indonesia telah berjalan di tempat. Ironisnya semangat pemerintah dalam membangun
koperasi pada dekade terakhir terlihat sangat menurun. Pada tahun 1993 Dapartemen
Koperasi “dianugrahkan” tambahan pekerjaan yang luar biasa besarnya untuk sekaligus
membina Usaha Kecil dan Menengah, yang berjumlah sekitar 39 juta unit. Beban tugas
baru ini cukup mereduksi perhatian pemerintah dalam pengembangan koperasi. Sejak
akhir 1999, dilakukan perubahan struktur kelembagaan pemerintah yang menangani
pengembangan koperasi, yaitu dari sebuah lembaga Departemen menjadi Menteri
Negara. Dengan bentuk kelembagaan yang baru, peran pemerintah dalam
pengembangan koperasi tidak lagi dilengkapi struktur birokrasi sampai tingkat
kabupaten/kota. Dari segi pengurangan intervensi pemerintah yang selama ini dinilai
berlebihan, perubahan struktur ini merupakan hal yang sangat positif. Namun dikaitkan
pada konteks pengembangan koperasi secara makro, hal ini berakibat fatal, dimana
anggaran yang disediakan untuk pembangunan koperasi nasional menjadi sangat kecil.
Dewasa ini, pengembangan perkoperasian Indonesia sedang berada di simpang jalan.
Di satu sisi, perhatian pemerintah pada lembaga ini sudah sangat berkurang, sementara
kondisi gerakan koperasi di Indonesia belum juga mampu mandiri, apalagi kondisi
17
Misalnya Asosiasi Petani Tebu, Asosiasi Petani Kopi, dll. Baru pada tahun 1998 petani tebu diijinkan
mendirikan Koperasi Petani Tebu Rakyat (sumber: www.inkoptri.addr.com/industri. html)
18
Sejak tahun 1988 pemerintah Indonesia berupaya untuk memandirikan KUD yang ada. KUD Mandiri
adalah KUD yang telah berhasil memenuhi 13 syarat yang ditentukan pemerintah. Namun demikian,
status mandiri ini disinyalir masih bersifat adminsitratif, karena pada kenyataannya tidak sedikit KUD
Mandiri yang secara bisnis dan organisasi masih belum mandiri. Pada tahun 2000 dijumpai 217 KUD
Mandiri yang dinyatakan sama sekali tidak aktif.
7

masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih sangat awam terhadap masalah
koperasi. Di sisi lain, sejarah perkembangan koperasi di dunia justeru mengingatkan
bahwa pada saatnya koperasi bangkit sebagai countervailing power dari kondisi yang
sangat tidak bersahabat terhadap masyarakat lemah seperti petani. Masalahnya adalah,
bagaimana agar proses penyeimbangan ini dapat berlangsung dalam waktu yang lebih
singkat, khususnya dalam menghadapi berbagai gempuran beruntun dari makhluk yang
bernama pasar bebas.
Oleh karenanya dibutuhkan suatu strategi untuk mengembangkan koperasi agribisnis
yang lebih terarah (efektif) dengan proses yang lebih ringkas (efisien). Salah satu
strategi yang saat ini mengedepan dalam kancah manajemen bisnis dan organisasi
adalah benchmarking strategy. Benchmarking (patok duga) merupakan proses
pembelajaran dari yang terbaik.19 Spendolini mendifinisikan benchmarking sebagai:
A continuous, systematic process for evaluation the products, services, and
work processes of organization that are recognized as representing best
practices for the purpose of organizational inprovement.20
Tidaklah sepenuhnya benar jika dinyatakan bahwa koperasi agribisnis di Indonesia
memiliki kinerja yang buruk. Sejarah perkoperasian di Indonesia menunjukkan bahwa
tidak sedikit koperasi persusuan yang tumbuh dengan baik, sebagaimana juga dijumpai
banyaknya koperasi susu di negara-negara lain yang berkembang dengan sangat baik.
Oleh karenanya perlu ditarik pelajaran dari pengalaman koperasi persusuan ini,
sehingga koperasi agribisnis komoditi lain mampu melakukan proses patok duga guna
meningkatkan kinerjanya.

4. Agribisnis Susu
Kebiasaan minum susu sapi diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Bersamaan dengan era
penjajahan, sejak abad 17 sudah mulai didatangkan sapi perah ke Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Belanda. Pada abad ke-19 kebutuhan susu semakin
meningkat, maka sapi perah semakin banyak di datangkan tidak hanya dari Eropa tapi
juga dari Australia. Usaha peternakan sapi perah di Indonesia mulai berkembang,
khususnya di daerah ketinggian yang bertemperatur rendah namun terletak tidak jauh
dengan kota besar, yaitu: di daerah Malang dan Pasuruan yang dekat dengan kota
Surabaya; di daerah Bandung, Cianjur, Sukabumi dan Bogor yang dekat dengan kota
Jakarta; serta di daerah Ungaran dan Boyolali yang dekat dengan kota Semarang.
Selanjutnya daerah produksi susu terus berkembang di Pulau Jawa. Walau pernah coba
dikembangkan beberapa sentra prosduksi susu di luar Jawa namun kurang berhasil.
Perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, yaitu: (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan
komoditas susu; (2) masih rendahnya skala usaha pemilikan sapi oleh peternak, dimana
rata-rata hanya 2-4 ekor; (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang
rendah; (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas
sumberdaya manusia peternak yang juga rendah; (5) kesulitan bahan pakan ternak

19
Watson, 1993.
20
Spendolini, 1992, hal. 9-10.
8

berkualitas, sementara lahan sumber rumput hijauan di Jawa sudah semakin sempit; (6)
masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat; (7) masih rendahnya
kualitas susu yang dihasilkan; (8) kondisi infrastruktur transportasi yang kurang
memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi; dan (9) masalah
dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masayarakat
Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor.
Pada tahun 1970-an pemerintah menjalankan program kampanye minum susu setiap
hari. Tingkat permintaan susu semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selanjutnya
pemeritah membuka kesempatan investasi dalam pendirian industri persusuan di
Indonesia, sehingga mulailah berdiri industri pengolah susu di Pulau Jawa. Pada tahun
1979 tercatat tujuh pabrik susu besar yang beroperasi di Indonesia. Namun demikian
pada awalnya industri susu ini tidak bergantung pada bahan baku dari para peternak
lokal, dimana umumnya bahan baku susu diimpor. Selain faktor harga susu impor yang
lebih murah, juga dikarenakan kualitas yang lebih baik serta kuantitas yang selalu
tercukupi.
Saat ini tingkat konsumsi susu per kapita bangsa Indonesia masih sangat rendah. Pada
tahun 1998 hanya sebesar 4,16 kg per kapita per tahun, yang masih lebih rendah dari
Standard Gizi Masyarakat Nasional, yaitu sebesar 7,2 kg per kapita per tahun. Jumlah
ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia, semisal Kamboja dan
Bangladeh yang masing-masing sebesar 12,97 dan 31,33 kg per kapita per tahun.

5. Sejarah Koperasi Persusuan Di Indonesia


Usaha peternakan sapi perah di Indonesia pada awalnya hanya berupa usaha rumah
tangga. Baru pada 1949 berdiri Gabungan Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan
(GAPPSIP) yang juga merupakan koperasi peternak pertama di Indonesia. Berdirinya
koperasi peternak ini tidak lepas dari pembinaan dokter hewan bernama Soejono dan Y.
Hutabarat. Pembinaan tenaga ahli peternakan, yaitu dokter hewan, dalam pendirian
koperasi susu juga dijumpai di daerah Pujon, dimana pada tahun 1962 berdiri koperasi
peternak bernama SAE Pujon dengan bimbingan drh Memet Adinata.21
Dikarenakan buruknya situasi sosial ekonomi dan politik, pada tahun 1963 GAPPSIP
terpaksa tutup. Akibatnya tata niaga susu di Pangalengan dikuasai oleh para tengkulak
dan peternak kuat. Baru pada tahun 1969 di tempat yang sama kembali berdiri koperasi
susu dengan nama baru yaitu Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) yang juga
diprakarsai oleh seorang dokter hewan, yaitu drh Daman Danuwijaya, yang saat itu juga
menjabat sebagai Kepala Dinas Kehewanan Kabupaten Bandung.22
Sampai dengan tahun 1978 di Propinsi Jawa Timur terdapat beberapa koperasi susu
selain SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojajar dan Koperasi

21
Djohan, 1996, hal.132. Drh. Memet Adinata saat itu bertugas sebagai Kepala Dinas Kehewanan Dati II
Kabupaten Malang (Sjarif, 1997, hal. 206).
22
Sjarief, 1997, hal.25-42. Pada saat GAPPSIP tutup, Daman termasuk yang menyayangkan.
Pengalaman masa kecilnya di Pangalengan sangat dekat dengan GAPPSIP yang menurutnya banyak
membantu para peternak dalam memasarkan susu. Setelah mendapat gelar dokter hewan dari IPB,
Daman bertugas sebagai Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Bandung, yang selanjutnya
memudahakannya dalam membangun kembali koperasi susu di Pangalengan
9

Suka Makmur di Grati. Sementara di Propinsi lain terdapat juga beberapa koperasi
susu, namun tidak melakukan kegiatan yang berarti, seperti halnya KPS Bogor,
Koperda Jakarta dan Koperasi SPP Ungaran.
Produksi susu antara tahun 1969-1978 berkembang dengan sangat lambat dari 28.900
ton menjadi 62.300 ton. Perjalanan koperasi persusuan di Indonesia jatuh dan bangun
dihantam berbagai permasalahan. Disamping masalah rendahnya kemampuan
manajemen koperasi, permasalahan utama yang dihadapi oleh koperasi persusuan
adalah dalam hal pemasaran susu kepada industri pengolah susu (IPS). Koperasi susu
memiliki posisi rebut tawar yang sangat lemah berhadapan dengan IPS, baik dalam
menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan serta harga yang diperoleh.23
Masalah yang dihadapi muncul dikarenakan IPS menggunakan susu impor sebagai
bahan baku dan tidak mau menyerap susu domestik. Walau minum susu teus
dikampanyekan, permintaan susu murni yang dihasilkan koperasi justeru mendapat sai-
ngan berat dengan hadirnya berbagai produk susu olahan IPS. Peternak yang telah
berhasil diarahkan untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri menjadi kecewa
karena banyak susu yang rusak dan harus dibuang.24
Titik balik perkembagan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978. Dimana
Menteri Muda Urusan Koperasi yang baru saja diangkat pada tahun itu langsung
memberikan perhatian besar terhadap pengembangan potensi agribisnis persusuan.25
Sejak itu, komunikasi antara gerakan koperasi persusuan dengan pemerintah berjalan
lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis susu di
Indonesia.
Dukungan pemerintah ini memiliki arti yang besar bagi perkembangan agribisnis
persusuan melalui gerakan koperasi. Namun perkembangan ini tidak bisa lepas dari
peran drh Daman Danuwidjaya. Sebagai Ketua KPBS Pangalengan, dia tidak hanya
berusaha untuk memajukan koperasinya sendiri, namun juga mendorong agar koperasi-
koperasi susu semakin mampu meningkatkan kerjasama antara koperasi dalam
memperjuangkan kemajuan persusuan nasional.26

23
Muslimin Nasution (dalam Sjarif, 1997, hal.242). IPS pada setiap hari libur tutup dan tidak bersedia
menampung susu peternak, maka pada akhir pekan banyak susu yang terbuang. Menghadapi hal ini,
Daman melakukan aksi protes melalui media film yang dikenal dengan Revolusi Putih dari Bandung
Selatan. Film ini menceritakan tentang banyaknya susu yang terbuang percuma terutama pada hari-hari
libur. Dampaknya, pemerintah kemudian mendesak IPS untuk mau menampung susu rakyat dalam
jumlah yang tdak terbatas, termasuk pada hari libur.
24
Sebagai contoh yang dialami KPBS Pangalengan antara tahun 1969-1979 tercatat kerusakan susu di
tingkat peternak yang harus dibuang mencapai 250.000 liter per tahun (lihat Sjarif, 1997, hal.59).
25
Bustanil Arifin SH ditunjuk menjadi Menteri Muda Urusan Koperasi yang baru dibentuk pada Kabinet
Pembangunan III pada tahun 1978. Sebelumnya pengembangan koperasi di Indonesia hanya ditangani
pejabat setingkat Direktur Jenderal. Bustanil Arifin saat itu juga menjabat sebagai Kepala Badan
Urusan Logistik (BULOG), yaitu lembaga yang mengurus masalah ketersediaan pangan nasional. Saat
itu masih belum jelas benar apa yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Koperasi. Secara
kebetulan saja Bustanil Arifin mendapatkan gagasan tentang pengembangan produksi susu melalui
gerakan koperasi. Selanjutnya dia mengutus Tim yang dipimpin oleh Ir. Muslimin Nasution (saat itu
menjabat sebagai Sekretaris Menteri Muda Koperasi) untuk melakukan studi banding koperasi
persusuan di Anand, India (lihat Djohan, 1996, hal.136)
26
Saat Muslimin Nasution mengunjungi Anand, India, dia bertemu dengan tokoh koperasi susu India
yaitu Dr. Kurien yang ternyata adalah kawan dekat Daman Danuwidjaja. Daman lebih dulu pernah
10

Atas prakarsanya yang mendapat dukungan pemerintah pada bulan Juli 1978 dapat
dilaksanakan Temu Karya Koperasi Susu Pertama di Jakarta yang diikuti oleh 11
koperasi susu. Temu Karya ini memutuskan terbentuknya Badan Koordinasi Koperasi
Susu Indonesia (BKKSI) yang secara aklamasi menunjukan drh Daman Danuwidjaja
sebagai Ketua Umumnya. Selanjutnya Temu Karya tersebut merekomendasikan peran
aktif pemerintah dalam mendukung pengembangan koperasi persusuan Indonesia.
Beberapa permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi sedikit dapat diatasi
dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintah, seperti halnya penetapan kuota
impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan
ternak serta impor sapi perah berkualitas. 27
Selanjutnya pada Temu Karya Koperasi Kedua pada tahun 1979, didirikan Gabungan
Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai organisasi koperasi susu tingkat sekunder
yang berskala nasional dengan drh Daman Danuwidjaya sebagai ketuanya. Dengan
posisi ini, Daman banyak melakukan terobosan untuk meningkatkan agribisnis
persusuan melalui gerakan koperasi. Dikarenakan kegigihan dan prestasinya dalam
memajukan persusuan nasional, Daman yang juga seorang pejabat di lingkungan
Departemen Pertanian kemudian dipercaya menjadi Derektur Jenderal Peternakan pada
tahun 1982-1988.
Pada tahun 1982 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang merupakan
titik awal pengembangan pemasaran susu di Indonesia, yang sekaligus menjadi entry
point dalam pengembangan koperasi persusuan di Indonesia. SKB tersebut mewajibkan
semua IPS untuk menyerap susu rakyat. 28 Selanjutnya SKB Tiga Menteri ini diperkuat
dengan dikeluarkannya Inpres No. 2 Tahun 1985 yang ditujukan kepada tujuh
Departemen untuk bekerjasama dalam sebuah tim kerja yang bernama Tim Koordinasi
Persusuan Nasional (TKPN). TKPN bertugas memantau perkembangan produksi dan
konsumsi susu di Indonesia. Direktur Jenderal Peternakan secara Ex-officio ditunjuk
menjadi ketua TKPN. Posisi ini semakin memungkinkan Daman dalam melakukan
terobosan yang bersifat lintas sektoral dalam pengembangan agribisnis susu nasional
berbasis koperasi.

6. Perkembangan Produksi Susu


Pada Tabel 1 terlihat bahwa jumlah peternak sapi perah berikut jumlah populasi sapi
perah berkembang hampir 40 kali lipat antara tahun 1979-1989. Namun, besarnya
peningkatan yang bersamaan antara jumlah peternak dan jumlah sapi perah
mengindikasikan pemilikan rata-rata sapi perah belum meningkat secara signifikan.

belajar koperasi susu di Anand selama 6 bulan. Setelah pulang dari India, Muslimin Nasution banyak
berhubungan dengan Daman, yang ternyata keduanya cocok dalam memulai langkah yang disebut
Gerakan Nasional Persusuan (lihat Sjarif, 1997, hal. 239-248).
27
Rekomendasi yang dikeluarkan antara lain: (1) mendesak pemerintah untuk mengendalikan susu impor,
(2) mewajibkan IPS menggunakan susu dalam negeri dalam jumlah yang tidak dibatasi, (3) penentuan
harga susu secara nasional, (4) pembebasan pajak bagi koperasi, (5) terus memajukan persusuan
nasional melalui gerakan koperasi, serta (6) secepat mungkin untuk merealisir usaha pengembangan
sapi perah di Indonesia. Lihat Sjarif 1997, hal.81-84 dan Djohan, 1996, hal.139-140.
28
Yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Koperasi.
11

Share produksi susu dari koperasi terhadap produksi susu nasional meningkat dari
sekitar 17,5% pada tahun 1979 menjadi 92,6% pada tahun 1984. Hal ini tidak terlepas
dengan dilaksanakannya kebijakan BUSEP (bukti serap) yang mewajibkan IPS untuk
menyerap susu dari koperasi. Dengan kebijakan ini ratio penyerapan susu domestik
dapat diperjuangkan menjadi 1:3,5 pada tahun 1984 dari perbandingan 1:20 pada tahun
1979. Kewajiban busep ini diterapkan untuk melindungi peternak dalam negeri
dikarenakan susu import lebih murah harganya.29
Tabel 1. Perkembangan Agribisnis Persusuan di Indonesai (1979-2000)
No Items 1979 1984 1989 1994 1999 2000*

I No. of Diary Co-ops and KUD Milk 27 180 198 206 221 221
Unit:
• Member of GKSI 27 180 198 204 221 221
• Non Member of GKSI - - - 2 - -
II Labor Absorption (people) 4.800 97.979 173.569 235.276 236.383 243.306
• Farmer 1.497 32.999 58.797 80.066 79.560 81.840
• Labor 2.495 54.999 97.995 133.443 132.600 136.400
• No. of Co-ops Staffs 578 6.910 11.615 15.070 16.769 17.354
• No. of Labor outside Co-op 231 3.071 5.162 6.698 7.453 7.713
/KUD
III Dairy Cattle Population (heads):
• National (1) 94.000 203.000 287.665 334.000 332.000 341.000
• Dairy Co-op and KUD 5.987 131.997 235.188 320.262 318.241 327.360
• Local 4.908 75.674 151.403 233.098 318.241 327.360
• Imported (cumulative) 1.079 56.323 83.785 87.164 0 0
• Cattle Value (billion Rp) 2,25 73,87 226,15 424,62 1..424,26 1.800,12
IV Milk Production (million kg)
• National (1) 72,20 179,00 338,20 426,70 436,00 452,70
• Dairy Co-op and KUD 12,61 165,84 279,15 361,69 402,47 416,48
• Sold to Milk Processing 10,51 138,20 232,62 301,41 335,39 345,68
Industry (2)
• Others 2,10 27,64 46,52 60,28 67,08 69,14
• Milk Ration between Domestic 1 : 20 1 : 3,5 1 : 0,7 1:2 - -
Milk and Imported
V Milk Price (Rp/kg)
• Milk Processing Industry Price 196,50 314,00 440,00 615,00 1.246,00 1.582,42
• Milk Farm Gate price 147,50 262,50 385,00 516,50 1.090,25 1.392,53
• Consumer Price (3) 265,00 750,00 1.261,00 1.823,00 4.800,00 5.424,00
Note : *) Prileminary Figures
(1) Resource of Data from Directorate General Livestocks
(2) Resource of Data from Annual Report of GKSI
(3) Equal with Fresh Milk

Dikarenakan posisi rebut tawar yang rendah, maka harga susu yang diterima peternak
sangat rendah. Hal ini baru menjadi perhatian pemerintah pada tahun 1978 untuk
sesegera mungkin melakukan pendekatan terhadap IPS. Harga susu di tingkat peternak
yang semula hanya berkisar antara Rp 60-105 per liter berhasil dinaikkan menjadi Rp.
165-185 per liter disesuaikan dengan tingkat kebutuhan biaya hidup peternak saat itu.

29
Rendahnya harga susu impor dikarenakan ada kebijakan dumping yang dilakukan oleh negara
pengekspor. Buktinya harga susu pada tingkat farm gate di luar negeri antara 23-26 sen dollar US per
liter (lihat Latco Vol.II, No.8, 2001). Sementara di Indonesia pada tingkat farm gate harga susu sekitar
15-16 sen dollar US (Latco Vol I, No.3, 2001).
12

Namun dalam perkembangannya tingkat harga yang diterima oleh peternak tidak terus
membaik. Besarnya ratio farm gate price terhadap consumer price semakin menurun
dati tahun ke tahun. Besarnya ratio pada tahun 2000 kurang dari separuhnya ratio pada
tahun 1979.
Jumlah koperasi susu yang tadinya hanya 27 buah pada tahun 1979 berkembang 7 kali
lipat menjadi 198 pada tahun 1989. Demikian pula terjadi peningkatan yang signifikan
pada jumlah tenaga kerja yang terserap pada agribisnis persusuan, baik sebagai peternak
pemilik maupun sebagai pekerja.
Meningkatnya jumlah koperasi ini tidak terlepas dengan gencarnya program pemerintah
dalam pengembangan KUD di wilayah pedesaan30. Namun demikian, berdirinya GKSI
pada tahun 1979 sangat berperan dalam mengkondisikan KUD-KUD untuk mengem-
bangkan unit usaha persusuan, atau disebut KUD Susu. Dukungan penuh GKSI terlihat
dalam mengembangkan sub-sub sistem agribisnis off-farm baik hulu maupun hilir yang
dibutuhkan oleh sub-sistem on-farm sapi perah yang dikembangkan oleh koperasi-
koperasi primer. Pengembangan agribisnis persusuan nasional yang dikaitkan dengan
memperhatikan pengembangan pada semua sub-sub sistem secara simultan
memungkinkan banyaknya lahir koperas-koperasi susu baru.
Pada dasarnya semua koperasi susu di Indonesia adalah anggota GKSI, sebagaimana
yang diarahkan sejak semula bahwa pengembagan agribisnis persusuan di Indonesia
ditekankan melalui jalur koperasi. Namun pada tahun 1994 terdapat dua koperasi susu
yang bukan anggota GKSI. Sekitar tahun tersebut terjadi perbedaan pendapat antara
Daman Danuwidjaja dengan pihak pemerintah dalam hal pengembangan koperasi
persusuan nasional terkait dengan penerapan Undang-undang Koperasi No. 25 tahun
1992 yang baru dikeluarkan. Selanjutnya KPBS bersama beberapa koperasi lain
membentuk PUSKOPSI yaitu koperasi sekunder di tingkat propinsi Jawa Barat. Namun
keberadaan Puskopsi ini tidak direstui pemerintah, dan bahkan keanggotaan KPBS pada
GKSI sementara waktu dihentikan.31

7. Tantangan Koperasi Susu Indonesia Di Masa Yang Akan Datang


Walaupun terjadi pertumbuhan yang cukup baik dibandingkan koperasi agribisnis
lainnya, namun koperasi susu di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan
yang tidak sederhana. Produksi susu dalam negeri masih belum mencukupi untuk
menutupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pada tahun 2000 konsumsi susu di
Indonesia sebesar 6 liter per kapita atau setara dengan 1,2 juta ton susu per tahun.
Sementara jumlah produksi susu nasional hanya sekitar 400 ribu ton. Artinya masih
dua pertiga kebutuhan susu masih harus diimpor. Pada tahun 2020 diproyeksikan

30
Yaitu sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1978 tentang Koperasi Unit Desa.
31
Sebenarnya gagasan pembentukan sekunder di tingkat propinsi ini sudah menjadi kebutuhan, dimana
jumlah anggota GKSI sudah berkembang menjadi lebih dari 200 koperasi sehingga span of control
GKSI menjadi terlalu melebar. Terdapat banyak hal yang akan lebih efisien dan efektif jika
dikoordinasikan oleh koperasi sekunder di tingkat propinsi, sementara GKSI terus berkonsentrasi
memajukan kepentingan koperasi persusuan di tingkat nasional. Sayangnya, karena gagasan ini
dicetuskan oleh Daman yang saat itu berseberangan dengan pemerintah, maka gagasan ini ditolak.
Belakangan pada tahun 2000 gagasan ini akhirnya dilaksanakan juga oleh GKSI, dimana GKSI Pusat
membentuk GKSI cabang di tingkat propinsi seperti GKSI Jawa Barat dan GKSI Jawa Timur.
13

jumlah penduduk mencapai 300 juta jiwa dan tingkat konsumsi susu menjadi 16 liter
per kapita, maka dibutuhkan susu sebesar 4,8 juta ton. Sementara produksi dalam
negeri diperkirakan mencapai 3,04 juta ton, sehingga masih dibutuhkan import susu
dengan jumlah yang sangat besar, sekitar 1,76 juta ton.32
Perkembangan produksi susu sangat tergantung pada jumlah populasi sapi.
Berdasarkan proyeksi yang dibuat GKSI, pada tahun 2020 jumlah populasi ini
diharapkan meningkat menjadi 1,4 juta ekor atau tumbuh 8-10 persen per tahun. Angka
proyeksi ini dibuat dengan skenario yang pesimis, dimana untuk mencapai tingkat
pertumbuhan tersebut disinyalir bukanlah hal yang mudah. Namun dengan proyeksi
permintaan susu yang terus meningkat, maka angka proyeksi pertumbuhan populasi ini
seolah menjadi target yang perlu dicapai oleh gerakan koperasi susu Indonesia. Jika
tidak maka ketergantungan pada impor akan semakin tinggi.
Agar dapat mencapai tingkat pertumbuhan tersebut, maka beberapa hal yang perlu
diupayakan adalah dengan: (1) mengembangkan peternak profesional dalam bentuk
koloni dengan rata-rata pemilikan sapi 10 ekor, (2) Tersedianya pakan ternak berupa
complete feed untuk mengurangi ketergantungan pada pakan hijauan yang semakin sulit
di peroleh di Pulau Jawa, dan (3) pengembangan ternak sapi perah di luar Jawa.33
Selain itu tingkat produktivitas sapi perlu ditingkatkan baik produksi susu per laktasi
yang saat ini baru mencapai rata-rata 3.000 liter, dan memperpendek jarak antar beranak
(calving interval).
Tantangan lain yang perlu diantisipasi adalah pasar susu, dimana saat ini
ketergantungan pemasaran susu rakyat terhadap beberapa IPS sangat tinggi. Pada era
dimana tidak ada lagi peranan pemerintah dalam menetapkan aturan yang
menguntungkan koperasi, maka masalah pemasaran ini dapat muncul sewaktu-waktu.
Saat ini sudah mulai dirintis pengembangan usaha koperasi susu baik di tingkat primer
maupun sekunder ke arah pengembangan industri down stream, melalui pengembangan
susu pasteurisasi maupun UHT. Pendirian pabrik susu yang dimiliki oleh gerakan
koperasi susu nampaknya menjadi suatu keniscayaan di masa depan.

8. Pelajaran dari Pengembangan Agribisnis Persusuan


Susu merupakan komoditi yang tidak lebih mudah dikembangkan dibandingkan
komoditi agribisnis lainnya. Namun fakta menunjukkan bahwa pengembangan
agribisnis susu melalui gerakan koperasi jauh lebih baik dibandingkan dengan
pengembangan agribisnis komoditi lainnya. Hal ini tidak lepas dari sifat produksi yang
sangat inelastis, sehingga menjadikan tingkat ketergantungan yang tinggi para anggota
terhadap lembaga koperasi. Ketergantungan yang tinggi terkait dengan berkembangnya
aktivitas off-farm sejalan dengan berkembangnya aktivitas on-farm menyebabkan
tingginya tuntutan terhadap pengembangan sistem agribisnis susu secara integratif.
Kelemahan dalam salah satu sub-sistem mengakibatkan dampak yang sangat fatal pada
pengusahaan komoditi ini.

32
Proyeksi GKSI dalam Latco Vol.II, No.7, Okt-Nop 2001, hal 23.
33
Latco, Vol. II, No. 7, Oct-Nov 2001, hal.23.
14

Terdapat pendapat yang meyakini bahwa berkembangnya koperasi susu dikarenakan


sifat natural komoditas yang menyebabkan bangkitnya kemauan para peternak secara
buttom up bergabung dalam lembaga koperasi. Sifat natural yang dimaksudkan adalah
tingkat perishable yang tinggi, volume yang besar dan massa yang berat, disamping
proses produksi yang bersifat harian. Artinya semakin kurang tekanan karakter
komoditi, akan semakin berkurang desakan bagi para petani untuk menggabungkan diri
ke dalam lembaga koperasi.
Namun demikian hal ini tidak sejalan dengan kenyataan bahwa terdapat berbagai
komoditi lain yang hampir sama dengan karakter susu, misalnya ikan dan sayuran, tapi
koperasi perikanan maupun sayuran belum juga berkembang dengan baik. Selain itu,
fakta menunjukkan bahwa cukup banyak KUD Susu yang berkembang dengan baik,
padahal KUD merupakan koperasi dengan proses pembentukan top-down berdasarkan
inisiatif pemerintah. Artinya ada kondisi lain yang mempengaruhi perkembangan
koperasi persusuan ini.
Mempelajari sejarah agribisnis persusuan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa kondisi yang menentukan berkembangnya agribisnis
persusuan ini tidak terlepas dari berkembangnya semua sub-sub sistem agribisnis secara
simultan dan integratif. Proses ini terlihat pada:
1. Pengembangan aktivitas on-farm secara lebih baik. Keterlibatan para dokter hewan
memungkinkan proses transfer teknologi dapat berlangsung di kalangan peternak.
Tidak hanya kuantitas produksi susu yang dapat ditingkatkan, namun juga
kualitasnya.
2. Adanya kesadaran untuk bekerjasama di antara koperasi susu, yaitu dengan
dibentuknya koperasi sekunder persusuan (GKSI). Hal ini menjadi suatu
keniscayaan mengingat sebagian besar aktivitas off-farm persusuan (yaitu
pengadaan input faktor, pengolahan dan pemasaran) berada di luar wilayah
pedesaan, yang berarti di luar jangkauan pengelolaan koperasi primer.
3. Proses negosiasi lintas sektoral dalam hal pembentukan kebijakan pemerintah untuk
persusuan nasional, yaitu dengan terbentuknya TKPN. Proses ini merupakan
langkah strategis dalam menembus sekat-sekat sektoral antar instansi, sehingga
mampu menghasilkan kebijakan yang bersifat terpadu dan terfokus pada pemecahan
berbagai masalah yang dihadapi oleh para peternak sapi perah dan koperasi
persusuan.
4. Adanya orang-orang yang mampu membaca adanya co-operative effect dalam
pengembangan persusuan rakyat. Selanjutnya orang-orang ini memiliki inisiatif,
ketekunan dan keberanian dalam menangkap peluang berkoperasi (co-operative
opportunities) serta berkemampuan untuk mengembangkannya dalam berbagai
bentuk kesempatan usaha yang menguntungkan banyak anggota koperasi. Dengan
kata lain, terdapat orang-orang yang berjiwa co-operative entrepreneur
(wirakoperasi) dalam pengembangan sistem agribisnis persusuan.
5. Akselerasi pengembangan agribisnis persusuan di Indoensia sangat tergantung pada
aktivitas co-operative entrepreneur ini. Menurunnya kinerja sistem agribisnis susu
dalam beberapa tahun terakhir, mengisyaratkan terjadinya penurunan kinerja para
wirakoperasi. Pada Figure 1 dijelaskan pentingnya peran co-operative entrepreneur
dalam pengembangan sistem agribisnis secara simultan dan integratif.
15

Figure 1. The Role of Co-operative Entrepreneur in Developing


Milk Agribusiness System in Indonesia

Secondary Milk Co-operative (GKSI)

C
O Input Supply Farming Processing Marketing
0
P Qualified human
E resources Intermediate Processing
R Transporting
A
T Primary Milk Milk
I Co-operatives Industries
V
E Education Willingness to absorbs
Technology Suitable price
Price
E Input Quality Control
Input factors
N Suppliers Milk
T Commitment
R Feed, Straw, Cow,
E Vaccine, Grass
Members Consumers
P
R
E
N
E Input Subsidies HR and Institutional Policy on : Investment, Price, Import and
U Supervised Credit development, R&D Domestic Market Development
R
Government as Support Sub System

6. Co-operative entrepreneur terdiri dari para dokter hewan yang telah merintis
pengembangan koperasi primer persusuan di tingkat pedesaan. Adalah suatu
fenomena yang agak langka dijumpai, adanya lulusan perguruan tinggi yang mau
berkiprah dalam pembangunan wilayah pedesaan. Hal ini bisa jadi bukan suatu
kebetulan, namun merupakan suatu keterpaksaan, dimana tenaga dokter hewan
masih belum banyak dibutuhkan di wilayah perkotaan Indonesia. Namun hal ini
mengisyaratkan dibutuhkannya suntikan sumberdaya manusia yang memiliki
idealisme, berpendidikan dan memiliki keahlian teknis dalam suatu bidang yang
terkait dengan pengembangan pedesaan.
7. Fenomena menarik lainnya adalah bahwa sebagian dari para dokter hewan yang
merintis pengembangan perkoperasian ini merupakan para pejabat pemerintah di
daerah. Artinya selain memiliki kapasitas keilmuan dalam pengembangan usaha
sapi perah, mereka juga memiliki kewenangan untuk memfasilitasi berkembangnya
usaha sapi perah di wilayah kerjanya. Sebagaimana yang dinyatakan McClelland
16

bahwa tanpa adanya kewenangan bertindak, sulit bagi para entrepreneur meraih
prestasi.34
8. Diantara para dokter hewan ini, dijumpai sosok Daman Danuwidjaja sebagai co-
operative entrepreneur yang paling menonjol perannya. Selain mengembangkan
KPBS yang dirintis dan diketuainya, Daman juga membantu koperasi-koperasi susu
lainnya untuk sama-sama berkembang. Inisiatifnya untuk mendirikan GKSI sebagai
koperasi sekunder persusuan merupakan hal yang sangat penting dalam sejarah
persusuan nasional. Demikian pula pada saat Daman menjabat sebagai Dirjen
Peternakan yang secara ex-officio sekaligus merupakan Koordinator TKPN. Pada
saat itu banyak kebijakan pemerintah lintas sektoral yang diarahkan untuk
mendukung usaha peternakan rakyat. Masa-masa tersebut tercatat sebagai masa
emas pengembangan persusuan nasional melalui jalur koperasi.
9. Keyakinan Daman terhadap manfaat positif lembaga koperasi (co-operative effects)
tidak lepas dari pengalaman masa kecilnya ketika bersentuhan dengan GAPPSI.
Disamping itu, kesan yang mendalam pada perkuliahan koperasi yang diberikan
Prof. Teko Sumodiwirjo saat kuliah di IPB, serta transfer wawasan dan motivasi
dari drh Memet Adinata saat menjalani kuliah kerja di Malang. Keyakinan Daman
semakin tinggi setelah menjalani pelatihan selama enam bulan pada gerakan
koperasi susu yang telah berkembang baik di Anand, India. Anand merupakan
model pengembangan sistem agribisnis susu melalui gerakan koperasi dengan
kondisi permasalahan pada suatu negara berkembang, sehingga relatif sesuai dengan
kondisi peternakan rakyat di Indonesia.35
10. Keyakinan yang kuat disertai wawasan yang luas telah mengantarkan Daman
mampu menjadikan KPBS sebagai Koperasi Teladan Nasional. Hal yang sangat
membantu dalam proses pembelajaran koperasi susu lainnya. Berdirinya GKSI
menyebabkan proses pembelajaran dan juga kerjasama antara koperasi persusuan
berjalan lebih baik lagi. Artinya, dalam pengembangan sistem agribisnis persusuan
melalui gerakan koperasi tidak terlepas dari proses pembelajaran dari koperasi yang
terbaik (benchmarking process).

9. Proses Patok Duga (Benchmarking Process)


Proses patok duga merupakan suatu proses belajar dari pihak lain yang lebih baik
kinerjanya. Proses belajar ini untuk menghadirkan informasi penting yang berguna
untuk membangun gagasan-gagasan perbaikan yang dibutuhkan. Sebaliknya, proses
patok duga bukannya suatu proses untuk memperoleh jawaban secara mudah atau
sekedar proses peniruan secara membabi buta.36 Jika antara koperasi susu dapat
dilakukan patok duga terkait dengan produk dan servis maupun proses kerja, maka
patok duga antara koperasi agribisnis dapat dilaksanakan misalnya terkait dengan aspek
fungsi-fungsi pendukung, kinerja organisasi maupun strategi.

34
McClelland, 1969, hal.123-125, 250-251.
35
Lebih jauh tentang model AMUL (Anand Milk Union Limited) silahkan baca Mascarenhas, 1988,
tentang strategi pengembangan pedesaan melalui gerakan koperasi persusuan di India.
36
Spendolini, 1993, hal.33.
17

Berdasarkan pengalaman pengembangan agribisnis persusuan dikembangkan beberapa


indikator yang dapat digunakan dalam melakukan patok duga. Secara ringkas Tabel 2
menggambarkan beberapa indikator tersebut, dimana terkait dengan fungsi masing-
masing sub sistem agribisnis, yaitu: ketersediaan input faktor, pengembangan
usahatani, pengolahan paska panen dan beberapa aspek pemasaran produk (tingkat
kebutuhan akan produk, harga yang diterima petani dan adanya industri penyerap
produk sebagai bahan baku), serta dukungan kebijakan pemerintah (dalam aspek
produksi maupun aspek pemasaran).
Selain itu indikator juga mengacu pada tingkat keaktifan koperasi primer dan koperasi
sekunder dalam menangani pengembangan agribisnis komiditi tertentu, serta kehadiran
para co-operative entrepreneur dalam pengembangan sistem agribisnis komoditi yang
bersangkutan.
9.1. Sub-sistem Input Faktor
Terkait dengan perhatian pemerintah dalam pengembangan tanaman pangan (beras,
sayuran, dan tebu), maka untuk beberapa komodit dijumpai sub-sistem input faktor ini
relatif baik. Pabrik pupuk didirikan pemerintah untuk keperluan mensuplai kebutuhan
pupuk kepada petani. Produksi pupuk juga ditujukan untuk keperluan petani
perkebunan, namun dikarenakan masalah infrasturktur yang kurang baik (bagi
perkebunan di luar Jawa), maka boleh dikatakan tidak banyak petani yang memupuk
tanaman kebunnya. Penyaluran pupuk pada umumnya dilaksanakan oleh KUD.
Namun pada wilayah perkebunan cukup sulit bagi KUD untuk menyelenggarakannya.
Adapun bagi peternakan dan perikanan umumnya disuplai oleh perusahaan swasta,
tentunya dengan tingkat harga yang tidak memihak kepentingan peternak
9.2. Sub-Sistem Usahatani
Pada komoditas susu, usaha ternak berkembang relatif baik dengan penerapan teknologi
peternakan modern (inseminasi buatan, pemeliharaan kesehatan hewan, dll). Hal ini
tidak lepas dari peran para dokter hewan di pedesaan. Demikian pula pada komoditas
tanaman pangan (beras dan sayuran) dimana peran PPL berhasil mengintroduksikan
penerapan teknologi modern dalam berusaha tani (sapta usahatani). Pada komoditas
gula justeru terjadi kebalikannya, dimana penerapan usahatani yang berlangsung
belakangan jauh lebih buruk dibandingkan saat pengusahaan tebu diintrodusir oleh
penjajah Belanda (yaitu teknologi Reynoso). Sehingga tidak heran jika produktivitas
tebu per hektar dan juga tingkat rendemen yang diperoleh menjadi sangat rendah.
Pada komoditas perkebunan, sebenarnya ada upaya untuk memperbaiki usahatani
perkebunan rakyat, namun cukup sulit dilakukan, kecuali dalam bentuk pelaksanaan
proyek-proyek pengembangan perkebunan. Bahkan tidak jarang terdapat anjuran untuk
mengkonversi tanaman perkebunan yang ada dengan tanaman lain. Hal ini misalnya
terjadi pada komoditi cengkeh, ketika BPPC mengalami overstock, lalu memberi
insentif bagi petani untuk menebang tanaman cengkeh yang dimiliki. Demikian pula
pada komoditas kopi, pada saat harga kopi dunia sedang tidak bersahabat. Pada
komoditi kelapa, sejak berkembangnya perkebunan kelapa sawit, maka praktis
perkebunan kelapa seolah ditinggalkan, tidak terawat, tidak ada peremajaan. Saat ini
banyak perkebunan kelapa yang telah tua dan tidak lagi produktif.
18

Table 2. Indikator Patok duga dalam Pengembangan Beberapa Komoditi Agribisnis di Indonesia
Pemasaran Dukungan Co-operative’
Keter- Pengem- Pengo- Kebijakan Role Co-op
Jenis sediaan bangan lahan Kebu- Indus Pemerintah Entre- Catatan: faktor dominan
No Harga Total
Komoditi Input usaha- paska tuhan -tri pre- penghambat
bagi Pro- Pema- Pri-
faktor tani panen pasar penye Sekun- neur
petani duksi saran mer der
rap

1 Susu 1) 3 3 3 4 2 4 3 3 4 4 4 37 Oligopsoni IPS


Kebijakan harga
2 Beras 3 3 2 4 2 1 4 -2 3 1 1 22
pemerintah, importir
3 Unggas 1 1 1 4 2 1 2 1 1 1 1 16 Pemasaran tradisional

4 Ikan 1 1 1 4 2 1 1 1 2 1 1 16 Pemasaran tradisional

5 Cabe (sayuran) 2 2 1 4 2 1 2 1 1 1 0 17 Mafia pasar induk

6 Kelapa 1 0 1 3 1 2 2 1 1 1 0 13 Pemasaran tradisional

7 Karet 1 1 1 3 1 2 2 2 1 0 0 14 Exportir, rantai pemasaran

8 Kopi 1 1 1 3 1 2 2 2 1 1 0 15 Exportir, rantai pemasaran

9 Cengkeh 1 0 1 3 1 4 0 -3 3 3 -2 11 BPPC

10 Gula 3 0 3 4 1 4 3 -2 3 1 0 20 Pabrik gula, importir

Catatan: 0 = tidak ada; 1 = sedikit; 2 = cukup; 3 = baik; 4 = dangat baik. Tanda minus menunjukkan pengruh yang negatif.
Skoring dilakukan dengan ekspert judgement berdasarkan pengalaman dalam berbagai penelitian yang terkait disamping dari berbagai artikel maupun pemberitaan
surat khabar antara tahun 1999-2003..
1)
Dijadikan ukuran pada saat gerakan koperasi persusuan mencapai masa pertumbuhan terbaiknya pada tahun 1980-an.
19

9.3. Sub-Sistem Pengolahan Paska Panen


Pada komoditas susu, pengolahan paska panen dilaksanakan oleh koperasi primer, yaitu
dengan melakukan pendinginan. Pada padi dilakukan proses penjemuran dan
penggilingan menjadi beras. Penggilingan dilakukan oleh KUD atau oleh para
penggiling swasta yang banyak terdapat di pedesaan. Adapun untuk produk unggas,
dan sayuran, boleh dikatakan sedikit sekali dilakukan pengolahan paska panen, artinya
produk dijual dalam bentuk segar. Demikian pula pada komoditi perikanan darat.
Sedangkan pada perikanan laut, umumnya ikan langsung dijual, atau diolah dengan cara
yang sangat sederhana (pengeringan, penggraman atau pindang).
Pada komoditi perkebunan kopi dan cengkeh, pengolahan paska panen yang dilakukan
oleh petani berupa penjemuran untuk sekedar menurunkan kadar air. Sementara pada
kelapa berupa pembuatan kopra, yang saat ini banyak ditinggalkan petani karena harga
produk yang tidak menggairahkan. Processing lebih lanjut pada produk perkebunan ini
masih jarang dilakukan petani. Sedangkan peran koperasi belum begitu nampak dalam
pengolahan hasil perkebunan ini.
Tanaman tebu yang dipanen lansung dikirim ke pabrik gula, karena memang tujuan
mendorong petani menanam tebu saat ini lebih dikarenakan untuk mensuplai pabrik
gula yang disinyalir banyak kesulitan dalam pemenuhan bahan baku. Umumnya petani
tidak mengetahui proses pengolahan termasuk perhitungan rendemen tebunya.
9.4. Sub-Sistem Pemasaran
Komoditas susu, beras, sayuran dan gula merupakan bahan pangan yang sangat
dibutuhkan, dimana pada saat kekurangan pasokan, pemerintah langsung membuka
keran impor. Demikian pula untuk produk unggas dan ikan, walaupun kedua jenis
komoditi ini merupakan barang substitusi satu dengan lainnya. Sementara kebutuhan
untuk produk hasil perkebunan juga tinggi. Hal ini terkait dengan besarnya kebutuhan
pasar ekspor. Namun pada saat-saat tertentu ketika pasar dunia sedang jenuh, harga
menjadi anjlok, terutama di tingkat petani yang memiliki posisi rebut tawar yang paling
lemah.
Aspek pemasaran yang sangat penting bagi petani adalah tingkat harga yang diterima
mereka (farm-gate price). Dalam hal ini, pada hampir semua komoditas dijumpai
masalah, dimana petani memiliki bargaining position yang sangat lemah dalam
menentukan tingkat harga yang memadai. Tingginya tingkat kebutuhan akan produk
sama sekali tidak menjamin bahwa petani akan memperoleh harga yang baik. Bagi
beberapa komoditas tanaman pangan, harga yang diterima bukan lagi tergantung pada
besarnya supply-demand yang ada di pasar, tapi ditentukan oleh mafia pemasaran.
Kestabilan harga produk agribisnis sebenarnya dapat diperbaiki jika ada industri yang
mampu menyerap produk segar (fresh product) yang dihasilkan. Tentunya dengan
kondisi bargaining position petani yang tinggi melalui kelembagaan koperasi.
Sebagaimana halnya koperasi susu, dimana seluruh produk yang dihasilkan diserap oleh
IPS. Jika bargaining position petani sangat lemah, keberadaan industri pengolahan ini
dapat menyebabkan terebentuknya pasar oligopsoni bahkan monopsoni yang justeru
semakin menekan petani.
20

9.5. Sub-Sistem Pendukung


Dukungan pemerintah pada aspek produksi dijumpai sangat tinggi pada komoditas
beras dan gula. Demikian pula pada komoditas susu. Namun terdapat perbedaan yang
menyolok dimana pada komoditas susu dukungan pemerintah ini dibangun dari gerakan
koperasi. Sementara untuk beras dan gula merupakan kebijakan top-down. Bahkan
pada komoditas gula sangat terkait dengan upaya menyelamatkan pabrik-pabrik gula
(milik pemerintah) yang saat ini umumnya beroperasi di bawah kapasitasnya. Hal ini
terlihat pada dukungan pemerintah dalam aspek pemasaran, yang justeru tidak memihak
kepentingan petani untuk memperoleh harga yang cukup baik.
Hak monopoli perdagangan cengkeh yang diberikan kepada BPPC, tidak saja
berpengaruh negatif terhadap pemasaran komoditas ini, juga tidak mendorong
peningkatan produksi. Pada tanaman kelapa, dukungan pemerintah dalam pemasaran
terlihat menurun sejak dikembangkannya perkebunan kelapa sawit. Padahal tanaman
kelapa merupakan tanaman perkebunan dengan total luas areal yang terbesar
dibandingkan tanaman perkebunan lainnya.
Dukungan pemerintah terhadap pengembangan komoditas perikanan boleh dikatakan
sangat terlambat. Sub-sektor perikanan merupakan sub-sektor yang tumbuh paling
rendah dibandingkan sub-sub sektor lainnya. Padahal potensi yang dimiliki sangat
tinggi.
9.6. Peran Koperasi
KUD adalah koperasi primer yang bersifat multi purpose, namun dalam pengembangan
agribisnis lebih banyak berkonsentrasi dalam pengadaan pangan (beras dan gula). KUD
Mina secara khusus bergerak dalam pengembangan komoditas perikanan. Namun bagi
peternakan unggas, masih sedikit sekali KUD yang berperan. Demikian pula untuk
tanaman perkebunan seperti kopi, kelapa dan karet, peran koperasi primer masih belum
banyak terlihat. Jika pada komoditi cengkeh dijumpai peran aktif KUD, hal ini tidak
terlepas dari peran yang dimainkan sebagai perpanjangan tangan BPPC dalam
pembelian cengkeh petani.
Keterlibatan koperasi sekunder dalam pengembangan komoditi agribisnis hanya terlihat
pada koperasi susu. Kecuali pada komoditi cengkeh, Puskud dan Inkud sebagai
koperasi sekunder bagi KUD kurang banyak berperan dalam pengembangan komoditi
agribisnis, baik dalam pengembangan agroindustri maupun agromarketing, termasuk
dalam pengembangan sub-sistem penunjang. Fakta menunjukkan bahwa 90% omset
Inkud berasal dari bisnis cengkeh. Dikarenakan asal pembentukan yang bersifat top-
down, maka tidak heran jika keterkaitan usaha antara KUD dengan Puskud dan Inkud
sangatlah lemah
Padahal keberadaan dan peran koperasi sekunder sangat diharapkan dalam
mengembangkan aktivitas off-farm yang umumnya berada di luar wilayah pedesaan.
Termasuk dalam hal memperjuangkan kebijakan pemerintah lintas sektoral yang
kondusif bagi pengembangan komoditas agribisnis.
9.7. Peran Wirakoperasi
Peran seorang wirakoperasi (co-operative entrepreneur) adalah menemukan peluang
berkoperasi dan mewujudkannya dalam bentuk kesempatan usaha yang menguntungkan
para anggotanya. Selain pada komoditas susu masih sulit dicari peran co-operative
21

entrepreneur yang menonjol dalam mengembangkan agribisnis melalui lembaga


koperasi. Hal ini tidak lepas dari diperlakukannya monopoli KUD di wilayah pedesaan
(dengan adanya Inpres 4/1984). KUD yang juga dikenal sebagai koperasi program
pemerintah menyiratkan bahwa peran kewirausahaan ini lebih banyak dimainkan oleh
pemerintah. Sebelum era KUD, terdapat beberapa koperasi perkebunan yang memiliki
perkembangan cukup baik, dimana sangat mungkin dimotori oleh para wirakoperasi
saat itu.
Seorang wirakoperasi akan berupaya, berkreasi dan berinovasi untuk memperoleh nilai
tambah bagi produk agribisnis yang dihasilkan anggota koperasinya. Hal ini akan
terlihat pada ada tidaknya pengembangan sistem agribisnis hilir, yaitu dalam bentuk
agroindustri. Diyakini bahwa berkembangnya agroindustri ini akan berdampak positif
tidak hanya pada sub-sistem pemasaran, namun juga berbalik ke belakang, yaitu adanya
pembenahan sub-sistem on-farm, serta sub sistem input faktor. Dengan demikian
sistem agribisnis yang tidak diwarnai oleh kegiatan pengolahan paska panen
(agroindustri) mengindikasikan lemahnya atau tiadanya peran wirakoperasi di
dalamnya.
Dalam kasus komoditi cengkeh, terlihat adanya proses peningkatan nilai tambah produk
petani, namun dikarenakan berhubungan dengan keserakahan BPPC dalam bisnis ini,
maka kewirausahaan yang ada justeru memberi dampak negatif pada peningkatan co-
operative effect bagi anggota koperasi.
Peran wirakoperasi yang dimainkan oleh Daman Danuwidjaja adalah peran yang sangat
monumental. Cakupan perkembangan agribisnis melalui gerakan koperasi tidak lagi
terbatas pada koperasi yang dipimpinnya selama 25 tahun (KPBS), namun menjangkau
perbaikan sistem agribisnis secara nasional.

10. Ke Arah Pengembangan Wirakoperasi Agribisnis


Wirakoperasi merupakan suatu konsep baru dalam pengembangan koperasi.
Wirakoperasi seharusnya lahir dari kalangan insan koperasi, yaitu orang yang
memahami dan menghayati benar hakekat dan prinsip-prinsip koperasi dan berupaya
untuk mengembangkannya secara konsisten.37 Seorang wirakoperasi adalah orang yang
memiliki keyakinan yang tinggi bahwa koperasi merupakan satu jalan pemecahan dari
berbagai masalah pelik yang dihadapi oleh masyarakat lemah seperti halnya petani.
Wirakoperasi juga yakin bahwa meningkatkan kesejahteraan anggota melalui gerakan
koperasi bukanlah suatu utopi, tapi merupakan suatu hal yang achieveable.
Bagi pengembangan koperasi agribisnis, wirakoperasi juga dituntut memiliki
pengetahuan dalam aspek spesifik atau komoditi yang diusahakan. Jika untuk
peternakan dibutuhkan lulusan bidang peternakan atau kedokteran hewan, maka untuk
komoditi perkebunan dibutuhkan ahli agronomi, dan untuk komoditi perikanan laut
dibutuhkan, misalnya, ahli penangkapan dan pengolahan ikan. Disamping itu,
penguasaan aspek teknis (teknologi) ini juga memungkinkan timbulnya dorongan positif
dalam membangun visi, misi dan strategi bagi aktivitas koperasi.

37
Soedjono, 1997b, hal.177.
22

Peran seorang wirakoperasi berbeda dengan wirausaha pada umumnya. Wirakoperasi


tidak berlari sendirian, melainkan bersama dengan puluhan dan bahkan ribuan
anggotanya. Oleh karenanya, seorang wirakoperasi adalah seorang pemimpin.
Pemimpin yang diikuti anggotanya, dan juga yang mengembangkan sumberdaya yang
dimiliki anggotanya, termasuk sumberdaya manusia anggota.
Sayangnya, bahwa kehadiran para wirakoperasi seperti Daman Danuwidjaja masih
merupakan suatu proses penantian. Masih dinanti kelahirannya. Padahal kebutuhan
para wirakoperasi ini cukup mendesak bagi pengembangan agribisnis Indonesia.
Sehingga menjadi suatu pertanyaan penting yang perlu dicari jawabannya: bagaimana
para wirakoperasi ini dapat dibangkitkan, dapat dibentuk dan dapat diprogram
kehadirannya.
Menjawab pertanyaan tersebut, maka tidak bisa tidak pembahasan akan terkait dengan
masalah pendidikan koperasi. Koperasi adalah pendidikan, dimana pengembangan
koperasi tidak bisa lepas dari pendidikan. Sebagai upaya paling awal adalah
membentuk lebih banyak insan-insan koperasi, yaitu mereka yang yakin akan
keampuhan gerakan koperasi. Dalam konteks ini, maka terdapat beberapa hal yang
perlu mendapat perbaikan:
1. Perbaikan orientasi pendidikan dan pelatihan koperasi. Prioritas perlu diarahkan
pada pemberian pemahaman akan nilai dan prinsip koperasi serta membangkitkan
motivasi berkoperasi. Hal ini jauh lebih penting dibandingkan pendidikan dan
pelatihan aspek teknis maupun manajemen sebagaimana yang banyak
diselenggarakan selama ini.
2. Perbaikan terhadap para tenaga pendidik koperasi. Sehingga pendidikan koperasi
tidak sebagaimana saat ini berjalan, dimana baik pengajar maupun yang diajar sama-
sama tidak memahami koperasi secara persis (the blind teaching the blind).
Pemahaman yang keliru di kalangan para pendidik koperasi akan menjadi bumerang
bagi upaya pengembangan gerakan koperasi itu sendiri.
3. Menggiring para pengambil kebijakan agar menjadi lebih melek terhadap
keampuhan koperasi, bukan bagaikan katak di bawah tempurung saat membahas
masalah perkoperasian. Juga bukan sebagai pimpinan yang berlagak tahu akan
gerakan koperasi padahal berbagai kebijakan yang diambil justeru menghancurkan
gerakan koperasi. Proses penggiringan ini bisa menjadi terobosan dalam melahirkan
wirakoperasi birokrasi maupun wirakoperasi katalis.38
4. Orientasi pada sumberdaya manusia berkualitas. Adalah lebih mudah
menghadirkan wirakoperasi dari kalangan lulusan perguruan tinggi dibandingkan
dari masyarakat yang tidak berpendidikan di pedesaan. Idealisme para mahasiswa
lebih mudah dibangkitkan. Mereka adalah calon-calon pemimpin di masa yang
akan datang.
5. Pengembangan sumberdaya manusia koperasi sebaiknya dikembalikan kendalinya
kepada gerakan koperasi. Pemerintah berperan lebih banyak sebagai fasilitator,
bukan sebagai eksekutor. Hal ini untuk mencegah berjangkitnya berbagai macam
virus kepentingan politik sebagaimana kondisi yang selama ini berjalan.

38
Bandingkan dengan Röpke, 1992, hal. 69-78.
23

6. Disadari bahwa gerakan koperasi masih memiliki berbagai kelemahan. Oleh karena
itu aliansi strategis merupakan suatu keniscayaan untuk dikembangkan. Aliansi
terbaik adalah dengan perguruan tinggi, dimana kedua lembaga akan memperoleh
manfaat timbal balik yang sangat besar.
7. Proses patok duga sebagai pembelajaran aktif perlu selalu diupayakan. Agar
kesalahan dapat seminimal mungkin dilakukan. Dan para insan koperasi tidak
menjadi orang yang miskin gagasan-gagasan perbaikan.

11. Penutup
Mungkin saatnya yang ditunggu telah tiba. Yaitu saat pengembangan koperasi
agribisnis yang berkualitas melalui sentuhan tangan para wirakoperasi. Momentum ini
menjadi penting ketika Indonesia sedang dirudung krisis. Momentum untuk
meningkatkan kesadaran bangsa, bahwa gerakan koperasi mampu mengantarkan pada
perbaikan ekonomi, tidak hanya bagi anggotanya, namun juga pada perekonomian
nasional.
Kehadiran para wirakoperasi menjadi harapan. Pada saat pemerintah sudah menekan
kendali politiknya pada lembaga koperasi. Pada saat pemerintah harus memposisikan
dirinya kembali sebagai fasilitator profesional bukannya sebagai eksekutor pada
berbagai program pengembangan wilayah pedesaan. Pada saat pemerintah kehilangan
kemampuan dalam pengembangan sektor agribisnis sebagai tumpuan ekonomi
kerakyatan. Koperasi agribisnis diharapkan bangkit sebagai bentuk koreksi dari
berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang berlangsung selama ini.

12. Daftar Pustaka


Baga L M. A. Herindajanto, A H Dharmawan, D B Hakim, E. Hartulistiyoso, H Ahmad S and L
Abdullah. Revitalization of Scientist’s Contribution on Agribusiness Development. Proceeding,
the 4th ISSM, 1999. Kassel.
Bekkum Onno-Frank van and Gert van Dijk (Eds). 1992. Agricultural Co-operatives in the European
Union, Trends and Issues on the Eve of the 21st Century. Van Gorcum. Breukelen.
Chaniago Adrinof A. 2001.. Gagalnya Pembangunan; Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis
Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Daryanto Arief. 1999. Indonesia’s Crisis and the Agricultural Sector: the Relevance of Agricultural
Demand-Led Industrialisation. UNEAC Asia Papers. No.2. 1999. p. 61-72.
Djohan Djabaruddin. 1996. “Koperasi Susu, Mampu Meningkatkan Taraf Hidup Peternak Sapi Perah” in
Soedjono, Ibnoe, et.al. 1997. Koperasi di Tengah Arus Liberalisasi Ekonomi. Yayasan Formasi.
Jakarta.
Djohan Djabaruddin. 1997. Setengah Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia, 12 Juli 1947 – 12
Juli 1997. Dekopin. Jakarta.
Mascarenhas R C. 1988. A Strategy for Rural Development, Dairy Co-operative in India. Sage
Publications, New Delhi
McClelland David C. 1969. Motivating Economic Achievement. Irvington Publisher Inc. New York.
Röpke Jochen. 1992. Co-operative Entrepreneurship: Entrepreneurial Dynamics and Their Promotion in
Self-help Organizations, Marburg Consult für Selbsthilfeförderung, Reihe A-7.
24

Saragih Bungaran. 1998. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Pertanian. Yayasan
Mulia Persada Indonesia-PT Surveyor Indonesia and Pusat Studi Pembangunan LP-IPB. Jakarta.
Solahuddin Soleh. 1998. “Sistem Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri dalam Mengatasi Krisis
Ekonomi”. Argimedia, Vol.4, No.2, Juni.
Soejono Ibnoe. 1997. Koperasi di Tengah Arus Liberalisasi Ekonomi. Yayasan Formasi. Jakarta.
Soedjono Ibnoe. 1997b. Koperasi dan Pembangunan Nasional. PIP-Dekopin. Jakarta.
Sonka S T and M A Hudson. 1989. “Why Agribusiness Anyway?” Agribusiness, 5, 4, 305-314.
Spendolini Michael J. 1992. The Benchmarking Book. Ammcom. New York.
Suprapto Ato. 1999. “Komoditas Unggulan Ekspor Agribisnis Indonesia”. Agrimedia, Vol.5, No.2,
July.
Syarief A. 1997. Membangun Usha Koperasi Persusuan Mandiri, Pengalaman, Pemikiran dan
Perjuangan Drh. H. Dman Danuwidjaja. KPBS Pangalengan.
Watson G H. 1993. Benchmarking, Vom Besten Lernen. Verlag Moderne Industrie. Landsberg.
Yustika Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonseia. Grasindo.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai