Anda di halaman 1dari 5

Pada diskusi terakhir ini mahasiswa diminta membuat resume materi, bisa dipilih salah satu

materi apa saja yang ada di BMP Perekonomian Indonesia, mulai modul 1 sampai modul 9.
Mahasiswa yang bernomor ganjil membuat resume dari modul yang ganjil (modul 1/3/5/7/7).
Sedangkan mahasiswa yang bernomor genap akan meresume salah satu materi di Modul
2/4/6/8.

Dengan demikian mahasiswa bisa belajar banyak dari materi yang sudah disajikan teman
temannya.

Jawab :

Modul 2 – Pertanian dan Industrialisasi di Indonesia


Modernisasi pertanian belum mengubah struktur dan pola hubungan ekonomi warisan sistem
kolonial yang menempatkan petani kecil sebagai mayoritas di stratum terbawah dengan
kepemilikan aset dan pendapatan yang minim. Rendahnya taraf kesejahteraan petani terkait
dengan masalah struktural pertanian yaitu jarak yang lebar antara pengeluaran dan
pendapatan petani, tekanan penduduk, pembiayaan, dan pertanian subsistem.

Kebijakan pemerintah dalam membangun pertanian bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu
kebijakan harga (harga pangan murah), kebijakan pemasaran, kebijakan struktural, dan
kebijakan yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ini belum
sepenuhnya mampu memecahkan masalah struktural pertanian yang terkait intensifnya
liberalisasi pertanian yang merugikan petani dalam negeri. Liberalisasi pertanian meliputi
pengurangan dukungan domestik, pengurangan subsidi ekspor, dan perluasan akses pasar.
Upaya untuk menyejahterakan petani dilakukan dengan mewujudkan kebijakan swasembada
beras, meningkatkan produksi komoditi pertanian palawija, pembaruan kebijakan usaha tani
tebu dan industri gula yang bersifat menyeluruh dan “nasionalistik”, dan pemerintah harus
merevitalisasi kebijakan harga dasar padi sekaligus dalam kaitannya dengan harga-harga
gula, jagung, kedelai, dan harga tertinggi bagi sarana produksi pupuk dan obat-obatan
(pestisida dan insektisida).

Industrialisasi di Indonesia mulai berkembang pada pemerintahan rejim Orde Baru yaitu
setelah UU No.1 Tahun 1967 tentang investasi asing ditetapkan. Sejak awal dekade 1970-an
hingga pertengahan decade 1980-an pemerintah mengembangkan strategi Industri Substitusi
Impor (ISI). Meski strategi ISI diharapkan mampu menghemat devisa, namun yang terjadi
justru sebaliknya karena pemerintah justru menekankan pada produksi barang mewah yang
berteknologi tinggi dan padat modal serta sangat tergantung pada pasokan input dari negara
maju. Didorong oleh keadaan tersebut dan jatuhnya harga minyak pada awal tahun 1980-an,
pemerintah mengubah strategi industrialisasi dari Industri Substitusi Impor (ISI) menjadi
Industri Promosi Ekspor (IOE).
Struktur industri di Indonesia masih belum dalam (shallow) dan belum seimbang
(unbalanced). Kaitan ekonomis antara industri skala besar, menengah dan kecil masih sangat
minim, kecuali untuk sub sector makanan, produk kayu dan kulit. Industri besar di Indonesia
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh sedikit orang. Mereka
mendapatkan berbagai fasilitas yang menguntungkan dari pemerintah. Sebaliknya industri
rakyat yang dikerjakan oleh lebih banyak orang tidak mendapatkan fasilitas yang memadai.
Padahal tidak ada kaitan ekonomis yang berarti antara industri besar dan industry rakyat
tersebut. Pertumbuhan industrialisasi di Indonesia relatif masih rendah dibanding beberapa
negara di ASEAN. Perhitungan tersebut didasarkan pada kemampuan ekspor di pasar
internasional, nilai tambah industri, dan penggunaan teknologi dalam kegiatan industri. Hal
ini menyebabkan kelesuan sektor industri dan sektor lain pun akan terhambat karena sulitnya
investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Ada lima hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan industri yaitu
peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur yang
memadai, investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI), pembayaran yang
dihasilkan dari investasi menarik dan peningkatan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang memadai. Efisiensi birokrasi menjadi faktor penting untuk meningkatkan
pertumbuhan.

Modul 4 – Investasi dan Perdagangan Internasional Indonesia


Investasi adalah pengeluaran penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli
barang-barang modal atau perlengkapan- perlengkapan produksi untuk menambah
kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Investasi adalah salah satu komponen pertumbuhan ekonomi.

Investasi mempunyai dua peran penting dalam makro ekonomi. Pertama, pengaruhnya
terhadap permintaan agregat yang akan mendorong meningkatnya output dan kesempatan
kerja. Kedua, efeknya terhadap pembentukan kapital. Ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investasi yaitu revenues (pendapatan),
cost (biaya), dan expectations (harapan-harapan). Pertimbangan utama dari investor untuk
melakukan investasi atau tidak adalah keuntungan (return).

Sejak awal Orde Baru hingga tahun 2004, terjadi fluktuasi nilai investasi. Secara umum,
mulai Orde Baru, nilai investasi di Indonesia terjadi tren yang meningkat. Tetapi sejak
terjadinya krisis moneter nilai investasi Indonesia menurun. Banyak studi menemukan bahwa
pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001 telah memperburuk iklim investasi di Indonesia.
Masalah lain berkaitan dengan dualisme kebijakan ekonomi. Selama ini pemerintah lebih
memberi kemudahan pada industri besar. Akibatnya ekonomi rakyat tidak berkembang
dengan baik. Investasi ekonomi rakyat perlu mendapatkan fasilitas yang memadai dari
pemerintah karena ekonomi rakyat menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan sumber
daya alam lokal, memegang peranan penting dalam ekspor non migas, dan beroperasi dalam
iklim yang sangat kompetitif yang dinikmati oleh sebagian besar rakyat. Investasi di
Indonesia menghadapi masalah struktural seperti sentralisasi kekuasaan. Hal ini
menyebabkan pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian bangsa saja. Selain itu rendahnya
investasi pada sumber daya manusia sehingga tidak dapat mendukung pembangunan
ekonomi.

Peran perdagangan internasional cukup penting, sehingga mendorong sejumlah negara


khususnya negara-negara eksportir, termasuk Indonesia untuk berusaha mencari seluas-
luasnya pasar yang potensial untuk dikembangkan menjadi negara tujuan ekspor. Rasio
ekspor dan impor terhadap PDB Indonesia tahun 1996 sebesar 52,26 persen, kemudian pada
tahun 2002 sudah menjadi 63,95 persen. Namun dilihat dari harga konstan, persentasenya
justru menurun dari 56,61 persen menjadi 50,36 persen. Artinya, secara riil volume
perdagangan luar negeri Indonesia mengalami penurunan.

Dengan kian terbukanya perekonomian kita, maka sektor jasa seperti angkutan, asuransi, dan
keuangan, akan semakin terancam. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa sektor pertanian
kita. Sektor pertanian, terutama pertanian pangan, masih diproteksi cukup kuota. Jika sektor
ini nantinya juga ikut yang dibebaskan, maka petani-petani kita yang masih belum efisien
menurut standar dunia akan mengalami nasib yang merugikan. Perdagangan bebas lebih
berpihak dan menguntungkan negara- negara maju, yang tingkat industrialisasinya sudah
mapan, dan menghasilkan berbagai barang manufaktur yang diekspor ke negara sedang
berkembang. Dengan terbukanya pasar di negara-negara lain, semakin mudah barang-barang
manufaktur dari negara industri tersebut masuk ke pasar global, yang mengalirkan kembali
devisa yang diperoleh negara-negara berkembang dari ekspornya yang umumnya barang
primer atau manufaktur yang sederhana.

Modul 6 – Utang Luar Negeri dan Korupsi di Indonesia


Utang dilakukan oleh negara miskin dan negara berkembang untuk menutupi kesenjangan
antara investasi dengan tabungan. Utang luar negeri dilakukan untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi negara. Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah menggunakan utang sebagai
modal pertumbuhan ekonomi. Bedanya jika jaman Presiden Sukarno Indonesia masih
memiliki kemampuan mempertahankan kedaulatan negara meskipun berutang sedangkan saat
ini Indonesia telah kehilangan kedaulatannya karena berutang.

Sumber pendanaan dari luar negeri dibagi atas hibah dan utang. Hibah diberikan tanpa
persyaratan yang mengikat, sedangkan utang diberikan dengan berbagai persyaratan.
Mekanisme pencairan utang luar negeri sesungguhnya memberikan kesempatan pada negara
atau Lembaga kreditur untuk menentukan hal-hal yang boleh dibiayai oleh utang luar negeri,
leluasa mengetahui data-data rahasia milik pemerintah, dan menciptakan ketergantungan.
Akibat kebijakan utang luar negeri, Indonesia saat ini sedang terlilit utang yang tidak
terbayangkan banyaknya. Bahkan saat ini yang terjadi adalah outflow negatif karena utang
luar negeri yang berhasil dicairkan pemerintah per tahun lebih sedikit dibandingkan jumlah
utang yang seharusnya dibayar pemerintah terhadap debitur. Karena utang yang bertumpuk
30 persen APBN digunakan untuk membayar utang luar negeri akibatnya pembiayaan
pembangunan terabaikan. Ketergantungan ekonomi dan intervensi politik ekonomi juga
akibat utang yang sangat besar kepada pihak asing.

Hingga saat ini pemerintah Indonesia telah berusaha melakukan penundaan pembayaran
angsuran pokok utang (debt rescheduling). Solusi lain yang dapat ditempuh untuk
mengurangi beban utang adalah pengalihan kewajiban membayar angsuran pokok utang
menjadi kewajiban melaksanakan suatu program tertentu (debt swap), pengurangan pokok
utang, dan pemotongan utang. Alternatif terakhir bukan tanpa resiko tetapi jika menilik
kecurangan yang dilakukan negara atau lembaga debitur, sepertinya kita patut menempuh
resiko tersebut.

Pada tahun 1999, riset tentang indek korupsi dunia yang dilakukan oleh lembaga
Transparency International (IT) di 99 negara, telah menempatkan Indonesia sebagai negara
paling korup di Asia, dan nomor tiga teratas di dunia (di bawah Kamerun dan Nigeria). Pada
tahun 2001, survei yang sama masih menunjukkan bahwa dari 91 negara yang disurvei,
Indonesia menempati posisi keempat paling korup setelah Bangladesh, Nigeria, dan Uganda.
Pada tahun 2003, dengan sampel negara lebih banyak, yakni 133 negara, Indonesia
menempati peringkat keenam sebagai negara terkorup di dunia.

Korupsi dapat dibedakan dalam dua katagori, yaitu korupsi yang bersifat administratif dan
yang bersifat struktural. Korupsi yang bersifat administratif adalah korupsi yang dilakukan
pegawai pemerintah atau pejabat negara dan tidak ada urusan dengan politik. Korupsi seperti
ini dapat dibagi dua lagi, yaitu yang sifatnya terpaksa karena kebutuhan mendesak,
sedangkan yang kedua dilakukan karena keserakahan. Korupsi struktural merupakan kerja
sama atau persekongkolan dalam kerja yang tidak baik, misalnya antara penguasa dan pelaku
bisnis dalam mengukuhkan monopoli swasta yang menguntungkan kedua pihak. Korupsi
struktural dibagi menjadi dua, yaitu in come corruption, yang jelas motifnya berupa materi,
dan policy corruption, yang cirinya membuat peraturan sedemikian rupa sehingga
melegalisasi korupsi agar legitimated. Korupsi memeperlambat pertumbuhan ekonomi,
disamping juga menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan pendapatan masyarakat.
Korupsi menimbulkan adanya pengalokasian sumberdaya menjadi tidak optimal atau
melahirkan ketidakefesienan dalam prose produksi. Keluaran (output) dari suatu proses
produksi menjadi lebih kecil dari yang seharusnya terjadi jika tidak ada KKN. Korupsi
mendorong eksploitasi dan perusakan sumberdaya alam secara besar besaran serta
membengkaknya utang luar negeri pemerintah dan swasta.

Dalam periode jangka menengah kejangka panjang adalah mungkin untuk menurunkan
koruspi ini diri tingkat korupsi yang tinggi ketingkat yang rendah. Yakni melalui pemberian
jaminan adanya hak atas kebutuhan dasar ekonomi dan kebebasan sipil, peningkatan
kompetisi politik dan ekonomi, dan mendorong pertmbuhan masyarakat sipil yang kuat.

Modul 8 – Otonomi Daerah dan Pembangunan Manusia Indonesia


Latar belakang otonomi daerah adalah adanya sentralisasi dalam keuangan, seperti
sentralisasi sistem perpajakan dengan alasan efisiensi. Sentralisasi kebijakan tersebut tidak
hanya dalam kebijakan fiskal, namun juga pada hampir semua bidang, termasuk dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah. Faktor lain adalah pertumbuhan ekonomi
nasional relatif tinggi, namun pola pertumbuhannya timpang. Ketimpangan tersebut berupa
ketimpangan antara kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Timur
Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI).

Tiga misi utama dari kebijakan tersebut ialah 1) meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat, 2) menciptakan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya daerah, dan 3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan

Beberapa masalah mendasar yang dihadapi pemerintah daerah yang terkait dengan kurangnya
sumber daya keuangan adalah: fiscal gap kualitas pelayanan publik yang masih
memprihatinkan, rendahnya kualitas sarana dan prasarana, DAU dari pemerintah pusat yang
tidak mencukupi, dan belum diketahui potensi PAD yang mendekati kondisi iil.

Beberapa motivasi utama dari suatu kerja sama antardaerah adalah sebagai suatu usaha untuk
mengurangi eksternalitas negatif antardaerah, untuk memecahkan masalah bersama dan atau
untuk mewujudkan tujuan bersama, dan untuk meningkatkan investasi. Melalui kerja sama
antar daerah akan diperoleh beberapa manfaat antara lain: mengurangi persaingan yang tidak
sehat antardaerah, memperkuat posisi tawar daerah, meningkatkan efisiensi promosi,
sinkronisasi peraturan perundang-undangan, efektivitas penyiapan infrastruktur, — dan
memudahkan dibangunnya link bottom up.

Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia adalah The
Physical Ouality of Life Index (POLI) dan Human Development Index (HDI) atau Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Indikator HDI ini digunakan di Indonesia. UNDP menetapkan
empat elemen utama dalam pembangunan manusia, yaitu produktivitas (productivity),
pemerataan (eguity), keberlanjutan (sustainability), dan pemberdayaan (empowerment).
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia tahun 1999 berada
pada peringkat 105 dari 174 negara yang disurveinya, dan ini merosot lagi pada peringkat 110
dari 173 negara pada tahun 2002. Sedangkan di tingkat ASEAN-6, Indonesia menempati
peringkat terendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini disebabkan oleh anggaran
negara yang rendah untuk meningkatkan kualitas Pendidikan dan kesehatan jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Padahal pendidikan
yang buruk mengakibatkan masalah pengangguran. Di sisi lain jika fasilitas kesehatan tidak
memadai maka dapat diduga masyarakat Indonesia sangat rentan dengan berbagai penyakit.
Akibatnya masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan
nasional.

Anda mungkin juga menyukai