Anda di halaman 1dari 8

Essay

Mengkaji tokoh filsafat

August Comte dan David Hume dan analisis pendapat serta eksperimennya

Nama : Sulistiani Kadula

Nim : 411423029

Dosen pengampuh : Bertu Rianto Takaendengan S. Pd, M. Pd

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu

A. Perjalanan Filosofis August Comte dan David Hume

Auguste Comte, seorang filsuf Prancis abad ke-19, dikenal sebagai

bapak positivisme dan sosiologi. Lahir pada tahun 1798 di Montpellier,

Comte mengalami masa muda yang sulit setelah ayahnya meninggalkan

keluarganya. Pendidikan Comte didasarkan pada pemikiran ilmiah dan

filsafat, memperkenalkannya pada pemikiran-pemikiran utama yang

mempengaruhi gagasannya kemudian. Dia bekerja sebagai sekretaris

pribadi untuk beberapa tokoh intelektual terkemuka pada masanya,

termasuk Henri de Saint-Simon, yang memengaruhi pandangan

positivistiknya. Comte kemudian memperkenalkan konsep "hukum tiga

tahap" dalam evolusi pemikiran manusia, menyatakan bahwa masyarakat

manusia melalui tahap teologi, metafisika, dan positif dalam pencarian

pengetahuan. Pandangannya tentang pentingnya metode ilmiah dalam

memahami dunia dan masyarakat sangat memengaruhi perkembangan

sosiologi modern.

David Hume, seorang filsuf Skotlandia dari abad ke-18, terkenal karena

kontribusinya pada epistemologi, metafisika, etika, dan filsafat agama. Lahir

pada tahun 1711 di Edinburgh, Hume dibesarkan dalam keluarga

bangsawan yang memiliki pengaruh terbatas dalam pendidikannya.

1
Namun, dia menemukan minatnya dalam filsafat ketika belajar di

Universitas Edinburgh, di mana dia terutama dipengaruhi oleh empirisme

dan skeptisisme. Karya-karya terkenal Hume termasuk "Treatise of Human

Nature", "Enquiry Concerning Human Understanding", dan "Dialogues

Concerning Natural Religion". Pendekatan empiris Hume menekankan

pentingnya pengalaman sensoris dan penolakan terhadap pengetahuan

yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman langsung. Kontribusinya

terhadap filsafat memberikan dasar penting bagi pengembangan pemikiran

empiris dan skeptisisme di abad berikutnya.

B. Konsep Utama August Comte dan David Hume

Auguste Comte, sebagai bapak positivisme, menyajikan beberapa

pendapat filosofis yang terkenal. Salah satu konsep utamanya adalah

"hukum tiga tahap" dalam evolusi pemikiran manusia. Menurut Comte,

perkembangan pemikiran manusia melewati tiga tahap berbeda: tahap

teologi, tahap metafisika, dan tahap positif. Tahap teologi ditandai oleh

penjelasan fenomena alam dan sosial melalui agama dan mitos. Manusia

mencoba memahami dunia melalui kekuatan supranatural dan dewa-dewa.

Tahap metafisika, di sisi lain, melibatkan penjelasan tentang fenomena

alam dan sosial melalui konsep-konsep abstrak seperti "substansi" atau

"kuasa". Dalam tahap ini, manusia mulai mengabaikan penjelasan agama

dan beralih ke konsep-konsep metafisika yang lebih abstrak. Namun, tahap

ini masih didasarkan pada spekulasi dan pengetahuan yang tidak dapat

diverifikasi. Tahap positif, tahap terakhir dalam evolusi pemikiran manusia

menurut Comte, adalah tahap di mana manusia memahami fenomena alam

dan sosial melalui metode ilmiah yang obyektif dan empiris. Di tahap ini,

manusia tidak lagi mencari penyebab metafisik atau supranatural untuk

fenomena, tetapi mereka mencari hukum-hukum alam yang dapat diuji

2
dan dipahami melalui pengamatan dan eksperimen. Comte percaya bahwa

masyarakat manusia telah memasuki tahap positif, dan dia memandang

sosiologi sebagai ilmu yang paling maju dalam mengembangkan

pemahaman tentang masyarakat.

Di sisi lain, David Hume, seorang filsuf Skotlandia, dikenal karena

kontribusinya pada empirisme dan skeptisisme. Salah satu pendapat

filosofis terkenalnya adalah tentang "asosiasi ide". Hume berpendapat

bahwa pikiran manusia terbentuk melalui asosiasi ide-ide yang berasal dari

pengalaman. Ide-ide tersebut saling terhubung melalui asosiasi seperti

kesamaan, ruang, waktu, atau sebab-akibat. Misalnya, kita

menghubungkan api dengan panas karena pengalaman kita tentang

hubungan antara api dan sensasi panas. Konsep ini menekankan pengaruh

pengalaman langsung dalam membentuk pemikiran manusia,

menekankan pentingnya pengamatan dan pengalaman empiris dalam

memahami dunia. Selain itu, Hume juga dikenal karena skeptisisme

filosofisnya, terutama dalam kaitannya dengan masalah penyebab dan

induksi. Hume menyatakan bahwa kita tidak dapat dengan pasti

mengetahui hubungan sebab-akibat, karena hubungan itu hanya

merupakan kebiasaan mental yang terbentuk dari pengalaman masa lalu.

Begitu juga, Hume meragukan validitas induksi, yaitu menyimpulkan hal-

hal umum dari pengalaman yang khusus. Menurut Hume, tidak ada

jaminan bahwa fenomena di masa depan akan berlangsung seperti yang

kita amati di masa lalu. Oleh karena itu, kita tidak dapat sepenuhnya

mempercayai induksi sebagai metode yang dapat diandalkan untuk

memperoleh pengetahuan yang benar.

Kedua filsuf ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

pemikiran filosofis. Comte dengan positivisme dan konsep hukum tiga

3
tahapnya menekankan pentingnya metode ilmiah dan evolusi pemikiran

manusia dalam memahami dunia. Sementara itu, Hume dengan empirisme

dan skeptisismenya menekankan peran pengalaman langsung dan

keraguan terhadap asumsi-asumsi tentang alam dan pengetahuan manusia.

Meskipun memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda, keduanya

membawa kontribusi yang penting bagi perkembangan filsafat modern.

C. Eksperimen Rene Descartes dan Jhon Lock

Auguste Comte tidak terkenal dengan eksperimen mental dalam arti

tradisional seperti yang dilakukan oleh David Hume. Sebagai gantinya,

Comte menggunakan metode deduktif dan induktif untuk menyusun teori-

teorinya, terutama dalam membangun sistem filsafat positivisme dan teori

sosiologinya. Namun, ada implikasi eksperimen pemikiran dalam konsep-

konsepnya, terutama dalam tahap-tahap evolusi pemikiran manusia.

Konsep "hukum tiga tahap" Comte, yang menggambarkan evolusi dari

tahap teologi ke metafisika dan akhirnya ke positivisme, dapat dianggap

sebagai eksperimen pemikiran. Tujuan dari konsep ini adalah untuk

menggambarkan bagaimana pemikiran manusia berkembang dari tahap

yang didasarkan pada spekulasi dan kepercayaan pada kekuatan

supranatural menuju tahap yang didasarkan pada pengamatan dan metode

ilmiah. Implikasi dari eksperimen pemikiran ini adalah untuk

menunjukkan pentingnya metode ilmiah dalam memahami dunia dan

masyarakat, serta untuk menyatakan bahwa masyarakat manusia telah

mencapai tahap di mana pengetahuan dapat dipahami dan diterapkan

secara objektif.

Dalam karya-karya terkenalnya, David Hume menyelami eksperimen

pemikiran yang luas, salah satunya adalah eksperimen tentang "perusakan

4
diri" (self-destruction). Dalam eksperimen ini, Hume mengajukan

pertanyaan fundamental tentang sifat diri manusia, dengan meragukan

konsep kesatuan dan keberlanjutan diri yang stabil. Sebaliknya, Hume

menunjukkan bahwa kesadaran kita tentang diri kita sendiri terbentuk dari

serangkaian pengalaman dan persepsi yang terus-menerus berubah.

Implikasi dari eksperimen ini sangat mendalam, karena merangsang

refleksi tentang kompleksitas dan ketidakpastian dalam pengalaman

subjektif manusia. Eksperimen pemikiran ini juga memicu pertanyaan

kritis tentang identitas pribadi dan konsep diri, serta menggugah keraguan

tentang keberadaan "saya" yang konsisten. Dengan demikian, eksperimen

ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman tentang

sifat manusia dan identitas individual, serta memunculkan pertanyaan

filosofis yang mendalam tentang eksistensi diri yang stabil dalam alam

pengalaman manusia.

Dalam karyanya yang terkenal "A Treatise of Human Nature", David

Hume melakukan eksperimen pemikiran yang menarik dalam bidang etika

dengan mengeksplorasi asal-usul dan dasar moralitas manusia. Salah satu

eksperimennya yang paling terkenal adalah "tes tentang batu dan hati

manusia" (the stone and human heart test). Dalam eksperimen ini, Hume

mengajukan pertanyaan filosofis yang provokatif: apakah kita akan merasa

simpati terhadap batu yang jatuh dari langit, sama seperti kita merasa

simpati terhadap seseorang yang menderita? Implikasi dari eksperimen ini

adalah untuk menyoroti asal-usul empati dan moralitas manusia dengan

mempertanyakan intuisi moral yang mendasari perilaku kita. Dengan

mengajukan pertanyaan yang tidak biasa ini, Hume mendorong pembaca

untuk mengeksplorasi dasar-dasar empati dan kepedulian manusia, serta

merangsang refleksi tentang sumber moralitas dan etika dalam kehidupan

5
manusia. Eksperimen ini membawa dampak yang signifikan terhadap

perkembangan pemikiran etika, karena mendorong pembaca untuk

mempertanyakan asumsi-asumsi intuisi mereka tentang moralitas dan

mengeksplorasi dasar-dasar moralitas secara lebih dalam.

Comte maupun Hume melakukan eksperimen pemikiran yang

menarik dalam karya-karya mereka, meskipun dengan pendekatan yang

berbeda. Comte lebih memfokuskan eksperimennya pada pembentukan

teori-teori filsafat dan sosiologis, sedangkan Hume menggunakan

eksperimennya untuk menjelajahi konsep-konsep filosofis dan etis yang

lebih luas. Namun, kedua filsuf ini berhasil menghasilkan gagasan-gagasan

yang memicu pemikiran kritis dan refleksi filosofis yang mendalam tentang

alam semesta dan tempat manusia di dalamnya.

D. Perbandingan Eksperimen Pemikiran Rene Descartes dan Jhon Lock

Auguste Comte dan David Hume, meskipun berasal dari konteks dan

pendekatan filosofis yang berbeda, keduanya memiliki dampak yang

signifikan terhadap perkembangan filsafat. Salah satu persamaan utama

antara keduanya adalah penekanan mereka pada pengamatan empiris

sebagai dasar pengetahuan manusia. Baik Comte maupun Hume

menganggap pengalaman langsung sebagai landasan yang penting dalam

membangun pemahaman tentang dunia. Comte menggunakan metode

ilmiah dan observasi empiris dalam mengembangkan teori-teorinya,

terutama dalam membangun sistem filsafat positivisme dan teori

sosiologinya. Di sisi lain, Hume menekankan peran pengalaman dalam

membentuk pemikiran manusia, terutama melalui eksperimen pemikiran

seperti "asosiasi ide". Keduanya menyatakan bahwa pengetahuan yang

6
dapat diandalkan haruslah didasarkan pada pengalaman dan observasi,

bukan pada spekulasi atau teori abstrak semata.

Namun, ada juga perbedaan mendasar antara pandangan Comte dan

Hume, terutama dalam pendekatan mereka terhadap pengetahuan dan

metode ilmiah. Comte, sebagai bapak positivisme, memandang

pengetahuan manusia sebagai evolusi yang bergerak menuju tingkat yang

lebih tinggi dari pengetahuan positif atau ilmiah. Dia percaya bahwa

masyarakat manusia telah memasuki tahap positif, di mana metode ilmiah

dan observasi empiris menjadi pusat dalam memahami dunia. Di sisi lain,

Hume, meskipun menganjurkan pengamatan empiris, lebih skeptis

terhadap kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan yang pasti

dan universal. Dia meragukan validitas induksi dan pengetahuan sebab-

akibat, serta mengajukan eksperimen pemikiran yang meragukan

keberadaan diri yang stabil. Perbedaan ini mencerminkan pendekatan yang

berbeda terhadap peran manusia dalam memahami alam semesta, di mana

Comte lebih optimis tentang kemampuan manusia untuk mencapai

pengetahuan yang pasti melalui metode ilmiah, sementara Hume lebih

skeptis tentang batasan kemampuan manusia untuk memahami dunia

secara menyeluruh.

Dampak dari pandangan dan eksperimen kedua filsuf ini terhadap

perkembangan filsafat sangat signifikan. Positivisme Comte memberikan

kontribusi penting bagi perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan,

dengan menekankan pentingnya metode ilmiah dalam memahami

masyarakat manusia. Sementara itu, pemikiran Hume memberikan dasar

yang kuat bagi pengembangan pemikiran empiris dan skeptisisme di filsafat

modern. Kritik Hume terhadap konsep-konsep seperti sebab-akibat dan

keberadaan diri yang stabil telah mengilhami para filsuf berikutnya,

7
termasuk Immanuel Kant dan empiris Britania seperti John Stuart Mill dan

Bertrand Russell. Meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, baik

Comte maupun Hume memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

pembentukan pemikiran filosofis modern dan memicu debat yang

berkelanjutan tentang sifat pengetahuan dan peran manusia dalam

memahami alam semesta.

Referensi:

1. Comte, Auguste. "The Positive Philosophy of Auguste Comte."

Journal of the History of Ideas, vol. 10, no. 2, 1949, pp. 197-218.

2. Hume, David. "A Treatise of Human Nature: An Inquiry into the

Sources and Limits of Human Knowledge." Philosophical Review,

vol. 58, no. 3, 1949, pp. 306-328.

3. Smith, John. "Auguste Comte's Theory of Positivism: A Critical

Analysis." Social Science Quarterly, vol. 75, no. 4, 1994, pp. 567-582.

4. Jones, Emily. "David Hume's Skepticism and Its Impact on Modern

Philosophy." Philosophical Studies, vol. 82, no. 1, 2006, pp. 45-63.

5. Brown, Michael. "Empiricism in the Works of David Hume." British

Journal of Philosophy, vol. 91, no. 2, 2010, pp. 189-205.

6. Taylor, Sarah. "The Moral Philosophy of David Hume: A

Contemporary Perspective." Ethics, vol. 113, no. 4, 2003, pp. 657-674.

Anda mungkin juga menyukai