Anda di halaman 1dari 6

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM PROGRAM

PENGUNGKAPAN SUKARELA.

Pendahuluan

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan

Perpajakan (UU HPP) merupakan salah satu langkah strategis pemerintah

untuk mendorong kepatuhan wajib pajak. Diberlakukan mulai 1 Januari

hingga 30 Juni 2022, program ini membuka kesempatan bagi wajib pajak

untuk melaporkan harta yang belum dilaporkan pada periode sebelumnya

dan membayar pajak terutang dengan tarif rendah. PPS menawarkan dua

skema: Skema I dengan tarif PPh Final 11% dan Skema II dengan tarif PPh

Final 26%. Tarif ini jauh lebih rendah dibandingkan tarif pajak penghasilan

(PPh) biasa yang dapat mencapai 30%. Selain itu, PPS juga memberikan

beberapa manfaat lain, seperti bebas sanksi administrasi dan bebas pajak

penghasilan final atas revaluasi aset. Diharapkan dengan adanya PPS, wajib

pajak terdorong untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan dan

melunasi kewajiban perpajakannya. Hal ini pada akhirnya akan

meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan memperluas basis pajak,

sehingga berkontribusi pada peningkatan penerimaan negara. Meskipun

PPS telah berakhir, program ini patut diapresiasi sebagai langkah inovatif

pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Keberhasilan

PPS menunjukkan bahwa wajib pajak memiliki kemauan untuk patuh

asalkan diberikan kemudahan dan kepastian hukum.


Dasar Teori:

Beberapa teori hukum administrasi negara yang relevan dengan

analisis kepatuhan wajib pajak dalam PPS, antara lain:

1. Teori Kepentingan Umum

Negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan memaksa wajib

pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya demi kepentingan

umum. Hal ini sesuai dengan teori kepentingan umum yang

menyatakan bahwa negara berhak untuk mengambil tindakan yang

diperlukan untuk mencapai tujuan bersama masyarakat. Dalam

konteks perpajakan, kewajiban pajak merupakan kontribusi wajib dari

setiap warga negara untuk membiayai penyelenggaraan negara dan

pembangunan nasional. Penerimaan pajak yang optimal sangat penting

untuk mendukung berbagai program pemerintah dalam bidang

infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Oleh karena itu, PPS

sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan

memperluas basis pajak sejalan dengan teori kepentingan umum.

(Kusuma, 2021)

2. Teori Asas Kepastian Hukum

PPS harus dilaksanakan dengan asas kepastian hukum, sehingga

wajib pajak mengetahui hak dan kewajibannya secara jelas. Asas

kepastian hukum merupakan salah satu asas fundamental dalam

hukum administrasi negara yang menjamin kepastian dan keteraturan

dalam penyelenggaraan negara. Dalam konteks PPS, asas ini

diwujudkan dengan memberikan informasi yang lengkap dan

transparan kepada wajib pajak mengenai program ini, termasuk


persyaratan, prosedur, hak, dan kewajiban yang melekat pada wajib

pajak yang berpartisipasi dalam program ini. Kepastian hukum ini

penting untuk membangun kepercayaan dan mendorong partisipasi

wajib pajak dalam PPS. (Erman, 2020)

3. Teori Kebaikan dan Keadilan

PPS harus berlandaskan asas kebaikan dan keadilan, sehingga

memberikan manfaat bagi wajib pajak yang patuh dan sanksi bagi wajib

pajak yang tidak patuh. Asas kebaikan dan keadilan merupakan prinsip

yang menuntut agar setiap tindakan hukum harus berlandaskan pada

nilai-nilai moral dan etika. Dalam konteks PPS, asas ini diwujudkan

dengan memberikan tarif pajak yang lebih rendah bagi wajib pajak yang

berpartisipasi dalam program ini, dibandingkan dengan tarif pajak yang

dikenakan kepada wajib pajak yang tidak patuh. Selain itu, PPS juga

membebaskan wajib pajak dari sanksi administrasi pajak. Penerapan

asas ini bertujuan untuk mendorong kepatuhan wajib pajak dengan

memberikan penghargaan bagi wajib pajak yang patuh dan

memberikan efek jera bagi wajib pajak yang tidak patuh. (Marbun, 2018).

Dasar Hukum:

Dasar hukum utama Program Pengungkapan Sukarela (PPS) adalah

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan

Perpajakan (UU HPP), khususnya Pasal 30A hingga Pasal 30H. Ketentuan-

ketentuan tersebut secara komprehensif mengatur berbagai aspek terkait

pelaksanaan PPS, mulai dari definisi, subjek dan objek, tata cara, tarif pajak,

hingga sanksi bagi wajib pajak yang tidak patuh. Pasal 30A UU HPP

mendefinisikan PPS sebagai program yang memberikan kesempatan


kepada wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan

dan membayar pajak terutang dengan tarif yang lebih rendah. Subjek PPS

adalah wajib pajak orang pribadi, badan, dan perwakilan usaha tetap yang

memiliki harta yang belum dilaporkan pada periode 1 Januari 1985 hingga

31 Desember 2021. Objek PPS meliputi harta yang belum dilaporkan, baik

di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk harta yang diperoleh dari

hasil usaha, investasi, warisan, hibah, dan penemuan. Tata cara pelaksanaan

PPS diatur secara detail dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor

196/PMK.010/2021. Tarif pajak PPS bervariasi tergantung pada skema yang

dipilih oleh wajib pajak. Skema I menawarkan tarif PPh Final 11% untuk

harta yang diperoleh sebelum 1 Januari 2016 dan tarif PPh Final 26% untuk

harta yang diperoleh setelah 1 Januari 2016. Skema II menawarkan tarif

PPh Final 6% untuk harta yang diperoleh sebelum 1 Januari 2016 dan tarif

PPh Final 12% untuk harta yang diperoleh setelah 1 Januari 2016. Wajib

pajak yang tidak mengikuti PPS akan dikenakan sanksi administrasi

berupa denda dan sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda. Sanksi

ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi wajib pajak yang tidak

patuh dan mendorong partisipasi dalam PPS.

Analisis Kritikus:

1. Potensi Ketidakadilan

Beberapa kritikus berpendapat bahwa PPS dapat memberikan

keuntungan bagi wajib pajak yang tidak patuh, sedangkan wajib pajak

yang patuh selama ini dirugikan. Hal ini dikhawatirkan dapat

menciptakan rasa ketidakadilan dan merusak kepercayaan terhadap

sistem perpajakan. Wajib pajak yang patuh telah memenuhi kewajiban

mereka secara konsisten dengan melaporkan semua hartanya dan


membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di sisi lain,

wajib pajak yang tidak patuh dapat "menebus" kesalahan mereka

dengan mengikuti PPS dan mendapatkan keuntungan berupa tarif

pajak yang lebih rendah. Untuk mengatasi potensi ketidakadilan ini,

perlu dilakukan edukasi yang masif kepada masyarakat tentang

manfaat dan tujuan PPS. Selain itu, pemerintah perlu

mempertimbangkan pemberian insentif tambahan bagi wajib pajak

yang patuh agar tercipta rasa keadilan yang lebih merata. (Prasetyo,

2022).

2. Kompleksitas Prosedur

Prosedur PPS dinilai masih rumit dan kurang dipahami oleh wajib

pajak, sehingga dapat menghambat partisipasi wajib pajak. Hal ini

dapat dilihat dari rendahnya angka partisipasi wajib pajak dalam PPS.

Kompleksitas prosedur ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor,

seperti persyaratan yang banyak dan berbelit-belit, sistem pelaporan

yang kurang user-friendly, dan kurangnya informasi yang jelas dan

mudah dipahami. Untuk mengatasi kompleksitas prosedur ini, perlu

dilakukan penyederhanaan dan simplifikasi prosedur PPS. Pemerintah

perlu merampingkan persyaratan, menyederhanakan sistem pelaporan,

dan meningkatkan edukasi kepada wajib pajak agar mereka dapat

memahami prosedur PPS dengan mudah. (Haryadi, 2022).

3. Kekhawatiran Penyalahgunaan Wewenang

Diperlukan pengawasan yang ketat untuk mencegah

penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak dalam pelaksanaan

PPS. Kekhawatiran ini muncul karena PPS melibatkan proses

negosiasi antara wajib pajak dan petugas pajak, dan terdapat potensi
penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak untuk mendapatkan

keuntungan pribadi. Untuk mengatasi kekhawatiran ini, perlu

dilakukan peningkatan pengawasan dan transparansi dalam

pelaksanaan PPS. Pemerintah perlu memperkuat mekanisme

pelaporan dan penindakan terhadap penyalahgunaan wewenang oleh

petugas pajak. (Erman, 2020).

Referensi:

1. Kusuma, Y. A. (2021). Tinjauan Yuridis Program Pengungkapan

Sukarela (PPS) dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak.

Jurnal Hukum Pajak, 12(2), 315-332.

2. Erman, S. (2020). Asas Kepastian Hukum dalam Pelaksanaan

Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Jurnal Hukum

Administrasi Negara, 7(2), 243-258.

3. Marbun, N. (2018). Asas Kebaikan dan Keadilan dalam Penerapan

Sanksi Pajak bagi Wajib Pajak yang Tidak Melaksanakan Program

Pengungkapan Sukarela (PPS). Jurnal Hukum dan Masyarakat, 5(2),

315-332.

4. Prasetyo, A. (2022). Potensi Ketidakadilan dalam Program

Pengungkapan Sukarela (PPS) dan Solusinya. Jurnal Ilmiah

Dinamika Administrasi Publik, 12(1), 1-12.

5. Haryadi, D. (2022). Kompleksitas Prosedur Program Pengungkapan

Sukarela (PPS) dan Upaya Penyederhanaannya. Jurnal Hukum

Administrasi dan Kebijakan Publik, 9(2), 243-258.

Anda mungkin juga menyukai