Abstraksi
Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana Lèvinas merehabilitasi kultur
egosentris dan narsistis yang dianggapnya telah mengakat kuat dalam tradisi filsafat
Barat semenjak Parmenides hingga Heidegger. Bagi Lèvinas, perbincangan filsafat
Barat tidak lebih sebatas diskursus egologi yang cenderung reduksionis. Lèvinas
berusaha menghadirkan suatu arus balik (reverse), yaitu dengan menjadikan
l’Autrui sebagai titik tolak setiap perbincangan filsafat. Etika Lèvinas yang
membasiskan pada pemahaman etika sebagai ‘proto philosophia,’ berada dalam
tradisi besar fenomenologi. Namun berbeda dengan fenomenologi Husserl yang
memperbincangkan ego transendental, maupun fenomenologi Heidegger yang
bergumul dalam ontologi fundamental dan berporos pada Dasein, fenomenologi
Lèvinas lebih menaruh perhatian penuh terhadap l’Autrui. Karena kekhasan inilah,
filsafat etika Lèvinas sering disebut juga sebagai ‘the fenomenology of the other’.
Kata Kunci:
Egologi - Yang-Lain/Liyan (l’Autrui) - ‘Wajah’ (le Visage) - Proksimitas
(Proximity) - Eksterioritas (Exteriority) - Tanggung Jawab Etis
I. Pendahuluan
|1
sedemikian rupa, melampaui ketersituasian dan keniscayaan adanya pelbagai moment
perjumpaan dengan Liyan.
Jika melacak arus kesejarahannya, pusaran filsafat yang dikonstruksi oleh spirit
egosentrisme dan narsisme cogito—sebagaimana semakin terkukuhkan sejak era
filsafat modern melalui tokoh René Descartes, subjek (le soi/the Self) tengah
diposisikan sebagai pusat realitas. Melalui diktum ikonik cogito ergo sum (aku berfikir,
maka aku ada), Descartes menjadikan ego cogito (rasio) sebagai satu-satunya fakultas
mental manusia yang bisa memberikan kepastian objektif. Ego cogito diandaikan
mampu menggambarkannya realitas dalam sebuah kepastian tunggal (singular
certainly) yang paripurna.2
|2
Lèvinas merupakan salah satu filsuf yang turut terlibat dalam upaya rehabilitasi
kultur egosentris dalam filsafat Barat. Ia menganggap bahwa tradisi filsafat Barat
semenjak Parmenides hingga Heidegger tidak lebih dari sekedar diskursus egologi.3
Untuk merehabilitasi wacana filsafat Barat yang cenderung berpusat pada ego cogito,
Lèvinas justru berusaha menghadirkan suatu arus balik (reverse), yaitu dengan
menjadikan l’Autrui sebagai titik tolak setiap perbincangan filsafat.
|3
Pada tahun 1915-17, ketika meletusnya Perang Dunia I, yaitu saat Jerman
berhasil menduduki Kovno pada September 1915, keluarga Lèvinas mengungsi ke
Kharkov, Ukraina, setelah sebelumnya ditolak masuk kota Kiev. Lèvinas sendiri
merupakan bagian dari sedikit dari keturunan Yahudi yang diterima mengikuti
Gymnasium (sekolah) bagi orang-orang Rusia. Keluarga Lèvinas menjadui saksi hidup
pergolakan revolusi pada Februari dan Oktober di tahun 1917.
|4
Sekitar tahun 1929-30, Lèvinas kembali ke Strasbourg, menyelesaikan dan
mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul The Theory of Intuition in
Husserl’s Phenomenology. Atas karyanya itu, ia menerima penghargaan dari The
Institute of Philosophy pada 4 April 1930, kemudian diterbitkan pada akhir tahun
tersebut oleh Vrin Publisher di Paris. Karya inilah yang memperkenalkan Jean-Paul
Sartre terhadap tradisi fenomenologi. Pada tahun 1930, Lèvinas menjadi penduduk
resmi Prancis, dan menyelesaikan wajib militernya di Paris dan mengajar di Alliance
Israèlite Universelle di Paris. Ia menikah dengan Raïsa Levi, perempuan yang ia kenal
sejak masa-masa sekolah di Kovno.
Pada Juni 1940, Lèvinas dijadikan tawanan perang bersama tentara Prancis
lainnya yang meletus di Rennes. Ia ditahan selama beberapa bulan di penjara
Frontstalag. Lèvinas kemudian dipinahkan ke sebuah kamp Nazi di Fallinpostel, dekat
Magdeburg-Jerman Utara. Mengingat Lèvinas memiliki kedudukan cukup tinggi
dalam tentara Prancis, ia tidak dikirim ke kamp konsentrasi, tapi dijadikan tahanan
militer untuk dipekerjakan secara paksa di hutan.
Tahun ini merupakan peristiwa paling tragis dalam sejarah hidup Lèvinas,
bahkan ia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di tanah Jerman lagi. Banyak dari
keluarganya dibunuh rezim Nazi. Bahkan dikisahkan bahwa orang tua dan saudaranya
ditembak di dekat Kovno. Nama-nama keluarga yang mati oleh sebab kekejaman Nazi
dikenang Lèvinas dengan mencatumkannya dalam buku Otherwise than Being or
Beyond Essence, sebuah karya yang didedikasikan untuk orang-orang Yahudi.
Lèvinas pulang ke Prancis pada tahun 1945 dan berkumpul kembali dengan istri
dan anaknya, Raïssa dan Simone Lèvinas. Atas intervensi Renè Cassin, Lèvinas
menjadi direktur Ècole Normale Israèlite Orientale (ENIO). Spirit ENIO sendiri
dikembangkan berdasarkan visi Yudaisme; militansi intelektual, berlandaskan pada
kajian-kajian teks, rasionalistik, anti-mystical, humanis, dan universalis. Kemudian
pada tahun 1946, Lèvinas diminta oleh Jean Wahl, profesor filsafat di Sorbonne
sekaligus sahabatnya, untuk memberikan empat sesi kuliah di Collège Philosophique.
|5
Rangkaian kuliah ini sendiri mengungkapkan pelbagai ide inti dari karya-karya
Lèvinas, mengukuhkan sentralitas l’Autrui dalam konstruksi filsafatnya, sekaligus
menegaskan bahwa waktu merupakan penentu paling primordial dari relasi antara diri
dan Liyan.
Pada tahun 1964 Lèvinas diangkat menjadi guru besar filsafat di Universitas
Poitiers. Di antara mahasiswa-mahasiswanya adalah Mikel Dufrenne, Roger Garaudy,
Jacques D’Hondt, dan Jeanne Delhomme. Pada tahun ini, esai Lèvinas yang berjudul
Meaning and Sense diterbitkan Revue de Mètaphysique et de Morale. Esai ini penanda
awal akan terjadinya sebuah peralihan visi filosofis Lèvinas dari gagasan-gagasannya
dalam buku Totality and Infinity (1961), kepada karya setelahnya, Otherwise than
Being or Beyond Essence (1973).
Latar belakang tragis yang terpotret dalam beberapa fragmen sejarah hidup
Lèvinas turut mempengaruhi sikap politisnya yang bersumpah untuk tidak lagi
menginjakkan kakinya di tanah Jerman. Lain pada itu, pengaruhnya juga tercecap
dalam visi filosofisnya yang berusaha meneriakan ‘permenungan lain’, sebuah
permenungan yang terlahir dari keprihatinan etis. Dengan memaknai perjumpaan
antara aku dan Liyan sebagai peristiwa/moment etis, Lèvinas mengembangkan sebuah
wacana filosofis yang bergerak dari luar ego diri, dari Liyan. Bertolak dari keprihatian
terhadap Liyan yang cenderung terabaikan bahkan tersingkirkan dalam perbincangan
|6
filsafat Barat, seluruh filsafat Lèvinas merepresentasikan makna terdalam dari etika,
yaitu etika sebagai filsafat pertama (proto philosophia).
Dalam tilikan Franz Magnis-Suseno, etika Lèvinas lebih tepat disebut etika
fundamental, mengingat Lèvinas berupaya menunjukan bahwa manusia dalam segala
penghayatan dan sikap-sikapnya didorong oleh sebuah simpul etis, yaitu tanggung
jawab terhadap sesama. Tanggung jawab yang bisa disebut primordial tersebut
senantiasa dipikul manusia setiap kali mengalami perjumpaan dengan l’Autrui.8 Bagi
|7
Lèvinas, perjumpaan dengan l’Autrui dipahami sebagai peristiwa etis paling primordial
pada manusia.
Visi filosofis Lèvinas semacam ini banyak merujuk pada pemikiran banyak
filsuf, terutama Husserl dan Heidegger, baik dalam kerangka afirmatif maupun kritik.
Lèvinas memandang bahwa filsafat Husserl merupakan sebuah ‘patahan’ yang telah
merevolusi tradisi filsafat Barat melalui fenomenologi. Sedangkan filsafat Heidegger
berusaha menggali kemungkinan lain yang ‘terlupakan’ dalam tradisi fenomenologi
Husserl, kemudian mentransformasikannya ke dalam ontologi baru.
Posisi filsafat Lèvinas sendiri bisa diandaikan berada ‘di antara’ kedua tradisi
fenomenologi tersebut. Lèvinas berupaya mengembangkan, bahkan melampaui,
fenomenologi ontologis; memperbaharui metafisika secara radikal, dan merehabilitasi
‘Ada’ (existent, das Seinede, l’étant), dengan memahaminya sebagai ‘di sebrang esensi
atau lain dari Ada’ (beyond Being).9 Hal inilah yang menjadikan l’Autrui memainkan
peranan yang sangat penting dalam filsafat etika Lèvinas.
Filsafat etika Lèvinas berada dalam tradisi besar fenomenologi yang sedikit-
banyak terpengaruh oleh Husserl dan Heidegger. Namun berbeda dengan
fenomenologi Husserl yang memperbincangkan ego transendental, maupun
fenomenologi Heidegger yang bergumul dalam ontologi fundamental dan berporos
pada Dasein, fenomenologi Lèvinas lebih menaruh perhatian penuh terhadap l’Autrui.
Liyan tidak bisa direduksi menjadi sebatas alter ego—‘aku yang lain’, yaitu diri dalam
bentuk dan sifat yang berbeda. Karena kekhasan fenomenologi Lèvinas yang berporos
pada l’Autrui ini, Alphonso Lingis menyebutnya sebagai the fenomenology of the
Other.10
|8
tradisi filsafat Barat, yaitu dari metafisika yang berporos pada ego cogito kepada
l’Autrui, kemudian dari ontologi Dasein menuju etika metafisis. Maka yang menjadi
signifikasi awal bukan manusia sebagai akal (logos), tapi moment perjumpaan dengan
l’Autrui yang termediasi oleh bahasa.
Horror Nazi yang disaksikan dan dialami langsung oleh Lèvinas turut
melibatkan diskursus filsafat di ruang pewacanaannya. Hal ini sangat mempengaruhi
visi filosofisnya yang terlahir dari keprihatinan etis. Melalui visi etisnya, Lèvinas
menemukan celah menganga dalam tradisi filsafat Barat yang telah lama berpusat pada
ego cogito. Krisis yang terjadi dalam tradisi filsafat Barat tidak hanya berkaitan dengan
arogansi ego cogito dalam upaya pengukuhan the Self, namun juga diandaikan sebagai
fakultas mental yang mampu menguraikan muasal dan akhir dari sebuah kepastian
objektif paling utuh dan paripurna, beserta segala muatan makna yang terkandung di
dalamnya. Pada titik ini, kecacatan tradisi filsafat Barat terletak pada wataknya yang
egosentris, sehingga filsafat Barat tidak lebih sebatas cerminan egologi yang cenderung
reduksionis.
|9
sesuai dengan hasrat ego cogito-nya. Kultur egosentris semacam ini meniscayakan
sebuah gambaran kebebasan individu (the Self) yang diceraikan dari individu Liyan
(the Other).11
| 10
pemikiran Lèvinas terinspirasi oleh dua sumber utama, yaitu doktrin-doktrin Yahudi
dan tradisi filsafat Eropa, khususnya fenomenologi. Pemikirannya banyak merujuk
pada banyak filsuf, mulai dari Plato, Descartes, Barkley, Kant, Hegel, Nietzsche,
Bergson, Rosenzweig, Buber, Marcel, Sartre, Merleau-Ponty, Husserl, hingga
Heidegger.14 Namun demikian, Husserl dan Heidegger merupakan dua figur filsuf yang
senantiasa kental mewarnai karya-karyanya.
Sebagai sosok yang terlahir dari keluarga Yahudi taat dan terpandang di Kovno,
kekhasan filsafat Lèvinas terletak pada inspirasi doktrin-doktrin Yahudi yang menjiwai
corak filsafat etikanya. Lèvinas sendiri hidup di zaman yang menyaksikan
pembaharuan semangat religius Yahudi—semacam renaissance Yahudi—dalam abad
ke-20, yang spiritnya ditingkatkan lagi ketika orang Yahudi terusir dari Eropa pada
tahun 1930-an, khususnya dari negara Jerman. Pengalaman keterdesakan eksistensial
orang-orang Yahudi mendorong mereka untuk menyuarakan pembebasan dan
memperoleh kembali identitas eksistensialnya; yaitu dengan mengambil jalan kembali
kepada sumber-sumber Yahudisme asli. Dua filsuf terpenting dalam gerakan tersebut
adalah Martin Buber dan Franz Rosenzweig. Keduanya turut mempengaruhi pemikiran
Lèvinas.15
Inspirasi atau bias Yahudisme ini terasa begitu kental mewarnai konsep-konsep
etika Lèvinas, seperti individu, alteritas, infinitas, transendensi, dan pelbagai wacana
lainnya. Salah satu inspirasi Yahudisme terpotret pada pemahaman Lèvinas tentang
Tuhan. Lèvinas menyatakan bahwa ‘intimacy with God is primarily and basically
obedience to His commandments; not knowledge about God’s nature, thoughts, or
deeds.16 Lèvinas tidak memahami Tuhan sebagai sebuah pengetahuan teologis,
permenungan filosofis, ataupun perbincangan atas perbuatan-perbuatan-Nya, namun
lebih sebagai totalitas kepatuhan terhadap segala perintah-Nya.
| 11
Sebagai sebuah totalitas kepatuhan, agama atau relasi manusia dengan Tuhan
dipahami sebagai perjumpaan/momen etis (ethical relationship), bukan permenungan
filosofis. Sejauh apapun manusia memikirkan hakikat Nya, Tuhan—bagi Lèvinas—
senantiasa Ada dalam selubung kemisteriusan-Nya, tetap dalam totalitas ke-Liyan-an-
Nya (the-truly-Other), dalam ke-tak-terhingga-an-Nya (infinitude). Tak ayal,
perjumpaan dengan Liyan dipahami Lèvinas sebagai relasi asimetris (asymmetrical
relationship) oleh sebab ketidakmungkinan penggambaran Liyan secara paripurna.
Perjumpaan etis dengan Tuhan semacam ini, bagi Lèvinas, persis sebagaimana
perjumpaan seseorang dengan Liyan. Sehingga keintiman religiusitas sama artinya
dengan keterbukaan diri untuk menerima orang asing (l’Etranger), memakaikan
busana bagi yang telanjang, dan melindungi yatim-piatu.17 Perjumpaan dengan Liyan
inilah yang menyibak sisi kemanusiaan ego untuk memberikan respons etis terhadap
Liyan, turut bertanggung jawab terhadap hidup dan nasibnya, melampaui pelbagai
relasi formal maupun kultural apapun. Hal ini juga turut menginspirasi Lèvinas dalam
memahami infinitas Liyan; sebagai yang tak mungkin direduksi oleh ego cogito.
| 12
diktum ikoniknya, ‘we must back to the things themselves’ (wir wollen auf die ‘Sachen
selbst’ zurückgehen),18 Husserl mengajak untuk bertindak seperti seorang pemula
dalam memahami dunia yang dihayati; yaitu dengan membiarkan realitas
menampakkan diri pada kesadaran sejauh realitas itu dialami. Ia menekankan bahwa
dunia yang dihayati sebagai pengalaman selalu lebih luas dan dalam dari semua konsep
atau asumsi apapun terhadapnya. Sehingga seseorang sepatutnya menunda asumsi-
asumsi terhadap realitas (epoche) guna memunculkan hakikat segala sesuatu sekaligus
menangkap makna terdalamnya.19
| 13
bersifat epistemologis, fenomenologi Heidegger adalah suatu ontologi fundamental
karena menyangkut ‘kenyataan’ Dasein (Ada-di-sana), Ada-di-dalam-dunia.22
| 14
V. Melampaui Fenomenologi; Etika sebagai Prote Philosophia
Buku Totality and Infinity: an Essay on Exteriority merupakan salah satu karya
Lèvinas yang menggambarkan gugatan dan kritiknya terhadap kecenderungan totaliter
seluruh tradisi filsafat Barat yang berpijak pada ontologi, khususnya terkait ontologi
fundamental Heidegger, sekaligus berusaha untuk melampauinya. Bagi Lèvinas,
filsafat Barat cenderung mengejar suatu totalitas. Wacana yang dikembangkan di
dalamnya berusaha membangun sebuah totalitas yang berpangkal pada ego. Karena
kecenderungannya untuk selalu bertolak dari ‘Aku’ dan kembali kepada ‘Aku’,
Lèvinas menyebut cara berfikir semacam itu sebagai la philosophie du Mème (the
philosophyof the same). Gugatan ini sendiri sudah nampak sejak dari judul buku yang
menempatkan totalitas dan infinitas dalam sebuah oposisi biner. Terdapat tiga kata
kunci yang bisa ditangkap dari judul buku tersebut dan menjadi poros pemikirannya:
totalitas, infinitas, dan eksterioritas.
Diungkapkan Lèvinas, the way of the I against the Other of the world consist
in sojourning, in identifying oneself by existing here at home with oneself. Dalam arti,
cara ego the I saat melawan dan menundukan the Other digambarkan seperti proses
identifikasi diri sebagaimana ia menghuni sebuah rumah untuk dirinya sendiri, dalam
eksklusifitasnya. Terjadi semacam proses transmutasi Liyan menjadi the Same (Yang-
Sama), mereduksinya agar sesuai dengan gambaran ego, bahkan menyingkirkan apa
saja yang bersifat asing bagi diri karena dianggap akan mengganggu proses identifikasi
tersebut. Oleh Lèvinas, filsafat yang ditandai oleh totalitas disebut juga dengan
ontologi yang baginya tidak lebih sebatas pengukuhan-diri (self-perpetuation) dengan
cara mengorbankan Liyan.25
Totalitas yang mengakar kuat dalam tradisi filsafat Barat itu, melalui visi etis
Lèvinas, seketika tercabik oleh kehadiran ‘yang Tak Berhingga’ (infinity). Yang Tak
Berhingga adalah l’Autrui; orang lain dalam ke-Liyan-annya. Sehingga totalitas yang
| 15
disusun sedemikian rupa oleh ego, seketika tercabik-cabik berantakan saat berjumpa
dengan l’Autrui, dengan ‘Wajah’ Liyan. Infinitas dan ‘Wajah’ inilah yang menjadikan
Liyan senantiasa tetap dalam eksterioritasnya yang misterius, dalam totalitas ke-Liyan-
annya yang tidak akan pernah benar-benar dipahami.26
| 16
betul-betul lain dari pada diri, sebuah alteritas. Perjumpaan dengan ‘Wajah’ ini
merupakan peristiwa etis yang menuntut sebuah tanggung jawab etis oleh sebab
ketidakmungkinannya untuk direduksi ke dalam sebuah pemahaman atau pengertian
tertentu. The face is present in its refusal to be contained […] it cannot be
comprehended, that is, encompass.30 Begitulah Lèvinas menggambarkan ‘Wajah’,
sebagai yang hadir dalam penolakannya untuk direngkuh, dipahami, diartikan, bahkan
ditundukan. ‘Wajah’ adalah sebuah eksteriorias Ada, sebagai Liyan dalam ke-Liyan-
annya.
| 17
Wajah—untuk menghindari pelbagai tindak kekerasan ataupun pereduksian terhadap
Liyan—sejak semula bersifat etis.33
| 18
sekurang-kurangnya dapat dikatakan bahwa makna ‘Wajah’ terdiri dari perintah
‘engkau tidak boleh membunuh’.37
| 19
adanya sebuah relasi etis, Liyan—dalam eksterioritasnya—harus ditempatkan pada
posisi lebih tinggi (di atas) dari diri.40
Pembedaan antara the Saying dan the Said ini sangat berpengaruh pada
pemaknaan relasi etika Lèvinas, mengingat etika tidak lagi ditempatkan dalam level
kesadaran subjek, melainkan sensibilitasnya; semacam perasaan yang mendorong
timbulnya komitmen eksistensial yang melampaui pengertian teoritis apapun.
Sehingga etika lebih merupakan tanggung jawab paling primordial pada manusia yang
mendahului segala pertimbangan nilai, konsepsi, atau relasi formal apapun.
Menurut Lèvinas, the Saying merupakan ‘the proximity of one to the other, the
commitment of an approach, the one for the other, the very signifyingness of
| 20
signification’.43 Proksimitas adalah moment perjumpaan Aku dengan Liyan yang
menandai sebuah relasi yang melampaui kategorisasi tanda. Proksimitas mengacu pada
suatu permulaan atau komitmen paling primordial yang ditandai oleh keterbukaan dan
pasivitas total atas datangnya Liyan kepada diri; suatu penerimaan luruh atas ke-Liyan-
annya, bukan penerimaan yang bersifat resiprokal. Sehingga proksimitas Liyan bukan
dari aku kepada Aku (from the one for the self), melainkan dari aku kepada Liyan (from
the oneself for Other). Proksimitas mengandaikan proses substitusi tanpa akhir (endless
process of substitution),44 Substitusi inilah (penempatan diri pada tempat Liyan,
menjadi sandranya) yang melahirkan visi etis; berupa tanggung jawab moril atas nasib
dan masa depannya Liyan.
Tanggung jawab ialah apa yang secara eksklusif bertumpu pada saya dan
yang—secara manusiawi—tidak dapat saya tolak. Beban ini adalah martabat tertinggi
dari yang unik. Aku itu tidak dapat ditukar; saya adalah aku hanya sejauh saya
bertanggung jawab.46 Dari perbincangan ini, nampak bahwa Lèvinas berusaha
memberikan satu pendasaran filosofis bagi subjektifitas yang benar-benar lain dari
cogito Descartes, bagi subjektivitas sebagai seseorang-untuk-orang-lain. Melalui visi
etis yang berusaha dikembangkan dalam tradisi filsafat, Cogito ergo sum (Aku berfikir
| 21
maka Aku Ada) dari Descartes—sepatutnya—tergantikan oleh diktum respondeo ergo
sum (Aku bertanggung jawab, dengan demikian Aku Ada).47
VI. Kesimpulan
| 22
Daftar Pustaka
| 23
1
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. E-mail:
fahmy.farid@yahoo.co.id
2
Paul Marcus, Being for The Other: Emmanuel Lèvinas, Ethical Living and Psychoanalysis
(Wisconsin: Marquette University Press, 2008), hlm. 185
3
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond: The Philosophy of Emmanuel Lèvinas, cet. II (Illinois:
Northweatern University Press, 1999), hlm. 8
4
Sejarah hidup Lèvinas ini disarikan dari: Simon Critchley, “Emmanuel Lèvinas: A Disparate
Inventory”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The Cambridge Companion to
Lèvinas (United Kingdom: Cambridge University Press, 2004), hlm. xv-xxx
5
Jacques Derrida, Writing and Difference, terj. Alan Bass (London: Routledge Classic, 2002),
hlm. 101
6
Jacques Derrida, Adieu to Emmanuel Lèvinas, terj. Pascale-Anne Brault dan Michael Naas
(California: Stanford University Press, 1999), hlm. 4
7
Ada dua jenis filsuf moral: legislator dan perfeksionis. Legislator, sebagaimana John Rawls
dan Jürgen Habermas, lebih menekankan pada upaya memerinci aturan-aturan dan prinsip-prinsip
teoritis yang akan dijadikan basis teori keadilan. Sedangkan perfeksionis, seperti Emmanuel Lèvinas dan
Cavell, lebih memahami etika sebagai komitmen eksistensial yang melampaui struktur teoritis apapun.
Selengkapnya lihat: Simon Critchley, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi
(ed.), The Cambridge Companion to Lèvinas, hlm. 27-28
8
Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Ke-20, cet. V (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 86
9
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 38
10
Alphonso Lingis, “Introduction”, dalam Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay
on Exteriority, terj. Alphonso Lingis (Netherlands: Martinus Nijhoff, 1979), hlm. 13
11
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 8-9
12
Meminjam hasil reportasi Lyotard, modernisme merupakan istilah yang merepresentasikan
watak pengetahuan ilmiah (science) yang sering melegitimasikan dirinya sendiri melalui meta-wacana
(meta-discourse). Legitimasi tersebut menyandarkan diri pada suatu narasi besar (grand naratives),
seperti dialektika roh (dialectic of spirit), hermeneutika-makna (hermeneutics of meaning), kemerdekaan
subjek rasional atau subjek kerja (emancipation of rational or working subject), ataupun
pemenuhan/penciptaan kesejahteraan (creation of wealth). Postmodern sendiri merupakan sebuah
kondisi yang tengah menaruh mosi tidak percaya terhadap segala bentuk metanarasi (incredulity toward
metanarratives) dan segala bentuk pemikiran yang memiliki kecenderungan untuk mentotalisasi segala
sesuatu. Prinsip yang dianut postmodernisme tidak lagi sebagai homologi para ahli (expert’s homology),
melainkan paralogi para penemu/creator (inventor’s paralogy). Selengkapnya lihat: Jean-François
Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian
Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), hlm. xxiii-xxv
13
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, cet. IV (UK: Blackwell Publishers, 1996), hlm. 84-
85
14
Sejarah filsafat Perancis pada abad ke-20 dapat digambarkan sebagai suksesi tren dan
gerakan, dari neo-Kantianisme yang hegemonik dalam dekade awal abad ke-20, hingga Bergsonism
yang sangat berpengaruh sampai hingga tahun 1930-an, Hegelianisme Kojève di pada tahun 1930-an,
fenomenologi di tahun 1930 dan 1940-an, eksistensialisme pada periode pasca-perang, strukturalisme di
tahun 1950 dan 1960-an, post-strukturalisme di tahun 1960 dan 1970-an, dan kembali ke filsafat etika
dan politik pada tahun 1980-an. Lèvinas hadir di seluruh arus perkembangan filsafat Prancis ini,
mempengaruhi dan dipengaruhi dalam sejarah panjang tradisi filsafat Perancis. Selengkapnya lihat:
Simon Critchley, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The Cambridge
Companion to Lèvinas, hlm. 1
15
K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Prancis (Gramedia: Jakarta, 2014), hlm. 275-276
16
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 20
17
Ibid., hlm. 22-23
| 24
18
Edmund Husserl, The Shorter Logical Investigation, terj. J. N. Findlay, cet. I (London:
Routledge, 2001), hlm. xxviii dan 88
19
Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi (Yogyakarta: Penerbit Koeskoesan, 2010),
hlm. 26-27
20
Ibid., hlm. 43
21
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 42-43
22
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: KPG, 2003), hlm. 28-29
23
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 50-51
24
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 134
25
Ibid., hlm. 37 dan 43
26
K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Prancis, hlm. 279-280
27
Sèan Hand, Emanuel Lèvinas, cet. I (London: Routledge, 2009), hlm. 36-38
28
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 194
29
Lèvinas membuat perbedaan mendasar antara dua bentuk Otherness (Yang-Lain), yaitu Autre
dan Autrui. Istilah Autre mengacu pada sesuatu/benda Yang-Lain (non-human bening), seperti
komputer, jendela, atau pintu yang memiliki fungsinya masing-masing. Sedangkan istilah Aurtui
digunakan untuk menunjukan Liyan, yaitu orang lain (human being) sebagai memiliki relasi etis dengan
diri (the Self). Perbedaan antara Aute dengan Autrui ini menjadikan wacana etika Lèvinas
memungkinkan untuk diluaskan ke ranah makhluk non-manusia, seperti hewan dan lingkungan. Lihat:
Simon Critchley, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The Cambridge
Companion to Lèvinas, hlm. 16
30
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 194
31
Ibid., hlm 26
32
Sèan Hand, Emanuel Lèvinas, hlm. 36-38
33
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2006), hlm. 81
34
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 181
35
Ibid., h. 199. Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Ke-20, hlm. 89
36
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 199
37
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, hlm. 82
38
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 199-200
39
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, hlm. 83
40
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 290-291
41
Simon Critchley, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The
Cambridge Companion to Lèvinas, hlm. 18
42
Ibid., hlm. 17-18
43
Emmanuel Lèvinas, Otherwise Than Being, or Beyond Essence, terj. Alphonso Lingis
(Pittsburgh: Duquense University Press, 1998), hlm. 5
44
Ibid., h. 85. Lihat juga: Sèan Hand, Emanuel Lèvinas, hlm. 55-56
45
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, hlm. 88-89
46
Ibid., hlm. 92
47
K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Prancis, hlm. 286-287
| 25