Anda di halaman 1dari 25

Filsafat Alteritas Emannuel Lèvinas

Etika sebagai ‘Proto Philosophia’

[Diterbitkan oleh: Jurnal LSF Cogito, Vol. 3 No. 1 Mei 2016]

Oleh: Fahmy Farid Purnama1

Abstraksi
Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana Lèvinas merehabilitasi kultur
egosentris dan narsistis yang dianggapnya telah mengakat kuat dalam tradisi filsafat
Barat semenjak Parmenides hingga Heidegger. Bagi Lèvinas, perbincangan filsafat
Barat tidak lebih sebatas diskursus egologi yang cenderung reduksionis. Lèvinas
berusaha menghadirkan suatu arus balik (reverse), yaitu dengan menjadikan
l’Autrui sebagai titik tolak setiap perbincangan filsafat. Etika Lèvinas yang
membasiskan pada pemahaman etika sebagai ‘proto philosophia,’ berada dalam
tradisi besar fenomenologi. Namun berbeda dengan fenomenologi Husserl yang
memperbincangkan ego transendental, maupun fenomenologi Heidegger yang
bergumul dalam ontologi fundamental dan berporos pada Dasein, fenomenologi
Lèvinas lebih menaruh perhatian penuh terhadap l’Autrui. Karena kekhasan inilah,
filsafat etika Lèvinas sering disebut juga sebagai ‘the fenomenology of the other’.

Kata Kunci:
Egologi - Yang-Lain/Liyan (l’Autrui) - ‘Wajah’ (le Visage) - Proksimitas
(Proximity) - Eksterioritas (Exteriority) - Tanggung Jawab Etis

I. Pendahuluan

Sekukuh apapun ego mengelak kehadiran Yang-Lain/Liyan (The Other),


perjumpaan merupakan sebuah kenisayaan manusiawi, suatu realitas terberi (given
reality) saat ada-dalam-dunia (being-in-the-world), bahkan jikapun perjumpaan itu
dengan dirinya sendiri di dalam lokus imajiner. Maka, sebuah pemahaman yang
teramat angkuh dan naïf jika manusia mengandaikan dirinya tengah melakukan
monolog di dunia. Meskipun pengandaian tersebut menjadi sebuah pemahaman yang
diyakini ataupun dikonstruksi melalui pelbagai proposisi filosofis, pengandaiannya
tidak lebih sebatas proyeksi ilusif ego manusia yang ditransendensi (ego transendental)

|1
sedemikian rupa, melampaui ketersituasian dan keniscayaan adanya pelbagai moment
perjumpaan dengan Liyan.

Dalam caraanya yang narsistik dan totaliter—baik dengan mendominasi


ataupun mengalienasi ego di luar dirinya—ego transendental selalu berusaha
menegaskan bahwa hanyalah dirinya yang mampu memberikan gambaran dunia paling
utuh dan paripurna. Ilusi ego transendental inilah yang sering menjebak banyak filsuf
pada bias-bias egologi ketika merenungkan dan memperbincangkan dunia.
Dampaknya, selalu terjadi semacam kecenderungan reduksionis, bahkan kekerasan
metafisikal terhadap keberadaan Liyan dalam setiap refleksi filosofis.

Jika melacak arus kesejarahannya, pusaran filsafat yang dikonstruksi oleh spirit
egosentrisme dan narsisme cogito—sebagaimana semakin terkukuhkan sejak era
filsafat modern melalui tokoh René Descartes, subjek (le soi/the Self) tengah
diposisikan sebagai pusat realitas. Melalui diktum ikonik cogito ergo sum (aku berfikir,
maka aku ada), Descartes menjadikan ego cogito (rasio) sebagai satu-satunya fakultas
mental manusia yang bisa memberikan kepastian objektif. Ego cogito diandaikan
mampu menggambarkannya realitas dalam sebuah kepastian tunggal (singular
certainly) yang paripurna.2

Egosentrisme dan Narsisme diri semacam ini berdampak pada semakin


terabaikannya perbincangan ego Liyan di luar ego cogito, karena hanya dianggap
sebatas perpanjangan dari eksistensi diri, atau bahkan objek asing yang bisa
dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan dirinya. Maka dengan mereduksi
Liyan (the Other/l’Autrui) ke dalam ego cogito, filsafat tengah difungsikan sebagai
logos manusia untuk melakukan tindakan totalisasi. Arus filsafat yang bergerak ke arah
pengukuhan diri (Self-referential) telah menjadikan filsafat kehilangan visi apapun
terhadap Liyan. Tidak sedikit filsuf yang berusaha merehabilitasi keangkuhan
egosentris dan narsistis dalam setiap perbincangan filsafat yang lekat-mengakar hingga
era modern. Dalam hal ini, Emmanuel Lèvinas merupakan satu dari sekian filsuf yang
berusaha merehabilitasi kultur egosentris dalam tradisi filsafat Barat.

|2
Lèvinas merupakan salah satu filsuf yang turut terlibat dalam upaya rehabilitasi
kultur egosentris dalam filsafat Barat. Ia menganggap bahwa tradisi filsafat Barat
semenjak Parmenides hingga Heidegger tidak lebih dari sekedar diskursus egologi.3
Untuk merehabilitasi wacana filsafat Barat yang cenderung berpusat pada ego cogito,
Lèvinas justru berusaha menghadirkan suatu arus balik (reverse), yaitu dengan
menjadikan l’Autrui sebagai titik tolak setiap perbincangan filsafat.

II. Biografi dan Oeuvre Emmanuel Lèvinas (1906-1995)4

Seolah tidak ada ungkapan apapun yang mampu menggambarkan latar


kehidupan Lèvinas secara jernih, selain horror kehidupan yang sarat tragedi
kemanusiaan. Sebagai seorang keturunan Yahudi, Lèvinas menjadi saksi mata
kekejaman rezim Nazi. Terusir dari tanah kelahiran, hidup dari penjara ke penjara,
saksi pembantaian keluarga, kamp konsentrasi Auschwiz, serta pelbagai kisah tragis
lainnya; sebuah ironi hidup dalam bentuknya yang paling gelap dan absurd. Lebih dari
itu, horror Nazi yang disaksikan Lèvinas turut melibatkan diskursus filsafat di ruang
pewacanaannya yang melahirkan sebuah kekecewaan, namun juga inspirasi tersendiri
bagi permenungan-permenungan filosofisnya.

Levinas terlahir di Kovno (Kunas), Lithuania, pada 12 Desember 1906. Ia


merupakan anak tertua dari tiga bersaudara: Boris (1909) dan Aminadab (1913),
keduanya mati dibunuh oleh rezim Nazi. Lèvinas terlahir dari keturunan terpandang
Yahudi Kovno. Latar belakang ini sangatlah berpengaruh pada visi-visi filosofisnya
yang sarat bias-bias doktrin Yahudi. Sejak muda, Lèvinas banyak bersentuhan dengan
karya-karya penulis besar Rusia, seperti Lermontov, Gogol, Turgenev, Tolstoy,
Dostoevsky and Pushkin. Selain itu, pengaruh Shakespear juga sangat kental dalam
pelbagai oeuvre-nya. Melalui penulis-penulis tersebut, Lèvinas mulai berjumpa dengan
wacana-wacana filsafat.

|3
Pada tahun 1915-17, ketika meletusnya Perang Dunia I, yaitu saat Jerman
berhasil menduduki Kovno pada September 1915, keluarga Lèvinas mengungsi ke
Kharkov, Ukraina, setelah sebelumnya ditolak masuk kota Kiev. Lèvinas sendiri
merupakan bagian dari sedikit dari keturunan Yahudi yang diterima mengikuti
Gymnasium (sekolah) bagi orang-orang Rusia. Keluarga Lèvinas menjadui saksi hidup
pergolakan revolusi pada Februari dan Oktober di tahun 1917.

Keluaga Lèvinas kembali dari pengungsiannya ke Lithuania pada tahun 1920.


Di sekitar tahun tersebut, ia mengikuti Gymnasium bagi orang-orang Yahudi di Kovno.
Kemudian pada tahun 1923 Lèvinas masuk di Universitas Strasbourg, Prancis, setelah
sebelumnya mempertimbangkan untuk belajar di Jerman. Pada mulanya Lèvinas
mengikuti kelas psikologi dan sosiologi, namun pada prosesnya ia segera mencurahkan
perhatian penuh pada filsafat, khususnya filsafat Bergson dan Husserl. Dalam
autobiografinya, ia menyebutkan Charles Blondel, Henri Carteron, Maurice
Halbwachs, dan Maurice Pradines, merupakan empat profesor yang paling
mempengaruhi pemikiran-pemikirannya.

Pada tahun 1927, Lèvinas menerima Lisence di bidang filsafat. Kemudian


berkat Gabrielle Pfeiffer, ia mulai bersentuhan dengan konten-konten filsafat Husserl,
bahkan menjadikan teori intuisinya sebagai topik disertasi. Sepanjang tahun 1928-29,
Lèvinas menghabiskan masa-masa akademisnya di Freiburg, Jerman, tempat ia
memberikan presentasi pada seminar terakhir Husserl, sekaligus menghadiri seminar
pertama Heidegger yang menjadi suksesor Husserl di Freiburg. Ia juga mengikuti
serangkaian kuliah Heidegger yang diambil dari bukunya, Einleitung in die
Philosophie [Introduction to Philosophy]. Masa-masa di Freiburg ini digunakan
Lèvinas untuk membaca secara intensif buku Being and Time karya Heidegger yang
dikenalkan oleh Jean Héring. Kesan mendalam terhadap filsafat Heidegger ini ia
kisahkan dalam sebuah wawancara, bahwa ‘I went to Freiburg because of Husserl, but
discovered Heidegger’ (Saya—Lèvinas—pergi ke Freiburg karena Husserl, tapi
menemukan Heidegger).

|4
Sekitar tahun 1929-30, Lèvinas kembali ke Strasbourg, menyelesaikan dan
mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul The Theory of Intuition in
Husserl’s Phenomenology. Atas karyanya itu, ia menerima penghargaan dari The
Institute of Philosophy pada 4 April 1930, kemudian diterbitkan pada akhir tahun
tersebut oleh Vrin Publisher di Paris. Karya inilah yang memperkenalkan Jean-Paul
Sartre terhadap tradisi fenomenologi. Pada tahun 1930, Lèvinas menjadi penduduk
resmi Prancis, dan menyelesaikan wajib militernya di Paris dan mengajar di Alliance
Israèlite Universelle di Paris. Ia menikah dengan Raïsa Levi, perempuan yang ia kenal
sejak masa-masa sekolah di Kovno.

Pada Juni 1940, Lèvinas dijadikan tawanan perang bersama tentara Prancis
lainnya yang meletus di Rennes. Ia ditahan selama beberapa bulan di penjara
Frontstalag. Lèvinas kemudian dipinahkan ke sebuah kamp Nazi di Fallinpostel, dekat
Magdeburg-Jerman Utara. Mengingat Lèvinas memiliki kedudukan cukup tinggi
dalam tentara Prancis, ia tidak dikirim ke kamp konsentrasi, tapi dijadikan tahanan
militer untuk dipekerjakan secara paksa di hutan.

Tahun ini merupakan peristiwa paling tragis dalam sejarah hidup Lèvinas,
bahkan ia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di tanah Jerman lagi. Banyak dari
keluarganya dibunuh rezim Nazi. Bahkan dikisahkan bahwa orang tua dan saudaranya
ditembak di dekat Kovno. Nama-nama keluarga yang mati oleh sebab kekejaman Nazi
dikenang Lèvinas dengan mencatumkannya dalam buku Otherwise than Being or
Beyond Essence, sebuah karya yang didedikasikan untuk orang-orang Yahudi.

Lèvinas pulang ke Prancis pada tahun 1945 dan berkumpul kembali dengan istri
dan anaknya, Raïssa dan Simone Lèvinas. Atas intervensi Renè Cassin, Lèvinas
menjadi direktur Ècole Normale Israèlite Orientale (ENIO). Spirit ENIO sendiri
dikembangkan berdasarkan visi Yudaisme; militansi intelektual, berlandaskan pada
kajian-kajian teks, rasionalistik, anti-mystical, humanis, dan universalis. Kemudian
pada tahun 1946, Lèvinas diminta oleh Jean Wahl, profesor filsafat di Sorbonne
sekaligus sahabatnya, untuk memberikan empat sesi kuliah di Collège Philosophique.

|5
Rangkaian kuliah ini sendiri mengungkapkan pelbagai ide inti dari karya-karya
Lèvinas, mengukuhkan sentralitas l’Autrui dalam konstruksi filsafatnya, sekaligus
menegaskan bahwa waktu merupakan penentu paling primordial dari relasi antara diri
dan Liyan.

Pada tahun 1964 Lèvinas diangkat menjadi guru besar filsafat di Universitas
Poitiers. Di antara mahasiswa-mahasiswanya adalah Mikel Dufrenne, Roger Garaudy,
Jacques D’Hondt, dan Jeanne Delhomme. Pada tahun ini, esai Lèvinas yang berjudul
Meaning and Sense diterbitkan Revue de Mètaphysique et de Morale. Esai ini penanda
awal akan terjadinya sebuah peralihan visi filosofis Lèvinas dari gagasan-gagasannya
dalam buku Totality and Infinity (1961), kepada karya setelahnya, Otherwise than
Being or Beyond Essence (1973).

Di tahun 1967, Lèvinas diangkat menjadi guru besar filsafat di sebuah


universitas yang baru didirikan, Universitas Paris-Nanterre. Di bidang filsafat, di antara
mahasiswa-mahasiswanya adalah Dufrenne, Paul Ricœur and Jean-François Lyotard.
Sedangkan di bidang sosiologi adalah Alain Touraine, Henri Lefebvre, dan Jean
Baudrillard. Pada tahun 1973, ia diangkat menjadi guru besar filsafat di Universitas
Sorbonne (Paris IV) dan menjadi profesor kehormatan setelah pensiun pada tahun
1980. Hingga akhirnya, malam 24-5 Desember 1995, Lèvinas menghembuskan nafas
terakhir di Paris. Pada 28 Desember, orasi pada prosesi pemakaman Lèvinas, Adieu,
disampaikan oleh Jacques Derrida.

Latar belakang tragis yang terpotret dalam beberapa fragmen sejarah hidup
Lèvinas turut mempengaruhi sikap politisnya yang bersumpah untuk tidak lagi
menginjakkan kakinya di tanah Jerman. Lain pada itu, pengaruhnya juga tercecap
dalam visi filosofisnya yang berusaha meneriakan ‘permenungan lain’, sebuah
permenungan yang terlahir dari keprihatinan etis. Dengan memaknai perjumpaan
antara aku dan Liyan sebagai peristiwa/moment etis, Lèvinas mengembangkan sebuah
wacana filosofis yang bergerak dari luar ego diri, dari Liyan. Bertolak dari keprihatian
terhadap Liyan yang cenderung terabaikan bahkan tersingkirkan dalam perbincangan

|6
filsafat Barat, seluruh filsafat Lèvinas merepresentasikan makna terdalam dari etika,
yaitu etika sebagai filsafat pertama (proto philosophia).

III. Lèvinas dan Perayaan atas Liyan (l’Autrui)

Pemikiran Emmanuel Lèvinas di kancah kebudayaan filsafat kontemporer


cukuplah unik, enigmatik, bahkan—meminjam ungkapan Derrida—‘menggetarkan’
(tremble).5 Dalam sebuah obituari berjudul Adieu to Emmanuel Lèvinas yang
disampaikan Derrida saat moment pemakaman Lèvinas di Pantin pada Desember 1995,
digambarkan bahwa ‘the reverberations of his thought will have changed the course of
philosophical reflection in our time, and of our reflection on philosophy’.6 Sedemikian
menggetarkannya gaung pemikiran Lèvinas, Derrida menegaskan bahwa akan terjadi
perubahan arus mendasar pada setiap refleksi filosofis, begitupun refleksi manusia atas
filsafat. Perubahan ini ditandai dengan menjadikan etika sebagai filsafat pertama (ethic
as first philosophy/ethical metaphysics) dalam filsafat Lèvinas.

Pemaknaan etika dalam pemikiran Lèvinas sangatlah berbeda dengan


kebanyakan filsuf lainnya. Etika Lèvinas tidak sedang memperbincangkan pelbagai
prinsip dasar ataupun aturan moral, namun lebih pada sebuah komitmen dan tuntutan
eksistensial (existential commitment or demmand) yang melampaui struktur teoritis
dari setiap konstruksi nilai keadilan atau kode etik yang terinstitusikan di ranah sosial.7
Dengan demikian, perjumpaan etis (ethical relationship) meniscayakan sebuah
perbincangan Etika yang melampaui etika itu sendiri (Ethic beyond ethic).

Dalam tilikan Franz Magnis-Suseno, etika Lèvinas lebih tepat disebut etika
fundamental, mengingat Lèvinas berupaya menunjukan bahwa manusia dalam segala
penghayatan dan sikap-sikapnya didorong oleh sebuah simpul etis, yaitu tanggung
jawab terhadap sesama. Tanggung jawab yang bisa disebut primordial tersebut
senantiasa dipikul manusia setiap kali mengalami perjumpaan dengan l’Autrui.8 Bagi

|7
Lèvinas, perjumpaan dengan l’Autrui dipahami sebagai peristiwa etis paling primordial
pada manusia.

Visi filosofis Lèvinas semacam ini banyak merujuk pada pemikiran banyak
filsuf, terutama Husserl dan Heidegger, baik dalam kerangka afirmatif maupun kritik.
Lèvinas memandang bahwa filsafat Husserl merupakan sebuah ‘patahan’ yang telah
merevolusi tradisi filsafat Barat melalui fenomenologi. Sedangkan filsafat Heidegger
berusaha menggali kemungkinan lain yang ‘terlupakan’ dalam tradisi fenomenologi
Husserl, kemudian mentransformasikannya ke dalam ontologi baru.

Posisi filsafat Lèvinas sendiri bisa diandaikan berada ‘di antara’ kedua tradisi
fenomenologi tersebut. Lèvinas berupaya mengembangkan, bahkan melampaui,
fenomenologi ontologis; memperbaharui metafisika secara radikal, dan merehabilitasi
‘Ada’ (existent, das Seinede, l’étant), dengan memahaminya sebagai ‘di sebrang esensi
atau lain dari Ada’ (beyond Being).9 Hal inilah yang menjadikan l’Autrui memainkan
peranan yang sangat penting dalam filsafat etika Lèvinas.

Filsafat etika Lèvinas berada dalam tradisi besar fenomenologi yang sedikit-
banyak terpengaruh oleh Husserl dan Heidegger. Namun berbeda dengan
fenomenologi Husserl yang memperbincangkan ego transendental, maupun
fenomenologi Heidegger yang bergumul dalam ontologi fundamental dan berporos
pada Dasein, fenomenologi Lèvinas lebih menaruh perhatian penuh terhadap l’Autrui.
Liyan tidak bisa direduksi menjadi sebatas alter ego—‘aku yang lain’, yaitu diri dalam
bentuk dan sifat yang berbeda. Karena kekhasan fenomenologi Lèvinas yang berporos
pada l’Autrui ini, Alphonso Lingis menyebutnya sebagai the fenomenology of the
Other.10

Filsafat etika Lèvinas menggambarkan sebentuk perayaan atas l’Autrui, bahkan


perayaan yang senantiasa dirayakan. Originalitas filsafatnya terlahir dari pembacaan
kritis terhadap fenomenologi Husserl juga perbincangan kritisnya atas ontologi
fundamental Heidegger. Filsafatnya menandai sebuah pergeseran mendasar dalam

|8
tradisi filsafat Barat, yaitu dari metafisika yang berporos pada ego cogito kepada
l’Autrui, kemudian dari ontologi Dasein menuju etika metafisis. Maka yang menjadi
signifikasi awal bukan manusia sebagai akal (logos), tapi moment perjumpaan dengan
l’Autrui yang termediasi oleh bahasa.

Pergeseran-pergeseran tersebut dapat ditilik melalui pelbagai konten wacana


etika yang diperbincangkan Lèvinas, yakni Liyan (l’Autrui), Wajah (le Visage), Yang-
Tak-Terhingga (Infinity), Proksimitas (Proximity), dan Eksterioritas (Exteriority),
kemudian ditopang oleh gagasannya terkait transendensi (transcendence), bahasa
(language), dan keadilan (justice). Dengan demikian, terdapat dua hal yang harus
diuraikan dalam perbincangan filsafat etika Lèvinas, yaitu fenomenologi dan etika.

IV. Pembalikan ke Arah Etika

Horror Nazi yang disaksikan dan dialami langsung oleh Lèvinas turut
melibatkan diskursus filsafat di ruang pewacanaannya. Hal ini sangat mempengaruhi
visi filosofisnya yang terlahir dari keprihatinan etis. Melalui visi etisnya, Lèvinas
menemukan celah menganga dalam tradisi filsafat Barat yang telah lama berpusat pada
ego cogito. Krisis yang terjadi dalam tradisi filsafat Barat tidak hanya berkaitan dengan
arogansi ego cogito dalam upaya pengukuhan the Self, namun juga diandaikan sebagai
fakultas mental yang mampu menguraikan muasal dan akhir dari sebuah kepastian
objektif paling utuh dan paripurna, beserta segala muatan makna yang terkandung di
dalamnya. Pada titik ini, kecacatan tradisi filsafat Barat terletak pada wataknya yang
egosentris, sehingga filsafat Barat tidak lebih sebatas cerminan egologi yang cenderung
reduksionis.

Menurut Peperzak, egologi merupakan aspek teoritis-filosofis yang berakar dari


kultur egosentrisme peradaban Barat. Dalam istilah lain, peradaban Barat dikonstruksi
oleh spirit ‘egonomy’, yaitu spirit objektifikasi, kesenangan materialistik, arogansi
untuk ‘menatap’, memanipulasi, merekayasa, bahkan mengeksploitasi segala sesuatu,

|9
sesuai dengan hasrat ego cogito-nya. Kultur egosentris semacam ini meniscayakan
sebuah gambaran kebebasan individu (the Self) yang diceraikan dari individu Liyan
(the Other).11

Saat l’Autrui teralienasi di ruang pewacanaan filsafat Barat, Lèvinas justru


mengalihkan perhatiannya pada Liyan. Lèvinas menginisiasi terjadinya arus balik
(reverse) filsafat Barat ke arah etika yang berporos pada l’Autrui. Kecenderungan
filsafat Lèvinas sendiri bergerak di ranah fenomenologi etis, sehingga pemikiran
etikanya lebih banyak membincang relasi etis antara Aku dan Liyan. Etika Lèvinas
dimaknai sebagai momen etis perjumpaan antara antara The I (ego) dan The Other.
Maka tidak seperti etika yang dipahami sebagai aturan-aturan dan prinsip-prinsip
teoritis yang dijadikan basis teori nilai, etika Lèvinas lebih sebagai komitmen
eksistensial yang melampaui struktur teoritis apapun. Etika Lèvinas merupakan akses
langsung terhadap eksterioritas Liyan. Sehingga etika dalam pengertian Lèvinasian
bukanlah etika-formal yang bersifat pedagogis, edukatif, dan instruksional.

Zygmunt Bauman mengelompokan filsafat etika Lèvinas ke dalam kelompok


tradisi Postmodernisme.12 Dijelaskannya, modernisme ditandai oleh ketidakmampuan
ego individu untuk mengatasi kehadiran Liyan beserta afeksi yang terbangkitkan saat
moment perjumpaan dengannya. Maka postmodernisme menandai sebuah pemalingan
dari ‘lorong gelap’ ego individu, kemudian mengalihkan penekanannya pada relasi
inter-subjektifitas yang menjadi pembatas bagi ‘individualisme monadologis’
(totalitasasi individu sebagai keseluruhan-dari-yang-ada). Inter-subjektifitas
mengandaikan suatu keterlibatan Liyan yang luruh dalam ego diri; dengan
mengizinkannya terlibat bersama diri sebagai ‘yang-dekat-dengan-tangan-dan-pikiran’
(close-to-hand-and-mind). Mengingat adanya visi etis atas Liyan dalam etika Lèvinas,
Marc-Alain Ouaknin mengistilahkan filsafatnya sebagai ‘humanisme de l’autre
homme’.13

Selain dipengaruhi oleh horor kehidupan yang mendorongnya untuk


memberikan keistimewaan tersendiri pada Liyan yang terlahir dari keprihatinan etis,

| 10
pemikiran Lèvinas terinspirasi oleh dua sumber utama, yaitu doktrin-doktrin Yahudi
dan tradisi filsafat Eropa, khususnya fenomenologi. Pemikirannya banyak merujuk
pada banyak filsuf, mulai dari Plato, Descartes, Barkley, Kant, Hegel, Nietzsche,
Bergson, Rosenzweig, Buber, Marcel, Sartre, Merleau-Ponty, Husserl, hingga
Heidegger.14 Namun demikian, Husserl dan Heidegger merupakan dua figur filsuf yang
senantiasa kental mewarnai karya-karyanya.

a. Bias Doktrin Yahudi dalam Filsafat Etika Lèvinas

Sebagai sosok yang terlahir dari keluarga Yahudi taat dan terpandang di Kovno,
kekhasan filsafat Lèvinas terletak pada inspirasi doktrin-doktrin Yahudi yang menjiwai
corak filsafat etikanya. Lèvinas sendiri hidup di zaman yang menyaksikan
pembaharuan semangat religius Yahudi—semacam renaissance Yahudi—dalam abad
ke-20, yang spiritnya ditingkatkan lagi ketika orang Yahudi terusir dari Eropa pada
tahun 1930-an, khususnya dari negara Jerman. Pengalaman keterdesakan eksistensial
orang-orang Yahudi mendorong mereka untuk menyuarakan pembebasan dan
memperoleh kembali identitas eksistensialnya; yaitu dengan mengambil jalan kembali
kepada sumber-sumber Yahudisme asli. Dua filsuf terpenting dalam gerakan tersebut
adalah Martin Buber dan Franz Rosenzweig. Keduanya turut mempengaruhi pemikiran
Lèvinas.15

Inspirasi atau bias Yahudisme ini terasa begitu kental mewarnai konsep-konsep
etika Lèvinas, seperti individu, alteritas, infinitas, transendensi, dan pelbagai wacana
lainnya. Salah satu inspirasi Yahudisme terpotret pada pemahaman Lèvinas tentang
Tuhan. Lèvinas menyatakan bahwa ‘intimacy with God is primarily and basically
obedience to His commandments; not knowledge about God’s nature, thoughts, or
deeds.16 Lèvinas tidak memahami Tuhan sebagai sebuah pengetahuan teologis,
permenungan filosofis, ataupun perbincangan atas perbuatan-perbuatan-Nya, namun
lebih sebagai totalitas kepatuhan terhadap segala perintah-Nya.

| 11
Sebagai sebuah totalitas kepatuhan, agama atau relasi manusia dengan Tuhan
dipahami sebagai perjumpaan/momen etis (ethical relationship), bukan permenungan
filosofis. Sejauh apapun manusia memikirkan hakikat Nya, Tuhan—bagi Lèvinas—
senantiasa Ada dalam selubung kemisteriusan-Nya, tetap dalam totalitas ke-Liyan-an-
Nya (the-truly-Other), dalam ke-tak-terhingga-an-Nya (infinitude). Tak ayal,
perjumpaan dengan Liyan dipahami Lèvinas sebagai relasi asimetris (asymmetrical
relationship) oleh sebab ketidakmungkinan penggambaran Liyan secara paripurna.

Perjumpaan etis dengan Tuhan semacam ini, bagi Lèvinas, persis sebagaimana
perjumpaan seseorang dengan Liyan. Sehingga keintiman religiusitas sama artinya
dengan keterbukaan diri untuk menerima orang asing (l’Etranger), memakaikan
busana bagi yang telanjang, dan melindungi yatim-piatu.17 Perjumpaan dengan Liyan
inilah yang menyibak sisi kemanusiaan ego untuk memberikan respons etis terhadap
Liyan, turut bertanggung jawab terhadap hidup dan nasibnya, melampaui pelbagai
relasi formal maupun kultural apapun. Hal ini juga turut menginspirasi Lèvinas dalam
memahami infinitas Liyan; sebagai yang tak mungkin direduksi oleh ego cogito.

b. Kritik atas Fenomenologi Husserl dan Ontologi Heidegger

Lèvinas merupakan filsuf pertama yang memperkenalkan tradisi fenomenologi


ke Prancis berkat disertasinya, The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology
(1930) dan esainya, Martin Heidegger and Ontology (1932). Kedua tulisan tersebut
memperlihatkan perhatian kritis Lèvinas terhadap fenomenologi sejak awal-awal
permenungan filosofisnya.

Secara umum, fenomenologi Husserl berkutat pada persoalan kesadaran


(consciousness) dan intensionalitas (intentionality). Husserl berusaha menunjukan
sebuah dunia yang dihayati (lebenswelt) oleh kesadaran, bukan dunia yang dipikirkan
oleh ego cogito. Ia meradikalisasi filsafat dengan menyelidiki fondasi awal dari semua
bentuk konstruksi teoritis yang telah menimbun dunia yang dihayati tersebut. Melalui

| 12
diktum ikoniknya, ‘we must back to the things themselves’ (wir wollen auf die ‘Sachen
selbst’ zurückgehen),18 Husserl mengajak untuk bertindak seperti seorang pemula
dalam memahami dunia yang dihayati; yaitu dengan membiarkan realitas
menampakkan diri pada kesadaran sejauh realitas itu dialami. Ia menekankan bahwa
dunia yang dihayati sebagai pengalaman selalu lebih luas dan dalam dari semua konsep
atau asumsi apapun terhadapnya. Sehingga seseorang sepatutnya menunda asumsi-
asumsi terhadap realitas (epoche) guna memunculkan hakikat segala sesuatu sekaligus
menangkap makna terdalamnya.19

Namun bagi Lèvinas, Husserl masih memosisikan kesadaran atau ego


transenden sebagai sentral atau pusat dunia yang absolut, menggantikan ego cogito.
Dampaknya, konsep intensionalitas dalam fenomenologi Husserl masih mengandaikan
dualitas subjek-objek. Ia masih menganggap tindakan objektifikasi sebagai sebuah
basis paling mendasar untuk menemukan makna terdalam dari hidup. Dampaknya, ego
transendental beresiko terjebak pada solipisme yang menganggap bahwa satu-satunya
pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan atau kesadaran diri, sekaligus
menyangkal ego Liyan.20

Dalam kritik Lèvinas, fenomenologi transendental Husserl masih menganggap


pengetahuan sebagai proses objektifikasi atau representasi dari kesadaran subjek.21
Menggunakan ungkapan lain, Husserl masih terjebak dalam egologi, karena kehidupan
yang sungguh-sungguh dihidupi dalam sebuah penghayatan yang luruh (lebenswelt)
masih luput dari tilikan fenomenologi transendentalnya. Celah-celah yang luput dari
fenomenologi Husserl ini diradikalisasi oleh Heidegger, dengan membetotnya ke
dalam ontologi baru yang berporos pada Dasein (Ada-di-sana).

Upaya radikalisasi intensionalitas Husserl ini membawa Heidegger pada satu


pemahaman bahwa bukan kesadaran yang lebih utama dari pada Ada, melainkan
sebaliknya, Ada lebih utama dari kesadaran. Kesadaran hanya sebatas cara Ada
menampakan diri dalam ketersiatuasian dan kemewaktuannya, ketersingkapannya
dalam sejarah Ada. Maka tidak seperti fenomenologi transendental Husserl yang

| 13
bersifat epistemologis, fenomenologi Heidegger adalah suatu ontologi fundamental
karena menyangkut ‘kenyataan’ Dasein (Ada-di-sana), Ada-di-dalam-dunia.22

Walaupun Heidegger berhasil mendestruksi kecenderungan objektivisme dan


representasionalisme, namun pada akhirnya, menurut Lèvinas, Heidegger masih juga
‘tunduk’ pada tradisi filsafat Barat ketika mengukuhkan bahwa eksistensi paling
fundamental adalah sebuah pengertian/pemahaman (Verständnis) diri. Dalam arti, cara
Heidegger memahami eksistensi ataupun bagaimana memahami suatu pemahaman,
sama sekali tidak memberikan ruang bagi keterlibatan Liyan (l’Autrui).

Sejatinya para penafsir Heidegger berusaha mempertahankan ontologi


Heidegger, dengan mengalihkan wacananya pada Miteinandersein (being-with-other);
sebagai struktur paling esensial dari Dasein ketika berelasi dengan Liyan saat berada-
di-dunia. Namun kenyataannya Liyan dibatasi dan direduksi oleh sebuah pengertian
atau pemahaman (seinverständnis) menjadi sebatas objek belaka.23 Dalam ungkapan
prosais, Lèvinas menggugat konsep Dasein Heidegger dengan mengatakan bahwa
‘Dasein in Heidegger is Never Hungry. Food can be interpreted as an implement only
in a world of exploitation’ (Dasein dalam filsafat Heidegger tidak pernah lapar.
Makanan dapat ditafsirkan sebagai alat hanya dalam sebuah dunia eksploitasi).24

Tersingkirnya Liyan dalam perbincangan ontologi fundamental Heidegger ini


merupakan isu utama kritik Lèvinas terhadapnya. Dengan melampaui fenomenologi
transendental Husserl dan memperbaharui metafisika secara radikal, sekaligus
merehabilitasi ‘Ada’ (existent, das Seinede, l’étant) yang diisolasi Heidegger dari
keterlibatan Liyan, Lèvinas berusaha menghadirkan suatu arus balik (reverse) ke arah
etika. Dalam ungkapan lain, konsep intensionalitas diradikalisasi menjadi sebuah
tanggung jawab etis (ethical responsibility) terhadap Liyan yang muncul oleh sebuah
komitmen dan tuntutan eksistensial. Melalui dua buku utamanya yang berjudul Totality
and Infinity dan Otherwise than Being, or Beyond Essence, Lèvinas menjadikan etika
sebagai ‘prote philosophia’.

| 14
V. Melampaui Fenomenologi; Etika sebagai Prote Philosophia

Buku Totality and Infinity: an Essay on Exteriority merupakan salah satu karya
Lèvinas yang menggambarkan gugatan dan kritiknya terhadap kecenderungan totaliter
seluruh tradisi filsafat Barat yang berpijak pada ontologi, khususnya terkait ontologi
fundamental Heidegger, sekaligus berusaha untuk melampauinya. Bagi Lèvinas,
filsafat Barat cenderung mengejar suatu totalitas. Wacana yang dikembangkan di
dalamnya berusaha membangun sebuah totalitas yang berpangkal pada ego. Karena
kecenderungannya untuk selalu bertolak dari ‘Aku’ dan kembali kepada ‘Aku’,
Lèvinas menyebut cara berfikir semacam itu sebagai la philosophie du Mème (the
philosophyof the same). Gugatan ini sendiri sudah nampak sejak dari judul buku yang
menempatkan totalitas dan infinitas dalam sebuah oposisi biner. Terdapat tiga kata
kunci yang bisa ditangkap dari judul buku tersebut dan menjadi poros pemikirannya:
totalitas, infinitas, dan eksterioritas.

Diungkapkan Lèvinas, the way of the I against the Other of the world consist
in sojourning, in identifying oneself by existing here at home with oneself. Dalam arti,
cara ego the I saat melawan dan menundukan the Other digambarkan seperti proses
identifikasi diri sebagaimana ia menghuni sebuah rumah untuk dirinya sendiri, dalam
eksklusifitasnya. Terjadi semacam proses transmutasi Liyan menjadi the Same (Yang-
Sama), mereduksinya agar sesuai dengan gambaran ego, bahkan menyingkirkan apa
saja yang bersifat asing bagi diri karena dianggap akan mengganggu proses identifikasi
tersebut. Oleh Lèvinas, filsafat yang ditandai oleh totalitas disebut juga dengan
ontologi yang baginya tidak lebih sebatas pengukuhan-diri (self-perpetuation) dengan
cara mengorbankan Liyan.25

Totalitas yang mengakar kuat dalam tradisi filsafat Barat itu, melalui visi etis
Lèvinas, seketika tercabik oleh kehadiran ‘yang Tak Berhingga’ (infinity). Yang Tak
Berhingga adalah l’Autrui; orang lain dalam ke-Liyan-annya. Sehingga totalitas yang

| 15
disusun sedemikian rupa oleh ego, seketika tercabik-cabik berantakan saat berjumpa
dengan l’Autrui, dengan ‘Wajah’ Liyan. Infinitas dan ‘Wajah’ inilah yang menjadikan
Liyan senantiasa tetap dalam eksterioritasnya yang misterius, dalam totalitas ke-Liyan-
annya yang tidak akan pernah benar-benar dipahami.26

Dalam pemikiran Lèvinas, infinitas mengandung arti bahwa subjektivitas pada


dasarnya bersifat etis. Sejak infinitas dipahami sebagai—Lèvinas menggunakan bahasa
keagamaan—sebuah ‘pewahyuan’ atau Epifani yang terpancar dari ‘Wajah’ Liyan,
maka intensi kesadaran (consciousness) bukanlah sesuatu yang paling pertama dan
primordial dalam merepresentasikan suatu eksistensi ke hadapan diri (the Self). Yang
paling primordial selalu merupakan peristiwa moral, yaitu moment pembukaan ego
diri, Aku yang keluar dari diriku sendiri, seraya menyambut kehadiran Liyan dalam ke-
Tak-Berhingga-an-nya.

Dengan berpaling kepada infinitas Liyan, kemudian memulai setiap


perbincangan dari Liyan, Lèvinas berusaha untuk menegaskan keterbatasan
fenomenologi dengan mengurainya dari dalam fenomenologi itu sendiri. Lèvinas
mengembangkan satu tilikan fenomenologis yang melampaui fenomenologi (beyond
phenomenology) itu sendiri. Sehingga Liyan ditransendensikan sedemikian rupa
sebagai Liyan dalam eksterioritasnya.27 Dalam ungkapan Lèvinas, The Other remains
infinitely transcendent, infinitely foreign.28 Maka yang menjadi pertanyaannya,
mengapa harus bermula dari Liyan? Mengapa Liyan menjadi sedemikian penting
dalam filsafat etika Lèvinas?

a. ‘Wajah’ (le Visage); Moment Perjumpaan Etis dengan Liyan


(l’Autre/Autrui)29

Pengalaman munculnya Liyan yang menyingkapkan diri melalui ‘Wajah’


adalah situasi kunci seluruh uraian Lèvinas terkait etika. Peristiwa kemunculan Liyan
menandai sebuah perjumpaan dan ketersingkapan Liyan di hadapan diri—sebagai yang

| 16
betul-betul lain dari pada diri, sebuah alteritas. Perjumpaan dengan ‘Wajah’ ini
merupakan peristiwa etis yang menuntut sebuah tanggung jawab etis oleh sebab
ketidakmungkinannya untuk direduksi ke dalam sebuah pemahaman atau pengertian
tertentu. The face is present in its refusal to be contained […] it cannot be
comprehended, that is, encompass.30 Begitulah Lèvinas menggambarkan ‘Wajah’,
sebagai yang hadir dalam penolakannya untuk direngkuh, dipahami, diartikan, bahkan
ditundukan. ‘Wajah’ adalah sebuah eksteriorias Ada, sebagai Liyan dalam ke-Liyan-
annya.

‘Wajah’ dalam terminologi Lèvinas sendiri bukan detail-detail fisik, namun


lebih sebagai moment infinitas; yaitu ke-Tak-Berhingga-an yang melampaui ide atau
konsepsi apapun tentang fisik wajah. Baginya, keberadaan manusia ini senantiasa
tersituasikan oleh cahaya infinitas; sebagai apa yang melampaui pemikiran dan terjadi
di luar batas pengertian dan pemahaman apapun. Infinitas merupakan kondisi paling
primordial dari setiap kebenaran objektif apapun, bahkan disebutkannya sebagai ‘more
objective than objectivity’.31 Dengan demikian, perjumpaan dengan ‘Wajah’ Liyan
tidak didasarkan pada ontologi. Etika, dalam titlikan Lèvinas, dipahami sebagai first
philosophy, dasar segenap filsafat.32

Pada sebuah wawancara dengan Lèvinas, Philippe Nemo mempertanyakan


alasan seringnya Lèvinas menyebutkan kata ‘Wajah’ (le visage) dalam buku Totality
and Infinity. Lèvinas menjelaskan bahwa perjumpaan atau relasi dengan Liyan yang
terjadi lewat sebuah pandangan yang diarahkan pada ‘Wajah’ merupakan sebuah
pengenalan atau persepsi. Diuraikan lebih lanjut, pertautan dengan Liyan saat
menjumpai ‘Wajah’ bisa saja didominasi oleh persepsi, akan tetapi apa yang khas
menandai ‘Wajah’ tidak dapat direduksi dengan cara pendekatan demikian. Karena
hal tersebut menimbulkan resiko tereduksinya Liyan ke dalam sebuah totalitas yang
dikonstruksi oleh ego diri. Wajah itu terbuka, terancam, seakan mengundang kita
untuk melakukan tindakan kekarasan. Serentak juga adalah ‘Wajah’ yang melarang
kita untuk membunuh. Maka yang mendasar bagi Lèvinas bahwa akses kepada

| 17
Wajah—untuk menghindari pelbagai tindak kekerasan ataupun pereduksian terhadap
Liyan—sejak semula bersifat etis.33

Perjumpaan dengan ‘Wajah’ menandai adanya suatu fenomenalitas dalam


relasinya dengan diri. Tapi tidak seperti fenomena dalam arti ketersingkapan realitas
sebagaimana tampil ke hadapan kesadaran, fenomena menurut Lèvinas adalah the
being that appears, but remains absent (Ada yang tersingkap, namun tetap
tersembunyi).34 Tak ayal, fenomenalitas ‘Wajah’ dalam tilikan Lèvinas menjadi
sedemikian ambigu dan enigmatik. ‘Wajah’ senantiasa tersingkap saat moment
perjumpaan, namun tetap tersembunyi dari diri dalam ke-Liyan-annya, mengelak untuk
diteorikan, dikonseptualisasikan, divisualisasikan, diobjekkan—diuniversalkan.
Dalam ‘Wajah’, Liyan menyingkapkan diri sebagai yang benar-benar lain dari diri (the
truly Otherness), sebuah alteritas.

Ambiguitas ini sendiri mengacu pada pengertian ‘Wajah’ dalam filsafat


Lèvinas bukanlah konten fisik (hidung, mulut, mata, dan lainnya). Lèvinas
memperbincangkan ‘Wajah’ sebagai sebuah sensibilitas atau sensasi etis, bukan
sebagai sebuah objek atau segala deskripsi dan kategori ontologis apapun tentangnya.
Keanekaan ciri-ciri fisik dilampaui, ditransendensi, bahkan didobrak oleh pernyataan
diri Liyan. Dalam arti lain, ‘Wajah’ adalah sebuah ‘pewahyuan’, suatu Epifani
(Epiphania) yang mengukuhkan ke-Tak-Berhingga-an ‘Wajah’ (infinity of the Face).35

The Epiphany of The Face is ethical.36 Demikianlah penegasan Lèvinas untuk


mengukuhkan bahwa ketersingkapan ‘Wajah’ di hadapan diri merupakan moment
perjumpaan etis dengan Liyan, bukan permenungan filosofis ataupun tuntutan
ontologis. Dalam wawancaranya dengan Philiphe Nemo, Lèvinas menjelaskan bahwa
‘Wajah’—dalam ketelanjangan dan kepolosannya—adalah makna tanpa konteks.
Dalam arti, ‘Wajah’ bukanlah sebuah identitas dalam konteks tertentu, seperti profesor
di Universitas, ataupun identitas lainnya. ‘Wajah’ adalah makna pada dirinya sendiri
[…] ‘Wajah’ tidak bisa menjadi suatu isi (konten/tema) yang dapat ditangkap dengan
pemikiran; ‘Wajah’ tidak bisa dirangkum, ia mengantar anda ke sebrang […] Atau

| 18
sekurang-kurangnya dapat dikatakan bahwa makna ‘Wajah’ terdiri dari perintah
‘engkau tidak boleh membunuh’.37

Meurut Lèvinas, hadangan ‘Wajah’ terhadap usaha pembunuhan tidak bersifat


fisik, melainkan etis (ethical resistance). Himbauan ‘you shall not commit murder’
merupakan ekspresi paling primordial dari ‘Wajah’—dalam ketelanjangan dan
ketidakberdayaannya (nudity and destitution)—yang muncul dari tuntutan etis,
mendahului dan melampaui setiap pertimbangan rasional, temasuk pertimbangan
moral. Pemahaman atas ketidakberdayaan ‘Wajah’ ini menegaskan suatu proksimitas
Liyan; sebagai ‘yang-dekat-dengan-tangan-dan-pikiran’ (close-to-hand-and-mind),
mendahului segala perasaan atau pengalaman yang berasal dari dan kembali pada
ego.38

Namun demikian, himbauan ‘Wajah’ untuk tidak membunuh, tidak serta


membuat pembunuhan menjadi mustahil. Karena pada dasarnya tuntutan etis bukanlah
suatu keniscayaan ontologis. Artinya, sebagai kenyataan ontologis, orang dapat saja
membunuh Ada.39 Tuntutan etis sendiri lebih sebagai tanggung jawab diri atas Liyan
yang terbingkai dalam suatu proksimitas; sebuah permulaan paling primordial yang
melampaui ontologi itu sendiri.

b. Tanggung Jawab Etis (Ethical Responsibility) atas ‘Wajah’

Perjumpaan diri dengan Liyan merupakan sebuah relasi asimetris


(asymmetrical relationship) oleh sebab ketidakmungkinannya untuk direngkuh
ataupun ditundukan. Sehingga Liyan adalah yang benar-benar asing bagi diri. Relasi
asimetris ini merupakan sebuah keniscayaan relasional yang didorong oleh infinitas
Liyan di hadapan diri, oleh Liyan dalam eksterioritasnya. Being is exteriority (Ada
adalah sebuah eksterioritas), demikianlah Lèvinas menggambarkan relasi tersebut.
Atau dalam ungkapan metaforis, relasi dengan Liyan mengandaikan suatu ‘kurva inter-
subjektifitas’ (the curvature of inter-subjective space). Artinya, untuk memahami

| 19
adanya sebuah relasi etis, Liyan—dalam eksterioritasnya—harus ditempatkan pada
posisi lebih tinggi (di atas) dari diri.40

Namun demikian, tesis Lèvinas yang menegaskan bahwa Being is exteriority


mendapat kritikan tajam dari Derrida. Ia menungkapkan bahwa sejak awal proyek
Lèvinas menjadi rusak karena upayanya mengelak dari kekerasan ontologis ternyata
diungkapkan dalam kategori-kategori ontologis Heideggerian. Untuk itu, buku
Otherwise Than Being, or Beyond Essence ditulis Lèvinas untuk memulihkan gagasan
etikanya dari perangkap kategori-kategori ontologis Heidegerrian. Buku tersebut
menandai adanya ‘kelokan-kelokan’ dalam pemikiran Lèvinas ke arah dekonstruksi
(deconstructive turn).41

Dalam Otherwise Than Being, or Beyond Essence, Lèvinas secara dramatis


mengupas secara intens ketegangan asimetris antara Ada dan Liyan yang dimulai dari
pembedaan antara the Saying dan the Said (le dire et le dit). Jika the Said (Yang-
Dikatakan) lebih bersifat ontologis, maka the Saying (Yang-Berkata) bersifat etis.
Dalam pemaknaan lain, the Said mengandaikan suatu residu linguistik, suatu tematisasi
atau objektivikasi dari Ada yang terjadi melalui bahasa. Sedangkan the Saying justru
berusaha mengelak dari setiap tindakan pemahaman, menyela dan menunda kategori-
kategori ontologis apapun. The Saying adalah sesuatu yang berada di sebrang (beyond)
dan melampaui tematisasi the Said atas objek tertentu.42

Pembedaan antara the Saying dan the Said ini sangat berpengaruh pada
pemaknaan relasi etika Lèvinas, mengingat etika tidak lagi ditempatkan dalam level
kesadaran subjek, melainkan sensibilitasnya; semacam perasaan yang mendorong
timbulnya komitmen eksistensial yang melampaui pengertian teoritis apapun.
Sehingga etika lebih merupakan tanggung jawab paling primordial pada manusia yang
mendahului segala pertimbangan nilai, konsepsi, atau relasi formal apapun.

Menurut Lèvinas, the Saying merupakan ‘the proximity of one to the other, the
commitment of an approach, the one for the other, the very signifyingness of

| 20
signification’.43 Proksimitas adalah moment perjumpaan Aku dengan Liyan yang
menandai sebuah relasi yang melampaui kategorisasi tanda. Proksimitas mengacu pada
suatu permulaan atau komitmen paling primordial yang ditandai oleh keterbukaan dan
pasivitas total atas datangnya Liyan kepada diri; suatu penerimaan luruh atas ke-Liyan-
annya, bukan penerimaan yang bersifat resiprokal. Sehingga proksimitas Liyan bukan
dari aku kepada Aku (from the one for the self), melainkan dari aku kepada Liyan (from
the oneself for Other). Proksimitas mengandaikan proses substitusi tanpa akhir (endless
process of substitution),44 Substitusi inilah (penempatan diri pada tempat Liyan,
menjadi sandranya) yang melahirkan visi etis; berupa tanggung jawab moril atas nasib
dan masa depannya Liyan.

Dalam sebuah wawancara, Philippe Nemo mempertanyakan maksud Lèvinas


terkait tanggung jawab etis. Dalam hal ini, jika Husserl membicarakan tanggung jawab
etis sebagai tanggung jawab kebenaran; Heidegger membincangnya sebagai otentisitas,
maka Lèvinas menjelaskannya sebagai struktur hakiki, pertama, dan fundamental dari
subjektivitas. Menurut Lèvinss, etika bukan sekedar tambahan pada suatu basis
eksistensial yang sudah terdapat sebelumnya. Etika yang dimengerti sebagai tanggung
jawab merupakan tenunan dari subjektivitas itu sendiri. Lebih lanjut Lèvinas
menjelaskan bahwa tanggung jawab itu pada awal mula adalah sesuatu bagi-Orang-
Lain (pour autrui). Itu berarti bahwa saya bertanggung jawab atas tanggung jawabnya
itu sendiri.45

Tanggung jawab ialah apa yang secara eksklusif bertumpu pada saya dan
yang—secara manusiawi—tidak dapat saya tolak. Beban ini adalah martabat tertinggi
dari yang unik. Aku itu tidak dapat ditukar; saya adalah aku hanya sejauh saya
bertanggung jawab.46 Dari perbincangan ini, nampak bahwa Lèvinas berusaha
memberikan satu pendasaran filosofis bagi subjektifitas yang benar-benar lain dari
cogito Descartes, bagi subjektivitas sebagai seseorang-untuk-orang-lain. Melalui visi
etis yang berusaha dikembangkan dalam tradisi filsafat, Cogito ergo sum (Aku berfikir

| 21
maka Aku Ada) dari Descartes—sepatutnya—tergantikan oleh diktum respondeo ergo
sum (Aku bertanggung jawab, dengan demikian Aku Ada).47

VI. Kesimpulan

Dunia penuh ironi kejahatan, kebohongan, kepedihan, bahkan kematian. Dan


seseoang tidak bisa bersembunyi darinya. Yang harus dilakukan hanyalah
menghadapinya. Pertanyaannya, saat hal itu tiba, apa tindakan yang harus diambil?
Mungkin kehadiran manusia adalah sebuah ironi. Di balik keluguan dan kepolosannya,
tersembunyi kebuasan-kebuasan ego yang terpotret sejarah. Peperangan, kemiskinan,
kelaparan, kerusakan alam, dan pelbagai ironi-ironi lainnya. Hal ini dipicu oleh
tersingkirnya Liyan dari setiap perbincangan dan pewacanaannya. Maka melalui
filsafat alteritas Lèvinas, Liyan—baik itu sebagai Autre maupun Autrui—menemukan
kehadirannya, dalam infinitasnya, dalam eksterioritasnya, dalam ke-Liyan-annya yang
terpancar lewat ‘Wajah’. Melalui visi etisnya, ditanamkan sebuah kerendahan ego diri
di hadapan ‘Wajah’ Liyan. Di hadapannya, terjalin sebuah relasi yang dipertautkan oleh
sebuah komitmen eksistensial manusia paling primordial, tanggung jawab etis.

| 22
Daftar Pustaka

Adian, Donny Gahral. Pengantar Fenomenologi, Yogyakarta: Penerbit Koeskoesan,


2010.
Bauman, Zygmunt. Postmodern Ethics, cet. ke-4, UK: Blackwell Publishers, 1996.
Bertens, K. Fenomenologi Eksistensial, cet. ke-2, Jakarta: Universitas Atma Jaya,
2006.
_________ Sejarah Filsafat Kontemporer: Prancis, Gramedia: Jakarta, 2014.
Critchley, Simon. “Emmanuel Lèvinas: A Disparate Inventory”, dalam Simmon
Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The Cambridge Companion to
Lèvinas, United Kingdom: Cambridge University Press, 2004.
______________, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi
(ed.), The Cambridge Companion to Lèvinas, United Kingdom: Cambridge
University Press, 2004.
Derrida, Jacques. Adieu to Emmanuel Lèvinas, terj. Pascale-Anne Brault dan Michael
Naas, California: Stanford University Press, 1999.
______________ Writing and Difference, terj. Alan Bass, London: Routledge Classic,
2002.
Lèvinas, Emmanuel. Otherwise Than Being, or Beyond Essence, terj. Alphonso Lingis,
Pittsburgh: Duquense University Press, 1998.
________________ Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj. Alphonso
Lingis, Netherlands: Martinus Nijhoff, 1979.
Hand, Sèan. Emanuel Lèvinas, cet. ke-1, London: Routledge, 2009.
Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: KPG, 2003.
Husserl, Edmund. The Shorter logical Investigation, terj. J. N. Findlay, cet. ke-1,
London: Routledge, 2001.
Lyotard, Jean-François. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj.
Geoff Bennington dan Brian Massumi, University of Minnesota Press:
Minneapolis, 1984.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Abad Ke-20, cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Marcus, Paul. Being for The Other: Emmanuel Lèvinas, Ethical Living and
Psychoanalysis, Wisconsin: Marquette University Press, 2008.
Peperzak, Adriaan Theodoor. Beyond: The Philosophy of Emmanuel Lèvinas, cet. ke-
2, Illinois: Northweatern University Press, 1999.

| 23
1
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. E-mail:
fahmy.farid@yahoo.co.id
2
Paul Marcus, Being for The Other: Emmanuel Lèvinas, Ethical Living and Psychoanalysis
(Wisconsin: Marquette University Press, 2008), hlm. 185
3
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond: The Philosophy of Emmanuel Lèvinas, cet. II (Illinois:
Northweatern University Press, 1999), hlm. 8
4
Sejarah hidup Lèvinas ini disarikan dari: Simon Critchley, “Emmanuel Lèvinas: A Disparate
Inventory”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The Cambridge Companion to
Lèvinas (United Kingdom: Cambridge University Press, 2004), hlm. xv-xxx
5
Jacques Derrida, Writing and Difference, terj. Alan Bass (London: Routledge Classic, 2002),
hlm. 101
6
Jacques Derrida, Adieu to Emmanuel Lèvinas, terj. Pascale-Anne Brault dan Michael Naas
(California: Stanford University Press, 1999), hlm. 4
7
Ada dua jenis filsuf moral: legislator dan perfeksionis. Legislator, sebagaimana John Rawls
dan Jürgen Habermas, lebih menekankan pada upaya memerinci aturan-aturan dan prinsip-prinsip
teoritis yang akan dijadikan basis teori keadilan. Sedangkan perfeksionis, seperti Emmanuel Lèvinas dan
Cavell, lebih memahami etika sebagai komitmen eksistensial yang melampaui struktur teoritis apapun.
Selengkapnya lihat: Simon Critchley, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi
(ed.), The Cambridge Companion to Lèvinas, hlm. 27-28
8
Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Ke-20, cet. V (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 86
9
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 38
10
Alphonso Lingis, “Introduction”, dalam Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay
on Exteriority, terj. Alphonso Lingis (Netherlands: Martinus Nijhoff, 1979), hlm. 13
11
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 8-9
12
Meminjam hasil reportasi Lyotard, modernisme merupakan istilah yang merepresentasikan
watak pengetahuan ilmiah (science) yang sering melegitimasikan dirinya sendiri melalui meta-wacana
(meta-discourse). Legitimasi tersebut menyandarkan diri pada suatu narasi besar (grand naratives),
seperti dialektika roh (dialectic of spirit), hermeneutika-makna (hermeneutics of meaning), kemerdekaan
subjek rasional atau subjek kerja (emancipation of rational or working subject), ataupun
pemenuhan/penciptaan kesejahteraan (creation of wealth). Postmodern sendiri merupakan sebuah
kondisi yang tengah menaruh mosi tidak percaya terhadap segala bentuk metanarasi (incredulity toward
metanarratives) dan segala bentuk pemikiran yang memiliki kecenderungan untuk mentotalisasi segala
sesuatu. Prinsip yang dianut postmodernisme tidak lagi sebagai homologi para ahli (expert’s homology),
melainkan paralogi para penemu/creator (inventor’s paralogy). Selengkapnya lihat: Jean-François
Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian
Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), hlm. xxiii-xxv
13
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, cet. IV (UK: Blackwell Publishers, 1996), hlm. 84-
85
14
Sejarah filsafat Perancis pada abad ke-20 dapat digambarkan sebagai suksesi tren dan
gerakan, dari neo-Kantianisme yang hegemonik dalam dekade awal abad ke-20, hingga Bergsonism
yang sangat berpengaruh sampai hingga tahun 1930-an, Hegelianisme Kojève di pada tahun 1930-an,
fenomenologi di tahun 1930 dan 1940-an, eksistensialisme pada periode pasca-perang, strukturalisme di
tahun 1950 dan 1960-an, post-strukturalisme di tahun 1960 dan 1970-an, dan kembali ke filsafat etika
dan politik pada tahun 1980-an. Lèvinas hadir di seluruh arus perkembangan filsafat Prancis ini,
mempengaruhi dan dipengaruhi dalam sejarah panjang tradisi filsafat Perancis. Selengkapnya lihat:
Simon Critchley, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The Cambridge
Companion to Lèvinas, hlm. 1
15
K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Prancis (Gramedia: Jakarta, 2014), hlm. 275-276
16
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 20
17
Ibid., hlm. 22-23

| 24
18
Edmund Husserl, The Shorter Logical Investigation, terj. J. N. Findlay, cet. I (London:
Routledge, 2001), hlm. xxviii dan 88
19
Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi (Yogyakarta: Penerbit Koeskoesan, 2010),
hlm. 26-27
20
Ibid., hlm. 43
21
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 42-43
22
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: KPG, 2003), hlm. 28-29
23
Adriaan Theodoor Peperzak, Beyond, hlm. 50-51
24
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 134
25
Ibid., hlm. 37 dan 43
26
K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Prancis, hlm. 279-280
27
Sèan Hand, Emanuel Lèvinas, cet. I (London: Routledge, 2009), hlm. 36-38
28
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 194
29
Lèvinas membuat perbedaan mendasar antara dua bentuk Otherness (Yang-Lain), yaitu Autre
dan Autrui. Istilah Autre mengacu pada sesuatu/benda Yang-Lain (non-human bening), seperti
komputer, jendela, atau pintu yang memiliki fungsinya masing-masing. Sedangkan istilah Aurtui
digunakan untuk menunjukan Liyan, yaitu orang lain (human being) sebagai memiliki relasi etis dengan
diri (the Self). Perbedaan antara Aute dengan Autrui ini menjadikan wacana etika Lèvinas
memungkinkan untuk diluaskan ke ranah makhluk non-manusia, seperti hewan dan lingkungan. Lihat:
Simon Critchley, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The Cambridge
Companion to Lèvinas, hlm. 16
30
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 194
31
Ibid., hlm 26
32
Sèan Hand, Emanuel Lèvinas, hlm. 36-38
33
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2006), hlm. 81
34
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 181
35
Ibid., h. 199. Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Ke-20, hlm. 89
36
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 199
37
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, hlm. 82
38
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 199-200
39
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, hlm. 83
40
Emmanuel Lèvinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, hlm. 290-291
41
Simon Critchley, “Introduction”, dalam Simmon Critchley dan Robert Bernasconi (ed.), The
Cambridge Companion to Lèvinas, hlm. 18
42
Ibid., hlm. 17-18
43
Emmanuel Lèvinas, Otherwise Than Being, or Beyond Essence, terj. Alphonso Lingis
(Pittsburgh: Duquense University Press, 1998), hlm. 5
44
Ibid., h. 85. Lihat juga: Sèan Hand, Emanuel Lèvinas, hlm. 55-56
45
K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, hlm. 88-89
46
Ibid., hlm. 92
47
K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer: Prancis, hlm. 286-287

| 25

Anda mungkin juga menyukai