Anda di halaman 1dari 22

SOSIOLOGI EKONOMI

KUMPULAN BIOGRAFI TOKOH

Goerge Caspar Homans


Lahir di Boston tahun 1910. Ia dibesarkan pada lingkungan keluarga yang kaya raya.
Ia juga seorang hartawan. Pada tahun 1932 Homans menerima gelar Sarjana Muda
dari Harvard University. Setelah memperoleh gelar ini Goerge C. Homans mengalami
depresi yang cukup berat karena ia meganggur teralu lama, tapi karena kondisi
keuangan yang baik ia tidak mengalami kebangkrutan.
Homans adalah seorang sosiolog. Ketertarikan Homans mengenai sosiologi sebagian
besar karena faktor kebetulan. Awal musim gugur tahun 1932, ketika Homans merasa
putus asa dan bosan karena lama menganggur, seorang ahli psikologi asal Harvard,
Prof. Lawrence J. Henderson mengadakan seminar tentang teori Pareto mengenai
struktural sosial masyarakat Perancis. Homans mengungkapkan ketertarikannya pada
teori Pareto untuk menerangkan mengapa teori sosiologi Amerika sangat konservatif
dan anti-Marxis. Makalah Homans tentang Pareto ini berhasil dijadikan buku An
Introductions to Pareto yang ditulisnya bersama Charles Curtis dan diterbitkan pada
Tahun 1934.
Karya Homans dalam sosiologi sebenarnya berawal pada tahun 1933, ketika
bergabung dengan Prof. Lawrence Henderson yang sedang meneliti ciri-ciri
psikologis dari pekerjaan Industri dan Elton Mayo (guru Homans), seorang ahli
psikologi yang meneliti tentang faktor manusia dalam industrialisasi. Kemudian pada
tahun 1934 sampai dengan 1939 Homans mengikuti Program Junior Fellow di
Harvard University. Dari program ini Homans mendapatkan banyak pengetahuan
sosiologi. Pada tahun 1939 ini pula ia bergabung dengan jurusan sosiologi tetapi
terputus oleh perang.
Homans masuk pada Angkatan Laut saat Perang Dunia II. Pada saat inilah ia
memikirkan masalah penting tentang sejumlah hasil studi “lapangan”atau konkret
tetang kelompok kecil baik yang asli maupun yang modern untuk dituangkan dalam
satu konsep umum yang lengkap dengan skemanya. Setelah selesai perang Homans
kembali ke Harvard dan bergabung dengan jurusan hubungan sosial. ia juga mulai
menulis buku berjudul The Human Group.
Dalam karyanya sendiri Homans mengumpulkan sejumlah besar data hasil observasi
yang empiris selama bertahun-tahun, tetapi baru pada tahun 1950-an ia menemukan
pendekatan teoritis yang memuaskan untuk menganalisis data “lapangannya” itu.
Perspektifnya juga dipengaruhi oleh B.F. Skinner, seorang psokolois. Berdasarkan
perspektif ini Homans membangun Teori Pertukaran.
Banyak ide dasar dalam karya Homans yang juga menyerang interpretasi Levi-
Strauss mengenai kebiasaan-kebiasaan perkawinan dalam masyarakat primitf. Hal ini
merupakan tema pokok dalam analisis lintas-budaya yang dikemukakan oleh
Homans. Tekanan Homans pada penjelasan institusi-institusi sosial ditingkat
psikologi individu merupakan pendketan dasarnya, Homans berpegang pada
keharusan menggunakan prinsip-prinsip spikologi individu untuk menjelaskan
perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Humans mengemukakan
bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati
dan diukur secara empirik. Keadaan-keadaan internal (perasaan dan sikap subyektif,
dan sebagainya) harus didefinisikan dalam istilah-istilah perilaku (Behavioral term)
untuk keperluan pengukuran empiris (Robert Lawang, M.Z, 1950: 38)
Satu ciri khas teori pertukaran yang menonjol adalah cost and reward. Dalam
berinteraksi manusia selalu mempertimbangkan cost (biaya atau pengorbanan)
dengan reward (penghargaan atau manfaat) yang diperoleh dari interaksi tersebut.
Jika cost tidak sesuai dengan reward-nya, maka salah satu pihak yang mengalami
disertasi seperti ini akan merasa sebal dan menghentikan interaksinya, sehingga
hubungan sosialnya akan mengalami kegagalan.

Peter Michael Blau


lahir 07 Februari 1918 di Wina, Austria. Blau adalah seorang sosiolog dan pemikir
yang berasal dari Austria. Ia bermigrasi ke Amerika Serikat tahun 1939 hingga di
tahun 1943 menjadi warga Amerika Serikat. Pada tahun 1942, Blau mndapat ijazah
sarjana muda di Universitas Elmhurst College di Elmhurst, Illinois, sebuah
universitas yang tidak terlalu terkenal. Pendidikannya terhenti sejenak karena terjadi
Perang dunia II, dan menjalani dinas militer di angkatan bersenjata Amerika Serikat
hingga mendapatkan medali Bronze Star. Setelah perang usai, Blau kembali ke
bangku kuliah dan menyelesaikan pendidikannya sampai tahun 1952 diraihnya gelar
doktor di Universitas Columbia. Blau diakui dalam bidang sosiologi karena
kontribusinya bagi studi tentang organisasi formal. Studi-studi empirisnya tentang
organisasi dan buku-buku teksnya tentang organisasi formal banyak dikutip dalam
anak bidang tersebut. Blau dikenal karena buku yang ditulis bersama dengan Otis
Dudley Duncan, yang berjudul The American Occupational Structure yang
memenangkan Sorokin Award, yang begitu prestisius dari Asosiasi Sosiologi
Amerika pada tahun 1958, karya tersebut merupakan kontribusi yang sangat penting
bagi stratifikasi sosial dalam sosiologi.
Pada tahun 1964, Blau kembali menerbitkan karyanya yang berjudul Exchange and
Power in Social Life adalah komponen utama teori pertukaran kontemporer. Secara
substansial intisari buku Blau mengambil teori pertukaran yang berskala kecil dan
mencoba menerapkan teori pertukaran skala kecil tersebut pada isu-isu skala besar.
Selain itu, Blau juga berada di garis depan teori structural selama menjabat presiden
Asosiasi Sosiologi Amerika pada tahun 1973-1974. Hingga pada menerbitkan
sejumlah buku dan artikel yang dirancang untuk menjelaskan dan memperluas teori
struktural seperti karyanya yang berjudul Cultural Contexts of Opportunities (1994)
dan edisi kedua Crosscutting Social Circle (1997) Sepanjang karirnya akhirnya Blau
wafat pada tanggal 12 Maret 2002.

Claude Lévi-Strauss (1908-2009)


Claude Levi-Strauss merupakan seorang filsuf strukturalis dan Antropolog sosial
berkebangsan Prancis kelahiran Belgia. Ia dilahirkan tepatnya pada 28 November
1908, di Brussles Belgia, tetapi kemudian Levi-Strauss dan kedua orang tuanya
pindah ke Versailles. Ayah Levi-Strauss bernama Raymond Levi Strauss dan ibunya
bernama Emmy Levy. Kedua orang tuanya adalah seniman sehingga saat ia belajar
membaca dan menulis di tangannya selalu terdapat kuas atau krayon. Semasa kecil
inilah ia belajar menjadi seorang antropolog yang senang memperhatikan benda-
benda kecil, batu, kerikil dan tanaman. Dari ketertarikan dirinya terhadap geologi
inilah yang kemudian mempengaruhi teori strukturalismenya. Levi-Strauss berdarah
Yahudi, ia pernah masuk ke Universitas Paris untuk mempelajari hukum dan pada
tahun berikutnya ia mengikuti persiapan untuk ujian Agregation de Philoshophie
bersama Marleau-Ponty dan Simone de Beauvoir. Sehingga Levi-Strauss berhasil
lulus dari Agregation de Philoshophie pada tahun 1934.4 Berikutnya ia mendapat
panggilan dari Universitas Sao Paolo untuk menjadi propesor Antropologi. Ajakan ini
tidak dapat ditolaknya karena memang dengan jalan inilah ia bisa berpetualang yang
memang sangat digemarinya. Sehingga ketika menetap disana, dia mendapatkan
kesempatan untuk melakukan perjalanan ke pedalaman Brazil pada tahun 1934-1939.
Disana ia mendapat beberapa pelajaran yang berharga ketika ia mempelajari sejumlah
suku primitif. Bahkan ketika perjalan pertamanya Levi-Strauss mengatakan bahwa
perjalanan yang ia lakukan ini bagaikan perjalanan yang dilakukan pada abad ke-16.
Dari perjalan inilah lahir sebuah karyanya yang berjudul Trister Tropique yang
merupakan laporan hasil perjalannya di pedalaman hutan Amazon. Karya ini
merupakan karya pertama Levi Straus dalam bidang etnografi yang merupakan
bidang yang tidak pernah ia peroleh dalam pendidikan formalnya yaitu antropolongi.
Buku ini menjadi terkenal bukan karna keahlian Levi Straus dalam bidang
antopologi, akan tetapi karena kemampuan Levi Straus dalam mengungkapkan nasib
menyedihkan orang-orang indian dalam belantara hutan Amazon dalam bahasa
kemanusian yang memukau. Ketika NAZI mulai berekspansi keluar Jerman, Levi-
Strauss pindah ke New
York (USA), disana dia mengajar di New School of Social Research. Dari sinilah ia
bertemu dengan Jakobson, yang dari tokoh inilah yang melatarbelakangi
ketertarikannya pada Linguistik Struktural dan menghasilkan karya “Structural
Analysis on Linguistics and Anthropology” pada Journal of the Circle of New York
pada tahun 1945.
Bagi Levi-Strauss “Budaya adalah Bahasa”, dan dia pun mengakui bahwa teori
struktural miliknya, teori dasarnya ia peroleh dari Jokobson. Levi-Strauss banyak
mendapatkan penghargaan, diantaranya seperti Prix Paul Peltiot pada tahun 1949,
The Huxley Momorial Medal di tahun 1965, pada tahun 1968 dia memperoleh medali
emas dari Centre national de la recherchè scientifique, penghargaan tertinggi bidang
ilmiah di Prancis, dan menjadi anggota Acaedemie Francaise pada tahun 1973.
Adapun karya-karyanya diantaranya, Hidup Keluarga dan Hidup Social Indian-Indian
Nambikwara (dalam bahasa Prancis) tahun 1948, pada tahun 1949 Les struktures
elementaries de la parente (Strukturstruktur Elementer Kekerabatan), Trestes
Tropique (Daerah Tropis yang menyedihkan) tahun 1955, Antropologe Structurale
(Antropoligie Struktural) tahun 1958, Le Totemisme Aujour’hui (Totemisme Dewasa
Ini) dan Le Pensee Saurage (Pemikiran Liar) tahun 1962, serta karyanya yang
terbesar tentang mitologi yaitu berjudul Mythologiques terdiri dari empat jilid
berukuran besar dan diterbitkan pada tahun 1964, 1967, 1968, 1971. Karya
terakhirnya adalah Myth and Meaning, meski tidak di tulis secara langsung oleh Levi-
Strauss tetapi buku ini merupakan kumpulan artikel-artikel yang sebagian besar berisi
pendalaman tema-tema dari karyanya yang lain.
Levi-Strauss sampai sekarang terkenal sebagai tokoh strukturalisme sejati, yang
sangat yakin terhadap kelebihan perspektif tersebut atas perspektif-perspektif lainnya
ketika digunakan untuk memahami berbagai etnografi suku bangsa di dunia.
Pemikiran Levi-Strauss tidak lepas dari pengaruh pemikiran lain, diantaranya
Mongin-Ferdinand de Saussure yang merupakan pendiri pertama strukturalisme
karena dia yang menjelaskan pemunculan makna dari referensi pada suatu sistem
pembedaan yang terstruktur. Keterpengaruhan Levi-Strauss pada Saussure terletak
pada pemahamannya pada hal mengekplorasi Langue dan bukan pada parole. Levi-
Strauss berpendapat bahwa kita perlu melampaui studi atas jegala yang ada di
permukaan dan mengeksporasi logika umum dalam sistem kultural. Dalam analisis
antropologi, Levi-Strauss telah memperdalaminya dengan menggunakan model
linguistik yang ditawarkan oleh Saussure, dimana Levi-Strauss menerapkan
pemikirannya terebut dalam sistem kekerabatan yang didalamnya konsep dasar dan
hubungan, bagaimana unsur-unsur dari suatu sistem bisa berhubungan. Selain itu
Levi-Strauss juga banyak terpengaruh pada filsafat Karl Marx sebagai figur yang
mempunyai relevansi bagi setiap upaya memahami pendekatan teoritis, psikoanalisa
Sigmund Freud dan ilmu geologi. Ketiga-tiganya memperlihatkan bahwa realitas
yang spontan tampak bagi kita harus dipahami.
Aliran strukturalis atau strukturalisme merupakan satu pendekatan ilmu humanis yang
mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya mitologi) sebagai sistem
kompleks yang saling berhubungan. Strukturalisme adalah gerakan intelektual yang
berpusat di Prancis, yang umumnya memiliki keyakinan bahwa fenomena hidup
manusia tidak bisa dipahami kecuali melalui saling keterhubungan mereka.
Hubungan ini memiliki struktur dan di belakangnya pariasi lokal yang dalam
fenomena permukaannya terdapat kaidah struktur abstrak, kumpulan ragam mitos,
karya seni atau yang lainnya bisa jadi menyingkap pola yang sama.

KUMPULAN TEORI/ PEMIKIRAN PARA TOKOH

Goerge Caspar Homans


Teori pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku
untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Teori ini dilandasi oleh
prinsip transaksi ekonomis dimana orang menyediakan barang atau jasa dan
sebagai imbalannya adalah memperoleh barang atau jasa yang diinginkan.
Adapun asumsi teori ini adalah interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi.
Namun bagi teori pertukaran, pertukaran sosial tidak hanya dapat diukur dengan uang
saja karena hal-hal yang dipertukarkan adalah hal yang nyata dan tidak. Seseorang
misalnya bekerja di sebuah perusahaan tidak hanya mengharapkan ganjaran ekstrinsik
berupah upah tetapi juga ganjaran instrinsik berupa kesenangan, persahabatan dan
kepuasan kerja.
Homans menjelaskan proses pertukaran dengan lima proposisi yaitu proposisi sukses,
stimulus, nilai, deprivasi satiasi, dan restu agresi. Dalam merumuskan proposisi-
proposisi tersebut ia mencoba saling mengkaitkan proposisi itu dalam sebuah teori
pertukaran sosial. Adapun kelima proposisi itu adalah (Poloma, 2000 ;61-65).

1. Proposisi Sukses
Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh
ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu. Proposisi ini
menyatakan bahwa bila seseorang berhasil memperoleh ganjaran, maka ia
akan cenderung mengulangi tindakan tersebut. Seorang anak mendapatkan
nilai rapor yang bagus setelah ia belajar sungguh-sungguh dan tekun.
Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam
dengan yang terjadi pada waktu sekarang.

2. Proposisi Stimulus
Jika di masa lalu terjadi stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli
merupakan peristiwa dimana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka
semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan
semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama.
Proposisi ini menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan
atau tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama
pada waktu sekarang. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku
seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin
sering pula orang lain itu mengulang tingkah lakunya itu. Sebagai contoh
dapat kita lihat pada mahasiswa meninginkan nilai yang baik dan dengan
kesadaran ia selalu mengikuti perkuliahan serta belajar sebelum ujian. Ia
merasakan manfaat dari belajar bersama sebelum ujian, maka ia akan
melakukan kembali belajar secara bersama dengan teman-temannya untuk
mendapatkan hasil ujian yang baik.

3. Proposisi Nilai
Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan
tindakan itu. Proposisi ini memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku
yang diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. makin bernilai bagi seseorang
sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar
kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi tingkahlakunya itu.
Sebagai contoh dapat dilihat pada tingkahlaku mahasiswa yang menganggap
bahwa ia mempunyai kesempatan untuk melihat suatu konser favoritnya dan
di saat yang sama ia harus mengenyampingkan perkuliahannya karena ia
masih dapat kuliah di hari yang lain. Ini artinya ia menganggap mana yang
lebih penting kuliah atau menikmati konser yang menyenangkan.

4. Proposisi Deprivasi Satiasi


Semakin sering di masa yang baru berlalu seseorang menerima suatu ganjaran
tertentu, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap
unit ganjaran itu. Proposisi ini menjelaskan bahwa makin sering orang
menerima ganjaran dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan
yang dilakukan berikutnya. Misalnya seorang wanita, setiap berulang tahun
selalu diberikan hadiah boneka oleh teman prianya maka ia merasa hadiah itu
menjadi tidak menarik bagi dirinya karena ia merasa telah jenuh atau bosan
dengan bentuk hadiah yang selalu sama. Bosan hadiahnya itu melulu...apa
tidak ada yang lain...

5. Proposisi restu Agresi


Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya atau
menerima hukuman yang tidak diinginkannya maka ia akan marah. Ia
cenderung menunjukkan perilaku agresif dan hasil perilaku tersebut bernilai
baginya. Bila tindakan seseorang memperoleh ganjaran yang lebih besar dari
yang diperkirakan atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya,
maka ia akan merasa senang. Proposisi ini melihat bahwa makin dirugikan
seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan
orang tersebut akan mengembangkan emosi seperti marah.

Dalam memahami proposisi yang dimaksud di atas perlu diperhatikan bahwa :


a. Makin tinggi ganjaran (reward) yang diperoleh atau yang akan diperoleh makin
besar kemungkinan sesuatu tingkah laku akan diulang.
b. Makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment) yang akan
diperoleh makin kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan diulang.

Homans menyatakan teori pertukaran dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku


manusia di tingkat institusional dan sub institusional, tetapi teori itu pada dasarnya
bersifat sub institusional dan lebih beruang lingkup mikro. Berbeda dengan Peter
M. Blau lebih memperluas prinsip-prinsip Homans untuk menjelaskan kelahiran
strukur-struktur sosial yang lebih besar.

PETER MICHAEL BLAU


Peter M. Blau lahir di Wina Austria 7 Februari 1918 dan meninggal pada 12 Maret
2002. Ia bermigrasi ke AS tahun 1939 dan menjadi warga AS tahun 1943. Tahun
1942 ia menerima gelar BA dari Elmhrst College di Elmhurst Illionis. Blau
mendapatkan penghargaan luas pertama dalam sosiologi karena sumbangannya dalam
studi tentang organisasi formal. Hasil studi empirisnya tentang organisasi dan buku
ajar yang ditulisnya tentang organisasi formal masih tetap dikutip secara luas.
Kontribusi Blau terhadap sosiologi adalah ia telah memberikan kontribusi penting
terhadap dua orientasi teoritis yang berbeda. Bukunya Exchange and Power in Social
live (1964) merupakan komponen utama teori pertukaran masa kini. Kontribusi utama
Blau tentang teori pertukaran pada kelompok primer pada berskala kecil diterapkan
pada kelompok besar. Karya itu merupakan upaya penting untuk mengintegrasikan
secara teoritis masalah sosiologi berskala luas dan berskala kecil. Blau pun berada
di barisan terdepan pakar struktural.

Untuk menjelaskan teori pertukaran, Blau menerima prinsip pertukaran sosial dari
B.F Skinner dan George C. Homans. Bagi Blau fenomena daya tarik individu akan
ganjaran sosial merupakan sesuatu yang bersifat “given” dan merupakan asal usul
struktur sosial. Yang menarik individu ke dalam asosiasi karena mengharapkan
ganjaran intrinsik dan ekstrinsik. Ganjaran ekstrinsik dapat berupa uang, barang-
barang atau jasa-jasa, sedang ganjaran intrinsik dapat berupa kasih sayang, pujian,
kehormatan dan kecantikan.

Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi perilaku yang menjurus pada
pertukaran sosial. Persyaratan tersebut adalah :
1. Perilaku harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui
interaksi dengan orang lain.
2. Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan- tujuan
tersebut.

Perhatian utama teori Blau ditujukan pada perubahan dalam proses-proses sosial yang
bergerak dari struktur sosial yang sederhana menuju struktur sosial yang lebih
kompleks. Perhatian ini dapat dilihat pada perkembangan sistem stratifikasi dalam
kelompok-kelompok yang lebih kompleks. Pada tahap awal pembentukan
kelompok, individu mencoba menunjukkan nilai mereka bagi kelompok. Para
anggota akan memberikan nilai yang berbeda sehingga terjadi perbedaan status.
Tidak setiap orang mampu atau bersedia mengambil tanggung jawab kepemimpinan
kelompok. Akibatnya beberapa dari mereka akan mundur dan memberi peluang orang
lain untuk sebuah posisi.
Adanya diferensiasi kekuasaan dapat mempertinggi tingkat kebutuhan akan
integrasi sosial dari status-status yang berbeda. Dalam hal ini terjadi hubungan
pertukaran yang terkait dengan masalah stratifikasi. Pertukaran terjadi jika hubungan
itu menguntungkan bagi para anggota yang berkedudukan tinggi atau rendah. Namun,
jika hubungan kekuasaan yang bersifat memaksa terjadi hubungan pertukaran yang
tidak seimbang dan dipertahankan dengan menggunakan sangsi negatif. kekuasaan
demikian penuh dengan masalah karena dapat melahirkan perlawanan. Untuk itu agar
masyarakat berfungsi dengan baik, maka yang berada di bawah perlu mematuhi dan
melaksanakan kewajiban mereka sehari-hari dengan pengarahan dari yang
menduduki kekuasaan. Sangat bijaksana jika yang berkuasa sebanyak mungkin
memperendah potensi penggunaan daya paksa tersebut.
Blau juga menggambarkan “the emergence principle” yaitu adanya nilai- nilai dan
norma-norma yang disetujui secara bersama dalam kelompok. Nilai-nilai sosial yang
diterima bersama berfungsi sebagai media transaksi sosial bagi organisasi serta
kelompok-kelompok sosial. Blau percaya bahwa kompleksitas pola-pola kehidupan
sosial dapat dijembatani oleh nilai-nilai bersama yang melembaga.

Nilai-nilai yang telah terlembaga akan bertahan bila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Prinsip-prinsip yang diorganisir harus merupakan bagian dari prosedur-
prosedur yang diformalisir (konstitusi atau dokumen lainnya) sehingga setiap saat
bebas dari orang yang melaksanakannya.
2. Nilai-nilai sosial yang mengesahkan bentuk institusional harus diwariskan kepada
generasi selanjutnya melalui proses sosialisasi.
3. Kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat harus menganut nilai-nilai itu
serta harus meminjamkan kekuasaannya untuk mendukung lembaga-lembaga yang
memasyarakatkan nilai-nilai tersebut.
Lebih jauhnya pembahasan Blau mengenai kelompok-kelompok sosial yang
bersifat “emergent” ini dapat diamati ide-ide sebagai berikut :
1. Dalam hubungan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain
melalui berbagai kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Asumsinya adalah orang
yang memberikan ganjaran, melakukan hal itu sebagai pembayaran bagi nilai yang
diterimanya.
2. Pertukaran mudah berkembang menjadi hubungan-hubungan persaingan
dimana setiap orang harus menunjukkan ganjaran yang diberikannya dengan maksud
menekan orang lain dan sebagai usaha untuk memperoleh ganjaran yang lebih baik.
3. Persaingan melahirkan munculnyanya sistem stratifikasi dimana individu- individu
dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber yang dimilikinya yang melahirkan
konsep “emergent” tentang kekuasaan.
4. Kekuasaan dapat bersifat sah atau bersifat memaksa. Wewewnang tumbuh
berdasarkan nilai-nilai yang sah yang memungkinkan berbagai kelompok dan
organisasi yang bersifat “emergent” tanpa mendasarkan diri atas hubungan intim
yaitu hubungan tatap muka. Para anggota menyadari bahwa berbagai kebutuhan dan
tujuan kelompok maupun pertukaran di tingkat individu. Di pihak lain, penggunaan
kekuasaan yang bersifat memaksa mengundang banyak masalah sehingga dapat
meningkatkan perkembangan nilai-nilai oposisi.

Pertukaran Tidak Seimbang dan Konsekuensinya


Ketidakseimbangan dalam pertukaran dapat terjadi bila pemberian reward lebih
kepada yang lain dan sebaliknya yang menerima reward membalasnya. Pihak terkecil
dalam pertukaran yang tidak seimbang dapat memperoleh kompensasi social approval
atau disebut sebagai kerelaan. Kerelaan dalam pertukaran tidak seimbang adalah
suatu kredit kepada pihak superior, yaitu posisinya menjadi dominasi sehingga
memungkinkan utnuk memerintah orang lain.

Mikrostruktur dan Makrostruktur


Menurut Blau, proses relasi tatap muka merupakan tipe mikrostruktur. Relasi adalah
struktur dalam arti aturan-aturan, pemuas, kontrol legitimasi, dan pembagian tugas.
Mikro dalam interaksi seperti itu berada pada tahap orang ke orang, lalu meluas dan
jumlahnya bertambah sehingga menjadi bermakna. Akhirnya kolektivitas itu
membentuk makrostruktur.

Nilai dan Struktur Sosial


Reward akan mendorong seseorang bergabung dalam kelompok. Nilai- nilai yang
berlawanan akan ditolak karena memunculkan ketidaksamaan yang berakibat
terjadinya perpecahan dalam kelompok. Nilai dapat menjadikan kebersamaan sebagai
tanda solidaritas bagi mereka secara bersama dan kebersamaan untuk menuju
integrasi dan kesepakatan bagi kelompok.

Claude Lévi-Strauss
Strukturalisme adalah gerakan intelektual yang berpusat di Prancis, yang umumnya
memiliki keyakinan bahwa fenomena hidup manusia tidak bisa dipahami kecuali
melalui saling keterhubungan mereka. Hubungan ini memiliki struktur dan di
belakangnya pariasi lokal yang dalam fenomena permukaannya terdapat kaidah
struktur abstrak, kumpulan ragam mitos, karya seni atau yang lainnya bisa jadi
menyingkap pola yang sama.

Teori Mitos
1. Pengertian Mitos

Mitos adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani muthos yang secara
harfiah bermakna sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan orang, dan dalam arti
yang lebih luas bisa bermakna sebagai suatu pernyataan. Mitos juga dipadankan
dengan kata mythology dalam bahasa Inggis yang memiliki arti sebagai suatu studi
atas mitos atau isi mitos. Mitologi atau mitos merupakan kumpulan cerita yang
diungkapkan secara turun-temurun dari generasi kegerasi di suatu bangsa, memuat
cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung
penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnnya. Mitos
seringkali dimengerti sebagai cerita-cerita suci, juga diartikan sebagai sebuah bahasa
yang memuat pesan-pesan di dalamnya. Mitos disistematiskan dalam sebuah struktur
yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat setempat. Karena manusia pada
hakekatnya adalah makhluk yang senantiasa lahir dari proses kebudayaan dan
berkembang dalam kebudayaan. Segala bentuk kegiatan manusia selalu mengarah
pada peristiwa-peristiwa budaya, kebudayaan dalam hal ini bukan berarti sebagai
sebuah sistem tetapi proses dimana manusia bergulat dan mengarahkan dirinya
kepada tahap tertentu. kata membangun selalu dimulai lewat kebudayaan dalam
memahami masyarakat. Jauh sebelum lahirnya filsafat, masyarakat Yunani telah
mengenal mite-mite. Mite-mite tersebut memiliki fungsi sebagai jawabat atas
pertanyaan-pertanyaan mengenai teka-teki atau misteri tentang alam semesta dan
kehidupan yang dialami langsung oleh masyarakat Yunani pada masa itu. Pertanyaan-
pertanyaan tersbut diantaranya mengenai asal usul manusia.
Ketika itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya alam semesta dan seluruh
isinya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan pada kepercayaan semata. Para ahli
pikir tidak puas akan keterangan tersebut kemudian mencoba mencari keterangan
melalui budinya. Mereka menanyakan dan mencari jawaban. Apakah sebetulnya alam
ini, apakah intisarinya beraneka warna, mereka mencari inti alam ini dengan istilah
mereka. Thales misalnya, berpendapat, bahwa intisari alam ini adalah air, menurutnya
prinsip pertama semesta adalah air. Semua berawal dari air dan berakhir ke air pula.
Tiada kehidupan tanpa air, tidak ada satu makhluk hidup pun yang tidak mengandung
unsur air. Kemudian Anaximandrus mengatakan bahwa dasar dari alam ini ialah
udara, baginya yang sejati bukanlah suatu yang dapat diamati oleh pancaindra tetapi
sesuatu yang tidak tampak (yang tak terbatas).
Dalam hal ini mitos memang lebih dikenal sebagai kisah yang berlatar belakang masa
lampau, yang umumnya berisi penafsiaran tentang alam semesta dan keberadaan
makluk didalamnya. Munculnya mitos bisa menjadi catatan peristiwa sejarah, atau
menjadi penjelas suatu ritual.
Mitos dan Nalar Manusia Pada mulanya Levi-Strauss tertarik mengenai prinsip-
prinsip dasar manusia, untuk mengetahui hal ini maka yang dilakukan adalah meneliti
bagaimana proses manusia menalar. Levi Strauss mengungkapkan bahwa para ahli
antropologi sebaiknya memberikan perhatian pada mekanisme bekerjanya nalar
manusia dan mencoba memahami strukturnya. Nalar menurut Levis strauss adalah
cara berpikir mengungkapkan struktur dalam fenomena yang didasarkan pada
fenomena ketidaksadaran kolektif, dimana setiap masyarakat dan kebudayaan
memiliki struktur yang berbeda, untuk menunjukkan nalar memang mengikuti
struktur tertentu dan bekerjanya, kemudian meneliti perwujudan aktivitas nalar
tersebut, karena pada dasarnya kebudayaan itu, ada dalam setiap kebudayaan dan
adat. Nalar juga sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dilihat dan diraba. Sehingga
kita akan mencari tahu bagaimana manusia menalar. Levi-Strauss mengatakan bahwa
untuk mengetahuinya maka yang dilakukan adalah meneliti masyarakat yang masih
primitif. Karena apabila kita melihatnya pada masyarakat modern sekarang, sangat
sulit menemukannya. Hal ini disebabkan manusia modern sudah terkontaminasi,
bersifat artifisial,19 atau tiruan, tidak alami. Maka dari itulah masyarakat primitif
menjadi obyek yang paling cocok untuk mengetahui prinsip dasar penalaran manusia.
Segala gejala selalu di lihat dari prilaku, akan tetapi, menurut Levi-Strauss hal ini
tidaklah cukup kuat karena kita akan sulit menemukan nilai universal dari prilaku
masyarakat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Levi-Strauss mengemukakan
alternatif lain yaitu mitos. Mitos bagi Levi-Strauss berbeda dengan pemahaman yang
beredar dalam persefektif mitologi, mitos dalam strukturalisme Levi-strauss tidak
harus dipertentangkan, atau harus kenyataan yang terjadi masa lampau. Karena
sebuah kisah atau sejarah yang dianggap masyarakat benar-benar terjadi ternyata
tidak berlaku untuk masyarakat yang lain, bisa jadi hanya dianggap dongeng. Mitos
juga bukan kisah suci, karena hal yang suci bagi satu masyarakat bisa jadi hal biasa-
biasa saja bagi masyarakat yang lain. Untuk itulah dalam strukturalisme Levi-Strauss
mitos adalah dongeng. Dongeng merupakan kisah atau cerita yang lahir dari imajinasi
manusia, dari khayalan, walaupun unsur-unsur khayalan itu berasal dari kehidupan
manusia. Dongeng adalah cara manusia mengekpresikan pikirannya, karena manusia
mempunyai kebebasan mutlak dalam menalar. banyak kita temui dongeng yang
mustahil terjadi seperti dongeng si kancil, dongeng timun emas,
dan lain-lain. Yang menarik adalah dalam setiap dongeng tersebut ada nila-nilai yang
sama, kemiripan tersebut bukan sesuatu yang kebetulan, karena dongeng adalah
produk imajinasi manusia, produk nalar manusia, kemiripan-kemiripan yang terjadi
merupakan mekanisme yang ada dalam manusia itu sendiri. inilah alasan kenapa
dongeng merupakan fenomena budaya yang paling tepat untuk diteliti bila ingin
mengetahui kekangan-kekangan yang ada dalam gerak atau dinamika nalar manusia.

Mitos dan Bahasa


Pandangan Levi Strauss tentang Bahasa dan Mitos ialah: Pertama, bahasa adalah
sebuah media, alat, atau sarana untuk berkomunikasi dan penyampaian pesan dari
satu individu ke individu lain, dari kelompok satu ke kelompok yang lain. Demikian
juga halnya dengan mitos. Mitos disampaikan melalui bahasa dan mengandung
pesan-pesan. Pesan-pesan dalam sebuah mitos diketahui lewat proses penceritaannya,
seperti pesan-pesan yang disampaikan lewat bahasa diketahui dari pengucapannya.
Atas dasar pandangan inilah hingga kini orang masih mencari dan selalu berusaha
menggali pesan-pesan yang dianggap ada di balik berbagai mitos di dunia. Yang
kedua, sebagaimana Saussure mengenai bahasa yang memiliki aspek langue dan
parole, Levi-Strauss juga melihat yang demikian dalam mitos. Parole adalah bahasa
sebagaimana ia diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai sarana untuk
berkomunikasi. Parole adalah aspek yang mempelajari metode tentang cara-cara
pengumpulan, pengolahan, serta pembuatan keputusan dari bahasa yang muncul
dengan adanya penggunaan bahasa secara kongkrit, sedangkan aspek langue dari
sebuah bahasa adalah aspek strukturalnya. Bahasa dalam pengertian kedua ini adalah
suatu struktur yang membentuk sistem atau merupakan suatu sistem yang terstruktur,
yang relatif tetap, dan tidak terpengaruh oleh individu-individu yang
menggunakannya. Struktur inilah yang membedakan bahasa satu dengan yang
lainnya. Bahasa sebagai suatu langue berada dalam waktu yang bisa berbalik
(reversible time), karena ia terlepas dari perangkap waktu yang diakronis, tapi bahasa
sebagai parole tidak dapat terlepas dari perangkap waktu ini, parole dalam pandangan
Levi-Strauss berada dalam waktu yang tidak dapat berbalik.
Mitos juga demikian, ia berada dalam dua waktu bersamaan, yaitu waktu yang bisa
berbalik dan waktu yang tidak bisa berbalik. Misalnya saja fakta bahwa mitos selalu
menunjuk peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Katakata “konon
dahulu kala...”, “alkisah pada zaman dahulu kala...”, dan sebagainya. Kata-kata ini
sering kita temui dalam pembukaan mitos. Di sisi lain, pola-pola khas mitos
merupakan ciri yang membuat mitos tetap relevan dalam konteks yang ada sekarang.
Pola yang diungkapkan mitos, yang dideskripsikan mitos bersifat timeless, tidak
terikat waktu, atau berada dalam reversible time, pola ini bisa menjelaskan apa yang
terjadi pada masa lampau, sekarang, dan apa yang akan terjadi pada masa akan
datang. Sifat mitos yang historis sekaligus ahistoris inilah yang membuat fenomena
mitos berbeda dengan bahasa, walaupun terdapat sifatsifat kebahasaannya. Sebagai
contoh lakon pewayangan Dewaruci, kisah ini bagi masyarakat Jawa pernah terjadi
pada masa lampau, tetapi kisah ini sendiri masih dapat digunakan untuk memahami
dan menerangkan apa yang sedang terjadi di masyarakat. Tokoh-tokoh seperti Bima,
Dorna, Dewaruci bagi sebagian masyarakat Jawa merupakan tokoh yang pernah ada
di masa lalu. Walaupun ini kisah di masa lampau, kisah ini tetap aktual bagi mereka,
karena secara operasional kisah ini masih dapat digunakan untuk memahami berbagai
kejadian yang sedang berlangsung dan akan berlangsung. Kejadian aktual pada masa
kini masih dapat ditempatkan dalam kerangka lakon di atas. Dengan kata lain mitos
bisa berada pada reversible time dan non-reversible time sekaligus. Inilah yang tidak
terdapat dalam bahasa.
Persamaan yang lain antara mitos dan bahasa adalah adanya kontradiksi yang
menarik. Banyak dalam peristiwa mitos yang tidak akan kita percayai terjadinya
dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu bisa terjadi dalam mitos mulai dari yang
masuk akal, setengah masuk akal sampai hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali.
Apapun bisa terjadi dalam mitos, tidak ada yang tidak mungkin. Namun, yang
menarik adalah kita akan menemukan kemiripankemiripan antara satu mitos dengan
mitos yang lain. kemiripan ini bisa ada dalam tokoh-tokohnya, atau pengalaman
tokoh-tokoh tersebut, atau hubungan antar mereka. Padahal, mitos-mitos itu terpisah
sangat jauh tempat tinggalnya dan kebudayaannya. Mitos dalam budaya dan suku
bangsa yang berbeda bisa mempunyai kemiripan, padahal mereka terpisah sangat
jauh dan tidak pernah mengalami kontak satu sama lain. menjawab hal ini
srtukturalme Levi-Strauss merujuk pada pendapat Jakobson mengenai fonem, bahwa
fonem adalah tanda tanpa isi. Dan dalam setiap fonem-fonem yang ada dalam bahasa-
bahasa di dunia terbatas jumlahnya dan mempunyai hukum-hukum tertentu. Yang
mengatur kombinasi antar fonem-fonem tersebut. Suatu fonem dipandang sebagai ciri
pembeda dalam bahasa yang hanya dapat diketahui jika dia ditempatkan dalam
sebuah konteks atau suatu jaringan relasi dengan fonem-fonem yang lain dari suatu
bahasa. misalnya saja dalam sistem bahasa Banjarmasin Pahuluan fonem /u/ tidak
akan bermakna atau mempunyai nilai karena dalam sistem bahasa Banjarmasin
pahuluan tidak dikenal /o/, sehingga /o/ atau /u/ bisa dianggap sama. Berbeda halnya
jika kita tempatkan dalam sistem bahasa Jawa, maka /o/ mempunyai bernilai karena
menjadi pembeda antara /o/ dan /u/. Jelasnya fonem terdiri dari sekumpulan ciri atau
pembeda yang hanya akan bernilai jika berada dalam sebuah konteks. Jika mitos
adalah gejala sebagaimana bahasa, agar bisa menjelaskan berbagai persamaan yang
ada dalam mitos-mitos yang berbeda. Maka, kajian yang dilakukan harus berada pada
tingkatan yang lain. Menurut para ahli bahasa struktural, bahwa makna tidak terletak
pada fonem dari berbagai bahasa di dunia melainkan pada kombinasi dari fonem-
fonem tersebut. Pada tingkatan inilah pula analisis mitos berada, makna mitos tidak
lagi terletak pada tokoh-tokoh tertentu atau perbuatan-perbuatan yang mereka
lakukan, tetapi mencari makna pada kombinasi dari berbagai tokoh dan perbuatan
mereka, serta posisi mereka masingmasing pada kombinasi tersebut. Antara mitos
dan bahasa juga mempunyai perbedaan. Yaitu, mitos mempunyai ciri yang khas
dalam isi dan susunannya. Keunikan mitos adalah walaupun diterjemahkan dengan
jelek ke dalam bahasa lain, mitos tidak akan kehilangan sifat-sifat atau ciri mitisnya.
Sedangkan bahasa tidak memiliki hal isi dan susunannya, ia hanya sebagai tuturan
dan ucapan dalam kehidupan bersosialisasi. mitos juga dikatakan sebagai bahasa,
yaitu bahasa yang bekerja pada tataran tertentu, yang berbeda dengan bahasa biasa
pada umumnya. Dengan adanya ciri ini mitos tetap dapat dirasakan, ditangkap,
dimengerti, sebagai mitos oleh siapapun. Walaupun kita mendapatkan mitos bukan
lagi dalam bentuk aslinya atau telah diterjemahkan atau mungkin telah dipersingkat,
dan mungkin
kita tidak mengenal budaya asli mitos itu berasal, kita tetap dapat mengenali mitos itu
sebagai mitos. Hal ini bukan disebabkan bahasanya, gayanya, atau sintaksisnya, tetapi
karena ceriteranya itu sendiri, karena isi dan susunannya. Levi-Strauss mengatakan:
“Myth is language, functioning on an especially high level where meaning succeds
practically at taking “taking off” from the linguistic ground on which it keeps on
rolling”.
Mitos bukan hanya dongeng pengantar tidur, tetapi kisah yang memuat sejumlah
pesan. Pesan-pesan ini tidak tersimpan dalam satu mitos yang tunggal, melainkan
dalam keseluruhan mitos. Dalam hal ini si pengirim adalah orangorang terdahulu,
para nenek moyang dan yang menerimanya adalah generasi sekarang. Seperti halnya
Levi Strauss yang meletakkan struktur-strukturnya dalam sebuah skema untuk
membentuk sebuah konsep di tengah jalan antara infrastruktur- inrastruktur dngan
kebiasaan-kebiasaan Landasan. strukural yang dibangun levi-Strauss dalam
menganalisis mitos sebagai berikut. Pertama, jika memang mitos dipandang sebagai
sesuatu yag bermakna, maka makna ini tidaklah terdapat pada unsur-unsur yag berdiri
sendiri, melainkan pada cara unsur-unsur tersebut dikombinasikan antara satu dengan
yang lain. Cara mengkombinasikan unsur-unsur mitos inilah yang menjadi tempat
bersemayamnya makna. Kedua, mitos termasuk dalam kategori bahasa, namun mitos
bukan hanya sekedar bahasa. Hanya ciri-ciri tertentu saja dari mitos yang bertemu
dengan ciri-ciri bahasa. karena “bahasa mitos” mempunyai ciri tertentu yang lain.
Ketiga, ciri-ciri ini bukan terletak pada tingkat bahasa namun terletak di atasnya, ciri-
ciri ini lebih kompleks, lebih rumit, daripada ciri-ciri bahasa atau pada ciri-ciri
kebahasaan yang lainnya.
4. Mitos dan Nilai Sosial
Bagi Levi-Strauss mitos bersifat naratif yang diakui sebagai mitos, meskipun
maknanya secara tak sadar masih dipertimbangkan oleh orang yang mengunakan
mitos itu. Mitos adalah cara dalam menghadapi kecemasan dan masalah yang di
hadapi manusia seluruhnya, dengan mengesampingkan kelas sosial yang ada dalam
masyarakat.35Setiap karangan selalu mengungkap suatu kisah yang membawa
masyarakat pada tingkat yang sangat tinggi dimana makna berhasil dipraktekkan
dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai yang ada dalam suatu kisah membuat masyarakat
meneliti dan memahami dengan kehidupan yang sedang berlangsung sekarang,
karena dalam kisah yang dituangkan dengan bahasa yang halus dan bertutur
mengandung makna dan nilai-nilai baik untuk diaplikasikan dalam kehidupan,
sebagai mitos yang selalu dipercayai untuk menciptakan kekerabatan dan tidak
memandang suatu kelas yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti halnya
nilai-nilai yang akan diungkapkan dibawah ini;

a. Nilai Sakral
Setiap kehidupan masyarakat menggambarkan mitos tidak hanya sebagai tanda
ataupun penyampaian pesan-pesan yang sudah tersimpan di dalamnya, hal itu dapat
kita lihat dari kehidupan masyarakat yang menjalankan budaya dan adat istiadat.
Sehingga banyak ditemui pada masyarakat primitif dan tradisional saja tentang
keunikan tersebut. Segala yang dianggap sakral oleh masyarakat pasti mendapat
perhatian yang sedemikian rupa. Sehingga sakral diartikan sebagai keramat dan suci.
Keberadaannya sangat diistimewakan. Begitu juga dengan pohon keramat yang
dianggap sebagai sakral, dan masyarakat tidak berani mengganggu keberadaannya
dilingkungan masyarakat itu sendiri. hal ini juga menjadi perhatian masyarakat untuk
memanjatkan doa-doa ketika melintasi tempat tersebut, selalu mengingatkan diri
untuk ingat kepada Tuhannya, semua dilakukan demi keselamatan dirinya ketika
menjalankan aktivitas sehari-hari.
b. Nilai Tabu
Pada umumnya mitos dipahami dalam masyarakat tidak hanya sesuatu yang bersifat
sakral, tapi juga berisi dengan beberapa yang dianggap tabu. Tabu juga banyak
diartikan sebagai sesuatu yang bersifat larangan, ataupun sering disebut oleh
masyarakat setempat dengan pantangan, dengan arti sebagai anjuran untuk
menghormati kejadiaan apapun. Dalam mitos pohon keramat juga terdapat hal yang
dianggap tabu, bahkan terdapat larangan-larangan dan anjuran. Ketika larangan dan
anjuran dilanggar akan berakibat membahayakan kepada diri sendiri. sesuatu yang
akan terjadi adalah tabrakan, kecelakaan, bahkan menyebabkan hal yang tidak pernah
kita inginkan akan terjadi. Strukturalisme mengajarkan kita melihat struktur yang
mendasari sistem dasar kultural dan komunikasi yang ada pada masyarakat. Dengan
adanya strukturalisme kita bisa mengorganisasikan, dan memahami kehidupan
masyarakat, dan kita akan tahu bahwa dalam struktur kehidupan masyarakat terdapat
hubungan antara satu sama lain.

Contoh Aplikasi
Levi-Strauss menerapkan metode strukturalnya untuk menganalisis berbagai
gejala/praktek sosial, salah satunya adalah terhadap larangan incest. Menurut Levi-
Strauss, larangan incest adalah sama universalnya seperti bahasa. Antropologi telah
lama berusaha menjelaskan larangan itu dengan beragam argumen. Namun Levi-
strauss menganggap semua teori itu tidak memuaskan untuk menjelaskan sifat
universal larangan incest ini. Menurutnya, larangan itu merupakan aspek negatif dari
suatu fenomena positif: orang wajib menikah di luar klannya sendiri. perintah
“eksogami” (menikah dengan wanita dari klan lain) mempunyai sebagai akibat
negatif larangan terhadap “endogami” (menikah dengan wanita dari klan yang sama).
Itu berarti bahwa larangan untuk menikahi wanita-wanita diantara kaum kerabat saya
melingkupi juga kewajiban saya untuk “menyampaikan” wanita-wanita itu (dalam
klan saya) kepada orang lain, supaya mereka pada gilirannya akan memberikan
wanita-wanita mereka kepada saya. Dasar hubungan-hubungan sosial dan dasar
kultur ialah pertukaran. Dan perkawinan merupakan model pokok di bidang
pertukaran. Incest ditolak dengan keras dan universal, karena mengingkari larangan
itu berarti menumbangkan tiang-tiang masyarakat. Pertukaran merupakan “hukum
alam” bagi kehidupan sosial. Dengan larangan incest, lahirlah kultur, sebagaimana
dikatakan Levis-Strauss: “larangan incest adalah langkah yang fundamental; karena,
dengan, dan terutama, dalam langkah itu terjadilah peralihan dari alam ke kultur”.
Dengan penjelasan itu, Levi-Staruss merasa telah mengungkapkan suatu proses yang
berlangsung pada taraf tak sadar dari psike manusiawi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra,


Galang Press, Yogyakarta, 2001
Bunnin, Nicholas nad Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of western Philosophy.
Blackwell Publishing. New York. 2004
http://www.as.ua.edu/ant/cultures/cultures.php?culture=Structuralism Diunduh pada
senin, 28 Februari 2022 pukul 21.35 WITA
Wardhana, Amika. 2014. Perilaku sosial: Teori Pertukaran blau. Yogyakarta: UNY
Muhammad Eka Machmud. September 2015. Transaksi Dalam Teori Exchange
Behaviorism George Caspar Homans (Perspektif Ekonomi Syariah).
Iqtishadia, Vol. 8, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai