1. Proposisi Sukses
Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh
ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu. Proposisi ini
menyatakan bahwa bila seseorang berhasil memperoleh ganjaran, maka ia
akan cenderung mengulangi tindakan tersebut. Seorang anak mendapatkan
nilai rapor yang bagus setelah ia belajar sungguh-sungguh dan tekun.
Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam
dengan yang terjadi pada waktu sekarang.
2. Proposisi Stimulus
Jika di masa lalu terjadi stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli
merupakan peristiwa dimana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka
semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan
semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama.
Proposisi ini menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan
atau tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama
pada waktu sekarang. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku
seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin
sering pula orang lain itu mengulang tingkah lakunya itu. Sebagai contoh
dapat kita lihat pada mahasiswa meninginkan nilai yang baik dan dengan
kesadaran ia selalu mengikuti perkuliahan serta belajar sebelum ujian. Ia
merasakan manfaat dari belajar bersama sebelum ujian, maka ia akan
melakukan kembali belajar secara bersama dengan teman-temannya untuk
mendapatkan hasil ujian yang baik.
3. Proposisi Nilai
Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan
tindakan itu. Proposisi ini memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku
yang diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. makin bernilai bagi seseorang
sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar
kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi tingkahlakunya itu.
Sebagai contoh dapat dilihat pada tingkahlaku mahasiswa yang menganggap
bahwa ia mempunyai kesempatan untuk melihat suatu konser favoritnya dan
di saat yang sama ia harus mengenyampingkan perkuliahannya karena ia
masih dapat kuliah di hari yang lain. Ini artinya ia menganggap mana yang
lebih penting kuliah atau menikmati konser yang menyenangkan.
Untuk menjelaskan teori pertukaran, Blau menerima prinsip pertukaran sosial dari
B.F Skinner dan George C. Homans. Bagi Blau fenomena daya tarik individu akan
ganjaran sosial merupakan sesuatu yang bersifat “given” dan merupakan asal usul
struktur sosial. Yang menarik individu ke dalam asosiasi karena mengharapkan
ganjaran intrinsik dan ekstrinsik. Ganjaran ekstrinsik dapat berupa uang, barang-
barang atau jasa-jasa, sedang ganjaran intrinsik dapat berupa kasih sayang, pujian,
kehormatan dan kecantikan.
Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi perilaku yang menjurus pada
pertukaran sosial. Persyaratan tersebut adalah :
1. Perilaku harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui
interaksi dengan orang lain.
2. Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan- tujuan
tersebut.
Perhatian utama teori Blau ditujukan pada perubahan dalam proses-proses sosial yang
bergerak dari struktur sosial yang sederhana menuju struktur sosial yang lebih
kompleks. Perhatian ini dapat dilihat pada perkembangan sistem stratifikasi dalam
kelompok-kelompok yang lebih kompleks. Pada tahap awal pembentukan
kelompok, individu mencoba menunjukkan nilai mereka bagi kelompok. Para
anggota akan memberikan nilai yang berbeda sehingga terjadi perbedaan status.
Tidak setiap orang mampu atau bersedia mengambil tanggung jawab kepemimpinan
kelompok. Akibatnya beberapa dari mereka akan mundur dan memberi peluang orang
lain untuk sebuah posisi.
Adanya diferensiasi kekuasaan dapat mempertinggi tingkat kebutuhan akan
integrasi sosial dari status-status yang berbeda. Dalam hal ini terjadi hubungan
pertukaran yang terkait dengan masalah stratifikasi. Pertukaran terjadi jika hubungan
itu menguntungkan bagi para anggota yang berkedudukan tinggi atau rendah. Namun,
jika hubungan kekuasaan yang bersifat memaksa terjadi hubungan pertukaran yang
tidak seimbang dan dipertahankan dengan menggunakan sangsi negatif. kekuasaan
demikian penuh dengan masalah karena dapat melahirkan perlawanan. Untuk itu agar
masyarakat berfungsi dengan baik, maka yang berada di bawah perlu mematuhi dan
melaksanakan kewajiban mereka sehari-hari dengan pengarahan dari yang
menduduki kekuasaan. Sangat bijaksana jika yang berkuasa sebanyak mungkin
memperendah potensi penggunaan daya paksa tersebut.
Blau juga menggambarkan “the emergence principle” yaitu adanya nilai- nilai dan
norma-norma yang disetujui secara bersama dalam kelompok. Nilai-nilai sosial yang
diterima bersama berfungsi sebagai media transaksi sosial bagi organisasi serta
kelompok-kelompok sosial. Blau percaya bahwa kompleksitas pola-pola kehidupan
sosial dapat dijembatani oleh nilai-nilai bersama yang melembaga.
Nilai-nilai yang telah terlembaga akan bertahan bila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Prinsip-prinsip yang diorganisir harus merupakan bagian dari prosedur-
prosedur yang diformalisir (konstitusi atau dokumen lainnya) sehingga setiap saat
bebas dari orang yang melaksanakannya.
2. Nilai-nilai sosial yang mengesahkan bentuk institusional harus diwariskan kepada
generasi selanjutnya melalui proses sosialisasi.
3. Kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat harus menganut nilai-nilai itu
serta harus meminjamkan kekuasaannya untuk mendukung lembaga-lembaga yang
memasyarakatkan nilai-nilai tersebut.
Lebih jauhnya pembahasan Blau mengenai kelompok-kelompok sosial yang
bersifat “emergent” ini dapat diamati ide-ide sebagai berikut :
1. Dalam hubungan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain
melalui berbagai kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Asumsinya adalah orang
yang memberikan ganjaran, melakukan hal itu sebagai pembayaran bagi nilai yang
diterimanya.
2. Pertukaran mudah berkembang menjadi hubungan-hubungan persaingan
dimana setiap orang harus menunjukkan ganjaran yang diberikannya dengan maksud
menekan orang lain dan sebagai usaha untuk memperoleh ganjaran yang lebih baik.
3. Persaingan melahirkan munculnyanya sistem stratifikasi dimana individu- individu
dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber yang dimilikinya yang melahirkan
konsep “emergent” tentang kekuasaan.
4. Kekuasaan dapat bersifat sah atau bersifat memaksa. Wewewnang tumbuh
berdasarkan nilai-nilai yang sah yang memungkinkan berbagai kelompok dan
organisasi yang bersifat “emergent” tanpa mendasarkan diri atas hubungan intim
yaitu hubungan tatap muka. Para anggota menyadari bahwa berbagai kebutuhan dan
tujuan kelompok maupun pertukaran di tingkat individu. Di pihak lain, penggunaan
kekuasaan yang bersifat memaksa mengundang banyak masalah sehingga dapat
meningkatkan perkembangan nilai-nilai oposisi.
Claude Lévi-Strauss
Strukturalisme adalah gerakan intelektual yang berpusat di Prancis, yang umumnya
memiliki keyakinan bahwa fenomena hidup manusia tidak bisa dipahami kecuali
melalui saling keterhubungan mereka. Hubungan ini memiliki struktur dan di
belakangnya pariasi lokal yang dalam fenomena permukaannya terdapat kaidah
struktur abstrak, kumpulan ragam mitos, karya seni atau yang lainnya bisa jadi
menyingkap pola yang sama.
Teori Mitos
1. Pengertian Mitos
Mitos adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani muthos yang secara
harfiah bermakna sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan orang, dan dalam arti
yang lebih luas bisa bermakna sebagai suatu pernyataan. Mitos juga dipadankan
dengan kata mythology dalam bahasa Inggis yang memiliki arti sebagai suatu studi
atas mitos atau isi mitos. Mitologi atau mitos merupakan kumpulan cerita yang
diungkapkan secara turun-temurun dari generasi kegerasi di suatu bangsa, memuat
cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung
penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnnya. Mitos
seringkali dimengerti sebagai cerita-cerita suci, juga diartikan sebagai sebuah bahasa
yang memuat pesan-pesan di dalamnya. Mitos disistematiskan dalam sebuah struktur
yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat setempat. Karena manusia pada
hakekatnya adalah makhluk yang senantiasa lahir dari proses kebudayaan dan
berkembang dalam kebudayaan. Segala bentuk kegiatan manusia selalu mengarah
pada peristiwa-peristiwa budaya, kebudayaan dalam hal ini bukan berarti sebagai
sebuah sistem tetapi proses dimana manusia bergulat dan mengarahkan dirinya
kepada tahap tertentu. kata membangun selalu dimulai lewat kebudayaan dalam
memahami masyarakat. Jauh sebelum lahirnya filsafat, masyarakat Yunani telah
mengenal mite-mite. Mite-mite tersebut memiliki fungsi sebagai jawabat atas
pertanyaan-pertanyaan mengenai teka-teki atau misteri tentang alam semesta dan
kehidupan yang dialami langsung oleh masyarakat Yunani pada masa itu. Pertanyaan-
pertanyaan tersbut diantaranya mengenai asal usul manusia.
Ketika itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya alam semesta dan seluruh
isinya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan pada kepercayaan semata. Para ahli
pikir tidak puas akan keterangan tersebut kemudian mencoba mencari keterangan
melalui budinya. Mereka menanyakan dan mencari jawaban. Apakah sebetulnya alam
ini, apakah intisarinya beraneka warna, mereka mencari inti alam ini dengan istilah
mereka. Thales misalnya, berpendapat, bahwa intisari alam ini adalah air, menurutnya
prinsip pertama semesta adalah air. Semua berawal dari air dan berakhir ke air pula.
Tiada kehidupan tanpa air, tidak ada satu makhluk hidup pun yang tidak mengandung
unsur air. Kemudian Anaximandrus mengatakan bahwa dasar dari alam ini ialah
udara, baginya yang sejati bukanlah suatu yang dapat diamati oleh pancaindra tetapi
sesuatu yang tidak tampak (yang tak terbatas).
Dalam hal ini mitos memang lebih dikenal sebagai kisah yang berlatar belakang masa
lampau, yang umumnya berisi penafsiaran tentang alam semesta dan keberadaan
makluk didalamnya. Munculnya mitos bisa menjadi catatan peristiwa sejarah, atau
menjadi penjelas suatu ritual.
Mitos dan Nalar Manusia Pada mulanya Levi-Strauss tertarik mengenai prinsip-
prinsip dasar manusia, untuk mengetahui hal ini maka yang dilakukan adalah meneliti
bagaimana proses manusia menalar. Levi Strauss mengungkapkan bahwa para ahli
antropologi sebaiknya memberikan perhatian pada mekanisme bekerjanya nalar
manusia dan mencoba memahami strukturnya. Nalar menurut Levis strauss adalah
cara berpikir mengungkapkan struktur dalam fenomena yang didasarkan pada
fenomena ketidaksadaran kolektif, dimana setiap masyarakat dan kebudayaan
memiliki struktur yang berbeda, untuk menunjukkan nalar memang mengikuti
struktur tertentu dan bekerjanya, kemudian meneliti perwujudan aktivitas nalar
tersebut, karena pada dasarnya kebudayaan itu, ada dalam setiap kebudayaan dan
adat. Nalar juga sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dilihat dan diraba. Sehingga
kita akan mencari tahu bagaimana manusia menalar. Levi-Strauss mengatakan bahwa
untuk mengetahuinya maka yang dilakukan adalah meneliti masyarakat yang masih
primitif. Karena apabila kita melihatnya pada masyarakat modern sekarang, sangat
sulit menemukannya. Hal ini disebabkan manusia modern sudah terkontaminasi,
bersifat artifisial,19 atau tiruan, tidak alami. Maka dari itulah masyarakat primitif
menjadi obyek yang paling cocok untuk mengetahui prinsip dasar penalaran manusia.
Segala gejala selalu di lihat dari prilaku, akan tetapi, menurut Levi-Strauss hal ini
tidaklah cukup kuat karena kita akan sulit menemukan nilai universal dari prilaku
masyarakat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Levi-Strauss mengemukakan
alternatif lain yaitu mitos. Mitos bagi Levi-Strauss berbeda dengan pemahaman yang
beredar dalam persefektif mitologi, mitos dalam strukturalisme Levi-strauss tidak
harus dipertentangkan, atau harus kenyataan yang terjadi masa lampau. Karena
sebuah kisah atau sejarah yang dianggap masyarakat benar-benar terjadi ternyata
tidak berlaku untuk masyarakat yang lain, bisa jadi hanya dianggap dongeng. Mitos
juga bukan kisah suci, karena hal yang suci bagi satu masyarakat bisa jadi hal biasa-
biasa saja bagi masyarakat yang lain. Untuk itulah dalam strukturalisme Levi-Strauss
mitos adalah dongeng. Dongeng merupakan kisah atau cerita yang lahir dari imajinasi
manusia, dari khayalan, walaupun unsur-unsur khayalan itu berasal dari kehidupan
manusia. Dongeng adalah cara manusia mengekpresikan pikirannya, karena manusia
mempunyai kebebasan mutlak dalam menalar. banyak kita temui dongeng yang
mustahil terjadi seperti dongeng si kancil, dongeng timun emas,
dan lain-lain. Yang menarik adalah dalam setiap dongeng tersebut ada nila-nilai yang
sama, kemiripan tersebut bukan sesuatu yang kebetulan, karena dongeng adalah
produk imajinasi manusia, produk nalar manusia, kemiripan-kemiripan yang terjadi
merupakan mekanisme yang ada dalam manusia itu sendiri. inilah alasan kenapa
dongeng merupakan fenomena budaya yang paling tepat untuk diteliti bila ingin
mengetahui kekangan-kekangan yang ada dalam gerak atau dinamika nalar manusia.
a. Nilai Sakral
Setiap kehidupan masyarakat menggambarkan mitos tidak hanya sebagai tanda
ataupun penyampaian pesan-pesan yang sudah tersimpan di dalamnya, hal itu dapat
kita lihat dari kehidupan masyarakat yang menjalankan budaya dan adat istiadat.
Sehingga banyak ditemui pada masyarakat primitif dan tradisional saja tentang
keunikan tersebut. Segala yang dianggap sakral oleh masyarakat pasti mendapat
perhatian yang sedemikian rupa. Sehingga sakral diartikan sebagai keramat dan suci.
Keberadaannya sangat diistimewakan. Begitu juga dengan pohon keramat yang
dianggap sebagai sakral, dan masyarakat tidak berani mengganggu keberadaannya
dilingkungan masyarakat itu sendiri. hal ini juga menjadi perhatian masyarakat untuk
memanjatkan doa-doa ketika melintasi tempat tersebut, selalu mengingatkan diri
untuk ingat kepada Tuhannya, semua dilakukan demi keselamatan dirinya ketika
menjalankan aktivitas sehari-hari.
b. Nilai Tabu
Pada umumnya mitos dipahami dalam masyarakat tidak hanya sesuatu yang bersifat
sakral, tapi juga berisi dengan beberapa yang dianggap tabu. Tabu juga banyak
diartikan sebagai sesuatu yang bersifat larangan, ataupun sering disebut oleh
masyarakat setempat dengan pantangan, dengan arti sebagai anjuran untuk
menghormati kejadiaan apapun. Dalam mitos pohon keramat juga terdapat hal yang
dianggap tabu, bahkan terdapat larangan-larangan dan anjuran. Ketika larangan dan
anjuran dilanggar akan berakibat membahayakan kepada diri sendiri. sesuatu yang
akan terjadi adalah tabrakan, kecelakaan, bahkan menyebabkan hal yang tidak pernah
kita inginkan akan terjadi. Strukturalisme mengajarkan kita melihat struktur yang
mendasari sistem dasar kultural dan komunikasi yang ada pada masyarakat. Dengan
adanya strukturalisme kita bisa mengorganisasikan, dan memahami kehidupan
masyarakat, dan kita akan tahu bahwa dalam struktur kehidupan masyarakat terdapat
hubungan antara satu sama lain.
Contoh Aplikasi
Levi-Strauss menerapkan metode strukturalnya untuk menganalisis berbagai
gejala/praktek sosial, salah satunya adalah terhadap larangan incest. Menurut Levi-
Strauss, larangan incest adalah sama universalnya seperti bahasa. Antropologi telah
lama berusaha menjelaskan larangan itu dengan beragam argumen. Namun Levi-
strauss menganggap semua teori itu tidak memuaskan untuk menjelaskan sifat
universal larangan incest ini. Menurutnya, larangan itu merupakan aspek negatif dari
suatu fenomena positif: orang wajib menikah di luar klannya sendiri. perintah
“eksogami” (menikah dengan wanita dari klan lain) mempunyai sebagai akibat
negatif larangan terhadap “endogami” (menikah dengan wanita dari klan yang sama).
Itu berarti bahwa larangan untuk menikahi wanita-wanita diantara kaum kerabat saya
melingkupi juga kewajiban saya untuk “menyampaikan” wanita-wanita itu (dalam
klan saya) kepada orang lain, supaya mereka pada gilirannya akan memberikan
wanita-wanita mereka kepada saya. Dasar hubungan-hubungan sosial dan dasar
kultur ialah pertukaran. Dan perkawinan merupakan model pokok di bidang
pertukaran. Incest ditolak dengan keras dan universal, karena mengingkari larangan
itu berarti menumbangkan tiang-tiang masyarakat. Pertukaran merupakan “hukum
alam” bagi kehidupan sosial. Dengan larangan incest, lahirlah kultur, sebagaimana
dikatakan Levis-Strauss: “larangan incest adalah langkah yang fundamental; karena,
dengan, dan terutama, dalam langkah itu terjadilah peralihan dari alam ke kultur”.
Dengan penjelasan itu, Levi-Staruss merasa telah mengungkapkan suatu proses yang
berlangsung pada taraf tak sadar dari psike manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA