Anda di halaman 1dari 45

Tentang Filsafat Pertama

Terjemahan dan Komentar terhadap Karya Filsuf Abad IX

Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq as Sabbah

al Kindi

Fi al Falsafah al Ula
Diterjemahkan dan dikomentari oleh M. Miftahul Firdaus
Pengantar Penerjemah

Nama Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al Kindi dikenal cukup luas oleh para pelajar di dunia Islam,
walaupun banyak pula dilupakan. Banyak karya telah ditulis oleh Sang Filsuf Arab tersebut.
Namun, sedikit sekali yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Naskah aslinya dalam bahasa Arab
maupun terjemahannya dalam sejumlah bahasa Eropa pun jarang beredar di pasaran. Kalaupun
ada, kita dapat meragukan jika banyak orang di Indonesia telah membacanya.

Hal itu memang dapat dimaklumi. Umat Islam di Indonesia ini khususnya, bahkan juga dunia,
telah lama terjebak dalam perpecahan dan perdebatan dalam perkara yang dangkal sehingga
umat Islam di berbagai penjuru terpuruk dan hidup di bawah hegemoni kapitalisme dan
postmodernisme Barat ataupun State capitalism yang bercampur komunisme politik ala Tiongkok,
yang menjadi kekuatan baru dunia akhir-akhir ini.

Umat Islam di Palestina, Syria, Iraq, Libya, Rohingya, Xinjiang, Yaman dan banyak tempat lain
masih mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidup. Sementara itu, umat Islam yang negerinya
relatif damai justru sibuk saling sikut. Di Indonesia, kaum tradisionalis kerap konlfik dengan kaum
reformis (modernis). Kalangan Islam liberal sering menebarkan keresahan di kalangan Islam lain.
Kelompok politik Islam juga saling menjatuhkan satu sama lain.

Kita seakan tidak pernah belajar dari kesalahan di masa lalu. Perbedaan pendapat memang
kewajaran. Namun, perbedaan itu tidak perlu kita sikapi dengan konflik yang tidak produktif.
Apalagi jika perbedaan itu hanya menyangkut masalah furu’iyah. Masih banyak permasalahan
ushul yang mesti diselesaikan umat ini. Hal ini diperparah dengan fanatisme kelompok dan
kurangnya literasi umat atas karya-karya keilmuan peradaban Islam.

Kurangnya literasi peradaban Islam pada umat menyebabkan segala perbedaan disikapi dengan
cara penuh sentimen, bukannya dengan landasan keilmuan yang utuh. Hal ini membuat situasi
public menjadi panas dan rawan konflik horizontal. Untuk mencegah hal itu dan dalam rangka
menghidupkan kembali khazanah keilmuan Islam, maka penulis memandang penting agar naskah-
naskah keilmuan umat Islam dari berbagai masa dan wilayah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.

Penerjemahan “Fi al Falsafah al Ula” karya al Kindi ini adalah salah satu upaya tersebut. Masih
banyak ulama, filsuf, saintis, dan para tokoh Muslim lain yang menulis karya-karya besar, tetapi
jarang dibaca publik. Dari masa klasik, kita mengenal banyak ahli hadits, penulis tafsir, imam
madzhab fiqih, al Ghazali, al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Haitsam, Nashiruddin at Thusi, Suhrawardi,
Jabir ibnu Hayyan, Jamaluddin al Afghani,
Banyak juga tokoh dalam negeri yang memiliki pemikiran besar dalam keislaman, seperti
Tirtoadhisoerjo, H.O.S. Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso, Bagoes Hadikoesoemo, Ahmad
Dahlan, Hasjim Asj’arie, Natsir, Hamka, Soekiman Wirjosandjojo, hingga Prawoto
Mangkoesasmito. Nama-nama penulis filsafat kontemporer seperti Hamid Fahmy Zarkasy dari
Gontor hingga Salim A. Fillah yang banyak menulis sastra bernapas Islam juga menarik untuk
disimak.

Semoga umat Islam di seluruh dunia dan Indonesia khususnya mampu bangkit dari keterpurukan
dan membangun kembali suatu peradaban besar yang berbasis keimanan dan keilmuan,
sebagaimana yang pernah kita capai pada masa lalu, di saat Eropa dan Barat sedang dalam masa
kegelapan “Dark Ages”, sementara kita mencapai tingkat peradaban yang gilang-gemintang
melalui ajaran Islam.
Abstrak

Tulisan ini berisi terjemahan kritis terhadap naskah berbahasa Arab “Fi al Falsafah al Ula”, sebuah
karya besar dari Ya’qub ibnu Ishaq al Kindi, serta studi hubungan naskah ini terhadap baskah-
naskah lain al Kindi dan filsafat Yunani. Ide-ide al Kindi juga dibandingkan dengan ide-ide
kontemporer di kalangan teolog dan filosof abad IX dan X.

Terjemahan ini secara baku didasarkan pada pola penulisan edisi bahasa Arab buku tersebut oleh
Muhammad Abu Ridah (Kairo, 1950). Bahan pendamping lainnya adalah edisi yang diterbitkan
oleh Ahmad al Ahwani (Kairo, 1948) yang memberikan pandangan lain jika terdapat perbedaan
pembacaan atas manuskrip terbut.

Pengantar terjemahan ini terdiri atas empat bagian : 1) ringkasan riwayat hidup al Kindi dan
literatur-literatur terpenting yang berkaitan dengan studi al Kindi; 2a) deskripsi dan ringkasan isi Fi
al Falsafah al Ula; 2b) analisis filosofis terhadap pandangan-pandangan al Kindi dalam Fi al
Falsafah al Ula; 3) re-evaluasi terhadap hubungan al Kindi dengan Mu’tazilah. Berikut ini adalah
ringkasan poin-poin utama dari komentar dan pengantar yang menjelaskan catatan dan kiasan
dalam terjemahan tersebut.

Kesadaran kita yang terus tumbuh terhadap kekuatan-kekuatan sosial dan budaya yang bekerja
pada abad ke-9 di Baghdad, membantu kita untuk menandai al Kindi, Sang “Filsuf Arab”, dalam
lingkungan yang kompleks dimana kelompok-kelompok etnis, religius, dan pemikiran saling
bersaing dalam masyarakat. Al Kindi meski begitu, tidak dapat kita identifikasi dengan salah satu
kelompok tersebut. Keterlibatan utamanya adalah dengan tradisi filsafat Yunani dan sains yang
baru bersentuhan dengan kaum Muslim ketika itu, menuju penjelasan dan perngembangan tradisi
tersebut melalui tulisan-tulisannya.

“Fi al Falsafah al Ula” memiliki kesamaan dengan banyak tulisannya yang lain, yaitu kombinasi
baru dari definisi-definisi filosofis dasar dan argument-argumen yang agak rumit. Formulasi
argumen favorit al Kindi – dimana dia menggunakan gabungan premis-premis logikal dan faktual –
diidentifikasi dengan logika Stoic, begitu juga kebalikannya, suatu silogisme hipotetis dan
terpisah-pisah.

Dalam penyajian yang kadang repetitif dan tidak merata, “Al Falsafah al Ula” nampaknya pada
awalnya merupakan kuliah-kuliah lisan, kemungkinan di dalam lembaga pendidikan khalifah.
Sejumlah catatannya pada karya ini dan karya-karya lain yang berkaitan dengan al Kindi, yang
baru-baru ini ditemukan di perpustakaan Abu Sulaiman al Sijistani Siwan al Hikmah, sumber yang
cenderung memberikan revisi dari sisi al Kindi dan sumber lain yang mengkritik tulisan maupun
personanya.
Meski begiru, filsafat teoritis al Kindi dapat dikumpulkan dari studi terhadap “Fi al Falsafah al Ula”.
Karya ini menganalisis kausasi, persepsi, substansi, dan kategori serta predikabel dari eksistensi;
menghadirkan prinsip-prinsip dasar logika; dan mendefinisikan konsep kekekalan benda, gerak,
serta waktu yang umumnya dianggap finit. Wujud dan perwujudan dibahas secara terpisah dan
ditunjukkan untuk mengisi satu sama lain dalam eksistensi setiap benda; yang kemudian dilihat
sebagai pembentuk wujud secara non esensial dan aksidental.

Hal tersebut membawa pada asumsi kausa esensial untuk semua wujud aksidental, dimana wujud
esensial harus berbeda secara penuh dari semua wujud yang dapat dibayangkan, baik dalam
jumlah, bentuk (termasuk akal dan jiwa), jenis, maupun analogi. Wujud Esa yang unik ini, sebagai
penyebab dari semua wujud yang lain, dapat dianggap sebagai “Kausa Asal” dari semua substansi
dan kreasi di dunia dari ketiadaan (creation ex nihilo), yang tampaknya dicapai melalui proses
emanasi yang baru saja disebutkan.

Penyebutan terhadap emanasi itu dan titik perhatian terhadap eksistensi Wujud Asal di atas
semua kreasi, mengindikasikan pengaruh Neo-Platonic yang kuat terhadap pemikiran al Kindi,
meskipun dia tidak berupaya untuk membangun skema ontologi dari hipotesis keberadaan
universal antara Sang Wujud Esa dengan manusia. Dia agak samar, dalam “Fi al Falsafah al Ula” ini
dan karya-karya yang lain, dalam kedudukan akal individu dan keseluruhan hubungannya dengan
kemungkinan agen intelektual universal.

Al Kindi menggunakan beragam sumber dalam area tersebut, seperti pembagian akal dari
Aphrodisias Alexander, meskipun tidak pada identifikasinya atas Wujud Intelektual Pikiran Ilahi. Al
Kindi membedakan antara Sang Esa dengan wujud-wujud yang lain, kemungkinan lebih jauh
dalam pandangan transedentalnya daripada yang terdapat dalam sumber-sumber Platonian.

Justru Metafisika Aristoteles-lah yang menjadi sumber utama al Kindi daripada Enneads Plotinus.
Dia juga sering mengikuti naskah Arab karya Aristotel, meskipun tidak pernah benar-benar
menurutinya. Dia bekerja dengan catatan Aristoteles terhadap sifat umum semua substansi dan
keberadaan, melengkapi sumber-sumber Metafisika dengan bahan-bahan yang sepertinya
merujuk pada Kategori, Analitik Posterior, Fisika, dan De Anima.

Namun demikian, dia tidak merujuk sama sekali pada “penggerak tidak bergerak”-nya Aristoteles.
Dia menolaknya dengan penolakan terhadap ketakterbatasan potensial sebagai konsep yang
secara filosofis signifikan, yaitu gagasan semesta eternal dan ekstensi tak terbatas dari waktu dan
gerakan. Bukti yang diajukannya tentang keterbatasan dan keseiringan wujud, mengikuti argumen
yang awalnya disampaikan John Philoponus dan sering muncul dalam tulisan kontemporer al
Kindi. Sementara itu, argumennya tentang absurditas wujud dan perwujudan yang akan datang
secara eksklusif dari wujud yang lain, nampaknya diturunkan dari Parmenides Plato.
Suatu komentar Helenistik terhadap Isagoge Porphyry menyajikan sumber utama lain bagi
sejumlah bagian “Al Falsafah al Ula”, khususnya untuk pembahasan predikabel dan hubungan
wujud serta perwujudan dengannya. Al Kindi mungkin merujuk pada sumber yang sama untuk
pembahasan kritis terhadap sejumlah teori, yang sudah akrab dengannya dari Metafisika dan dari
Pengenalan Aritmatika karya Nichomachus dari Gerasa. Meski demikian, perbedaan pandangan
metafisik yang signifikan terlihat antara Nichomachus dan al Kindi.

Para Ikhwan as Shafa generasi berikutnya juga sangat akrab dengan karya Nichomachus, juga
dengan referensi-referensi lain yang digunakan al Kindi dalam “Fi al falsafah al Ula” maupun karya
lain. Perbandingan singkat antara Rasail (kumpulan risalah) mereka dengan tulisan-tulisan al Kindi,
menunjukkan kesamaan sumber untuk banyak pandangan mereka.

Al Kindi memiliki sejumlah murid, diantaranya Isaac Israeli dan Ahmad at Thayyib as Sarakhsi.
Keduanya, seperti al Kindi, terlihat sebagai figur apolitis dalam masyarakat mereka masing-
masing. Seperti al Kindi pula, as Sarakhsi juga tidak dapat melarikan diri dari pergerakan anti-
Mu’tazilah. Berdasarkan catatan bebas dalam bab pertama “Fi al falsafah al Ula” dan analisis
terhadap pandangan al Kindi terhadap fisika dan wahyu, al Kindi sepertinya tidaklah dekat dengan
Mu’tazilah sebagaimana jamak disangkakan.

Dia umpamanya, meskipun dianggap sibagai filsuf Mu’tazilah, justru memiliki sejumlah kesamaan
dengan para teolog rasional (ahli kalam) dalam beragam tema, teknik eksegetis, sumber referensi,
dan tujuan. Hanya saja, perspektifnya berbeda. Komitmennya terhadap proses rasional
membentuk formulasinya atas kepercayaan religius.

Meskipun dia membicarakan, dalam “Fi al Falsafah al Ula”, kejadian aksidental (creation ex nihilo)
dari semua wujud dan kebergantungan semua wujud tadi terhadap Tuhan Sang Pencipta, dia juga
membahas kausalitas dan substansi yang menunjukkan bahwa dia percaya secara praktis, jika
tidak teoritis, terhadap autonomi. Ini adalah gagasan bahwa setiap bentuk dan materi memiliki
keterbatasan dan kebergantungan terhadap wujud eksternal. Kemudian setiap wujud tadi
bergantung pada Wujud Asal, Causa Primae, tetapi menerima dalam batasan dan ketergantungan
tersebut, semesta fisik tempatnya berada.

Dengan kata lain, pandangan al Kindi tersebut menganggap bahwa wujud Tuhan adalah sumber
dari segala wujud, yaitu wujud Tuhan beremanasi menimbulkan alam semesta. Dengan demikian,
alam semesta itu akan tetap ada selama adanya Tuhan. Suatu pandangan yang tentunya
paradoksial dan berkontradiksi satu sama lain, serta tentu saja terdapat hal yang berlawanan
dengan ajaran Quran “Kullu man ‘alaiha faan, wa yabqa wajhu Rabbika dzul jalaali wal ikraam”.
Meski demikian, al Kindi tetaplah seorang filsuf besar pertama dalam tradisi keilmuan Islam. Dia
bekerja dengan berbagai sumber yang berbeda dan mencoba membangun struktur keilmuan dan
filsafat yang dia rasa akan dapat diterima oleh masyarakat Islam.
Al Kindi dan Studinya

Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al Kindi lahir di Kufah pada akhir abad VIII menjelang awal abad IX saat
ayahnya, Ishaq ibn as Sabbah, menjabat sebagai gubernur di sana. Keluarganya menempati posisi
penting dalam pemerintahan dan merupakan keturunan raja-raja dari suku Kindah di Arab
Selatan. Salah satu leluhurnya juga termasuk sahabat Nabi SAW. Al Kindi memulai pendidikannya
di Kufah dan Basrah lalu menyelesaikannya di Baghdad, pusat peradaban dunia ketika itu.

Dia menjadi terkenal di ibukota Abbasiyah sebagai sarjana dan ahli fisika, menikmati
keistimewaan yang diberikan Khalifah al Ma’mun dan al Mu’tashim kepada para cendekiawan. Dia
juga ditunjuk sebagai guru bagi putra Khalifah, Ahmad. Dalam lingkungan yang nyaman ini, dia
melanjutkan studi di berbagai bidang hingga menjadi figur yang legendaris. Karena sejumlah
alasan, al Kindi jatuh dari posisinya pada masa Khalifah al Mutawakkil.

Perpustakaan pribadinya yang besar diambil alih dan dia terusir. Meski kemudian
perpustakaannya dikembalikan padanya, al Kindi tidak pernah mendapatkan kembali kedudukan
tinggi seperti semula. Dia meninggal di Baghdad pada 870 M. Untuk melihat kisah hidupnya lebih
baik, kita mesti memahami latar belakang kultural dan sosial saat al Kindi hidup. Dengan
demikian, kita dapat melihatnya dari perspektif yang lebih baik.

Masa itu merupakan awal-awal terjadinya gelombang penerjemahan dan studi berbagai
pengetahuan dari sejumlah peradaban, termasuk filsafat Yunani, ke dalam Bahasa Arab di pusat
intelektual abad VIII dan IX di Iraq. Kita dengan demikian dapat menempatkan al Kindi pada awal
era arus filsafat yang tetap penting dalam dunia Islam hingga berabad-abad kemudian.

Para pendengar al Kindi terdiri dari keluarga Khalifah dan para aristokrat lain, sejawat
cendekiawan dan ulama, murid-murid, serta teolog berbagai madzhab. Kebanyakan dari mereka
yang mengikuti kuliahnya seringkali terkaget mendapati bahwa naskah-naskah yang ia gunakan
sebagai rujukan adalah terjemahan dan komentar terhadap pemikiran-pemikiran yang rumit,
tetapi dapat ia tuangkan dalam definisi dan diskusi yang dasar dan relatif sederhana.

Al Kindi tentu saja tidak bekerja dalam kekosongan filosofis. Para teolog Kristen di kemudian hari
bahkan cukup akrab dengan ide-idenya. Namun demikian, jelas sekali bahwa dedikasi karya-karya
al Kindi, mulai dari komentar pengantar hingga suatu tulisan monumental seperti “Fi al Falsafah al
Ula”, sejatinya merupakan upaya parafrase, inisiasi, dan pengakraban filsafat kepada kaumnya,
umat Islam.

Bahwa pada kemudian hari ajarannya tidak selalu diterima dengan baik mungkin dapat dideduksi
dari pembelaannya terhadap sejumlah karyanya. Kita juga dapat mengetahui bahwa dia harus
berjuang menghadapi kecurigaan terhadap filsafat yang dipandang oleh sebagian kelompok
sebagai budaya sekuler dan asing yang menjadi anatema terhadap lingkaran yang jauh lebih
tradisionalis. Di antara mereka tidak hanya kalangan yang lebih tradisionalis seperti Ahmad ibn
Hanbal, tetapi juga kaum Mu’tazilah yang lebih rasional.

Hubungan al Kindi dengan kelompok Mu’tazilah, yang akan dibahas kemudian, diperumit dengan
politisasi kepercayaan dan keulamaan yang mengikuti pendirian Mihna pada 218 H / 833 M. Di
bawah sanksi institusi tersebut dan atas nama keimanan rasional, kaum Mu’tazilah dipersekusi
dengan intensitas yang beragam oleh berbagai ahli hukum dan tentara pemerintah. Namun,
sejatinya sulit untuk mengelompokkan al Kindi ke dalam salah satu di antara kelompok-kelompok
yang berebut pengaruh tersebut.

Kemalangan al Kindi pada era Khalifah al Mutawakkil nampaknya lebih dikarenakan alasan
pribadi, intrik personal, atau pergantian orientasi intelektual dalam dewan-dewan pemerintahan
daripada alasan keagamaan. Demikian juga sifat al Kindi terkadang cukup ambigu. Di satu sisi dia
sering disebut sebagai pribadi yang tamak. Namun, di sisi lain, seperti dalam catatan-catatan yang
ditemukan di as Sijistani Siwan al Hikmah, dia juga disebut sebagai orang yang bijak dan berbudi
luhur.

Yang jelas adalah, masih banyak pengetahuan tentangnya yang belum ditulis dan masih menarik
untuk dipelajari. Sayangnya, karya-karya tentangnya memang kebanyakan klasik dan sedikit
terdapat dalam Bahasa Indonesia. Koleksi terjemahan latin dari karya-karya al Kindi misalnya
diedit oleh A. Nagy. R. Walzer juga menulis dua analisis tekstual terhadap terkemuka tentang
karya-karyanya. M. Abu Ridah menulis dua edisi tentang dua puluh lima naskah filsafat al Kindi,
disertai evaluasi umum dan pengantar personal yang panjang. Begitu pula naskah ini mencoba
menerjemahkan karya filsafat utamanya ke dalam Bahasa Indonesia.

Tentu saja banyak hal negatif ditulis tentang al Kindi oleh para filsuf dan penulis riwayat hidup di
kemudian hari, bahkan terkadang seperti suatu penghakiman. Memang benar bahwa logika al
Kindi tidak selalu analitis dan filsafatnya tidak sepenuhnya konsisten atau tanpa cacat. Meskipun
begitu, hal itu tidaklah mengurangi pentingnya al Kindi dalam rangkaian khazanah keilmuan di
dunia Islam, khususnya pada masa klasik.

Upayanya untuk mengajukan filsafat sbagai bagian esensial dari tradisi yang integral antara
keimanan Islam dengan rasionalisme filsafat menjadi tonggak yang penting. Bahkan, hal itu juga
menjadi salah satu hujjah bahwa Islam bukanlah agama dogmatis yang menghukum penemuan
sains dan pemikiran filsafat, juga bahwa Islam adalah agama yang masuk akal dan mendorong
penggunaan akal. Eranya menjadi pembuka zaman selanjutnya dimana perdebatan keilmuan
umat Islam begitu hidup, seperti “Tahafut al Falasifah” al Ghazali melawan “Tahafut at Tahafut”
Ibnu Rusyd. Begiru pula al Farabi, Suhrawardi, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Upayanya untuk memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam juga tak kalah pentingnya,
menjadi salah satu rangkaian yang mengubah masyarakat gurun yang awalnya banyak buta huruf
menjadi memiliki peradaban termaju pada masanya, yang sering kita sebut: The Islamic Golden
Age. Semoga kita bisa mengulanginya. Amin.
Ringkasan Isi Naskah

Naskah “Fi al Falsafah al Ula” ini secara ringkas terdiri atas bagian-bagian berikut.

Bab 1

Al Kindi memulai karyanya dengan menyatakan perghargaan kepada Khalifah, yang menjadi
tujuan dedikasi buku ini, al Mu’tashim Billah. Dia kemudian memperkenalkan bahasannya dengan
menjabarkan filsafat sebagai seni manusia yang paling agung dan mulia, lantaran filsafat itu
mencari tahu sifat segala sesuatu. Pengetahuan tentang hal dianggap bergantung pada
pengetahuan tentang sebabnya. Sebab paling asal dari segala sesuatu adalah Sang Esa, yang
memiliki pengetahuan “Filsafat yang Pertama”.

Empat sebab Aristotelian dideskripsikan dan dihubungkan dengan empat jenis penyelidikan dan
substansi. Kesulitan memperoleh seluruh kebenaran membangkitkan upaya bersama yang
diperlukan dalam filsafat dan rasa terimakasih atas upaya seluruh filsuf sebelumnya, sesuatu yang
amat dipahami al Kindi. Dia melawan pihak-pihak yang tidak menghargai tradisi filosofis dan
bertaqlid begitu saja pada standard dan metode orang lain sehingga membusukkan motivasi
keilmuan diri sendiri.

Dia menyeru pada para pemegang posisi keagamaan di masyarakat. Pesan kebenaran dari agama
adalah kompatibel dengan filsafat, akunya, bahwa seseorang yang ingin menolak filsafat haruslah
mengetahui filsafat itu sekadar untuk menolaknya. Bab ini lalu diakhiri dengan seruan tentang
perlunya bantuan Ilahi (wahyu) dalam tugas menyusun bukti keilahian (keberadaan) dan keesaan
Tuhan.

Bab 2

Al Kindi memulai bab ini dengan membandingkan persepsi indera dan intelektual, yang disebut
terakhir dianggapnya lebih superior. Suatu contoh spasial dipilih untuk mengilustrasikan sifat
persepsi intelektual, menuntun al Kindi untuk menegaskan keyakinan terhadap keberhinggaan
alam semesta, terhadap prinsip ketidakmungkinan sesuatu hal untuk menjadi tak terbatas dalam
kenyataan.

Kembali pada persepsi lain, al Kindi menekankan kebutuhan untuk menggunakan metode yang
tepat dalam penyelidikan suatu subjek partikuler, alih-alih mencampurkan argumen kemungkinan
dengan kepastian secara matematis. Hal ini membawa al Kindi untuk menegaskan prinsip-prinsip
kerja yang ia gunakan dalam “Fi al Falsafah al Ula”. Pertama, prinsip mengacu dahulu pada konsep
suatu keberadaan kekal, mengklarifikasi artinya secara logis, dan menghubungkannya dengan
keberadaan yang unik dan tunggal.
Kedua, prinsip mengacu pada ide dasar tentang persamaan dan pertaksamaan jasmani, yang ada
dalam hukum-hukum identitas, kontradiksi, dan pengecualian (excluded middle). Bekerja dengan
prinsip-prinsip tersebut, al Kindi menawarkan sejumlah argumen untuk membuktikan bahwa
benda, beserta propertinya dalam waktu dan gerak, tidak dapat menjadi tak terhingga dalam
kenyataan. Sembari membangun argumen perlunya semesta yang berhingga, dia juga
menunjukkan bahwa suatu benda, dalam pengertian fisika sederhana, tidak dapat muncul dengan
sendirinya ataupun berada dalam keadaan diam sebelum bergerak.

Bab 3

Bab 3 dibuka dengan pengujian dan penolakan terhadap konsep-konsep autokausasi dan
keterpisahan esensi dari substansi yang substansi itu merupakan esensi itu sendiri. Kedua istilah
terakhir ini berhubungan salah satunya dengan predikabel-predikabel yang didefinisikan.
Predikabel-predikabel tersebut – genus, spesies, individual, perbedaan spesifik, property, dan
kejadian umum – bertindak sebagai subjek-subjek diskusi detail tentang jalan sesuatu didasarkan.

Al Kindi menunjukkan bahwa pada setiap kasus, predikabel tersebut tidaklah secara esensial
tunggal. Kejadian wujud dalam setiap hal dianggap sebagai indikasi keberadaan agen eksternal
yang menimbulkan wujud tanpa harus ada predikabel dan jumlah yang terkait. Agen itu secara
esensial menentukan wujud.

Sifat segala sesuatu dalam pengalaman kita terlihat mensyaratkan elemen wujud maupun
perwujudan. Asumsi adanya salah satu dari keduanya secara sendiri akan menghasilkan
kesimpulan yang absurd, yang al Kindi kerjakan secara detail pada keduanya. Asosiasi yang
dibutuhkan pada segala sesuatu dari wujud dan multiwujud dipandang sama dibutuhkannya
seperti suatu sebab yang tidak dapat sama dengannya apapun caranya dan harus merupakan
suatu wujud yang absolut.

Bab 4

Wujud absolut ditunjukkan tidak ditemukan pada segala sesuatu yang memiliki kuantitas, ukuran
menjadi relatif. Tidak ada sesuatu benda pun yang besar atau kecil secara absolut, tidak pula
angka 2. Kemungkinan angka 1 sebagai bilangan diuji dan ditolak. Angka itu dipandang sebagai
elemen bilangan, memperkalikan dalam hubungan dirinya terhadap angka-angka lain. Ukuran
relatif hanya dapat diterapkan pada anggota lain dari genus yang sama, contoh yang luas
diberikan.

Sang Esa Sejati tidak memiliki genus dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Ia kekal dan
tunggal secara absolut, dan al Kindi menjelaskannya dalam istilah kebalikan (negasi). Dia tidak
dapat dibandingkan dengan segala predikabel dan tidak memiliki suatu properti fisikal apapun.
Sang Esa Sejati juga bukan jiwa, bukan pula akal, yang keduanya (jiwa dan akal) dianggap terbilang
dan tidak tunggal secara esensial. Perbandingan tersebut kemudian dilanjutkan dengan
pernyataan bahwa Sang Esa Sejati tidak bersinonim maupun berhomonim dengan sesuatupun.
Wujudnya juga esa secara absolut, bukan esa secara jumlah, bentuk, genus, maupun analogi.

Sang Esa Sejati dengan demikian adalah wujud yang unik, secara esensial tunggal, dan menjadi
penyebab kekuatan emanasi yang mewujudkan semua kejadian wujud yang lain. Namun,
kesemua wujud yang lain itu tidaklah menjadi bagian dari wujud Sang Esa. Sang Esa Sejati oleh
karena itu menyebabkan keberadaan segala sesuatu, suatu penyebab asal semuanya (causa
prima). Ia juga menyebabkan penciptaan semesta dari ketiadaan (creation ex nihilo). Tanpa
wujud, sebuah benda akan lenyap, sehingga Sang Esa Sejati juga menjadi pemelihara
keberlangsungan semua wujud lain pada sekalian semesta alam.

Al Kindi menyimpulkan bab ini dengan menyebutkan sifat kreatif (menciptakan), emanatif
(memancar menjadi wujud penciptaan), dan mahakuasa sebagai sifat dari Sang Esa Sejati. Dengan
demikian, ia menunjukkan seluruh wujud dan keberadaan yang lain sebagai bersifat metaforis.
Analisis terhadap “Fi al Falsafah al Ula”

Segala upaya untuk menganalisis karya al Kindi ini secara filosofis seringkali rumit menurut gaya
yang ringkas, dengan sejumlah premis dari argument yang ada mungkin hilang, istilah-istilah
penting mungkin digunakan tanpa sebelumnya didefinisikan, dan keseluruhan karya ini
sebenarnya dapat disarikan ke dalam beberapa lembar saja. Peringkasan ini diseimbangkan
sebagaimana mestinya dengan teks yang berlapis dan argumen yang berulang untuk membentuk
proposisi universal dengan menawarkan bukti dengan tipe formulasi yang sama, dalam
pernyataan-pernyataan untuk setiap anggota kelas. Salah satunya adlah kecenderungan
penggunaan metode induktif daripada metode deduktif.

Karakteristik gaya nalar ini mengindikasikan bahwa kerja filosofis al Kindi tidaklah dimaksudkan
untuk dibaca sebagai suatu naskah yang terpisah, alih-alih harus dipadukan dengan naskah-
naskah yang lain dalam suatu konjungsi. Kita mungkin mendapati bahwa setiap kitab dan risalah
yang ditulis olehnya merupakan bagian dari rangkaian kuliah atau ceramahnya yang bersambung
kepada sekelompok pendengar. Para pendengar itu bisa jadi merupakan orang-orang yang tak
berpengalaman dalam filsafat atau bahkan spektis.

Ini memberikan penjelasan terhadap alasan ia menggunakan argumen yang membingungkan juga
merujuk pada tulisannya yang lain. Hipotesis ini berarti bahwa pemikiran al Kindi dalam bentuk
tradisi semi-oral dan semi-privatlah yang bisa memenuhi bagian-bagian yang dirasa tidak lengkap
atau tidak memuaskan dari sebagian karya tulisnya. Bahkan, sebagian korpus tulisannya baru
dituliskan dan mendapatkan bentuk definitif setelah dia meninggal.

Jika seseorang dapat mengklaim kredibilitas filosofis tertentu untuk naskah-naskah Kindian
tersebut yang pada masa kini berwujud fragmen-fragmen, kepastian yang serupa juga dapat
dikatakan untuk karya filsafat besarnya, “Fi al Falsafah al Ula”, suatu karya yang menunjukkan
kesadaran dan perhatian seorang filsuf, sebagaimana ketegangan dan kompromi yang tak
terhindarkan yang diberlakukan pada filsafat agar mengakomodasikan diri terhadap keimanan.
Naskah itu memulai dengan perayaan dan penjelasan pencarian kebenaran filosofis yang
diterjemahkan sebagai berikut.

“Sungguh, seni manusia yang tertinggi dalam derajat dan paling mulia dalam peringkat ialah
filsafat, suatu pengertian tentang pengetahuan sifat sejati segala sesuatu, sejauh mungkin ia
dapat digapai oleh manusia. Tujuan dari para filsuf, sebagaimana pengetahuannya sendiri, ialah
untuk memperoleh kebenaran dan sebagaimana perbuatannya sendiri, ialah berbuat dengan
penuh kebenaran. Bukan karena pencarian itu tanpa akhir sehingga kita menjadi hampa dan amal
menjadi luntur saat kita sudah mencapai kebenaran itu. Kita tidak dapat menemukan kebenaran
yang kita cari tanpa menemukan sebab. Sebab dari keberadaan dan keberlangsungan segala
sesuatu tiada lain adalah Sang Esa Sejati, sehingga setiap yang memiliki keberadaan memiliki
kebenaran untuk ada. Oleh karena Sang Esa Sejati itu ada, segala sesuatu menjadi wujud. Oleh
karenanya, filsafat paling mulia dan paling tinggi ialah ‘Sang Filsafat Pertama’, ialah cahaya
pengetahuan dari ‘Sang Kebenaran Pertama’ yang menyebabkan semua kebenaran.”

Kutipan itu dengan jelas memperlihatkan bahwa tujuan dari seorang filsuf adalah menemukan
kebenaran, sedangkan “Sang Kebenaran Pertama” ialah sebab dari semua kebenaran itu.
Pandangan yang demikian itu menyebabkan seseorang untuk berpikir dalam pengertian filosofis
tentang ide Neoplatonic terhadap asal tunggal segala sesuatu. Dengan melihat pada model
Neoplatonic, sejumlah hal yang tidak jelas dalam bab ini dan bab-bab berikutnya menjadi lebih
jelas. Dengan demikian, hubungan antara keberadaan dan kebenaran, secara tidak cukup
dinyatakan di atas, dapat dipahami dengan asumsi bahwa pembaca – atau pendengar – telah
memahami (atau sekadar mengetahui) bahwa segala wujud memperoleh keberadaannya dengan
bergantung pada keberadaan Sang Esa Sejati, kombinasi dari identitas mutlak dari wujud dan
kebenaran atas sifat-Nya sendiri yang berwenang atas segala kejadian dan korelasi partikuler di
semesta ini.

Namun, cukup signifikan bahwa al Kindi tidak mendetailkan hubungan kausalitas ini dan bahwa
dia tidak mengembangkan gagasan tentang identitas kebenaran dan keberadaan. Selain itu,
doktrin emanasi Neoplatonik menempatkan suatu rangkaian tak terpisahkan dari keberadaan
yang memiliki epistemology yang membawa pada kesatuan mistik wujud dengan Sang Esa, suatu
yang dielakkan oleh al Kindi. Sebenarnya, kualifikasi dan batasan fisik telah membebankan upaya
filosofis sejak paragraph pebukaan. Ini terlihat didesain untuk menyatakan kesadaran al Kindi
terhadap batasan-batasan tersebut – pun begitu dengan semua kemungkinannya – tentang
filsafat.

Lagi-lagi, latar belakang Neoplatonik membuat penggunaan kausalitas oleh al Kindi pada kutipan
di atas masuk akal. Ini karena dia menyambung teks tersebut dengan teks lain yang
menitikberatkan bahwa hanya terdapat empat sebab, yang dikenal sebagai sebab “material”,
“formal”, “efisien”, dan “final” dalam konsep Aristotelian. Al Kindi menyatakan dengan jelas
bahwa setiap sebab haruslah merupakan salah satu dari keempatnya. Namun, tentu saja semua
sebab kecuali “Sebab Pertama” yang memuat semua yang lain dan melampaui segala sesuatu.

Meskipun membenarkan hal tersebut, kita mesti mengakui bahwa al Kindi mengabaikan pendirian
tentang sebab ini untuk nyaris keseluruhan naskah dan bahwa dia tetap berpijak dengan kerangka
kerja Aristotelian tentang kausalitas dan wujud fisik. Dalam kerangkan itu, dia berupaya untuk
membuktikan bahwa : a) tidak ada satupun wujud semesta yang secara esensial tunggal dan oleh
karenanya b) Tuhan secara esensial esa. Lagi-lagi, kita melihat ambivalensi penggunaan
terminologi. Al Kindi menyinggung doktrin Neoplatonik, tetapi tidak benar-benar menjustifikasi
atau bekerja dengannya.
Penerapan istilah tersebut unik. Gagasan kemutlakan secara partikuler hanya terdapat pada
pembahasan tentang “Sang Esa Sejati”. Ini karena al Kindi menemukan bahwa kerangka
Neoplatonik itu bertentangan dengan eksistensi suatu dzat yang esa secara mutlak hanya
sebelum adopsinya terhadap konsep hubungan dengan Tuhan yang demikian itu. Pada dasarnya,
al Kindi merasa bahwa tidak ada kuantitas atau bilangan yang sedemikian besar yang secara teori
tidak ada lagi yang lebih besar darinya, demikian juga jumlah atau bilangan yang begitu kecil yang
tidak ada lagi yang lebih kecil darinya.

Al Kindi menggunakannya pertama kali untuk membuat pengecualian terhadap aturan itu. Dia
mengklaim bahwa dua adalah batas numerik terendah, dengan pendirian bahwa istilah satu
adalah suatu jumlah satuan (seperti konsep vector satuan dalam fisika i, j, dan k) dan tidak
mengandung kuantitas dalam dirinya sendiri, sebagaimana harus dimiliki suatu jumlah atau
bilangan. Dua, pada saat yang sama, dianggap sebagai penggandaan dari suatu satuan, dan
dengan demikian tidak kecil secara absolut.

Namun, dalam pengakuan atas hal ini, satu dibawa ke dalam hubungan yang dapat terkuantifikasi
dan pengecualiannya terhadap bilangan tampaknya agak dipaksakan dan sepenuhnya semantic.
Al Kindi akan menyadari hal ini kemudian dalam naskahnya, saat dia mengatakan bahwa satu
secara numerik, terhadap posisinya dibandingkan dengan semua benda, juga terbilang.

Al Kindi mungkin tertarik dengan ide satu yang non numerik karena kesamaan dengan konsep
keesaan Tuhan, yaitu terpisah dari bilangan, satu adalah basis dasar dari seluruh bilangan dan
karenanya bukan sebagai bilangan. Ini adalah perangkat dimana enumerasi, kuantifikasi, dan
singkatnya penegtahuan tentang dunia ini menjadi mungkin diketahui. Begitu pula “Sebab
Pertama” “Sang Esa Sejati”, saat dipandang sebagai sumber dan penjamin segala keberadaan, Dia
juga secara jelas terpisah, yaitu bukan menjadi bagian dari semua keberadaan itu. Terpisah di sini
tidak berarti tak berhubungan dengan dunia. Sang Esa Sejati juga tidak dapat disifati dengan sifat
segala keberadaan yang lain (makhluk). Demikian juga sifat tunggal secara numerik. Ini pada titik
terjauhnya merupakan suatu homonym, walaupun al Kindi tidak mengakuinya sejauh itu.

Meskipun dengan berbagai ambiguitas filosofisnya, al Kindi merujuk – walaupun jarang – Sang Esa
Sejati sebagai Sang Awal dan Sang Kekal (yang dikatakan memiliki keberadaan dan
keberlangsungan diri sendiri). Penggunaannya atas istilah-istilah ini tidaklah serampangan dan
bukan pula hanya sebagai homonym. Kekuatan dari keseluruhan sistem konseptualnya
bergantung pada keberadaan suatu dzat yang secara esensial esa yang menjadi sumber asal dan
independen dari segala realita.

Dengan demikian, al Kindi membangun gagasan pada satu sisi “Fi al Falsafah al Ula” bahwa gerak
dalam semesta tidak dapat bermula dari ketiadaan – karena asumsi ketakmungkinan sesuatu
berada tanpa sebab dan suatu wujud eskternal harus berasal dari penyebab gerakan – maupun
berasal dari keadaan diam tanpa ada sebab yang menyebabkannya bergerak. Pada sisi yang lain,
seluruh keberadaan bermula dari sebab asal yang tunggal, “Sang Awal”, yang menjadi penyebab
semua keberadaan tapi independen terhadap semua keberadaan itu, yang ada tanpa memerlukan
sebab dan unik terhadap semua sifat definitive dari segala keberadaan yang disebabkannya, yang
dengan demikian, merupakan “Sang Esa Sejati” yang senantiasa absolut.

Hal tersebut merupakan penggunaan istilah yang samar-samar yang memungkinkan al Kindi untuk
menyelesaikan masalah-masalah fisik dengan konsep-konsep nonfisik, yang dia sajikan dalam
terminologi fisik. Namun, sejumlah gelar yang digunakan untuk mendeskripsikan Tuhan dalam
hubungan fisik dengan dunia kebanyakan merupakan istilah dari argumen pribadi al Kindi. Via
negative tersebut hanya dapat membawa pada Deus Negativus atau Absconditus; Sang Pencipta –
suatu istilah nonfilosofis yang al Kindi gunakan – tentang Dia walaupun kita tidak mengetahui
apapun.

Masalah ini disadari oleh al Kindi, walaupun dia tidak sepenuhnya sadar seberapa rapuhnya
pendekatan teologi negatifnya. Ini adalah struktur emenasionis, yang tidak terlalu banyak
disebutkan dalam naskahnya, yang ditujukan, sebagaimana kita lihat, untuk menjembatani celah
kognitif dan ontologis ini. Dengan demikian, cukup mengejutkan untuk mendapati bahwa al Kindi
meminjam begitu sedikit doktrin eksplisit dari karya besar Neoplatonisme, Enneads Plotinus;
suatu parafrase yang dia persembahkan dengan – sejumlah koreksi “ashlahahu” – untuk Khalifah
al Mu’tashim Billah.

Setelah sejumlah kemiripan antara kedua karya tersebut di awal penulisan, kesejajaran tekstual
dengan “Theology” baru terjadi menjelang akhir “Fi al Falsafah al Ula”, dimana latar belakang
pengetahuan karya sebelumnya dapat mengklarifikasi posisi al Kindi. Dengan demikian,
deskripsinya tentang hubungan Sang Esa Sejati dengan sebab atau kejadian suatu wujud,
hubungan Tuhan dengan dunia, berputar di sekitar dunia wujud, keberadaan, dan emanasi.
Namun, al Kindi berpendapat, dengan sejumlah proses emanatif yang belum tereksplorasi bahwa
wujud suatu benda “datang dari” suatu “Wujud Absolut”.

Sekarang, “Theology” Aristoteles secara pokok menjadi penguji detail dari struktur emanasi ini;
menjelaskan beragam hipotesa universal akal, jiwa, dan sifat; menganalisis hubungan mereka
terhadap satu sama lain dan terhadap Sang Esa. Fakta bahwa al Kindi mengabaikan dunia entitas-
entitas yang jelas ini mungkin mencerminkan hubungannya yang belum terselesaikan dengan
metafisika Neoplatonik. Namun, dia sepaham dengan ide emanasi meskipun tidak pada detailnya
dan menerima kulit persitilahan Neoplatonisme sembari merevisi makna dalamnya. Dengan
demikian, tampaknya dia memperlakukan proses “datang dari” (sebagai terpisah dari kerja Dzat
Tuhan) sebagai sebanding dengan generasi fisikal karena dia melihat secara praktis semua
keberadaan sebagai multiwujud sehingga dapat terbagi dan fana.
Namun, dalam teks Theology yang sebanding, yang memperlakukan hubungan antara “sebab
awal” dengan “semua yang datang darinya”, huwiya dianggap sebagai emanasi pertama yang
menyembur keluar – inbajasa – dari Sang Esa, yang darinya, kecerdasan universal dan entitas-
entitas berikutnya terbentuk. Dengan kata lain, huwiya diperlakukan dalam Theology sebagai
prinsip kreatif emanasi dari Sang Esa, meskipun Sang Esa berada di atasnya. Al Kindi menolak
gagasan itu, bahkan saat dia menggunakan istilah-istilahnya, mengklaim bahwa wujud Sang Esa
sejati adalah keberadaan-Nya yang tidak pernah dibagikan kepada satupun ciptaan-Nya,
meskipun itu mengharuskan keberadaan itu untuk menjadi satu dengan wujud Sang Esa.

Dengan demikian, penggunaan al Kindi atas Theology dan mungkin juga beberapa tulisan terkait
begitu hati-hati. Tampaknya, dia menolak ontologi Neoplatonik, tetapi tertarik dengan pandangan
trasedennya tentang Sang Esa yang tidak lain adalah Sang Pencipta.

Karena itu, kita bermaksud untuk meletakkan filsafat al Kindi dalam suatu kerangka kerja
Aristotelian yang lebih sempit, khususnya telah jelas bahwa dia memodelkan “Fi al Falsafah al
Ula” kepada bagian besar dari Metaphysics. Sebetulnya, sejumlah bagian tulisan al Kindi seperti
parafrase dari bab-bab tertentu dalam Alpha Elatton. Selain itu, kita juga tahu bahwa al Kindi
sedikit tertarik pada Metaphysics dan sejumlah Astat atau Eustat menerjemahkannya untuknya.
Terlebih, al Kindi secara terbuka menyatakan kekagumannya pada Aristoteles dan Stagirite jelas
merupakan pengaruh moral dan intelektual baginya. Namun, terdapat pula sejumlah kesimpulan
anti-Aristtotelian yang ditarik dalam “Fi al Falsafah al Ula”.

Terdapat indikasi bahwa perilaku yang ambivalen terhadap ajaran Aristotelian ini telah ada sejak
pembukaan “Fi al Falsafah al Ula”, bahkan dapat dikatakan sejak pemilihan judulnya. Hal itu
karena al Kindi lebih memilih untuk membicarakan aspek yang dalam Metaphysics disebut oleh
Aristoteles sebagai σοϕία, prinsip-prinsip umum dari semua keberadaan, (). Dengan demikian, ia
pada dasarnya menolak keberadaan dzat yang terpisah dan tidak dapat menggerakkan, yaitu area
“Theology” sebagaimana yang juga didefinisikan dan dikembangkan oleh Aristoteles dalam
“Metaphysics”. Dengan demikian, meskipun ia menamai naskah ini dengan al-Falsafah al-Ula
menggunakan sebutan ketiga Aristoteles terhadap “Metaphysics”, al Kindi memperlakukan “Fi al
Falsafah al Ula” seperti Sophia yang dipindahkan dari Teologia.

Hal tersebut tampak jelas terlepas dari pernyataan yang dikutip di atas tentang Kebenaran
Pertama yang merupakan penyebab semua kebenaran dan komentar pengantar lainnya dengan
nada yang sama, seperti pernyataannya bahwa pengetahuan tentang sebab pertama telah secara
benar disebut Filsafat Pertama, karena semua filsafat lain terkandung di dalam pengetahuan-Nya.
Oleh karena itu, Dialah yang pertama dalam kemuliaan, yang pertama dana genus, yang tertinggi
dalam peringkat pengetahuan paling pasti, dan yang pertama dalam waktu karena Dia
menyebablan waktu.
Dengan memuji pengetahuan Kebenaran Pertama dan Sebab Pertama sebagai Filsafat Pertama, al
Kindi dapat dianggap berada di dalam tradisi Teologia Aristotelian, meskipun formulasinya
memiliki lingkaran Neoplatonik. Namun pernyataan-pernyataan ini tidak ditindaklanjuti satupun
dengan pemeriksaan "Sebab Pertama" atau "Kebenaran Pertama", atau dengan analisis terhadap
satupun substansi yang terpisah dan tidak dapat digerakkan; alih-alih kita diberi pekerjaan yang
dipersembahkan untuk prinsip umum sebab-akibat dan "kebenaran", yaitu suatu keberadaan.

Dengan demikian, al Kindi memberi tahu kita bahwa semua yang dapat kita ketahui tentang Sang
Kebenaran Pertama, yaitu Tuhan, adalah bahwa semua pengetahuan kita terhadap yang lain tidak
dapat diterapkan pada-Nya. Secara lebih sederhana, hal ini dapat diterjemahkan menjadi “Dia
bukanlah satupun hal yang sama dengan atau ada di dunia ini”. Tentu terdapat kemungkinan
bahwa al Kindi membahas “Fi al Falsafah al Ula” sebahai Teologia pada bagian kedua terakhir
buku tersebut. Namun, ketiadaan hal itu pada tulisan-tulisan analisis filsafatnya yang lain dalam
topik ini, baik itu secara Aristotelian atau Neoplatonik, membuat hal itu agak mustahil.

Paling mungkin al Kindi merasa bahwa argumennya mengenai sifat terhingga dan tergantung dari
alam semesta mau tidak mau menghasilkan kesimpulan tertentu tentang keberadaan dan sifat
Pencipta; dan bahwa pendekatan tidak langsung ini adalah satu-satunya metode yang secara
filosofis layak untuk "Filsafat Pertama". Ketercapaian dan validitas filosofis sungguh merupakan
kriteria utama bagi al Kindi. Naskah-naskah dan komentar Aristotelian memberikan otoritas
terhadap petunjuk metodologi, definisi istilah, dan aturan logika yang kita temukan di dalam “Fi al
Falsafah al Ula”.

Faktanya, al Kindi menerima kebanyakan argumen Aristoteles terhadap kebergantungan alam


semesta sebagaimana terdapat di dalam “Metaphysics” dan “Physics”, yaitu bahwa bentuk dan
materi, aktualitas dan potensi, merupakan atribut utama suatu zat; juga bahwa waktu dan
gerakan juga hanya ada dalam kaitannya dengan substansi, seperti fungsi tubuh; dan juga bahwa,
sementara urutan sebab-akibat harus digunakan untuk menjelaskan hubungan fisik, suatu regresi
sebab-akibat yang tak hingga ialah tidak mungkin baik secara logika maupun fisik.

Aristoteles membebaskan waktu dan gerak dari generalisasi terakhir ini ketika ia menganggap
mereka, menurut definisi kodrat mereka, bersifat abadi, yang dengan demikian, mengharuskan
bahwa posisi benda yang tak berhingga, meskipun secara spasial terhingga, ialah bergerak secara
abadi. Hal ini kemudian membawa Aristoteles untuk menempatkan keberadaan sebab awal abadi
yang dianggapnya sebagai penggerak yang tidak bergerak “unmoved mover”.

Namun, al Kindi menolak eksepsi dasar tentang sifat waktu dan gerak dari Aristoteles tersebut.
Dia memandang bahwa, seperti segala hal yang lain (selain Sang Sebab Pertama), (kemungkinan)
sesuatu memiliki ketakberhinggaan secara potensial merupakan hal yang tidak masuk akal
(inkonsisten). Dia mengetengahkan bahwa secara aktual, tidak ada keberadaan, selain Sebab
Pertama, yang bersifat dan yang dapat menjadi tak berhingga.

Semuanya tunduk, al Kindi berpendapat, kepada kuantifikasi dan, karenanya juga pada,
pembatasan. Jauh dari membawa wujud ke dalam keabadian, waktu dan gerak selalu dibatasi
oleh wujud aktual hingga dimensi yang terukur dan terukur. Akibatnya seseorang tidak dapat
berbicara tentang waktu, gerak, atau wujud secara terpisah satu sama lain. Al Kindi menegaskan,
dalam kenyataannya, mereka adalah konsep yang saling bergantung yang merujuk pada wujud
yang terbatas dan karenanya makhluk yang fana.

Al-Kindi melanjutkan untuk menguraikan doktrin tentang "timbal balik konseptual" ini dalam bab
3 dan 4 dari "Fi al Falsafah al Ula". Sebagian ia lakukan dengan menggunakan metode dan langkah
pembahasan masalah menurut cara yang dikemukakan oleh Plato dalam Parmenides-nya, yang
mungkin telah mencapai al-Kindi dari beberapa sumber Neoplatonik atau Platonis Tengah, seperti
yang dinyatakan oleh beberapa cendekiawan. Dengan demikian kita mendapati bahwa al Kindi
menggagas tetang perlunya keberadaan wujud dan multiwujud dalam semua hal dan konsep.
Tidak ada yang dengan sendirinya yang secara esensial satu, dan dunia dicirikan dengam
kombinasi subjek dan predikat, secara sendiri maupun bersama.

Sekarang dalam membantah gagasan Aristoteles tentang dunia abadi, al-Kindi menawarkan dunia
nyata yang terbatas yang membutuhkan sebab pertama yang tidak terbatas. Namun, hal itu tidak
dapat ia hadirkan dalam batas-batas filsafat Aristotelian karena ia menolak gaggasan Aristoteles
tentang wujud tidak bergerak yang terpisah (dari semesta) yang bertindak sebagai penyebab
gerakan abadi.

Dalam berbagai pembahasan, al-Kindi lagi-lagi membantah kemungkinan keberadaan abadi yang
terpisah dan independen sejauh kita dapat memahami makna semua istilah ini di dunia fisik kita.
Namun keberadaan substansi yang sangat "tiba-tibaa" mengindikasikan kepada al-Kindi
penegasan sah dari keberadaan "esensial" yang ada sebelumnya, yaitu wujud yang sepenuhnya
"satu", meskipun wujud semacam itu berada di luar kompetensi wacana filosofis.

Dengan begitu, argumen al-Kindi diakhiri dengan penggunaan metaforis terhadap istilah-istilah
deskriptif, meminjam, setidaknya sebagian dari visi Neoplatonik tentang Sang Esa, sementara
sumber untuk semua keberadaan berada di luar analisis dan pemisahan yang dilakukan
Aristoteles. Namun, al Kindi tidak mau merinci hubungan Sang Esa tersebut dengan dunia. Dia
merasa sudah cukup untuk "membuktikan" bahwa dunia membutuhkan Sang Pencipta yang tak
lain adalah Sang Esa Sejati.

Penyimpangannya yang paling signifikan dari tradisi Aristoteles dan filsafat Peripatetik adalah
penolakannya terhadap alam semesta yang kekal. Hal itu sebagian dicapainya dengan sikap yang
sangat berkualitas terhadap konsep potensi dan, secara terkait, pernyataannya tentang apa yang
menjadi jenis kausalitas kelima, yang dikerjakan oleh Allah dan yang paling nyata dalam tindakan
penciptaan dari ketiadaan. Hal ini pada gilirannya mengarah pada anggapan tentang semua sebab
dan tindakan lain, dan wujud semua dzat, sebagai hal yang "metaforis", sebuah perspektif tentang
dunia ini yang, jika pun tidak mewakili pandangan total al Kindi, masih asing bagi pemikiran
Aristotelian.

Hal tersebut merupakan tradisi Neo-Platonis dalam filsafat, sebagaimana juga perspektif teologis
Islam, yang di sini membuat kontribusi mereka pada pemikiran al-Kindi. Pengaruh lain juga
bekerja, yaitu yang terinspirasi oleh pembahasan filosofis Hellenistik dan karya matematika
Yunani. Memang, dalam membahas tentang satu dan banyak serta pengertian jumlah dalam “Fi al
Falsafah al Ula”, al-Kindi memadukan filosofi dialektika dan matematika, sebuah pendekatan yang
tidak biasa untuk tradisi Neo-Platonis.

Terlebih lagi, perlakuan al Kindi terhadap angka menunjukkan bahwa dia akrab dengan teori
aritmatika dan meningkatkan kemungkinan bahwa dia menggunakan sumber aritmetika di sini.
Kemungkinan yang dianggap lebih masuk akal oleh pengetahuan kita tentang karya-karyanya
yang lain. Selain itu, muridnya, Abu Sulaiman Rabi 'ibn Yahya, menulis sebuah naskah untuk
Nicomachus dari Gerasa tentang pengantar aritmatika, yang sering ia akui sebagai pandangan
gurunya.

Namun demikian, perbandingan teks kita dan Nichomachus menghasilkan sedikit perbedaan
tertentu. Bahkan, bagian tertentu aritmetika “Fi al Falsafah al Ula” tampaknya berasal dari
sumber sekunder, mungkin dari beberapa diskusi seperti yang ditemukan dalam pengantar
pembahasan “Isagoge”, sumber yang digunakan al Kindi di tempat lain dalam naskah ini.

Pernyataan tertentu mengenai kedua buku itu tampak bersesuaian karena al Kindi mungkin
bereaksi terhadap teks Nichomachus secara tidak langsung dan, seperti yang akan kita lihat,
mungkin mengikuti beberapa garis besar pekerjaan yang kemudian tercermin dalam “Rasa'il
Ikhwan as Shafa” (Risalah-Risalah Persaudaraan Kemurnian; kumpulan 52 risalah tentang
matematika, geometri, astronomi, geografi, politk, akhlak, logika, psikologi-rasional, universalisme
makrokosmos, prinsip-prinsip intelektual, keyakinan kebangkitan, kausalitas, aqidah, hukum, dan
dunia ghaib dari Ikhwan as Shafa, sebuah kumpulan persaudaraan para peneliti muslim yang
mulai aktif pada kisaran abad ke-8 atau abad ke-10 M, yatu pada masa Kekhalifahan Abbasiyah,
penerj).

Meskipun al-Kindi umumnya akan bersimpati dengan deskripsi Nichomachus tentang filsafat
berkaitan dengan pengetahuan keberadaan abadi, dia tidak akan setuju dengan pendapat
Nichomachus tentang unsur-unsur angka, wujud tunggal dan angka dua, sebagai keberadaan yang
seperti itu, atau dengan asumsi Neo-Pythagorasnya yang sama tentang keberadaan universal,
yaitu pola numerik abadi yang dengannya dunia diatur.

Al Kindi hanya akan bersimpati kepada gagasan-gagasan Nichomachus, tentang bilangan satu dan
dua serta hal-hal yang lain, pada pandangan yang melihat angka sebagai hal yang setara dengan
bentuk, meskipun dia tidak akan menyetujui ide keberadaan “terpisah” yang berkaitan dengan
prinsip-prinsip tersebut. Hal itu karena al-Kindi juga menyatakan perlunya menempatkan wujud
dan multiwujud, yang satu dan yang banyak bersama, dalam segala hal. Seperti Nichomachus, ia
menganggap yang satu lebih mendasar daripada yang banyak.

Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Nichomachus, konsep yang serupa tentang hal yang terbagi
dan tak terbagi, telah terdapat pada naskah pra-Sokratik dan Platonik, sehingga familiaritas al
Kindi dengan hal-hal itu tidak dapat ditarik secara langsung kepada Introduction karya
Nichomachus. Selain itu, penekanan pada satu sebagai elemen asli dan penyebab semua, seperti
yang telah kita lihat, merupakan prinsip NeoPlatonisme.

Namun demikian, ada poin tambahan yang layak disebutkan dalam mempertimbangkan
kemungkinan hubungan antara Nichomachus dan al-Kindi. Dalam Theologoumena Arithmeticae-
nya, Nicomachus secara eksplisit membandingkan monad (sifat tunggal) dengan Tuhan; karena
Dia berada dalam segala hal, maka monad dalam semua bentuk numerik (yaitu, dalam semua
hal).

Sekarang, sementara pandangan al-Kindi tentang hubungan satu numerikal dengan angka dapat
membangkitkan analogi hubungan Allah dengan dunia kepada para pembaca, al-Kindi cukup tegas
dalam menyangkal adanya perbandingan nyata antara keduanya. Sang Esa Sejati dianggapnya
sebagai sepenuhnya unik dan tidak memiliki kesamaan dengan seluruh ciptaan. Namun, dalam
mengemukakan hal ini, dan karena khawatir dengan seluruh pertanyaan tentang sifat angka, al-
Kindi mungkin mencerminkan kesadaran akan posisi Nicomachus dan reaksi terhadapnya.

Sangat menarik untuk dicatat bahwa ensiklopedia yang disusun oleh Ikhwan al-Safa sekitar 100
tahun setelah kematian al-Kindi membandingkan hubungan Pencipta terhadap semua makhluk
dengan hubungan angka satu terhadap angka lainnya; dan bahwa secara umum, bab pertama dari
karya ini, "Tentang Angka", sering berhutang budi pada karya Nichomachus tentang pengantar
aritmatika.

Akan tetapi, para penulis Rasa'il (Ikhwan as Shafa) secara eksplisit menyatakan bahwa angka-
angka tidak memiliki keberadaan yang independen, bahkan pengetahuan lengkap tentang
berbagai subdivisi mereka mengarah pada kesadaran bahwa semua adalah kejadian yang wujud
dan keberadaannya hanya terletak di dalam jiwa. Demikianlah seseorang dibawa dalam
pengejaran pengetahuan dari angka ke jiwa.
Al-Kindi, tentu saja, memiliki pandangan yang sama dengan Ikhwan mengenai sifat angka yang
tidak disengaja; dan, lebih dari yang mereka anut, tentang sifat jiwa yang kebetulan juga. Mungkin
bukan hanya kebetulan bahwa ia melanjutkan, tak lama setelah diskusi tentang angka, ke diskusi
tentang jiwa, kemudian segera melanjutkan dari sana ke subjek tertinggi dari semua ilmu teoritis,
sifat Allah.

Dengan melakukan hal itu, ia mungkin mengikuti metode yang ditentukan oleh sumber yang sama
dengan Ikhwan (as Shafa) dan dirinya sendiri, yang sumbernya mungkin sudah memasukkan
beberapa pandangan dasar serta proposisi aritmetika Nichomachus.
Al Kindi dan Mu’tazilah: Sebuah Reevaluasi

Sudah sering ditegaskan bahwa al Kindi memiliki kedekatan dengan sudut pandang tertentu
dengan Mu'tazilah dan bahwa ia memberikan rumusan filosofis beberapa beberapa prinsip dasar
mereka. Dukungan untuk pernyataan ini sebagian besar telah dikumpulkan oleh Walzer dan Abu
Ridah. Yang pertama, dalam artikelnya "New Studies on Al Kindi", disajikan bukti "eksternal" dan
"internal" untuk mendukung klaim, yang dibuat dalam penelitian sebelumnya, bahwa al Kindi
adalah "filsuf teologi Mu'tazilah". Bukti eksternal bergantung pada dedikasi dari beberapa risalah
al Kindi kepada khalifah yang mendukung Mu'tazilah, serta sejumlah dedikasi kepada putra
khalifah al Mu'tashim, Ahmad, murid al Kindi.

Jenis bukti ini paling banyak mengindikasikan, seperti yang dinyatakan Walzer sendiri, bahwa "al
Kindi tidak dapat sepenuhnya (membuat interpretasi tentang Islam yang) berbeda dengan
interpretasi resmi Mu'tazilah yang diikuti oleh para khalifah al Ma'mun dan al Mu'tashim."
Memang akan menyulitkan bagi al Kindi, hidup dalam bayang-bayang pengadilan, untuk
"sepenuhnya berbeda" dengan doktrin agama resmi yang disahkan negara. Terlebih lagi, akan
menjadi sikap yang buruk bagi al Kindi untuk tidak mendedikasikan setidaknya beberapa
risalahnya kepada para pelindungnya (kepala negara yang berkuasa beserta kelompok
pendukungnya).

Bahwa al Kindi bukan lawan khalifah memang dapat disimpulkan dari dedikasi ini dan dari semua
yang kita ketahui tentang kehidupan al Kindi, tapi ia mendukung doktrin Mu'tazilah dengan cara
yang signifikan adalah kesimpulan yang tidak beralasan dari sumber-sumber terbatas ini. Walzer
sendiri mengakui bahwa "akan terburu-buru untuk membangun terlalu banyak informasi
semacam ini kecuali didukung oleh bukti internal". Oleh karena itu, bukti (internal) semacam
itulah yang mesti diselidiki kemudian.

Informasi di sini lebih bervariasi dan mengesankan. Walzer mengutip sebuah bagian yang menarik
dari risalah al-Kindi "Tentang Kuantitas: Kitab Aristoteles" yang menyebutkan bahwa "Ilmu
Pengetahuan Ilahi" (‫)العلم االلهي‬, yaitu pengetahuan tentang masalah-masalah teologis, dapat
diperoleh dengan mudah, tanpa persiapan, dan secara langsung, karena lebih unggul dari "ilmu
manusia" (‫االنسانية‬-‫)العلوم‬, yaitu filsafat dan sains (yang hanya memungkinkan untuk mencapai
kebenaran setelah proses penyelidikan yang panjang yang seringkali mengalami kesalahan pada
tiap percobaan penyelidikannya – penerj.). Para nabi (secara konteks risalah ini lebih berarti rasul)
dipandang sebagai penerima pengetahuan unik ini, diberikan kepada mereka atas kehendak Allah,
yang membedakan sifat mereka dari orang lain.

Al Kindi mengikuti pernyataan ini dengan tegas, merujuk pada surah 36 (dalam Quran), ayat 78-
82, tentang supremasi tak terhindarkan dari argumentasi retoris Alquran atas setiap alasan
filosofis yang mungkin dalam hal-hal yang menjadi dasar narasi iman, seperti penciptaan dunia
dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dan kebangkitan. Ayat 82 berbunyi, "Sesungguhnya perintah-
Nya, ketika Dia menginginkan sesuatu, adalah dengan mengatakan kepadanya (sesuatu itu)
'Jadilah!' maka terjadilah ia" (‫)إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون‬.

Al Kindi menafsirkan pernyataan itu, bahwa Tuhan mengucapkan kata "Jadilah!" dalam cara
metaforis yang non-literal, merujuk pada analogi metafora puitis sebagaimana dipraktikkan oleh
penyair pra-Islam. Walzer kemudian mengidentifikasi pernyataan-pernyataan al Kindi ini dengan
pandangan-pandangan yang dipegang oleh Mu'tazila tentang supremasi kebenaran yang
diwahyukan dan tak dapat ditirunya Kitab Suci (‫)إعجاز القران‬, keyakinan yang sering dimiliki
Mu'tazila berdasarkan kriteria filologis dan retoris; dan khususnya dengan penolakan pengajaran
yang dikaitkan dengan Bishr ibn al Mu'tamir (w. 825-6 A.D.) dan muridnya, Abu Musa Isa bin Sabih
al Murdar.

Mu'tazila tentu saja, sama sekali tidak unik di antara orang-orang beriman yang menganut
kepercayaan pada i'jaz Alquran, atau dalam supremasi wahyu - firman Tuhan - untuk segala jenis
pengetahuan lainnya; meskipun pendekatan mereka, sebagaimana dicirikan oleh penegasan
bahwa Alquran diciptakan (sebagai makhluk – penerj.) dan oleh metode eksegetis mereka, adalah
untuk memenuhi syarat sifat dogmatis dari keyakinan agama dengan menafsirkannya secara
rasional. Dengan demikian al Kindi memang dapat diidentifikasikan dengan Mu'tazila dalam
penggunaan kriteria filologis dan puitis untuk mencapai pemahaman non-literal dari Firman
Tuhan; meskipun pendekatan ini adalah apa yang diharapkan seseorang dari orang yang
berorientasi rasional yang menganggap dirinya sebagai seorang filsuf.

Faktanya, argumen yang dibawa al Kindi dalam pembelaan Alquran ini, kebenaran yang pertama
kali ditegaskannya secara dogmatis, secara filosofis berakar. Mereka bersandar pada prinsip
generasi pertentangan dari pertentangan, yang prinsip umumnya kemudian diterapkan pada
penciptaan keberadaan (‫ )أيس‬dari sebaliknya, ketiadaan (‫)ليس‬. Kepercayaan pada creatio ex nihilo
inilah, yang dipegang (salah satunya) hanya oleh Al Kindi di antara banyak filsuf Islam, bersama
dengan penggunaan prinsip-prinsip rasional yang diperkenalkan oleh metode tafsir filosofis dan
retoris dalam penjelasan dogma Islam, yang membuat Walzer merasa hubungan al Kindi cukup
aman dengan Mu'tazila dan tampaknya akan menunjukkan pertalian yang kuat di antara mereka.

Abu Ridah, pada bagiannya, menulis tentang hubungan antara al Kindi dan Mu'tazilah dalam
pengantar edisi risalah filosofis al Kindi, menyebutkan judul-judul beberapa risalah yang dianggap
berasal dari al Kindi oleh para bibliografis, yaitu risalah-risalah yang tampaknya berkenaan dengan
tema-tema Mu'tazilah seperti "wujud" dan "keadilan" Tuhan. Abu Ridah kemudian merujuk pada
judul-judul risalah yang dianggap berasal dari al Kindi di bidang polemik, prophecy, dan fisika,
mata pelajaran yang umum bagi semua Muttakallimun. Sayangnya, satu-satunya risalah yang
dibawa untuk mendukung bukti "eksternal" ini adalah "Fi al Falsafah al Ula" dan risalah yang
dibahas di atas "Tentang Kuantitas: Kitab Aristoteles".

Abu Ridah beralih ke ekspresi dan tema yang umum bagi al Kindi dan semua penulis Kalam pada
zamannya dan kemudian, khususnya mengenai keterbatasan yang diperlukan dari semua hal dan
keterciptaan mereka. Namun, sebagaimana disebutkan oleh Abu Ridah, para teolog tidak sepakat
dalam pandangan mereka tentang akhir dunia, dan meskipun ada klaim umum, tidak ada di
antara mereka yang sepakat dengan pandangan al Kindi mengenai hal ini. Namun, tidak dapat
disangkal bahwa pernyataan Abu Ridah sangat baik, dan bahwa al Kindi memiliki keprihatinan
yang sama dengan Mu'tazila, seperti halnya dengan semua Mutakallimun, dan ini sering
diekspresikan dalam kosakata dan bentuk pernyataan yang sama.

Perbandingan lain antara tulisan-tulisan al Kindi dan Mu'tazila muncul dari penelitian terbaru H.
Davidson tentang argumen abad pertengahan untuk penciptaan. Davidson telah menunjukkan
bahwa baik al Kindi dan Mu'tazila, serta banyak penulis lain, menggunakan argumen yang mirip
dan sering kali sama, sebagian besar berasal dari John Philoponus, untuk menetapkan doktrin
penciptaan alam semesta.

Dengan demikian, dalam adaptasi salah satu bukti Philoponus tentang generasi alam semesta
berdasarkan pada ketidakmungkinan gerak abadi, al Kindi serta Iskafi (wafat. 854 AD) dan Nazzam
(wafat 845 M) terbukti berpendapat bahwa saat ini tidak akan pernah tercapai jika itu didahului
oleh waktu yang tak terbatas, dengan prinsip bahwa waktu yang tak terbatas (atau serangkaian
peristiwa) tidak dapat dilintasi. Sementara itu, al Kindi, Abu al Hudhayl (wafat sekitar tahun 841
M), dan Nazzam memiliki perbedaan, dalam istilah temporal dan spasial, terhadap bagian
pendapat Philoponus tentang ketidakmungkinan ketidakterbatasan, yaitu bahwa apa yang
terbatas di satu arah (satu hal) haruslah terbatas di hal-hal yang lain juga.

Masih ada argumen yang berdasar kepada Philoponus yang lain yang digunakan al Kindi yang
muncul dalam (tulisan) para mutakallimun masa kemudian, dan mungkin juga telah digunakan
semasa al Kindi. Jadi, argumen al Kindi yang menentang ketidakterbatasan yang menunjukkan
kesimpulan-kesimpulan yang tidak masuk akal yang dicapai dengan menambah dan mengurangi
dari besaran tak terhingga, telah digunakan, dengan cara yang sedikit berbeda oleh Nazzam.
Sementara pernyataan al Kindi bahwa benda, yang dengan sendirinya dikaitkan dengan "hal-hal
yang terjadi secara bersamaan", yaitu aksiden (khususnya, untuk al Kindi, gerakan dan waktu),
tidak mendahului mereka dan karenanya terbatas seperti mereka serta tampaknya merupakan
formulasi awal dari argumen yang dilaporkan digunakan oleh Abu al-Hudhayl juga, yang menjadi,
dalam kata-kata Davidson, "bukti standar Kalam tentang penciptaan".

Harus diingat bahwa kesamaan al Kindi ini dengan pandangan John Philoponus tidak meniadakan
perbedaan penting yang ada dalam filosofi kedua orang itu. Benar bahwa keduanya menekankan
pada keterbatasan waktu dan gerak, keadaan jasmani dan sifat semua benda yang tidak dapat
berlangsung lama (secara tak terbatas – penerj.), dan penciptaan dari ketiadaan karena kehendak
Tuhan. Namun, meskipun al Kindi berpendapat, dalam "Fi al Falsafah al Ula" dan di tempat lain,
tentang keterbatasan dan dapat rusaknya semua tubuh, dalam “Fi al Falsafah al Ula” dan
sejumlah risalah lain, ia rupanya menerima deskripsi Aristoteles tentang elemen kelima sebagai
zat yang sederhana dan bergerak tanpa henti. Ia juga setuju dengan deskripsi Aristoteles tentang
bola supra-lunar yang tidak pecah dan rusak yang berbentuk lingkaran sempurna dan konsentris,
sebagai zat dasar kelima yang menyusun semua benda beserta sifatnya.

Ini berarti, tampaknya, bahwa al Kindi menerima secara prinsip pendapat John Philoponus bahwa
fenomena selestial dan terestrial memiliki sifat yang identik, dan membuktikan dengan caranya
sendiri maupun mengikuti Philoponus baik secara langsung maupun tidak langsung, bahwa semua
alam semesta tunduk pada hukum keterbatasan ruang dan waktu yang sama. Namun, dia
menolak banyak argumen spesifik Aleksandria, serta penolakan astronomis dan empirisnya
terhadap sejumlah pendapat Aristoteles.

Dunia, seperti yang dikatakan al Kindi, berlaku seperti yang dikatakan Aristoteles, kecuali itu tidak
perlu begitu dan tidak akan demikian, kalau bukan karena kehendak Tuhan. Dengan kata lain,
tampaknya al Kindi puas bahwa ia dapat membuktikan secara teori bahwa dunia pada akhirnya
terbatas; dan, sebagaimana dipahami, ia merasa bahwa fisika Aristotelian, termasuk fisika
selestial, dapat menjelaskan fenomena keberadaan sehari-hari.

Contoh hubungan al Kindi dengan John Philoponus yang rumit ini dapat membantu kita
memahami posisinya yang sebagian tergolong berlawanan dengan Mu'tazila. Dia memiliki, seperti
yang mereka lakukan, gagasan tentang keterbatasan dunia dan ketergantungannya pada Pencipta
yang menjadikannya ada dari ketiadaan, membuktikan hal ini dengan argumen serupa yang
menekankan sifat aksiden dari semua keberadaan dan, seperti sebagian besar Mu'tazila,
ketidakmungkinan segala jenis ketidakterbatasan. Selain itu, baik al Kindi dan mu'tazila menekuni
(studi dan pembuktian) Keesaan Tuhan yang Unik, dan mencoba untuk membatasi sejauh mana
atribut (yang dipikirkan pada mutakallimun) dapat didasarkan pada-Nya.

Namun, tidak satu pun dari hal ini yang unik bagi Mu'tazila, karena dalam iklim intelektual
Baghdad abad kesembilan dan kesepuluh, tema-tema dan argumen-argumen ini tampaknya
merupakan pembahasan yang biasa bagi kebanyakan orang yang cenderung rasional. Misalnya,
kita menemukan seorang ensiklopedis, Ayub Edessa (lahir sekitar 760 M), yang mengacu, sebelum
al Kindi, sejumlah poin filosofis dan argumen yang juga muncul dalam tulisan al Kindi. Sementara
itu, filsuf Yahudi Saadia Gaon (882-942) tak lama setelah al Kindi, memiliki banyak argumen yang
sama yang ditemukan dalam sejumlah risalah al Kindi.
Sementara Davidson telah menunjukkan secara terperinci kesamaan yang mencolok antara al
Kindi dan Saadia, patut dicatat kesamaannya dengan sedikit komentar filosofis penting dari Ayub.
Ayub mengontraskan "keesaan sejati" Allah, karena sifat unik-Nya yang tak terbatas, yang
mengakui tidak ada penambahan atau pengurangan, dengan "kesaan relatif" dari segala sesuatu
yang lain, yang terbatas.

Keterbatasan ini dibuktikannya dengan kombinasi sejumlah elemen – kombinasi yang membatasi
dimensi eksternal mereka – dalam membentuk tubuh, argumen yang secara eksplisit menyatakan
bahwa apa pun yang memiliki ujung (atau batas dalam satu arah) juga memiliki awal (yaitu batas
di sisi lain (atau arah lain.) Permulaan ini, terlebih lagi, digambarkan sebagai penciptaan dari
ketiadaan oleh kehendak Allah, dengan Ayub cukup bersikeras bahwa tidak ada hubungan fisik
antara Allah dan ciptaan-Nya, dan dengan demikian tidak ada proses emanatif dari keberadaan.

Tuhan juga dipandang sebagai satu-satunya Dzat yang mampu menggabungkan unsur-unsur
(sifat-sifat) yang bertentangan yang dengan sendirinya saling berlawanan, argumen yang tidak
digunakan al Kindi tetapi ditemukan di antara para teolog Kristen, Yahudi dan Islam yang semasa,
dan dapat ditelusuri ke Yahya dari Damaskus dan Athanasius abad keempat. Ayub juga
membedakan antara esensi dan aksiden yang sangat penting bagi al Kindi dalam bab tiga “Fi al
Falsafah al Ula” meskipun, tidak seperti al Kindi, ia membedakan antara unsur-unsur yang dapat
dilihat sebagai esensi ketika dipertimbangkan sendiri, dan sebagai aksiden ketika
dipertimbangkan dalam hubungannya ke elemen lain, membentuk wujud oleh hubungan mereka.

Di satu sisi, kemiripan dengan pemikiran al Kindi tidak terbatas pada Mu'azila. Sementara di sisi
lain, perbedaannya dengan Mu'tazila, secara filosofis maupun lainnya, nyata dan signifikan.
Dengan demikian, merujuk hanya kepada para teolog yang telah disebutkan, Iskafi mengikuti
pernyataannya tentang permulaan dunia yang disebabkan dengan sebuah perkataan, sangat asing
bagi al Kindi, bahwa kata itu, yang muncul dari sumber yang abadi, dapat tetap ada selamanya.
Juga bahwa gagasan keterbatasan akhir, a parte post (‫)ال إلى اخر‬, tidak bertentangan dengan
gagasan "pelaku” sebelum "perbuatan" (‫ )الفاعل سابق الفعل‬seperti halnya pandangan keterbatasan
awal, a parte ante (‫)ال إلى أول‬.

Nazzam, di sisi lain, mengikuti buktinya tentang keterbatasan dengan pernyataan yang tampak
kontradiktif bahwa semua benda, dan ruang yang mereka lintasi, dapat dibagi habis tanpa batas.
Gagasan terakhir ini tentu saja terkait dengan penolakan Nazzam yang terkenal tentang
keberadaan atom, yang diketahui telah ditegaskan oleh sejumlah tokoh lain, seperti Abu al
Hudhayl. Selain itu, Abu al Hudhayl dan Nazzam, keduanya terlihat terlibat dalam pertikaian
dengan Mu'tazila tentang masalah keberlangsungan hidup yang diberkati dan dibendung di dunia
berikutnya.
Sekarang al Kindi tidak memiliki simpati dengan fisika atomistik, dan tampaknya tidak memiliki
selera untuk merasionalisasi dogma teologis di luar kepercayaan yang paling mendasar, yang
paling sesuai dengan penyelidikan filosofis. Ketika ia menyentuh isu teologis yang khas, seperti
subjek atribut Ilahi, ia melakukannya dalam istilah yang paling umum, menghindari diskusi tipe-
Kalam tentang atribut jasmani yang ditemukan dalam Alquran. Tampak bahwa titik rujukan al
Kindi, perspektif totalnya, pada dasarnya berbeda dari sudut pandang Mu'tazila.

Sementara mereka (Mu’tazila) mengambil titik keberangkatan mereka dari Alquran dan sunah
dan menggunakan alat filosofis apa pun yang mereka rasa tepat untuk menjelaskan dan
mendukung iman mereka; al Kindi, tampaknya, mulai dari literatur dan tradisi filsafat,
mengakomodasinya agar sesuai dengan ajaran agama di mana pun dia bisa dan menegaskan
ajaran agama di mana pun dia harus, tetapi pada dasarnya bertujuan untuk penegasan yang
filosofis dan koheren terhadap kebenaran.

Perlu dikaji ulang, dalam perspektif ini, bagian dari risalah al Kindi “Tentang Kuantitas: Kitab
Aristoteles” yang dijelaskan di atas. Pertama-tama kita perhatikan bahwa keseluruhan risalah ini
sangat bertolak belakang dengan risalah lain, yang merupakan deskripsi dari ilmu pengetahuan
yang harus dimiliki manusia — yaitu manusia biasa — untuk memperoleh kebenaran dan
merupakan korpus tulisan Aristotelian.

Seolah menyela dirinya sendiri, al Kindi meyakinkan pembacanya bahwa seluruh tradisi ilmiah ini
tidak dapat dibandingkan dengan Kitab Suci, sang filsuf tidak dapat menyamai nabi. Setelah
mengatakan ini dan memberikan beberapa contoh untuk mendukung klaim tersebut, al Kindi
kemudian kembali memperkenalkan pembacanya (atau pendengar) ke tradisi ilmiah, akuisisi yang
dia sendiri telah kuasai dan yang jelas-jelas dia nilai paling tinggi untuk semua kecuali utusan
Tuhan.

Kesan yang diterima adalah bahwa al Kindi percaya bahwa bagi orang-orang seperti dirinya, yaitu,
dalam keadaan normal untuk semua orang, filsafat adalah satu-satunya pendekatan terhadap
kebenaran dan filsuf adalah sosok ideal yang aktual (karena tidak mungkin mencapai tingkat
kebenaran seperti para nabi dan rasul yang langsung menerima kebenaran dari Sang Sumber
Kebenaran – penerj.).

Kesan ini diperkuat oleh penelitian cermat atas pernyataan al Kindi, dalam bagian ini, tentang
keunggulan kenabian dan kebenaran Alquran; karena pernyataan ini dibuat dari perspektif
filosofis dan menerapkan kriteria filosofis. Pertama, pengetahuan kenabian digambarkan sebagai
yang lebih unggul daripada yang filosofis hanya dalam tingkat, bukan dalam bentuk. Nabi dengan
demikian menjadi semacam filsuf yang luar biasa berbakat. Kemudian, wahyu yang diberikan
kepadanya dirumuskan kembali menurut garis filosofis (lihat FP 104.10 dan catatan di sana), yang
kemudian dirumuskan kembali sebagai "bukti" kebenaran Alquran.
Reformulasi pernyataan Alquran tentang penciptaan dunia sangat menarik. Penciptaan
dipandang, seperti yang telah disebutkan, sebagai contoh dari prinsip umum pembentukan
pertentangan dari pertentangan: memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke
dalam malam, mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan mengeluarkan yang hidup dari yang
mati. Jadi, secara umum dia (‫ )هو‬berasal dari apa yang bukan dia (‫)ال هو‬, badan dari non-badan,
dan keberadaan (‫ )أيس‬dari ketidakberadaan (‫)ليس‬.

Sekarang, sejauh Allah dipandang bertanggung jawab atas tindakan penciptaan materi dari
ketiadaan yang unik dan atemporal, sehingga dapat dikatakan bahwa Da juga bertanggung jawab,
dalam perkiraan al Kindi, atas penciptaan masing-masing dan setiap pertentangannya yang juga
muncul, di satu sisi setidaknya, dari keadaan tidak ada. Ini akan membawa al Kindi dekat dengan
Mu'tazila dan pandangan Kalam umum tentang penciptaan Ilahi yang berkelanjutan dari
ketiadaan. Walzer dengan tepat mencatat tidak adanya singgungan terhadap potensi yang akan
merusak hubungan ini.

Namun, bahwa ini bukan pandangan penuh al Kindi dapat disimpulkan dari perbandingan bagian
ini dengan pernyataan dalam “Fi al Falsafah al Ula” dengan efek bahwa itu hanya bentuk (secara
harfiah "predikat", ‫ )المحمول‬dari sesuatu yang berubah dan bukan miliknya, substratum primer,
yang disebut "keberadaan" (‫ )األيس‬dan yang dikatakan abadi.

Karena kita harus memahami penggunaan istilah "abadi" (‫ )األزلى‬ini untuk substratum primer,
yaitu, hal pertama, di sana dalam arti bertahan hanya sepanjang kehendak Tuhan, maka kita
harus memahami pertentangan di sini sebagai lawan dari substrat umum (antimaters). Allah pada
akhirnya bertanggung jawab, kata Kindi, atas penciptaan seluruh dunia, termasuk penciptaan
keadaan yang bertentangan untuk segala sesuatu (berpasang-pasangan); tetapi Dia tidak benar-
benar terlibat dalam pembentukan dan penghancuran setiap hal pada setiap saat.

Benar, al Kindi tidak ingin memperluas keberadaan potensial, dengan konsep yang umumnya
tidak ia senangi; tetapi dia tidak akan berharap pembaca yang dituju risalah ini untuk
menganggap bahwa intervensi Ilahi terjadi terus-menerus secara fisik, terutama karena ini akan
bertentangan dengan pandangan dunia fisika dasar Aristoteles yang al Kindi kenal.

Kita dapat mengasumsikan bahwa pendekatan al Kindi dalam "Risalah tentang Ketauhidan
Beserta Tafsirnya" (secara harfiah "komentar", ‫ )رسالة التوحيد بالتفسيرات‬yang (masih) hilang,
mengambil pendekatan yang sama dengan yang kami temukan dalam bagian ini dan dalam risalah
lain al Kindi, "Sebuah Penjelasan terhadap Benda Langit dan Ketundukannya kepada Allah. " Di
sana, seperti di sini, pernyataan-pernyataan keagamaan dimasukkan ke dalam kerangka filosofis
yang non-literal, sesuai dengan fisika yang menetapkan Tuhan sebagai sumber utama dari semua
makhluk namun memungkinkan bagi ciptaan-Nya suatu fungsi harian yang independen.
Penerimaan alam semesta fisik yang semi-independen (quasi-independen) ini, sejauh aktivitasnya
sehari-hari berlangsung, menempatkan al Kindi secara umum di sebelah kiri tradisi Mu'tazila yang
memandang Allah sebagai terus-menerus terlibat dengan dunia dan secara erat bertanggung
jawab atas kelangsungan hidup fisik manusia pada masing-masing bagiannya. Hal yang dalam
istilah Aristotelian disebut sebagai penyebab akhir (penyebab yang berada di akhir semua
penyebab, yang tidak disebabkan oleh apapun yang lain – penerj.) dan efisien dari alam semesta.

Bahwa al-Kindi membedakan antara dua peran ini jelas, lebih jauh, dari risalahnya “Tentang Agen
Sempurna Pertama yang Benar dan Agen Kurang Yaitu Agen Metaforis”. Betapapun ia ingin
memenuhi syarat sifat-sifat agen selain Tuhan, al Kindi dengan jelas menganggap bahwa makhluk
ciptaan memiliki tanggung jawab langsung untuk bertindak atas makhluk lain, Allah menjadi
penyebab yang jauh (yaitu final, tidak secara langsung) dari semua kecuali makhluk ciptaan
pertama.

Dalam risalahnya Pada Penjelasan tentang Proximate Penyebab Aktif Generasi dan Korupsi. Al
Kindi memilih matahari dan bulan sebagai penyebab langsung terdekat dari pembentukan dan
kerusakan di dunia sub-lunar, penciptaan mereka, pada gilirannya, karena Tuhan, penyebab
(akhir) yang jauh dari semua makhluk.

Sikap Al Kindi terhadap pandangan dunia fisik dari Mu'tazila dapat disimpulkan lebih jauh dari
bagian penting dalam “Fi al Falsafah al Ula”, di mana ia menetapkan bahwa segala sesuatu yang
dapat dipikirkan orang di dunia hanya aksiden dan bukan esensi yang esa, dan bahwa wujudnya,
yaitu identitas dan keberadaannya, datang dari suatu sebab luar. Karena semuanya sama-sama
dilihat sebagai aksiden, al Kindi membawa pada prinsip bahwa keberadaan esensial adalah
prasyarat untuk keberadaan aksidental dari suatu jenis yang sama (dan mengasumsikan
kemustahilan dari kemunduran yang tak terbatas dari keberadaan aksidental), kepada penegasan
dari Sang Esa Yang Esensial (Tuhan), agen eksternal, penyebab dari semua makhluk.

Dalam membuat pernyataan ini, al Kindi tidak mungkin tidak menyadari kemiripan pernyataannya
dengan pernyataan Mu'tazila yang juga mengklaim tidak ada keberadaan esensial untuk apa pun
dan menganggap semua yang diciptakan berasal dari agen eksternal, yaitu Tuhan. Akan tetapi,
sebagian besar Mu'tazila membagi semua makhluk menjadi atom dan aksiden, dan meskipun
keduanya dianggap diciptakan, atom-atom itu dipahami tidak dapat dibagi-bagi.

Oleh karena itu, al Kindi akan muncul menolak pandangan ini, bersikeras bahwa tidak ada yang
dapat dianggap sebagai satu atau tidak terpisahkan, bahwa konsep itu sangat tidak masuk akal.
Semua, kemudian, akan menjadi aksiden dalam pemikiran al Kindi, tampaknya, dan dengan
demikian sepenuhnya tanpa karakteristik yang ditetapkan.
Namun jelas bahwa al Kindi tidak memahami aksiden dengan cara ini, memandangnya sebagai
kategori permanen dari keberadaan nyata. Aksiden baginya penting sebagai lawan esensi hanya
dalam hal pertanyaan tentang wujud. Al Kindi menerima semua makhluk individu yang
membentuk dunia Aristoteles sebagai unit substansi, jika hanya unit aksidental. Selain itu, setelah
mengemukakan pendapat mengenai wujud esensial, al Kindi melanjutkan untuk menunjukkan
bahwa wujud, bersama dengan multiwujud, adalah unsur penting dalam komposisi semua
makhluk. Ini adalah bentuk dan materi yang diterima al Kindi, dengan ketentuan bahwa mereka,
bersama-sama dengan yang lainnya, bukan eksistensi independen. Setelah mengatakan ini, dia
puas untuk memungkinkan mereka berfungsi seolah-olah mereka independen.

Dengan demikian al Kindi sama-sama menyangkal doktrin Mu'tazilah mengenai pembagian dunia
menjadi atom dan aksiden, dan, sambil menegaskan sifat kontingen dan aksidental dari semua
makhluk, yang akan mengembalikannya ke golongan Mu'tazila, jelas bekerja dengan penciptaan
seolah-olah itu independen. Teori keberadaan yang aksidental baginya adalah kebenaran teoretis
yang penting bagi pertanyaan akhir penciptaan dan eksistensi Tuhan. Itu karena pengetahuan
tentang dunia seperti "sebaliknya", tidaklah relevan.

Perhatian al Kindi adalah pada dunia sebagaimana adanya, dalam segala ragamnya, dan dengan
berbagai pencapaian ilmiah manusia, jelas dari daftar panjang tulisan-tulisannya yang sangat
beragam. Dia, menilai dari sumber ini, tampaknya sedikit atau tidak sama sekali memiliki
kecenderungan untuk bersikeras pada rincian kelompok keyakinan agama atau politik tertentu.

Satu catatan yang masih ada tentang gayanya ketika terlibat dalam polemik agama, penolakannya
terhadap konsep Kristen tentang trinitas, menunjukkan bahwa ia sedang mengambil jalan utama
pertikaian filosofis. Rupanya dia tidak tertarik pada klaim-klaim khusus etnis, yang juga dapat kita
simpulkan dari fakta bahwa meskipun memiliki keturunan Arab murni, dia berdedikasi pada
bidang pembelajaran yang diidentifikasi dengan ide-ide asing dan sebagian besar dikejar oleh
mawali non-Arab.

Oleh karena itu, akan menjadi asumsi yang masuk akal untuk melihat al Kindi sebagian besar
sebagai dirinya sendiri, orang yang banyak belajar, dengan kepedulian yang tidak memihak,
terhadap kebenaran dalam batas-batas yang dapat diterima masyarakat pada umumnya dan,
tidak diragukan lagi, terhadap keyakinan agamanya sendiri (Islam); yang menurutnya
pengetahuan ilmiah memiliki kecocokan dengan agamanya itu. Al Kindi yang asli mungkin seperti
tokoh sejarah yang bijak yang kisah-kisah dan perkataannya diceritakan orang. Sosok seperti itu
mungkin tidak akan senang dengan Mu'tazila yang didukung mihnah (Lembaga pengetahuan)
yang diprakarsai oleh al Ma'mun dan diikuti oleh sejumlah penggantinya, yang memajukan
polarisasi masyarakat dan intimidasi penyelidikan intelektual.
Orang bisa membayangkan al Kindi menggunakan posisinya di pengadilan untuk mengungkapkan
kebenciannya terhadap praktik Mu'tazilah, baik teoretis maupun politis; dan, memang, kita
menemukan dia berbicara dalam bab pengantar “Fi al Falsafah al Ula” sedemikian rupa sehingga,
dalam konteks pernyataannya dan dalam terminologi yang dia pilih, bagian itu paling baik
dipahami sebagai dakwaan tipis terselubung terhadap Mu'tazila.

Paragraf itu mengikuti parafrase dari bagian satu dari “Metaphysics alpha ellaton”, di mana al
Kindi memuji Aristoteles dengan namanya dan menyatakan komentarnya mengenai rasa terima
kasih kepada semua yang telah mendahului dalam pencarian kebenaran. Al Kindi kemudian mulai
menyerang mereka yang tidak berada dalam tradisi filosofis, tetapi yang "pada zaman kita diakui
(statusnya) karena spekulasi".

Jika mereka dimahkotai secara tidak pantas dengan mahkota kebenaran, itu karena pemahaman
mereka yang sempit tentang metode kebenaran dan sedikit pengetahuan mereka tentang apa
yang Yang Mulia minta sehubungan dengan pendapat dan penilaian dalam penggunaan universal
yang umum berlaku di antara mereka; serta kecemburuan kotor yang merupakan kecenderungan
jiwa hewani mereka, mengaburkan persepsi pemikiran mereka dari cahaya kebenaran dengan
menggelapkan pembungkusnya; dan (untuk) menempatkan mereka yang memiliki kebaikan
manusiawi – dalam pencapaian yang mereka kekurangan di dalamnya, berada di pinggirannya
yang terpencil – dalam posisi yang biasa, mencurangi lawan-lawan; dengan demikian
mempertahankan tahta palsu mereka yang mereka dirikan tanpa sepatutnya.

(Namun, status mereka itu) benar-benar karena kepemimpinan dan lalu lintas mereka dalam
agama, meskipun mereka tidak memiliki agama; karena orang yang-memperdagangkan-sesuatu
membelinya dan orang membeli apa yang tidak ia miliki. Jadi orang yang berdagang dalam agama
tidak memiliki agama dan orang yang menolak memperoleh pengetahuan tentang sifat
sebenarnya dari sesuatu dan menyebutnya sebagai ketidakberimanan, harus dihindarkan dari
(kantor otoritas) agama.

Mengacu kepada "penggunaan" (‫ )األنفاع‬terhadap "spekulasi" (‫)نظر‬, "pendapat" (‫ )رأي‬dan


"penilaian" (‫)اجتهاد‬, al Kindi menentukan metode-metode penalaran yang dengannya Mu'tazila
diidentifikasi, dan yang tidak dapat dibandingkan dengan "metode kebenaran" (‫ )أساليب الحق‬al
Kindi, yaitu, bukti silogistik. Bahwa Mu'tazila khususnya yang diserang al Kindi dapat disimpulkan
lebih jauh dari kenyataan bahwa, pada saat penyusunan risalah ini, mereka sendiri menikmati
posisi otoritas dan kehakiman resmi, menggunakan kantor politik mereka untuk memaksakan
aliran agama mereka, dengan ancaman dan tuduhan ketidakpercayaan, yang disinggung oleh
seluruh bagian paragraf ini.

Jadi, sebagai orang yang siap menyerukan pemecatan Mu'tazila dari jabatan politik dan lembaga
resmi pemerintahan, al Kindi tidak boleh terlalu diidentifikasi dengan mereka. Di sisi lain,
seseorang seharusnya tidak mengambil paragraf ini sebagai kata terakhir tentang hubungan al
Kindi dengan Mu'tazila juga, karena ia memang memiliki, seperti yang telah kita lihat, banyak titik
kontak dengan mereka; dan dia menghindari, sejauh yang kita tahu, aktivitas politik nyata dalam
bentuk apa pun.

Sikap yang relatif netral ini tidak membantunya dalam masa pemerintahan al Mutawakkil.
Meskipun dari fakta bahwa perpustakaannya akhirnya dipulihkan, kita dapat menyimpulkan
bahwa dia tidak dianggap sebagai ancaman politik atau agama yang nyata. Kehidupan Al Kindi,
sebanyak yang dapat kita rekontruksi, dengan demikian menunjukkan kesulitan pribadi dan
kekuatan-kekuatan (kelompok aliran) yang saling bertentangan yang harus dihadapi oleh para
filsuf Muslim pada masa itu.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

Tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah

Buku al Kindi, (ditulis) untuk (Khalifah) al Mu’tashim Billah

Tentang Filsafat Pertama

Semoga Allah melimpahkan kepadamu umur yang panjang, wahai putra para raja dan karib (orang
yang termasuk dalam golongan – penerj.) orang-orang yang beruntung dalam kehidupan duniawi
dan kehidupan abadi (akhirat) karena mereka menganut din mereka yang sebenarnya. Semoga
Dia menghiasimu dengan semua catatan kebaikan dan memurnikanmu dari segala jenis
kejahatan.

Sungguh, seni manusia yang tertinggi dalam derajat dan paling mulia dalam peringkat ialah
filsafat, suatu pengertian tentang pengetahuan sifat sejati segala sesuatu, sejauh mungkin ia
dapat digapai oleh manusia. Tujuan dari para filsuf, sebagaimana pengetahuannya sendiri, ialah
untuk memperoleh kebenaran dan sebagaimana perbuatannya sendiri, ialah berbuat dengan
penuh kebenaran. Bukan karena pencarian itu tanpa akhir sehingga kita menjadi hampa dan amal
menjadi luntur saat kita sudah mencapai kebenaran itu.

Kita tidak dapat menemukan kebenaran yang kita cari tanpa menemukan sebab. Sebab dari
keberadaan dan keberlangsungan segala sesuatu tiada lain adalah Sang Esa Sejati, sehingga setiap
yang memiliki keberadaan memiliki kebenaran untuk ada. Oleh karena Sang Esa Sejati itu ada,
segala sesuatu menjadi wujud. [Oleh karenanya, filsafat paling mulia dan paling tinggi ialah ‘Sang
Filsafat Pertama’, ialah cahaya pengetahuan dari ‘Sang Kebenaran Pertama’ yang menyebabkan
semua kebenaran.]

Filsafat paling mulia dan tingkat paling tinggi ialah Sang Filsafat Pertama, yaitu pengetahuan
tentang Sang Kebenaran Pertama yang menjadi sebab semua kebenaran. Oleh karena itu, sangat
benar jika dikatakan bahwa filsuf yang paling mulia dan sempurna ialah ia yang memahami secara
penuh pengetahuan yang paling mulia tersebut. Hal itu karena pengetahuan tentang sebab lebih
mulia dari pengetahuan tentang akibat. Itu disebabkan kita baru memiliki pengetahuan lengkap
tentang setiap objek pengetahuan hanya saat kita telah memperoleh pengetahuan penuh tentang
penyebabnya.

Setiap sebab dapat berupa sebab material; sebab formal; sebab efisien, yang keseluruhanya
menjadi asal gerakan dimulai; atau sebab final, yang memenuhi kepentingan tentang adanya
benda. Pertanyaan ilmiah ada empat, seperti yang telah kami tentukan di tempat lain dalam
risalah filsafat kami; baik "apakah", "apa", "yang mana", atau "mengapa".

"Apakah" hanya merupakan penyelidikan atas keberadaan (sesuatu); "apa" menyelidiki genus
setiap eksistensi yang memiliki genus; "yang mana" menyelidiki perbedaan spesifiknya; "apa" dan
"yang mana" bersama-sama menyelidiki spesiesnya; dan "mengapa" menyelidiki penyebab
akhirnya, karena ini merupakan penyelidikan sebab mutlak.

Jelaslah bahwa ketika kita memperoleh pengetahuan penuh tentang masalahnya, kita dengan
demikian memperoleh pengetahuan penuh tentang genusnya; dan ketika kita memperoleh
pengetahuan penuh tentang bentuknya, kita dengan demikian memperoleh pengetahuan penuh
tentang spesiesnya. Pengetahuan tentang perbedaan spesifik dimasukkan dalam pengetahuan
spesies.

Oleh karena itu, ketika kita memperoleh pengetahuan penuh tentang materi, bentuk, dan
penyebab sesuatu, berarti kita memperoleh pengetahuan penuh tentang definisinya. Sifat
sebenarnya dari setiap objek yang didefinisikan tiada lain terdapat dalam definisinya.

Pengetahuan tentang penyebab pertama telah secara jujur disebut "Filsafat Pertama", karena
semua filsafat lainnya terkandung dalam pengetahuannya. Oleh karena itu, itu merupakan yang
pertama dalam kemuliaan, yang pertama di antara semua genus, yang menempati peringkat
pertama di antara pengetahuan yang paling pasti; dan yang pertama kali, karena itu adalah
penyebab waktu.

Kebenaran menuntut kita untuk tidak menyalahkan siapa pun, bahkan hal-hal yang hanya
menyebabkan manfaat kecil dan remeh bagi kita. Lalu bagaimana kita akan memperlakukan hal-
hal yang menjadi asal atas banyak sebab dan manfaat yang besar, nyata, dan serius bagi kita?
Meskipun kurang dalam beberapa kebenaran, mereka telah menjadi saudara dan rekan kita
karena kita diuntungkan oleh buah pemikiran mereka, yang telah menjadi pendekatan dan
instrumen kita; menunjukkan kita pada banyak pengetahuan sifat nyata yang gagal mereka
peroleh sebelumnya.

Kita harus bersyukur terutama karena sudah jelas bagi kita dan para filsuf terkemuka sebelum kita
yang bukan penutur bahasa kita (Arab), bahwa tidak ada manusia dengan kekuatan
pengejarannya sendiri yang dapat memperoleh kebenaran yang layak bagi suatu kebenaran
(partikuler) itu sendiri maupun memahami kebenaran itu secara keseluruhan. Alih-alih, setiap dari
mereka tidak akan memperoleh kebenaran sedikitpun atau mendapatkan sedikit saja kebenaran
yang terkait dengan keseluruhan kebenaran. Namun, ketika sedikit yang dicapai masing-masing
dari mereka itu dikumpulkan, sesuatu yang sangat berharga dapat diperoleh.
Sudah selayaknya kita rasa terimakasih yang besar diperuntukkan bagi mereka yang telah
menyumbangkan sedikitpun kebenaran, apalagi kepada mereka yang telah berkontribusi banyak
kebenaran, karena mereka telah membagikan kepada kita buah dari pemikiran mereka dan
memfasilitasi kita dengan penyelidikan-penyelidikan yang nyata. Juga karena kita diuntungkan
oleh premis-premis mereka itu yang memfasilitasi pendekatan kita terhadap kebenaran.

Jika mereka tidak hidup, prinsip-prinsip tersembunyi yang dengannya kita telah dididik untuk
mencari kesimpulan tersembunyi dari penyelidikan kita tidak akan dapat dikumpulkan untuk kita,
bahkan dengan penelitian intensif sepanjang waktu kita. Namun, memang ini semua telah
dikumpulkan sejak masa lampau, zaman demi zaman hingga saat ini, disertai dengan penelitian
intensif, ketekunan yang diperlukan, dan cinta terhadap kerja kerasnya. Hal itu tidak dapat
dikumpulkan dalam masa hidup satu orang saja. Bahkan jika masa hidupnya diperpanjang,
penelitiannya intensif, wawasannya halus, dan dia gandrung atas kegigihan, dia tetap tidak akan
dapat mengumpulkan semuanya.

Aristoteles, orang Yunani yang paling terkenal dalam filsafat, berkata:

"Adalah pantas bagi kita untuk berterima kasih kepada para ayah dari mereka yang telah
menyumbang kebenaran apa pun, karena mereka adalah penyebab keberadaan putra mereka;
apalagi mereka menjadi penyebab putra mereka dan kita mendapatkan kebenaran." Betapa
indahnya apa yang dia katakan dalam hal ini! Kita seharusnya tidak malu menghargai kebenaran
dan memperolehnya dari mana pun itu datang, bahkan jika itu datang dari orang-orang yang jauh
dari kita dan bangsa-bangsa yang berbeda dari kita. Bagi pencari kebenaran tidak ada yang lebih
utama daripada kebenaran; tidak ada meminimalkan kebenaran atau meremehkan para penyeru
dan pendukungnya. Kemuliaan seseorang tidak diturunkan oleh kebenaran. Kebenaran justru
memuliakan semuanya.

Adalah baik bagi kita untuk mematuhi, dalam buku kita ini, praktik dalam semua susunan untuk
menyajikan pernyataan lengkap orang terdahulu tentang hal ini (falsafah) dengan cara yang paling
langsung dan mudah sehingga dapat masuk pada pemahaman tentang pendekatan ini. Patut juga
untuk melengkapi, mengikuti kebiasaan bahasa serta penggunaan (konteks) kontemporer, dan
sejauh mungkin bagi kita, menjelaskan apa yang tidak mereka nyatakan sepenuhnya serta sebab
yang telah menghambat kita dalam (memahami) hal ini. Ketidakhadirannya membatasi upaya
mencukupkan pemahaman dan menyelesaikan kesulitan serta kebingungan masalah, sembari
tetap waspada terhadap penafsiran buruk banyak orang asing terhadap kebenaran yang pada
zaman kita diakui sebagai spekulasi.

Jika mereka dimahkotai secara tidak pantas dengan mahkota kebenaran, itu karena pemahaman
mereka yang sempit tentang metode kebenaran dan sedikit pengetahuan mereka tentang apa
yang Yang Mulia minta sehubungan dengan pendapat dan penilaian dalam penggunaan universal
yang umum berlaku di antara mereka; serta kecemburuan kotor yang merupakan kecenderungan
jiwa hewani mereka, mengaburkan persepsi pemikiran mereka dari cahaya kebenaran dengan
menggelapkan pembungkusnya; dan (untuk) menempatkan mereka yang memiliki kebaikan
manusiawi – dalam pencapaian yang mereka kekurangan di dalamnya, berada di pinggirannya
yang terpencil – dalam posisi yang biasa, mencurangi lawan-lawan; dengan demikian
mempertahankan tahta palsu mereka yang mereka dirikan tanpa sepatutnya.

(Namun, status mereka itu) benar-benar karena kepemimpinan dan lalu lintas mereka dalam
agama, meskipun mereka tidak memiliki agama; karena orang yang-memperdagangkan-sesuatu
membelinya dan orang membeli apa yang tidak ia miliki. Jadi orang yang berdagang dalam agama
tidak memiliki agama dan orang yang menolak memperoleh pengetahuan tentang sifat
sebenarnya dari sesuatu dan menyebutnya sebagai ketidakberimanan, harus dihindarkan dari
(kantor otoritas) agama.

Dalam pengetahuan tentang sifat sejati segala sesuatu ada pengetahuan tentang Keilahian,
persatuan dan kebajikan, dan pengetahuan lengkap tentang segala sesuatu yang bermanfaat
beserta pendekatan terhadapnya. Sementara itu, ada jarak dari sesuatu yang berbahaya
(terhadap keimanan) dengan tindakan pencegahan terhadapnya. Ini adalah anugerah, semua
yang dibawa oleh para utusan sejati dari Allah, alhamdulillah. Bagi para rasul yang sejati, semoga
rahmat Allah turun atas mereka, hanya membawa penegasan Ketuhanan Allah saja dan
kepatuhan pada kebajikan, yang mendatangkan ridlo dari-Nya; sembari melepaskan sifat buruk
yang bertentangan dengan kebajikan, baik dalam diri mereka sendiri maupun dalam dampaknya.

Karena itu, pembaktian diri pada kepada kepemilikan (pengetahuan) yang berharga ini diperlukan
bagi orang-orang yang jujur dan kita harus mengerahkan diri kita sebaik-baiknya dalam
pengejarannya, mengingat apa yang telah kita katakan sebelumnya dan apa yang akan kita
katakan sekarang; yaitu, akuisisi (pengetahuan) ini bisa diperlukan melalui dua ungkapan yang
bertentangan; karena mereka harus mengatakan bahwa akuisisi (pengetahuan) ini perlu atau
tidak perlu.

Jika mereka mengatakan bahwa itu perlu, maka pengejaran itu perlu bagi mereka. Di lain pihak,
jika mereka mengatakan bahwa itu tidak perlu, maka perlu bagi mereka untuk menyatakan
sebabnya dan untuk menunjukkan ketidakperluannya. Pernyataan sebab dan pertunjukkan
ketidakperluan adalah bagian dari kepemilikan pengetahuan tentang sifat asli segala sesuatu.
Karena itu, pengejaran pengetahuan ini menjadi perlu dengan sendirinya akibat (prinsip-prinsip)
ungkapan kebalikan dan pengabdian kepada hal-hal yang diperlukan bagi mereka.

Kita akan mengajukan studi mental dan penilaian kognitif dalam membangun bukti Keilahian-Nya
dan penjelasan tentang keesaan-Nya, membela terhadap musuh-musuh-Nya yang tidak percaya
kepada-Nya, dengan bukti-bukti yang menundukkan ketidakpercayaan mereka dan merobek
selubung tindakan memalukan mereka yang diketahui dari kekurangan kredo kekufuran mereka.
Itu agar Dia dapat meliputi kita, dan siapa pun yang mengikuti pendekatan kita, dalam lingkup
kekuasaan-Nya; memberi kita pakaian perlindungan dari-Nya; melimpahkan kepada kita bantuan
dari ujung tajam pedang-Nya; dan dukungan dari kekuatan-Nya.

(Semua itu) sehingga Dia membawa kita ke tujuan akhir kita, yaitu membantu dan mendukung
kebenaran; dan agar dia membawa kita ke tingkat persetujuan dengan tujuan-Nya dan
penerimaan atas tindakan-Nya. Karena milik-Nya segala keberhasilan dan kemenangan atas
lawan-lawan-Nya yang menyangkal anugerah-Nya dan yang menyimpang dari pendekatan yang
benar yang menyenangkan Dia. Marilah kita sekarang menyelesaikan bagian ini, memohon
dukungan dari Sang Pelindung Kabajikan dan Penerima Perbuatan Baik.
Bab Dua dari Bagian Pertama Tentang Filsafat Pertama “Fi al Falsafah al Ula”

Setelah mendahulukan hal yang mesti diprioritaskan pada awal buku ini, mari kita ikuti dengan hal
yang alami (dibahas setelahnya). Kita (dapat) mengatakan (bahwa) sesungguhnya ada dua jenis
persepsi manusia tentang wujud.

Yang pertama (persepsi tentang wujud yang) lebih dekat dengan kita (pengamat / pengindera)
dan lebih jauh dari alam (objek). Ini adalah persepsi wujud inderawi (sensorik) yang menjadi milik
kita sejak awal perkembangan kita dan milik jenis yang serupa bagi kita dan banyak lainnya, yaitu
sensasi indera (pada) hewan (animalia). Persepsi kita tentang wujud dengan (menggunakan)
indera (terjadi) melalui kontak indera dengan objek yang diamati tanpa selang waktu (durasi;
terjadi pada satu waktu partikuler – penerj.) dan tanpa pengumpulan (agregasi citra berbagai
waktu dalam satu kali pengamatan – penerj.).
Persepsi wujud sensorik itu tidak tetap (stabil) karena perubahan, aliran (fluktuasi – penerj.), dan
gerakan dari (objek) yang diindera. Kuantitasnya dibedakan oleh "lebih" atau "kurang", "sama"
(setara; sama dengan – penerj.) dan "tidak sama". Sementara kualitasnya dikontraskan dengan
"serupa" dan "berbeda" (serta) "lebih kuat" dan "lebih lemah". Itu selalu terjadi secara terus-
menerus (kontinu – penerj.) dan perubahan (itu sendiri) tidak terpisahkan.

(Persepsi wujud sensorik) itu(lah) yang mewujudkan citra (suatu keberadaan) ke dalam suatu
gambaran; dan (gambaran) itu disampaikan kepada memori (benak); dan (objek yang diindera) itu
diwakili dan digambarkan dalam diri (benak suatu) makhluk hidup (manusia atau hewan).
Meskipun ia (citra sensorik tersebut) tidak memiliki ketetapan (perwujudan) di alam, jauh dari
alam (objek yang diindera) sehingga tersembunyi, ia sangat dekat dengan pengindera (pengamat).
Itu karena persepsi wujudnya disebabkan oleh indera secara langsung, (yaitu) melalui kontak
indra dengan (objek penginderaan) itu sendiri.

Semua yang dapat diindera selalu memiliki (dzu) hayula (sesuatu yang ada di awal atau lebih dulu
dari persepsi yang mengikutinya, mungkin dapat diterjemahkan sebagai keberadaan primordial,
tetapi mungkin lebih mudah untuk diartikan sebagai material saja, artinya wujud fisiknya
mendahului wujud citranya – penerj.) sehingga semua yang dapat diindera selalu merupakan
suatu benda fisik (jasad).
Persepsi wujud yang lain lebih dekat dengan alam dan lebih jauh dari kita, yaitu persepsi wujud
intelek. Memang benar bahwa ada dua jenis persepsi wujud, persepsi sensorik dan persepsi
intelektual. Segala sesuatu (terdiri atas) “universal” dan “partikuler”. Yang saya maksud sebagai
“universal” adalah jenis (ajnas) dari suatu spesies (anwa’) dan spesies dari suatu individu
(asykhas). Sementara itu, yang saya maksud dengan “partikuler” adalah individu dari suatu
spesies.

Individu material partikuler dapat tertangkap oleh indera. Sementara itu, jenis dan spesies tidak
tertangkap oleh indera dan tidak mewujud sebagai wujud yang tertangkap secara sensorik, tetapi
tertangkap oleh kemampuan jiwa yang sempurna, yaitu atribut manusia yang dinamai akal insani
(intelek).

Ketika indera mendapati objek-objek individual, setiap objek yang terindra akan
direpresentasikan dalam diri (pengindera) melalui alat-alat indera dan kemampuan kerja
penginderaan. Namun, setiap makna (sense) bersifat spesifik dan setiap hal yang berada di atas
(di luar) hal-hal spesifik itu tidak dapat direpresentasikan oleh diri (pengindera). Hal itu karena
setiap representasi (matsal, yakni wujud yang khusus dan asasi – penerj.) dapat diindera. Namun,
representasi itu harus dibenarkan, divalidasi dan diafirmasi dengan (konsep) kebenaran yang
masuk akal, yang lebih dulu ada (dalam pikiran pengindera), secara terbatas.

Hal itu seperti “dia” dan “bukan dia” yang tidak dapat benar bersamaan dalam suatu hal tanpa
adanya suatu sebab lain. Maka, sesungguhnya persepsi wujud jiwa ini tidak sensorik dan, secara
terbatas, tidak memerlukan perantara. Representasi bagi wujud tersebut tidak juga
direpresentasikan dalam diri (pengindera) karena dia tidak memiliki representasi makna. Hal itu
karena dia tidak memiliki warna, suara, bau, atau sesuatu yang dapat diraba padanya. Alih-alih,
dia adalah konsepsi yang tidak terbayangkan.

Segala sesuatu yang material dapat terbayangkan (direpresentasikan di dalam pikiran – penerj.).
Akal sehat akan merepresentasikannya di dalam diri (pengindera). Sementara setiap hal non-
material dapat diterima bersama dengan material, seperti bentuk yang ada bersama warna.
Karena batasan warna itulah, perwujudan bentuk itu dapat ditangkap oleh indera penglihatan.
Hal itu karena batasan (warna) itulah yang ditangkap oleh indera penglihatan.
Terkadang dianggap bahwa bentuk itu diwakilkan dalam diri (pengindera) melalui perolehan
pikiran sehat atasnya dan bahwa representasinya dalam diri manusia itu merupakan hal yang
menyertai representasi warna. Demikian itu sebagaimana hal yang menyertai warna adalah batas
dari hal yang diwarnai. Maka representasi wujud dari batas (benda) itu adalah wujud itu.

Persepsi wujud intelektual yang tidak sepenuhnya terindera, (terkadang) dipertunjukkan oleh
indera. Dengan demikian, setiap yang tidak memiliki keberadaan material, tetapi didapati
bersama dengan suatu material, telah dianggap dapat direpresentasikan di dalam diri
(pengindera). Meskipun, sesungguhnya apa yang direalisasikan (dalam pikiran) oleh hal yang
terindera itu tidak memiliki representasi wujud.

Sedangkan hal yang tidak memiliki wujud material dan tidak berasosiasi dengan suatu material,
tidak memiliki representasi wujud dalam diri (pengindera) sama sekali. Kita juga tidak
menganggapnya sebagai suatu representasi wujud. Kita mengakuinya hanya karena itu adalah
keharusan untuk menegaskannya. Hal itu seperti saat kita mengatakan bahwa setiap hal di luar
benda fisik bukanlah kekosongan maupun isi, yaitu bukan kehampaan maupun benda fisik.

Pernyataan tersebut tidak direpresentasikan dalam jiwa karena tidak ada satupun dari
kekosongan maupun isi itu yang dapat dicapai dan dibenarkan oleh indera. Maka, terdapat
representasi bagi hal itu dalam diri (pengindera) atau dianggap ada representasinya. Itu adalah
sesuatu yang hanya diterima akal sehat jika dibutuhkan terkait dengan premis-premis yang telah
dinyatakan sebelumnya.

Karena itu, dapat kita katakan, dalam penyelidikan ini, bahwa makna "kekosongan" adalah
tempat tanpa objek spasial (objek yang menempati) di dalamnya. Sementara itu, "tempat" dan
"objek spasial" berada dalam hubungan di mana satu tidak mendahului yang lain, sehingga jika
ada tempat, ada objek spasial dan jika ada objek spasial, ada tempat. Oleh karena itu, tidak
mungkin tempat ada tanpa objek spasial. Dengan “kekosongan" itu sendiri ialah suatu tempat
tanpa objek spasial tersebut, maka tidak mungkin ada kekosongan absolut.

Kita dapat mengatakan bahwa isi (suatu tempat), jika ada, adalah tubuh (fisik). Dan fisik alam
semesta secara kuantitatif dapat menjadi tidak terbatas atau terbatas. Namun, tidaklah mungkin
ada sesuatu di dunia ini yang tidak terbatas secara aktual, seperti yang akan kita jelaskan
selanjutnya. Maka tidaklah mungkin ada fisik alam semesta yang tidak terbatas secara kuantitatif,
sehingga tidak ada isi di luar batas fisik alam semesta itu.

Hal itu karena jika di luar batasnya ada isi, maka isi itu adalah fisik juga. Jika setelah isi itu ada isi
lagi, dan setelah setiap isi ada isi lagi, maka isi itu menjadi tidak terbatas, sehingga mengharuskan
fisik menjadi tidak terbatas secara kuantitatif dan aktual. Namun, ketidakterbatasan fisik yang
aktual tidaklah mungkin terjadi. Oleh karena itu, di luar batas fisik alam semesta, tidak ada isi
karena di luar batas dunia fisik, sudah tidak ada fisik lagi. Begitu juga dengan kehampaan
(kekosongan) sebagaimana telah dijelaskan.

Pernyataan tersebut adalah suatu yang perlu dipenuhi, sementara tidak ada baginya gambaran
dalam diri (pengindera). Sesungguhnya dia adalah persepsi wujud intelek yang mesti ada. Maka
orang yang menyelidiki sesuatu yang berada di luar alam semesta (metafisik), yaitu yang tidak
memiliki dan tidak membersamai suatu material, maka tidak akan pernah mendapati suatu
representasi (citra) hal itu dalam dirinya. Namun, ia dapat mendapatinya dengan pernyataan-
pernyataan intelektual.

Maka ingatlah pembukaan ini. Semoga Allah menjaga atasmu keberlangsungan segenap
kemuliaan dan mempertahankanmu dari segenap kejahatan. Biarkan pembukaan ini menjadi dalil
jalan kebenaran yang jelas bagimu dan lentera yang menerangi akalmu dari kegelapan kebodohan
dan mendung kebingungan.

Maka dengan dua jalan inilah ada kebenaran dari jalan yang mudah dan jalan yang susah. Karena
sesungguhnya mereka yang mencari representasi wujud intelek akan mendapati bahwa dalam
memperoleh persepsi objek yang jelas bagi kita dalam terang matahari, akan terasa menjadi
samar seperti penglihatan kelelawar yang redup, terlepas dari kejernihannya (persepsi intelek itu)
dalam akal.

Lantaran alasan inilah, banyak penyelidik hal-hal di luar semesta menjadi kebingungan. Itu karena
mereka menerapkan, dalam penyelidikan mereka tentangnya, representasi citra dalam diri
mereka sendiri yang terkait dengan kebiasaan-kebiasaan mereka tentang pikiran (sense), seperti
kaum muda. Sementara, sesungguhnya pembelajaran direktif/instruktif hanya mudah dalam
masalah-masalah biasa. Dan di antara dalil atasnya adalah cepatnya para murid biasa belajar dari
khutbah-khutbah dan risalah-risalah, syair, atau kisah-kisah, yaitu suatu narasi perkataan. Itu
karena kebiasaan mereka dengan narasi dan legenda sejak dini.

Sementara itu, (mereka juga mengalami kebingungan) dalam hal-hal fisikal saat mereka
menerapkan penyelidikan matematis. Hal itu karena (penyelidikan matematis) itu seyogyanya
hanya cocok untuk hal yang tidak memiliki material, karena material adalah suatu set subjek
perhatian (sistem), sehingga dia bergerak. Sedangkan alam semesta adalah sebab untuk setiap
yang bergerak dan diam.

Dengan demikian, setiap hal fisik memiliki material sehingga penyelidikan matematis tidak
mungkin digunakan pada persepsi benda fisik, karena penyelidikan matematis itu khusus bagi hal
yang tidak memiliki material. Karena itu, matematika adalah suatu penyelidikan mengenai hal
nonfisik. Maka, orang yang menggunakannya dalam penyelidikan benda fisik telah meninggalkan
dan menyimpang dari kebenaran.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap penyelidik suatu cabang ilmu untuk menyelidiki terlebih dahulu
sebab (hal yang diselidikinya itu) terletak di bawah cabang ilmu itu. Maka sesungguhnya jika kita
menyelidiki sebab suatu disposisi alam, yang menjadi sebab suatu benda fisik, kita akan
mendapatinya, sebagaimana telah kita katakan dalam “Awaa’il at Thabii’ah” “Prinsip-Prinsip
Fisika”, yaitu sebab setiap gerakan. Jadi, benda fisikal adalah segala hal yang (dapat) bergerak,
sehingga ilmu tentang benda fisik adalah ilmu tentang segala hal yang bergerak (dinamika).

Dengan demikian, semua hal di luar benda fisik (metafisik) tidak bergerak. Hal itu karena tidak
mungkin sesuatu menjadi sebab keberadaan dirinya sendiri, seperti yang akan kita jelaskan
sebentar lagi. Maka, gerakan bukanlah penyebab gerakan itu sendiri dan benda yang bergerak itu
bukanlah penyebab benda yang bergerak itu sendiri. Dengan begitu, hal-hal metafisik bukanlah
objek yang bergerak, sehingga, sebgaimana dijelaskan, ilmu tentang metafisika adalah ilmu
tentang hal yang tidak bergerak.

P 116 / 81

Anda mungkin juga menyukai