Anda di halaman 1dari 11

Soal Netralitas Ilmu

Setelah sebelumnya disimpulkan bahwa rekayasa transportasi atau sains tentang transportasi
secara umum merupakan keilmuan yang sarat dengan paradigma, kita dihadapkan pada
permasalahan netralitas ilmu. Kita sering mendengar ajaran di lingkungan akademisi bahwa
ilmu pengetahuan itu harus netral, sehingga penelitian harus dilakukan secara objektif.
Namun, apakah yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan yang netral dan objektif itu?
Apakah sebagai ilmuwan kita mesti netral dan objektif?

Persoalan ilmu pengetahuan itu netral ataukah tidak, bebas nilai ataukah tidak, mesti objektif
ataukah tidak terlepas dari perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban Barat
modern. Barat yang sebelumnya sangat terikat dengan hegemoni gereja dan nilai-nilai
kristiani berangsur-angsur menjadi sekuler dan liberal. Perkembangan itu terjadi akibat
trauma sejarah atas dominasi gereja di zaman pertengahan (Abad Kegelapan Barat), problem
keaslian teks Bibel, dan problem keselarasan teologi Kristen dengan akal.1

Dominasi gereja yang dogmatis dan intoleran terhadap ide-ide dari luar serta problem ajaran
Kristen pada akhirnya menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan sendi-sendi
peradaban di Barat.2 Dunia Barat kemudian mengalami persinggungan dengan peradaban
Islam, baik melalui interaksi mereka dengan pusat-pusat intelektualitas Islam seperti
Cordoba, Damaskus, dan Baghdad, maupun sepanjang Perang Salib. Orang-orang Kristen di
Andalusia (Spanyol dan Portugal Islam) tenggelam dalam kultur Mozarabic. Peradaban Islam
yang saat itu sangat maju dalam pengembangan ilmu pengetahuan, memberikan stimulus dan
sumbangan bagi bangkitnya semangat intelektualitas baru di Eropa.3

Berbeda dengan dunia Barat di zaman kegelapannya itu, peradaban Islam yang memiliki
struktur pandangan hidup yang khas tidak memiliki masalah dalam mengharmoniskan antara
wahyu dengan akal dan kegiatan ilmiah. 4 Peradaban Islam yang telah berkembang kokoh kala
itu malah berhasil membawa masyarakat Arab yang buta huruf melahirkan berbagai disiplin
ilmu seperti fikih, tafsir, hadis, falak, hisab (matematika dan aritmetika), waris, kalam,
tasawuf, mantik, dan sebagainya, yang lahir dari interaksi antara akal manusia dengan wahyu
Allah (Quran dan sunah).5

1
Handrianto, 60
2
Handrianto, 60
3
Zarkasyi, 25-26
4
Zarkasyi, 23
5
Zarkasyi, 20
Setelah itu, peradaban Islam bahkan mampu pula melakukan transmisi, adaptasi, naturalisasi,
apropriasi, dan integrasi khazanah ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban lain
sebelumnya, seperti Yunani, Mesir, Persia, Romawi, India, dan Cina, ke dalam struktur
keilmuan dan pemikiran Islam. Karya-karya ilmuwan masa lalu seperti Aristoteles, Plato,
Hippocrates, Galen, Euclides, Ptolemeus, dan lain-lain diterjemahkan, dikritisi, dimodifikasi,
dan dikembangkan ke dalam khazanah keilmuan yang baru6, seperti falsafah (filsafat Islam)7,
ḥikmah (sains)8, dan handasah, ḥiyal, atau ṣināʿah (sains terapan)9, serta berbagai cabangnya.
Peradaban Islam kala itu bahkan membangun perpustakaan dan pusat-pusat keilmuan serta
penelitian yang masif, seperti Aṣḥāb aṣ-Ṣuffah, Bayt al-Ḥikmah, observatorium Maragha,
observatorium Samarkand, dan lain-lain.10

Ringkas cerita, orang-orang Eropa kemudian mengalami interaksi dengan berbagai produk
dan karya tulis para ilmuwan peradaban Islam itu, yang pada gilirannya memperkaya
pandangan hidup mereka yang sebelumnya terbelakang. Barat menempuh bermacam cara
untuk mentransfer konsep-konsep keilmuan dari dunia Islam. Model transformasi kultural itu
meliputi transmisi karya sastra; kunjungan, turisme, dan pelajar perantauan ke Cordoba,
Baghdad, dan pusat-pusat keilmuan Islam lainnya; hubungan perdagangan dan politik resmi
dengan kekhalifahan dan kesultanan Islam; penerjemahan karya ilmiah orang Islam; dan
pendirian institusi dan sekolah penerjemahan, seperti di Toledo, tepat sesudah Andalusia
direbut oleh kerajaan Kristen pada 1085.11

Meski demikian, kebangkitan peradaban Barat tidak terjadi langsung sesudah proses
transformasi tersebut. Tidak ada peradaban yang bangkit secara tiba-tiba. Sekurang-
kurangnya, diperlukan waktu seabad bagi suatu peradaban untuk bangkit. 12 Seiring mulai
naiknya ekonomi Eropa dan perkembangan transmisi ilmu dengan elemen Yunani, Arab
(Islam), dan Latin, terutama dari abad ke-13 hingga abad ke-15, konsep-konsep mereka
tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan menjadi matang. Filsafat dan sains Barat pun
mendapatkan jalan untuk berkembang.13

6
Zarkasyi, 21-23 dan Handrianto, 77-82
7
Perlu kutipan George Atiyeh, []
8
Perlu kutipan Al-Kindi, []
9
Perlu kutipan paper yang bahas Banu Musa
10
Zarkasyi, 18 & 29
11
Zarkasyi, 26-27
12
Zarkasyi, 27
13
Zarkasyi, 30
Meskipun Barat menyerap pula banyak gagasan keilmuan dari peradaban Islam, konsep-
konsep itu lambat laun mengalami proses epistemologi yang panjang yang akhirnya
menghasilkan konsep-konsep dengan paradigma yang berbeda jauh dari paradigma
awalnya.14 Ilmu-ilmu dari peradaban Islam, termasuk sains alam yang berkembang pada abad
pertengahan itu, diambil Barat dan dinaturalisasi sesuai pandangan hidup Barat atau
westernisasi, yaitu mengalami sekularisasi. Kecenderungan Barat untuk melakukan
sekularisasi ilmu itu tidak terlepas dari trauma dan problem yang mereka alami terkait dengan
hegemoni gereja dan agama Kristen, sebagaimana dibahas sebelumnya.15

Selain itu, alasan kecenderungan sekularisasi ilmu di Barat itu berkaitan pula dengan tabiat
dari peradaban mereka. Tabiat asli dari peradaban dan kebudayaan Barat itu sejatinya hasil
warisan yang dipupuk bangsa-bangsa Eropa dari Yunani dan Romawi Kuno yang dipadukan
dengan cita-rasa dan gerak-daya suku-suku bangsa utama mereka, seperti Jerman, Inggris,
dan Perancis. Bahkan agama Kristen itu, meskipun berhasil memasuki benua Eropa, tidak
meresap ke dalam kalbu mereka.16

Agama yang berasal dari Asia Barat itu justru telah diambil-alih dan diubah-ubah oleh
kebudayaan Barat demi melayani ajaran dan kepercayaan yang telah lama mereka anut
sebelum kedatangan Kristen. Mereka mencampur-adukkan ajaran asli agama itu dengan
mitologi Yunani dan Romawi kuno serta paganisme. Agama Kristen itu mengalami
pergeseran pusat dari Darus Salam di Palestina menuju Roma di Italia. Agama Kristen sendiri
telah dinaturalisasi ke dalam alam pikiran Eropa, sebagaimana nantinya sains dari dunia
Islam yang mereka adaptasikan itu.17

Demikianlah tabiat peradaban Barat serta trauma dan problem mereka dengan dominasi
gereja dan agama Kristen, memberikan kecenderungan untuk melakukan sekularisasi ilmu.
Tidak lagi terkekang oleh gereja, pikiran mereka semakin luas mengembara, membawa
mereka pada renaisans atau kebangkitan kesadaran18 (memuncak pada abad XV-XVI),
revolusi sains19 (abad XVI-XVII), dan aufklarung atau masa pencerahan 20 (abad XVII-
XVIII). Pada masa-masa itulah Barat kian lama menyimpangkan ilmu-ilmu yang mereka
serap dari peradaban Islam itu dari garis aslinya.

14
Zarkasyi, 31
15
Handrianto, 59-60
16
Al-Attas, 18
17
Al-Attas, 18
18
Handrianto, 61
19
Zarkasyi, 31
20
Handrianto, 41
Ilmu-ilmu dari peradaban Islam yang awalnya masih sarat nilai itu, dibawa ke arah yang
sekuler terutama sejak era Rene Descartes (1596-1650). Descartes memelopori aliran filsafat
rasionalisme, suatu aliran yang menjadikan akal pikiran (rasio) sebagai satu-satunya sumber
dan tolok ukur atau otoritas terakhir penentu kebenaran, serta menepikan nilai-nilai
ketuhanan. Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman indra, tetapi secara deduktif.
Pengalaman empiris justru dicurigai karena tidak stabil, selalu berubah-ubah, dan
mengandung kesalahan-kesalahan pengamatan.21

Descartes yang sempat belajar kepada pastor menemukan keraguan dalam filsafat teologi
karena otoritas gereja selalu menjadi tolok ukur suatu kebenaran tanpa memberikan ruang
pada rasio. Ia lalu meletakkan dasar metode keraguan untuk memperoleh keraguan.
Menurutnya, semua yang dapat diragukan mesti diragukan, karena segala sesuatu yang
selama ini ditangkap indra mungkin saja tidak nyata, ilusi, mimpi, atau khayalan. Dengan
penafian itu, proses berpikir rasional dapat dibangun, sehingga kebenaran yang dicapi tidak
mengandung keraguan.22

Selain itu, aliran tersebut memandang bahwa penampakan luar tidak dapat dipercaya
sehingga pencarian kebenaran mesti dilakukan di dalam diri manusia, yang dianggap sebagai
ide-ide bawaan lahir yang bersifat pasti dan bersih dari kontaminasi unsur-unsur fisis. Ide-ide
bawaan itu mencakup gagasan tentang diri manusia yang memiliki kesadaran berpikir, ide
tentang materi yang memiliki ekstensi, dan gagasan tentang wujud yang sempurnya (Tuhan).
Ide-ide itu dipandang sebagai bawaan sejak lahir yang melekat.23

Namun begitu, Descartes dan kalangan rasionalis lain umumnya masih mencoba
menyelaraskan iman dan akal. Mereka belum berani mengingkari keberadaan Tuhan dan
masih menganggap Tuhan sebagai pencipta akal. Selain Decartes, pemikir Barat lainnya yang
berkontribusi dalam pengembangan aliran ini adalah Voltaire, Diderot, D’Alambert, Leibniz,
Christian Wolff, Blasise Pascal, Baruch Spinoza, dan lain-lain.24

Paham rasionalisme tersebut kemudian ditentang oleh pemikir aliran empirisme, seperti
Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), dan
David Hume (1711-1776). Aliran filsafat empirisme berargumen bahwa ilmu pengetahuan
hanya dapat diperoleh dari pengalaman, yaitu melalui pengamatan dan percobaan empiris

21
Handrianto, 41 & 61
22
Handrianto, 62
23
Handrianto, 62
24
Handrianto, 63
(dapat diindra secara langsung atau menggunakan alat). Para penganutnya berpendapat
bahwa keteraturan alam semesta terjadi karena pengamatan sebelumnya, sehingga tidak
menerima hukum sebab-akibat. Dengan begitu, nilai kebenaran dibatasi pada hal-hal yang
dapat diindra. Semua hal yang tidak empiris dianggap bukan ilmu.25

Kaum empiris menolak gagasan kaum rasionalis tentang ide bawaan dalam diri manusia.
Menurut aliran empirisme, ide bawaan semacam itu tidak ada, karena manusia dianggap lahir
seperti kertas kosong, yang lalu diisi dengan berbagai pengalaman empiris sehingga menjadi
gagasan yang menyatu dengan dirinya. Jika pun memang ada ide bawaan, ide itu pasti
didapatkan dari rangkaian pengalaman empiris seseorang. Locke masih mengakui adanya
korespondensi akal dengan dunia luar yang dialami manusia, lewat suatu gagasan dualisme
kualitas benda, yang terdiri atas kualitas primer – yang mutlak dan tidak dipengaruhi persepsi
manusia – dan kualitas sekunder – yang bersifat relatif saat diindra.26

Pendapat Locke soal korespondensi pengetahuan manusia dengan dunia luar itu ditentang
oleh David Hume. Hume ingin membersihkan filsafat dari simbol-simbol religius dan
metafisik (sekularisasi). Selain menyerang paham rasionalisme tentang ide bawaan, ia juga
menyerang pemikiran religius keagamaan yang percaya bahwa Tuhan membiarkan alam
berjalan secara mekanis (prinsip kausalitas). Menurut Hume, pengetahuan faktual harus
didasarkan pada fakta, bukan sekadar relasi ide. Pikiran dianggapnya tidak dapat menentukan
kebenaran pengetahuan faktual tanpa mengacu pada dunia luar. Ia juga mengkritik keras ide
bahwa pikiran manusia sanggup menjangkau alam semesta yang hakiki karena tidak dapat
dipastikan dengan pengalaman yang faktual.

Aliran empirisme tersebut berseberangan dengan paham rasionalisme dan perlahan-lahan


mulai menghilangkan unsur spiritual (Tuhan) dalam gambaran dunia. Selain itu, objek ilmu
dalam pandangan aliran ini dipersempit kepada hal-hal yang dapat diamati secara empiris
atau fakta sensoris. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta indra atau pengamatan
empiris tidak diterimanya sebagai kebenaran atau ilmu pengetahuan.27

Aliran empirisme sendiri dapat dibagi ke dalam sejumlah cabang. Empirisme atomistis
beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kumpulan informasi yang terpisah-pisah,
sehingga tidak ada hubungan antar-informasi. Aliran positivisme logis berpendapat bahwa
sumber kebenaran hanyalah pengalaman empiris dan bahasa sebagai imaji realitas. Kaum
25
Handrianto, 41-42
26
Handrianto, 64
27
Handrianto, 64
empirisme radikal lalu menentangnya dan menyatakan bahwa pengalaman merupakan
segenap kejadian yang berasal dari berbagai peristiwa yang dialami manusia baik jasmani
maupun rohani.28

Setelah itu, Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf Jerman, mencoba mencari titik-temu
antara aliran rasionalisme dengan empirisme, membentuk aliran baru bernama idealisme.
Menurut Kant, rasio dan fakta empiris secara bersamaan merupakan sumber ilmu
pengetahuan.29 Kant yang semula berpandangan rasionalisme, merasa terganggu dengan
pendapat Hume. Sebagaimana Hume, ia menganggap ide-ide metafisika seperti kausalitas,
substansi diri, dan Tuhan memang tidak dapat dilandaskan pada perolehan pengetahuan dari
kesan-kesan empiris. Namun, Kant tidak berhenti untuk menganggap hal-hal metafisik itu
tiada, ia terus menyelidiki cara metafisika sebagai pengetahuan apriori dimungkinkan.30

Kant menyelisihi Hume yang menganggap bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman empiris. Baginya, ada keputusan sintetik apriori sebagaimana terdapat dalam
disiplin ilmu etika, fisika, metafisika, dan matematika. Keputusan tentang sebab-akibat
memang tidak ditemukan dalam pengalaman manusia, tetapi hal itu bukan hanya kebiasaan
manusia. Dalam hubungan kausalitas, manusia dapat merasakan adanya universalitas, yaitu
pola yang berlaku pada perubahan umum, tidak hanya pada satu atau beberapa perubahan
partikular saja. Selain itu, dianggap pula ada keniscayaan adanya sebab bagi setiap
perubahan.31

Dengan filsafatnya itu, Kant menolak klaim metafisika dogmatis atas pengetahuan semesta
tanpa penyelidikan dan kritik pendahuluan terhadap kemampuan yang dimilikinya, sekaligus
mengembangkan filsafat transendental tentang cara akal manusia memahami objek di
dalamnya. Ide itu lalu mempengaruhi Georg Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) yang
melahirkan dialektika tesis-antitesis-sintesis, yang berimplikasi pada pandangan bahwa
pengetahuan selalu berproses. Capaian yang telah ada (tesis) mesti selalu didebat (antitesis)
demi menghasilkan konsep pemenang yang lebih kuat (sintesis). Selain mereka, Fichte
(1762-1814), Scheilling (1775-1854), dan Schopenhauer (1788-1860) turut mengembangkan
paham idealisme.32

28
Handrianto, 63
29
Handrianto, 42
30
Handrianto, 65
31
Handrianto, 65
32
Handrianto, 66
Gagasan Hegel turut pula melahirkan paham positivisme-materialistis yang berujung pada
ateisme, sebagaimana diusung oleh Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx (1818-
1883), yang berpendapat bahwa prinsip filsafat tertinggi adalah manusia, bukan Tuhan,
sehingga agama mesti dikerdilkan sebagai faktor sekunder, di bawah ekonomi yang menjadi
faktor primer.33 Filsafat ini di kemudian hari turut melahirkan pula ideologi sosialisme dan
komunisme, yang meskipun tampak berbeda bahkan berlawanan dengan kapitalisme,
sejatinya hanyalah tafsiran yang berbeda dengan akar yang sama daripada pandangan hidup
sekuler materialisme dan humanisme, yang dalam artian ini bukanlah peri-kemanusiaan,
melainkan antroposentrisme, paham yang memusatkan semua tolok ukur kebenaran pada
manusia.34

Selanjutnya, ide empirisme kembali berpengaruh tatkala muncul paham positivisme sebagai
pokok daripada scientific worldview. Aliran positivisme dikemukakan oleh Henry Saint
Simon (1760-1825) dan dikembangkan oleh muridnya, August Comte (1789-1857), yang
kemudian lebih dikenal sebagai pendiri mazhab tersebut. Aliran ini mengembangkan paham
empirisme yang lebih ekstrem dengan mengusulkan bahwa puncak pengetahuan manusia
adalah ilmu-ilmu positif atau sains yang berangkat dari fakta-fakta yang diverifikasi dan
diukur secara ketat.35 Maksud positif tidaklah berarti baik, tetapi ada atau maujud secara fisik,
yaitu empiris, meskipun Comte juga menganggap namanya sebagai lawan dari filsafat negatif
dan destruktif yang berkembang pada masa Revolusi Perancis.36

Dengan demikian, aliran positivisme dapat dianggap sebagai cabang dari empirisme. Menurut
paham itu, objek ilmu pengetahuan hanya sah jika ada atau maujud (positif) secara terindra
(empiris). Perkembangan aliran ini menandai meluasnya pemahaman bahwa ilmu
pengetahuan harus bersifat netral dan objektif. Hal itu karena objek yang positif dianggap
pasti objektif. Dengan istilah objektif itu, suatu objek akan dijauhkan dari subjeknya, yaitu
bahwa nilai-nilai yang ada pada diri subjek tidak tertanam di dalam objek.37

Dengan begitu, ilmu pengetahuan akan dipandang sebagai bebas nilai, objektif, atau netral.
Antara fakta pada objek ilmu dan nilai yang dianut oleh subjek ilmu dianggap mesti
dipisahkan. Fakta berdiri sendiri di luar nilai, sehingga subjek peneliti mesti mengambil jarak
dengan realitas dan bersikap imparsial-netral. Implikasinya, objek penelitian atau ilmu

33
Handrianto, 66
34
Al-Attas, 20
35
Handrianto, 66
36
Handrianto, 67
37
Handrianto, 42
pengetahuan mesti murni empiris dan nilai-nilai dari subjek ilmu pengetahuan mesti
dihilangkan atau dikosongkan. Kesubjektifan peneliti tidak boleh mempengaruhi objek
penelitian, atau peneliti harus “objektif dan netral”.38

Konsekuensi lain dari aliran positivisme itu ialah bahwa pengetahuan positif-ilmiah atau
sains ilmiah mestilah bersifat nyata dan pasti. Dengan begitu, semua yang tidak terindra
seperti pada metafisika mesti ditolak karena ruang lingkup pengetahuan manusia hanyalah
objek empiris. Dari situ pula, muncul anggapan bahwa pengetahuan manusia “berevolusi”
dari tahap teologis (ilmu pengetahuan bersumber dari entitas gaib), menuju takat metafisik
(pengetahuan dihasilkan oleh kekuatan abstrak dan entitas nyata sekaligus), dan mencapai
bentuk terbaiknya pada fase scientific (objek pengetahuan harus positif, ada secara empiris).
Pada tahap scientific itu, kebenaran yang mutlak hanyalah yang eksak dan empiris, sehingga
kebenaran soal hal yang abstrak seperti etika, kemanusiaan, ketuhanan, dan sebagainya,
dianggap selalu relatif.39

Untuk mengukuhkan pandangan tersebut, positivisme menetapkan syarat-syarat bagi ilmu


pengetahuan, yaitu dapat diamati (observable), dapat diulang (repeatable), dapat diukur
(measurable), dapat diuji (testable), dan dapat diprakirakan (predictable). Dengan begitu,
objek ilmu pengetahuan harus berupa fakta-fakta empiri yang maujud dan dapat diindra oleh
subjek peneliti. Dampaknya, hal-hal yang tidak terindra – seperti entitas metafisika –
dianggap tidak dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat non-
eksak – seperti etika, moral, dan agama – dianggap tidak dapat memiliki kebenaran mutlak.40

Dengan demikian, peradaban Barat itu mengenakan rasionalisme dan empirisme sebagai
pendekatan penyelidikan di semua bidang ilmu, termasuk pada disiplin ilmu kemanusiaan
dan kemasyarakatan, tidak hanya pada sains alam eksak.41 Perkembangan aliran-aliran filsafat
Barat tersebut, terutama positivisme, pada akhirnya mendominasi wacana dan praktik
keilmuan modern di seluruh dunia42, termasuk negeri-negeri muslim, sehingga melahirkan era
scientific worldview.43 Paham yang berkembang saat ini menganggap bahwa sesuatu itu akan
menjadi kebenaran jika ia scientific, dan dengan begitu berarti bersifat empiris (terindra),
positif/logis (maujud secara empiris), dan logis (dapat diterima rasio).44

38
Handrianto, 43
39
Handrianto, 67
40
Handrianto, 43
41
Al-Attas, 42
42
Handrianto, 43
43
Handrianto, 4
44
Handrianto, 2 & 44
Dalam pada itu, ilmu pengetahuan yang disebut sebagai netral dan objektif dalam sains Barat
modern ini sesungguhnya tiada benar-benar netral dan objektif, karena ia dilekati terutama
oleh pemahaman positivisme dan scientific worldview secara umum, yang naturnya diperikan
dalam enam ciri. Pertama, bebas atau kosong nilai, yang berarti dikotomi antara fakta dan
nilai, yang merupakan akar daripada sekularisme dan nihilisme. Kedua, fenomenalisme, yang
memandang bahwa pengetahuan hanya absah jika berkutat pada fenomena semesta fisik,
sehingga metafisika yang menyelidiki sesuatu di belakang fenomena itu ditolak mentah-
mentah, yang pada gilirannya bertalian erat dengan materialisme dan ateisme.45

Ketiga, nominalisme, yang menganggap bahwa individu-individu partikular adalah satu-


satunya kenyataan, sehingga pengetahuan mesti difokuskan padanya, sehingga mengabaikan
universalisme sebagai suatu kenyataan. Keempat, reduksionisme, yang menganggap bahwa
alam semesta dapat direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi. Kelima, naturalisme,
yang memahami bahwa alam semesta hanya dapat dijelaskan dalam kerangka natural,
sehingga semua hal supranatural dan supernatural tidak dapat dianggap sebagai kebenaran,
sehingga melepaskan keteraturan alam semesta dari pengaturan adi-kodrati dan pesona ilahi.
Keenam, mekanisme, yang memandang bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara
mekanis-determinis.46

Dengan demikian, sains Barat modern yang diklaim bebas nilai itu sesungguhnya justru sarat
dengan nilai, dan pendekatan ilmiah yang mereka klaim sebagai objektif dan netral itu
sejatinya tidaklah benar-benar netral atau objektif dari elemen-elemen pandangan hidup
(worldview) Barat, terutama naturalisme, sekularisme, ateisme, materialisme, dan relativisme,
yang mengarah kepada pengosongan diri dari agama, wahyu, kesakralan nilai, metafisika,
dan Tuhan.47 Tentu falsafah ilmu yang demikian tidak dapat dibenarkan dalam pandangan
hidup Islam, yang akan dibahas dalam tulisan tersendiri mengenai pandangan Islam tentang
ilmu.

Sejumlah ilmuwan dan pemikir Barat pun telah memberikan kritik terhadap paradigma sains
Barat modern tersebut. Karl R. Popper, Paul Feyerabend, Paul Illich, Thomas Kuhn, para
filsuf mazhab Frankfurt, dan lainnya mengkritik positivisme. Menurut mereka, sains Barat itu
sarat dengan nilai-nilai ideologis tersembunyi yang akan mengarahkan manusia yang
mempelajarinya menjadi makhluk yang tidak lagi mengelola alam, tapi justru

45
Handrianto, 68
46
Handrianto, 68
47
Handrianto, 43 & 45
mengeksploitasi dan merusaknya. Alfred North Whitehead juga mencurigai sains ekonomi-
politik pasca kematian Adam Smith telah menanamkan abstraksi-abstraksi yang
mendehumanisasi industri.48

Para ilmuwan dan pemikir Islam kontemporer seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas,
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Hamid Fahmy Zarkasyi, Ziauddin Sardar, Muzaffar Iqbal,
Seyyed Hossein Nasr, dan lain-lain pun mengkritik pandangan “netralitas ilmu” tersebut. 49
Al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bersifat netral, karena setiap kebudayaan
atau peradaban memiliki pemahaman yang berbeda tentang ilmu, meskipun juga terdapat
sejumlah persamaan; dan bahwa antara peradaban Islam dengan Barat, terbentang perbedaan
pemahaman mengenai ilmu yang mendalam dan mutlak, yang seakan-akan tidak dapat
dipertemukan.50

Menurut Zarkasyi, ilmu dan aktivitas keilmuan senantiasa dilandasi oleh pandangan hidup
(worldview) yang menjadi asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas
ilmiah dan teknologi, yang pada akhirnya mewujud menjadi suatu bangunan peradaban.51
Menurutnya, akar masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini terletak pada masalah di
sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran umat ini telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan
ilmu yang salah, terperdaya dan secara tidak sadar menerima pengertian ilmu yang dianggap
sama dengan pengertian kebudayaan Barat, padahal makna ilmu itu berbeda sesuai dengan
agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing.52

Menurut Wan Daud, tujuan pendidikan, sebagai suatu bagian penting dari aktivitas ilmiah,
adalah suatu refleksi pandangan alam tertentu – apakah bersifat individual atau sosial – yang
pada gilirannya akan dimasukkan ke dalam materi, metodologi, dan evaluasi pendidikan.
Sementara itu, pandangan hidup yang melandasi pendidikan dan aktivitas ilmu itu sendiri
umumnya dibentuk oleh agama dan atau orientasi filsafat serta lingkungan sosio-historisnya
dalam berbagai derajat interaksi yang kompleks.53

Menurutnya, ilmu pengetahuan, sebagai unit makna yang saling berkaitan dengan hal-hal
yang masuk akal dan dimengerti yang hadir dalam jiwa manusia, pastilah tidak netral, karena
makna tersebut secara organik berkaitan dengan kualitas dan kapasitas jiwa manusia dan

48
Handrianto, 14
49
Handrianto, 44; lihat juga Wan Daud, 32
50
Al-Attas, 49-50
51
Zarkasyi, 12-14
52
Zarkasyi, 45-46
53
Wan Daud, 6
dengan pandangan hidupnya. Maka, fakta, keterampilan, dan teknologi, yang merupakan unit
makna, berpotensi menjadi baik atau buruk, benar atau salah, dan bermanfaat secara
langsung, jika ditafsirkan dan diterapkan secara tepat sesuai dengan kerangka Islam, sehingga
dapat membuatnya lebih berarti, adil, dan bijaksana.54

Sayangnya, sebagian besar ilmu pengetahuan kontemporer pada dasarnya diyakinkan dan
diinterpretasikan oleh peradaban Barat modern. Pengaruhnya kemudian meluas kepada
kebudayaan dan peradaban lain pasca era kolonialisme, melalui pelembagaan paradigma
positivisme, sekularisme, dualisme, materialisme, humanisme, dan tragedi dalam studi
sains.55 Gemuruh dan kemilau janji positif peradaban Barat modern dan globalisasi membuat
banyak intelektual Muslim kontemporer kehilangan sikap kritis-evaluatifnya terhadap sains
mereka.56 Dengan hegemoni peradaban Barat, pandangan sains Barat modern masih
memberikan pengaruh besar di dunia Islam dan menghasilkan beragam defisit lintas
sektoral.57

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pandangan setiap peradaban dan kebudayaan
mengenai ilmu itu dapat berbeda, sesuai dengan pandangan hidup (worldview) masing-
masing, sehingga peradaban Islam tidak harus pula mengakui konsep sains yang bebas nilai,
netral, atau objektif sebagaimana sains dalam peradaban Barat modern. Untuk itu,
penyelidikan mengenai pandangan hidup Islam tentang ilmu perlu dilakukan pada tulisan
berikutnya. Penyelidikan itu kemudian mesti diarahkan kepada pencarian alternatif solusi
yang sah, termasuk upaya Islamisasi sains yang telah diajukan oleh para pembaharu
pemikiran Islam itu.

54
Wan Daud, 33-34
55
Wan Daud, 34
56
Wan Daud, 78
57
Wan Daud, 5

Anda mungkin juga menyukai