Anda di halaman 1dari 6

Sains Transportasi dan Paradigma Ilmu: Refleksi Singkat

Pada umumnya, dunia akademik formal kontemporer mengajarkan kepada peserta didiknya
bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral dan penelitian itu mesti objektif. Namun, tahukah kita
bahwa pandangan itu tidak selalu benar? Sadarkah kita bahwa sains tentang transportasi –
baik itu rekayasa atau teknik transportasi maupun manajemen atau ekonomi transportasi –
sarat dengan paradigma atau nilai-nilai, sehingga tidak sepenuhnya netral atau bebas nilai?

Pemahaman bahwa ilmu pengetahuan mesti netral dan objektif tumbuh seiring perkembangan
filsafat sains Barat modern yang berujung pada dominannya scientific worldview, yang
merupakan suatu pandangan bahwa hal yang dapat diterima sebagai kebenaran adalah yang
melulu logis (sesuai rasio) dan empiris (dapat diobservasi secara fisik). Perkembangan
pandangan itu diawali dengan lahirnya aliran-aliran filsafat sains dalam tubuh peradaban
Barat selepas Zaman Kegelapan mereka, yaitu pada masa Renaisans, Revolusi Sains, dan
Aufklarung.1

Sebagai akibat dari trauma atas hegemoni gereja dan problem teologis agama Kristen yang
menghambat kemajuan sains di Barat serta naturalisasi (dalam arti westernisasi) ilmu
pengetahuan yang mereka dapatkan dari pusat-pusat studi peradaban Islam Abad
Pertengahan, seperti Cordoba, Baghdad, Damaskus, dan Toledo, Eropa mengalami
kebangkitan intelektual baru.2 Namun, lantaran trauma keagamaan itu, mereka menyesuaikan
pengetahuan yang mereka serap dari dunia Islam dengan pandangan hidup mereka yang
sekuler, materialis, antroposentris, dan dualis.3

Dengan suasana alam-pikiran yang demikian itu, para pemikir mereka mengembangkan
aliran-aliran filsafat ilmu yang di kemudian hari mengarah kepada pelepasan penyelidikan
alam (sains) dari nilai-nilai Ilahi (disenchantment of nature) dan nilai-nilai Din yang tetap-
sempurna (deconcecration of value). Rene Descartes mengembangkan paham rasionalisme,
di mana akal menjadi satu-satunya sumber dan tolok ukur kebenaran. Lalu, sebagai reaksi
pula atas rasionalisme, David Hume mengembangkan aliran empirisme yang menganggap

1
Budi Handrianto, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sain Barat Modern, (Jakarta: INSISTS, 2019),
60-61; lihat juga Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Pembangunannya, (Ponorogo: CIOS-
ISID-Gontor, 2010), 31
2
Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: ..., 23-26
3
Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 59-60
bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh dari pengalaman empiris. Immanuel Kant mencoba
menggabungkan keduanya dengan merumuskan aliran idealisme. Kemudian, bangkitlah
aliran empirisme dalam bentuk baru, yaitu positivisme, yang dipromosikan oleh Auguste
Comte.4

Aliran positivisme itulah yang kemudian mendominasi wacana sains Barat modern dan
menyebar ke seluruh dunia, yang berujung pada jamaknya pemahaman bahwa ilmu
pengetahuan itu mesti netral dan objektif. Dalam aliran ini, objek ilmu pengetahuan mesti
positif (ada secara empiris), dan kajian yang positif dianggap pasti sebagai studi yang
objektif. Istilah objektif muncul karena ingin menjauhkan objek dari subjeknya, yaitu bahwa
nilai dalam diri subjek tidak boleh tertanam pada objek. Dengan begitu, ia memberi garis
demarkasi antara fakta dengan nilai, mengambil jarak dengan realitas, dan bersikap
imparsial-netral. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Gejala alam dipandang mekanis-
determinis.5

Namun begitu, dapat dilihat bahwa maksud sains itu mesti netral tidaklah seutuhnya
dipenuhi. Hal itu karena yang terjadi adalah bahasa sains itu hanya bebas dari nilai-nilai yang
bertentangan dengan positivisme. Sains Barat modern yang dianggap netral dan objektif itu
sejatinya justru dimuati paham positivisme itu, baik secara terang maupun tersembunyi.
Paham positivisme itu maujud ke dalam sejumlah tabiat, yang mencakup: nihilisme
(pengosongan nilai), sekularisme (pemisahan alam dari pesona Ilahi), fenomenalisme
(pembatasan kajian sains hanya dalam fenomena fisik), materialisme (orientasi pendidikan
dan pengetahuan yang berkutat pada materi), naturalisme (penafian entitas supranatural dan
supernatural), dan ateisme (tidak bertuhan).6

Pada perkembangannya, muncul kesadaran baru bahwa sains Barat atau ilmu pengetahuan
secara umum tidak bebas nilai. Para ilmuwan dan pemikir kontemporer, baik dari dunia Barat
maupun dunia Islam, mulai melakukan peninjauan ulang terhadap sains modern. Di Barat,
ada nama-nama seperti Karl R. Popper, Paul Feyerabend, Paul Illich, Thomas Kuhn, Alfred
North Whitehead, para filsuf Mazhab Frankfurt, dan lain-lain memberikan kritik kepada sains
Barat modern, yang mereka anggap menyebabkan dehumanisasi.7

4
Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 41-43 & 61-67
5
Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 42-43
6
Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 68
7
Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 14
Dari dunia Islam, gelombang kesadaran baru bahwa sains Barat modern, meskipun memiliki
banyak kesesuaian pula dengan sains Islam, sarat dengan penyimpangan akibat pandangan
hidup sekuler, sehingga mesti dinaturalisasi ke dalam pandangan hidup Islam, atau proses
yang disebut juga Islamisasi sains kontemporer. Para pelopornya termasuk Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, dan Ismail Raji al-Faruqi, serta para muridnya. 8
Bahkan, Tjokroaminoto pun telah memiliki gagasan integrasi keilmuan Islam dengan
"modern wetenschap" dalam usulan rencana pendidikannya, "Moeslim Nationale
Onderwijs".9

Memanglah sains Barat modern itu mengklaim dirinya netral dan objektif, tapi tetap sarat
paradigma positivisme. Namun, tanpa mempermasalahkan klaim itu pun, kita akan tetap
mendapati bahwa sejumlah cabang sains modern itu justru tidak lepas dari paradigma, salah
satunya adalah sains tentang transportasi. Dalam kajian kontemporer, ia dapat menjadi
cabang dari Teknik Sipil (Rekayasa Transportasi), Teknik Kelautan (Teknik Transportasi
Laut dan Operasi Pelabuhan), Teknik Penerbangan (Sistem Transportasi Udara dan Operasi
Bandara), Manajemen dan Bisnis (Manajemen Transportasi dan Logistik serta Ekonomi
Transportasi), atau berdiri sendiri secara spesifik, seperti pada Teknik Perkeretaapian.

Namun, umumnya yang menjadi representasi dari sains transportasi adalah Teknik atau
Rekayasa Transportasi, terutama karena cakupan matranya yang menyeluruh. Rekayasa atau
teknik transportasi umumnya didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip sains dan
teknologi dalam perencanaan, desain fungsional, pengoperasian, dan pengelolaan berbagai
fasilitas untuk segala bentuk mode transportasi (jalan, rel, air, dan udara) dengan tujuan untuk
menjamin pergerakan manusia dan barang yang aman, cepat, nyaman, mudah, ekonomis dan
ramah lingkungan.10

Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa Rekayasa Transportasi merupakan studi yang
interdisipliner dengan komponen, hubungan, dan kompleksitas yang besar. Ia memiliki
keterkaitan yang erat dengan sosiologi, psikologi, politik, manajemen, ekonomi, planologi,
arsitektur, rekayasa sistem, teknik sipil, matematika dan statistika, teknik dirgantara, teknik
perkapalan dan kelautan, teknik perkeretaapian, rekayasa informatika dan elektronika, teknik
mesin, dan lain-lain. Cakupan studinya yang kompleks meliputi sisi “keilmuan lunak” yang
8
Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 44
9
H.O.S. Tjokroaminoto, “Muslim Nationale Onderwijs”, Kumpulan Tulisan Tjokroaminoto, (Lajnah Tanfidziyah
Syarikat Islam, 1995)
10
C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi Edisi Ketiga Jilid 1, Terjemahan Fidel Miro,
(Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 5
berkenaan dengan manusia dan kemasyarakatan, dan sisi “keilmuan keras” yang
berhubungan dengan teknik dan sains eksak. Dengan karakteristiknya yang demikian, studi
dalam bidang Rekayasa Transportasi umumnya mengarah kepada pendekatan sistemis.

Pendekatan sistem (system approach) adalah suatu cara yang sistemis dan menyeluruh untuk
memecahkan masalah yang melibatkan suatu sistem. Sistem adalah suatu perangkat yang
terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, disebut komponen, yang menjalankan
sejumlah fungsi dalam rangka mencapai suatu tujuan. Analisis sistem adalah penerapan
metode ilmiah guna memecahkan masalah-masalah yang rumit dan interdisipliner di
dalamnya. Tujuan (goal) dari sistem yang dianalisis harus dirumuskan dalam pernyataan-
pernyataan operasional yang terukur dan dapat dicapai (disebut objektif).11

Setiap objektif dari suatu sistem umumnya memiliki ukuran-ukuran efektivitasnya sendiri
(measure of effectiveness / MOE). MOE merupakan suatu ukuran yang menunjukkan hingga
sejauh mana setiap tindakan yang diambil dapat memenuhi objektifnya. Ukuran-ukuran yang
berhubungan dengan hilangnya keuntungan atau lepasnya peluang untuk setiap alternatif
disebut ukuran biaya (measure of costs / MOC). MOC merupakan konsekuensi dari
keputusan dalam memilih alternatif itu. Suatu kriteria atau persyaratan menghubungkan MOE
dan MOC dengan cara menetapkan suatu aturan yang digunakan untuk memilih salah satu
dari beberapa tindakan alternatif yang biaya dan efektivitasnya telah diketahui. Suatu tipe
kriteria atau persyaratan yang khusus untuk mematok tingkat terendah (atau tertinggi) dari
performa sistem yang dapat diterima maujud sebagai objektif definitif, yang disebut sebagai
standar.12

Standar bagi suatu sistem umumnya ditetapkan dalam regulasi otoritas. Regulasi itu
diwujudkan melalui suatu kebijakan (policy) dari pihak yang berkuasa atau berwenang
sebagai prinsip pengarah atau langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai objektif
sistem. Pelaksanaan standar atau regulasi itu tentu perlu dievaluasi, karena umpan balik dan
pengendalian sangat diperlukan agar performa sistem efektif. Tindakan mengevaluasi status
aktual dari suatu sistem dan menentukan arah perubahannya disebut sebagai penentuan
kebijakan.13

11
C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ..., hal. 7
12
C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ..., hal. 7
13
C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ..., hal. 8
Kebijakan terkait sistem itu pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap manusia,
masyarakat, dan lingkungan sekitarnya, terutama pengguna langsung dari sistem itu. Hal itu
karena terdapat konsep-konsep rumit yang membentuk keinginan dasar dan menggerakkan
perilaku manusia sebagai pengguna sistem. Seiring perubahan pada sistem itu, insan yang
berhubungan dengannya juga dapat mengalami perubahan nilai. Lebih jauh lagi, setiap
kebijakan dalam merumuskan regulasi atau standar itu pasti dipengaruhi oleh nilai-nilai dari
pihak yang menentukannya, baik itu nilai sosial, nilai budaya, nilai tamadun, dan lain-lain.14

Meskipun studi sains dan teknik kontemporer selalu menekankan objektivitas, setiap
keilmuan yang melibatkan manusia, sebagai makhluk yang memiliki sisi pandangan
subyektif, tidak akan terlepas dari nilai-nilai yang melandasi pemikiran manusia itu, termasuk
dalam melakukan analisis sistem transportasi. Paradigma yang terbentuk dari nilai-nilai itu
akan mempengaruhi cara penentu kebijakan dalam mengidentifikasi masalah-masalah dan
nilai-nilai komunitasnya yang terkait dengan sistem itu. Seterusnya, paradigma itu akan
memberi warna dalam proses penentuan tujuan, objektif, kriteria, standar, dan regulasi bagi
sistem.15

Berbagai patokan itu pada gilirannya akan menuntun otoritas dalam merancang, mengkaji,
dan memilih alternatif aksi. Pengujian terhadap objektif dan alternatif yang lama serta
penentuan atau modifikasi objektif dan alternatif baru hingga keseluruhan perulangan
analisis, sampai dihasilkan bentuk sistem yang dinilai paling tepat, juga tidak terlepas dari
paradigma, nilai, asumsi, dan berbagai hal subyektif lainnya. Besarnya peran paradigma atau
nilai-nilai dalam studi dan implementasi rekayasa transportasi itu akan semakin terlihat jika
kita meninjau pergeseran paradigma transportasi dari paradigma lama yang berkutat pada
motorisasi mekanis menuju paradigma baru yang multi-modal dan lebih mementingkan
manusia, komunitas, dan lingkungan.

Sifat paradigmatis atau sarat nilai dari sains transportasi juga tampak pada gagasan Sistem
Transportasi Nasional (Sistranas) yang diusulkan oleh Ahmad Munawar. Dalam konsepnya,
Sistranas memiliki sejumlah komponen yang berperan sebagai pemberi landasan nilai, baik
yang bersifat landasan filosofis maupun orientasi operasional. Instrumental masukan nilai itu
meliputi Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Wawasan Nusantara, Garis-garis Besar
Haluan Negara, sejumlah Undang-undang tentang transportasi, paradigma Pertahanan

14
C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ..., hal. 7
15
C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ..., hal. 8
Nasional Rakyat Semesta, dan Tri Gatra, yang seluruhnya ditujukan demi optimalisasi
layanan publik, pencapaian tujuan nasional, dan peningkatan ketangguhan ketahanan
nasional.16

Dengan demikian, sistem transportasi dapat dipandang sebagai suatu pengejawantahan dari
tatanan nilai suatu kelompok kecil penentu kebijakan, yang dapat mempengaruhi
perkembangan tatanan nilai dari kelompok masyarakat yang lebih besar. Dengan kata lain,
studi tentang transportasi, seberapa pun objektifnya, tetaplah sarat dengan nilai. Sains dan
rekayasa transportasi dalam berbagai bentuknya, perlu kita pandang sebagai keilmuan yang
memiliki paradigma tertentu. Karena itu, penyelidikan terhadap paradigma transportasi
kontemporer, serta hubungannya dengan struktur peradaban secara umum, perlu dilakukan.

16
Ahmad Munawar, Dasar-dasar Teknik Transportasi, (Yogyakarta: Beta Offset, 2011), 7-14

Anda mungkin juga menyukai