Anda di halaman 1dari 18

PERGESERAN PARADIGMA DALAM PENDIDIKAN KOMPARATIF

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Komparatif


Dosen Pengampu : Dr. Dwi Siswoyo, M.Hum dan Dr. Drs.Arif Rohman, M.Si

Oleh:
Evi Fitriana (19703261016)
Nurizky Handayani (19703261046)

PROGRAM STUDI S3 ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
A. Pendahuluan
Memaknai pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan oleh setiap orang
sejak ribuan tahun yang lalu. Banyak orang yang menganggap belajar adalah
membaca dan menghapal. Hammond, Austin, Orcutt, dan Rosso (2001:3)
mengatakan bahwa “Many classrooms today continue a transmission-based
conception of learning as the passing on of information from the teacher to the
student, with little interest in transforming it or using it for novel purposes”. Saat
ini banyak pembelajaran yang dilakukan di kelas hanya melanjutkan konsep
pembelajaran berbasis tranmisi, artinya, pembelajaran dilaksanakan hanya untuk
menyampaikan informasi dari guru kepada siswanya dan hanya sedikit pula upaya
yang dilakukan untuk menggunakan informasi tersebut untuk tujuan yang baru.
Tapscott (2009:122) mengkritisi dengan mengatakan “…the education
system in many places is lagging at least 100 years behind. The model of
education that still prevails today was designed for the Industrial Age. It revolves
around the teacher who delivers a one-size-fits-all, one-way lecture. The student,
working alone, is expected to absorb the content delivered by the teacher”.
Pembelajaran yang dilakukan harus sesuai dengan perkembangan jaman.
Penyelenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk membantu manusia menjadikan
dirinya sebagaimana mestinya sesuai yang mereka mampu, dan para pendidik
harus mampu memahami mereka dalam aktualitas, kemungkinan-kemungkinan
dan idealitasnya serta para pendidik harus tahu cara menumbuhkan perubahan-
perubahan yang diinginkan oleh mereka (Phenix, 1986:17).
Pernyataan dari Covey (2006): “Saya pribadi yakin bahwa seseorang bisa
menjadi katalisator perubahan, seorang “pengubah” dalam situasi apapun,
dalam organisasi apapun. Individu seperti itu adalah ragi yang dapat
mengembangkan seluruh roti. Diperlukan visi, prakarsa, kesabaran, rasa hormat,
ketekunan, keberanian dan keyakinan untuk menjadi seorang pemimpin yang
mengubah”, tepat jika dikaitkan dengan situasi saat ini yang selalu berubah
mengikuti perkembangan di dunia. Filosofi tersebut membuat kita dapat
mengubah segalanya dengan memulai dari diri sendiri. Demikian pula dengan
sebuah paradigm, akan selalu berubah karena setiap individu juga akan berubah.
Perubahan yang kecil pada diri sendiri akan dapat mengubah perilaku kita,
sedangkan perubahan yang besar dan bersifat radikal serta revolusioner akan
dapat menggeser suatu paradigma.
Thomas S Kuhn (1962) dalam The Scientific Revolution menyatakan bahwa
semua loncatan-loncatan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah
akibat perbaikan atau pergeseran paradigma mekanika klasik Newton. Semakin
meluas paradigma Newton, akan semakin tampak banyak kekurangan dalam
paradigma tersebut dan makin banyak dijumpai masalah baru yang tidak bisa
diselesaikan oleh paradigma itu. Hal ini dapat kita perhatikan sampai dengan
munculnya sebuah paradigma relativitas yang dipelopori oleh Albert Einstein.
Einstein bermaksud mengeser paradigma Newton dengan alasan paradigma
tersebut tidak mampu menggambarkan seluruh realitas fisik yang mencoba
diwakilinya. Sebaliknya paradigma Eistein ternyata lebih lengkap, lebih umum,
lebih akurat dan lebih komprehensif. Dengan kata lain, paradigma Newton
merupakan salah satu bagian saja yang terwakili dari paradigma Einstein.

B. Pembahasan
Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung pada sudut
pandang yang menggunakan. Jika dari sudut pandang penulis, maka paradigma
adalah cara pandang seseorang mengenai suatu pokok permasalahan yang bersifat
fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun keyakinan dasar yang
menuntun seorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Capra (1991)
dalam bukunya Tao of Physics menyatakan bahwa paradigma adalah asumsi dasar
yang membutuhkan bukti pendukung untuk asumsi-asumsi yang ditegakkan
dalam menggambarkan dan mewarnai interpretasi terhadap realita sejarah sains.
Kuhn (1962) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution
menyatakan bahwa paradigma adalah gabungan hasil kajian yang terdiri dari
seperangkat konsep, nilai, teknik dll yang digunakan secara bersama dalam suatu
komunitas untuk menentukan keabsahan suatu masalah berserta solusinya.
Paradigma menurut Guba (1990) seperti yang dikutip Denzin & Lincoln, (1994)
didefinisikan sebagai: “a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with
ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder the nature of
the world…”.
Bhaskar (1989) mengartikan paradigma sebagai: “... a) a set of assumptions,
b) belief concerning and c) accepted assume to be true” atau diterjemahkan
sebagai seperangkat asumsi yang dianggap benar apabila melakukan suatu
pengamatan supaya dapat dipahami dan dipercaya dan asumsi tersebut dapat
diterima. Dengan kata lain, paradigma adalah sebuah bingkai yang hanya perlu
diamati tanpa dibuktikan karena masyarakat para pendukungnya telah
mempercayainya. Hanya tinggal kita saja yang perlu untuk mencermati dari
berbagai macam paradigma yang ada.
Ritzer (1981) menyatakan bahwa, paradigma adalah pandangan yang
mendasar dari para ilmuwan atau mengenai apa yang seharusnya menjadi kajian
dalam ilmu pengetahuan, apa yang menjadi pertanyaannya dan bagaimana cara
menjawabnya. Paradigma juga dikatakan sebagai konsensus dari para ilmuwan
yang dapat melahirkan suatu komunitas atau subkomunitas yang berbeda dengan
yang lain. Perbedaan paradigma tersebut terjadi karena adanya perbedaan teori,
metode dan instrument yang digunakan untuk mencapai suatu kebenaran.

1. Pergeseran Paradigma Ilmu Pengetahuan


Padangan tentang paradigma ilmu pengetahuan akan selalu berubah.
Paradigma yang muncul setelah paradigma sebelumnya selalu berusaha untuk
memperbaiki kekurangan-kekurang yang ada. Pergeseran paradigma akan selalu
muncul untuk mendapatkan realitas yang sebenarnya sesuai dengan jaman dan
peradaban. Sebagai contoh, apakah paradigma positivis lebih baik atau buruk dari
paradigma yang lainnya tergantung pada para penganutnya yang bisa memahami
dan mengerti paradigma tersebut.
Pergeseran paradigma ilmu pengetahuan akan menimbulkan suatu
kekerasan dan dapat memicu adanya suatu revolusi (Kuhn, 1962). Hal ini
disebabkan penganut paradigma tersebut berusaha untuk memperbaiki paradigma
sebelumnya agar mereka berada dalam paradigma yang baru. Penganut
paradigma baru berusaha untuk memusnahkan dan mengantikan paradigma
sebelumnya dengan jalan mengungkap realitas yang ada dengan menjelaskan
segala bentuk kelemahan pada paradigma sebelumnya.
Mulyana (2003) menyebut 2 faktor yang mendorong terjadinya pergeseran
paradigma yaitu:
a. Gugatan para ilmuwan perihal daya eksploratori pendekatan kuantitatif-
positivistik terhadap objek kajian; dan
b. Laju perubahan social yang begitu cepat memerlukan pendekatan dan
model studi yang lebih kontekstual dan handal”.
Pergeseran paradigma tersebut munculkan penganut-penganut yang
mempercayai dan meyakini masing-masing paradigma yang ada. Oleh sebab itu,
adanya pergeseran paradigma menciptakan suatu pengembangan dalam
paradigma ilmu pengetahuan.

2. Perkembangan Paradigma Ilmu Pengetahuan


Perkembangan paradigm didasari oleh 4 dimensi yang ada dalam filsafat
ilmu pengetahuan yaitu dimensi ontologis, epistemologis, aksilogis dan
metodologis. Terdapat 4 perkembangan paradigma yaitu paradigma
fungsionalis/positivism, paradigma interpretif/construktivisme, paradigma kritis
dan paradigma postmodernisme.
a. Paradigma positivisme/fungsionalis
Paradigma positivisme/fungsionalis adalah paradigma yang muncul
paling awal dalam dunia ilmu pengetahuan. Kepercayaan dalam
pandangan ini berakar pada paham ontology realisme yang menyatakan
bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan
hukum alam. Penelitiannya berusaha untuk mengungkap kebenaran dari
realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan sesuai dengan
kenyataannya. Dalam paradigma ini mempunyai prespektif yang
didasarkan pada sosiologi regulasi dengan pendekatan obyektif dan
cenderung mengasumsikan dunia sosial sebagai produk empiris yang
sangat nyata serta mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya
(sebab-akibat).
Paradigma ini muncul pada abad ke 19 yang dimunculkan oleh August
Comte (1830-1842), kemudian dikembangkan oleh Emile Durkheim
(1895). Dalam paradigma ini obyek ilmu pengetahuan dan pernyataan
pengetahuan harus memenuhi beberapa syarat yaitu harus dapat diamati
(observable), dapat diulang (repeatable), dapat diukur (measurable),
dapat diuji (testable) dan dapat diramalkan (predictable) (Kerlinger,
1973).
Positivist/fungsionalis selalu menekankan pada generalisasi untuk
memberikan kekuatan akumulasi pengetahuan atas fenomena sebab
akibat. Serta penjelasan keilmuannya selalu berdasarkan pada angka
yang mengandung kepastian sehingga tidak bisa ditolak. Bagi
pendukung paradigma ini penjelasan dan deskripsi adalah hubungan
antara logika, data dan hukum atau mungkin standart yang diperoleh.
Bukti yang dihasilkan adalah bukti yang didasarkan pada pengamatan
yang tepat dan dapat diulang kembali atau mungkin digeneralisasi.
Sedangkan nilai yang ada dalam paradigma positivist selalu bersifat
konvensional yaitu bersifat keras, menekan, memaksa (reduksionis)
karena kebenaran adalah segala sesuatu yang berada di dalam maupun
diluar yang harus bersifat obyektif sehingga bebas dari nilai (value free),
sehingga kedudukan peneliti dalam paradigma ini bebas dari
kepentingan.
b. Paradigma interpretif
Paradigma interpretif lebih menekankan pada peranan bahasa,
interpretasi dan pemahaman akan makna dari realitas (Chua 1969).
Menurut Morgan (1979) paradigma ini menggunakan cara pandang para
nominalis dari paham nominalisme yang melihat realitas sosial sebagai
suatu yang tidak lain adalah label, nama, konsep yang digunakan untuk
membangun realitas. Dalam paradigma intrepretif, secara ontology
melihat realitas bersifat sosial, karena itu selalu menghasilkan realitas
majemuk di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa realitas
tidak dapat diungkapkan secara jelas dengan satu kali pengamatan dan
pengukuran oleh sebuah ilmu pengetahuan. Keberadaan realitas
merupakan seperangkat bangunan yang kokoh dan menyeluruh serta
mempunyai makna yang bersifat kontekstual dan dialektis. Paradigma
ini memandang suatu fenomena alam atau social dengan prinsip
relativitas, sehingga penciptaan ilmu yang diekspresikan dalam teori
bersifat sementara, local dan spesifik.
Dalam sisi epistemology hubungan peneliti dengan obyek bersifat
interaktif melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam
setting yang alamiah. Peneliti bebas melakukan segala tindakannya
tanpa harus takut pada hukum, standart, norma yang ada asalkan apa
yang dimaknai sesuai dengan realitas yang ada pada saat itu.
Dalam hal metodologi, penelitian ini harus dilakukan di lapangan atau
alam bebas dan mengungkap fenomena yang ada secara keseluruhan
tanpa adanya campur tangan dari peneliti.
c. Paradigma Kritis
Paradigma kritis dikembangkan dari konsepsi kritis terhadap berbagai
pemikiran dan pandangan yang sebelumnya. Paradigma kritis
menggunakan bukti ketidakadilan sebagai awal telaah, dilanjutkan
dengan merombak struktur atau sistem ketidakadilan dan dilanjutkan
dengan membangun konstruksi baru yang menampilkan sistem yang
adil. Paradigma kritis berpandangan bahwa unsur kebenaran adalah
melekat pada keterpautan antara tindakan penelitian dengan situasi
historis yang melingkupi. Penelitian tidak dapat terlepas dari konteks
tertentu, misalnya situasi politik, kebudayaan, ekonomi, etnis dan
gender.
Secara ontology paradigm kritis memandang realitas dalam realisme
historis yaitu realitas yang teramati (virtual reality) adalah semu
terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan social, budaya dan ekonomi
public. Dalam pandangan paradigma kritis realitas tidak berada dalam
harmoni tetapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial.
Secara epistemology mengenai hubungan antara periset dan obyek yang
dikaji adalah transaksional/subyektivis: hubungan periset dengan obyek
studi dijembatani nilai tertentu. Pemahaman tentang realitas merupakan
temuan yang dijembatani nilai tertentu. Maksudnya adalah ada
hubungan yang erat antara peneliti dengan obyek yang diteliti. Sehingga
peneliti ditempatkan pada situasi sebagai actor intelektual dalam proses
transformasi social.
Secara metodologi, paradigma kritis lebih menekankan penafsiran
peneliti pada obyek penelitiannya. Dalam hal ini proses dialogal sangat
dibutuhkan, dimana dialog kritis digunakan untuk melihat secara lebih
dalam kenyataan social yang telah ada, sedang dan akan terjadi.
d. Paradigma Postmodern
Paradigma ini berusaha untuk menggantikan uniformitas universalitas
dengan pluralitas yang bersifat lokal dengan mengikutsertakan
modernisme tetapi tanpa keistimewaan yang spesifik. Yang dulunya
ditolak oleh modernitas karena tidak terjelaskan oleh akal seperti emosi,
intuisi, imajinasi berusaha dirangkul kembali oleh paradigma ini dan
diberi tempat yang layak dalam kehidupan manusia.
Dilihat dari filsafat ilmu maka paradigma ini secara ontologism
memandang realitas secara subyektif dan beragam yang dapat dilihat
oleh partisipan pada suatu penelitian. Jika dilihat dari asumsi
epistemology, paradigma ini melihat peneliti berinteraksi dengan apa
yang diteliti. Secara metodologi, paradigma postmodern lebih
menekankan pada keakuratan dan reliabilitas melalui verifikasi dan
logical discourse. Dalam aksiologi, paradigma ini lebih menekankan
pada peran nilai (role of value) dalam riset artinya peneliti membawa
nilai-nilai social yang diletakkan untuk menjustifikasi fenomena yang
diinvestigasi.
Pergeseran paradigma ilmu pengetahuan memunculkan suatu fakta bahwa
adanya paradigma yang lahir sebagai paradigma alternatif (interpretif, kritis dan
postmodern) untuk mencari kebenaran realitas yang memberi sejumlah implikasi
baik secara konseptual, praktis dan implikasi kebijaksanaan. Paradigma
alternative adalah cara pandang atau asumsi dasar yang menolak pemikiran bahwa
hanya terdapat satu pendekatan keilmuan yang dapat mengungkap realitas sebagai
suatu kebenaran.
Sisi sosial yang ditampilkan oleh paradigma altenatif adalah dapat
memunculkan suatu sikap yang lebih toleran terhadap berbagai pandangan yang
ada khususnya bagi para peneliti dan akademisi sehingga dapat mengurangi
kecenderungan berpandangan bahwa realitas adalah suatu dogma atau konsep,
karena pandangan yang monoistik pada suatu pendekatan akan mengurangi
kemungkinan untuk ilmu pengetahuan yang secara nyata dapat diperoleh dengan
berbagai cara.
3. KECENDERUNGAN PARADIGMA PENDIDIKAN
Ada tujuh kecenderungan pergeseran paradigma pendidikan yang dipandang
sesuai dengan tantangan abad 21 (Makagiansar: 1996). Ketujuh paradigma
tersebut adalah:
a. Pergeseran paradigma dari “ belajar terminal” ke “ belajar sepanjang
hayat”.
Comission on education for the twenty fisrt century, memandang bahwa
pendidikan sepanjang hayat sebagai suatu bentuk bangunan pendidikan yang
ditopang oleh empat pilar yaitu:
1) Learning to know, yang mengarah ke Learning to learn yaitu belajar
untuk memperoleh pengetahuan dan untuk melakukan pembelajaran
lanjutan.
2) Learning to do, yaitu belajar untuk memperoleh kompetensi dasar
dalam behubungan dengan situasi kerja yang berbeda beda.
3) Learning to live together, yaitu belajar untuk mampu mengapresiasi dan
memahami saling ketergantungan, keanekaragaman, perdamaian inter
dan antar bangsa.
4) Learning to be, yaitu belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai
individu dengan kepribadian yang memiliki timbangan dan tanggung
jawab, termasuk belajar untuk menyadari dan mewujudkan diri sebagai
warga negara dan hamba Alloh dengan segala konsekwensi dan
tanggungjawabnya.

b. Pergeseran paradigma dari “belajar yang berfokus kepada penguasaan


Ilmu pengetahuan “ ke “belajar holistik”.
Belajar holistik diartikan sebagai pola-pola pembelajaran yang mengarah ke
pembentukan manusia secara utuh. Peran guru dalam paradigma belajar holistik,
tidak lagi berperan sebagai pengembangan kemampuan kognitif peserta didik
semata seperti yang selama ini disimbolkan dengan berbagai atribut seperti IPK,
NEM, UN, YUDISIUM dll. Namun peran guru sudah bergeser dengan
memandang peserta didik sebagai manusia potensial yang sedang bertumbuh
fisiknya dan berkembang jiwanya secara integral yang didalamnya terkandung
adanya keharusan pengembangan dimensi fisik, moral, intelektual, sosial maupun
kerohanian.
c. Pergeseran paradigma dari “citra hubungan guru siswa yang bersifat
konfrontatif” ke “ citra hubungan guru siswa yang bersifat kemitraan”
Getzels dan Thelen (1960) dalam Abu Ahmadi : 2007) menyatakan:
“peranan guru adalah meyakinkan murid dalammemperoleh pengetahuan, dan
peranan murid menunjukan bukti belajar.” Pernyataan tersebut menyiratkan
adanya hubungan kemitraan yang logis antara guru dan peserta didik dalam
membangun suasana belajar yang menyenangkan.
Guru bisa sebagai motivator bagi para peserta didik untuk lebih
bersemangat dalam memperoleh pengetahuan melalui pendekatan relegius dan
manusiawi. Guru bisa sebagai pengarah bagi murid mengenai sumber-sumber
yang mungkin diperoleh peserta didik dengan memanfaatkan berbagai media dan
akses yang begitu beragam di zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini.
Guru dengan demikian bisa menunjukan perannya dan sekaligus tidak kehilangan
wibawa di depan peserta didik. Dalam teori pendidikan interaksionalisme, (Nana
Syaodih : 2007) mengemukakan, proses belajar dalam model interaksional terjadi
melalui dialog dengan orang lain, apakah dengan guru teman atau yang lainnya.
Melalui interaksi tersebut muncul pengetahuan, pendapat, sikap, dan
keterampilan-keterampilan baru. Guru berperan dalam menciptakan situasi dialog
dengan dasar saling mempercayai dan saling membantu.

d. Pergeseran paradigma dari “pengajaran yang menekankan kepada


penguasaan pengetahuan scholastik atau akademik” ke “ penekanan
keseimbangan fokus pendidikan nilai”
Derasnya arus globalisasi mendorong para pendidik untuk merubah pola,
metode dan strategi pembelajaran yang tadinya menekankan pada perolehan
pengetahuan scholastik, ke penanaman pendidikan nilai. Pendidikan nilai
merupakan kebutuhan mendesak karena dalam kandungan kata pendidikan itu
sendiri telah memuat pesan nilai yang harus ditanamkan guru terhadap peserta
didik dalam tiga domain secara integral yaitu kognitif, psikomotor dan afektif,
disamping terjadi kecenderungan penurunan tumbuhnya kesadaran nilai. Peran
guru dapat menyeimbangkan secara proporsional antara pengembangan kognitif,
psikomotor, dan afektif, dan mengembangkannya dengan isu-isu kemanusiaan
seperti kemiskinan, kesehatan, kekerasan, ketidak adilan, penghargaan atas segala
perbedaan, penghargaan atas hasil kreatifitas, mengedepankan kepentingan
bersama, kebebasan mengemukakan pendapat, tenaga kerja, dan kepedulian
terhadap lingkungan hidup. Sehingga kedepan, pendidikan menghasilkan lulusan
yang kompetitif, aktif dan kreatif serta menjunjung tinggi dan menghayati nilai-
nilai spriritual.

e. Pergeseran dari “kampanye melawan buta aksara “ ke “ kampanye


memperkuat literasi teknologi, budaya dan komputer”
Kebudayaan itu akan berubah terus sejalan dengan perkembangan zaman,
percepatan perkembangan ilmu dan teknologi, serta perkembangan kepandaian
manusia (Made Pidarta : 2007: 169). Pendidikan dan kebudayaan saling mengisi
dan mempengaruhi. Kita akan melihat kebudayaan berubah karena dipengaruhi
perubahan dalam sistem pendidikan dan sebaliknya pendidikan akan berubah
sejalan dengan perkembangan dan perubahan kebudayaan. Dalam kebudayaan
yang telah maju akan lahir pendidikan yang maju. Dan jika pendidikan maju
maka kebudayaanpun akan mengalami kemajuan.
Peran seorang guru di kelas, dapat memposisikan dirinya sebagai pengarah
terhadap anak didik, agar siswa dapat berfikir kritis terhadap apa yang terjadi
dilingkungannya dengan cara memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengamati, melaksanakan, menghayati, dan menilai kebudayaan. Ketiga, dengan
cara seperti itu guru sedang memberi pemahaman terhadap peserta didik tentang
perkembangan kebudayaan.
f. Pergeseran paradigma dari penampilan soliter (terisolasi) ke penampilan
dalam team kerja.
Salah satu misi pendidikan adalah menanamkan rasa tanggung jawab
kepada peserta didik agar kelak ia menjadi manusia yang bisa berrelasi dan
berkerjasama dengan sesama dalam menyelesaikan masalah masalah bersama.
Jika dulu penampilan individual menjadi kebanggaan dalam mengukur
keberhasilan lususan pendidikan, seperti menjadi dokter, menjadi tentara. Tetapi
sejalan dengan tuntutan global saat ini, guru harus sudah mengubah paradigma
dengan mengarahkan peserta didik untuk dapat bekerja sama, karena kita hidup
dalam zaman yang saling melengkapi dan tidak saling menafikan. Jika dulu
kesuksesan bertumpu kepada figur perorangan, sekarang keberhasilan itu
bertumpu pada team work.

g. Pergeseran paradigma dari “ konsentrasi eksklusif pada kompetensi” ke


“ orientasi kerjasama “.
Dalam bukunya preparing teacher to global perspectives, Mrryfield (1997)
yang dikutip Nurani Soyomukti (2010), mengemukakan ada tiga syarat yang
harus dimiliki guru dalam mengembangkan pendidikan berperspektif global
yakni: (a) Kemampuan konseptual, (b) Pengalaman lintas budaya dan, (c)
keterampilan pedagogis. Kepiawaian guru dalam pemaknaan secara global atas
masalah masalah lokal merupakan kata kunci dalam pesan yang disyaratkan oleh
Marryfield di atas. Guru dapat mengaitkan isu-isu apapun baik lokal maupun
nasional dalam hubungannya dengan kejadian global. Dalam pelajaran ekonomi
umpamanya, kondisi ekonomi daerah dan nasional di analisis dari perspektif
global, hubungan ekonomi antar negara, dan juga percaturan modal yang mengalir
antara satu Negara dengan negara lain. Dengan metode dan pendekatan demikian,
pendidikan di Indonesia akan melahirkan generasi masa depan yang peduli
terhadap masalah riil secara lokal namun memiliki wawasan konprehensip,
holistik dan tidak parsial.
4. Paradigma Pendidikan Tradisional dan Modern ( Study Komparatif
Dalam Dunia Pendidikan )

Banyaknya perubahan dan perkembangan dalam dunia pendidikan telah


mengajak kita untuk juga berpikir mengenai kelemahan, kekurangan, peluang,
tantangan dan potensi dari suatu pendidikan, serta adanya gesekan dalam tradisi
yang berkembang dalam konstek sosial masyarakat. Paradigma pendidikan
modern dan tradisional terkesan ada jurang pemisah yang cukup jauh, sebab
adanya nilai-nilai yang sangat berbeda dalam bentuk fondasi yang telah dibangun,
namun pada hakekatnya pendidikan tradisional dan modern memiliki keterkaitan
yang cukup erat dalam konstek dinamika pendidikan itu sendiri.

a. Paradigma Pendidikan Tradisional

Dalam konstek saat ini pendidikan tradisional sering kali menjadi


pembahasan yang serius, mengingat tergerusnya budaya ketimuran yang
dipengaruhi oleh budaya barat, dengan indikator pesatnya ilmu pengetahuan dan
tekhnologi sebagai bentuk persaingan global terutama dalam perkembangan dunia
pendidikan. Pendidikan tradisional masih sangat dianggap kolot, konvensional
dan tidak mengikuti perkembangan zaman, tetapi pada sisi yang lain pendidikan
tradisional pada kenyataanya memiliki akar yang kuat yang ikut serta membangun
peradaban manusia. Salah satu contohnya mengenai pendidikan pesantren yang
bergelut dengan mata pelajaran kitab dan proses pembelajaran yang diletakkan
dimusholla ataupun di masjid-masjid. Mengacu pada hal tersebut Gus Dur,
panggilan akrab dari K.H. Abdurrahman Wahid masih memegang prinsip yang
mengacu pada koidah fiqih yang berbunyi “al muhafadhatu alal qodimissholih
wal ahdu biljadidil aslih” yang artinya : “memelihara dan melestarikan nilai
lama yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih relevan”.[1]

Konsepsi dari pendidikan tradisional, bukan lantas tidak mengikuti


perkembangan zaman, akan tetapi lebih jauh dari itu, bahwasanya pendidikan
tradisional masih cukup kuat memelihara dan melestarikan nilai lama yang cukup
relevan dengan kondisi saat ini, sehingga pendidikan tradisional itu sendiri dalam
konstek sosial budaya, masih memiliki nilai yang berakar kuat dalam kehidupan
bermasyarakat. Sementara pendidikan yang berkembang dalam teradisi pesantren
salafiyah, dengan kurikulum pengajian kitab-kitab, merupakan tradisi yang
bersifat sentralistik. Kyai dalam dunia pendidikan pesantren merupakan ujung
tombak dari seluruh aktifitas yang telah membentuk sistem yang bergerak secara
turun temurun. Disinilah kajian mengenai pendidikan pesantren yang bercorak
pada satu arah, sehingga dalam konstek perkembangan sains dan tekhnologi, bisa
dikatakan tertinggal, walaupun tidak bisa kita pungkiri pendidikan pesantren
menjadi pusat pembelajaran yang continuitas dalam membentuk peserta didiknya.

Pendidikan tradisional dengan konsep mendengarkan dan mengikuti yang


kemudian di ikuti dengan kepatuhan yang cukup tinggi, disinyalir hanya akan
menumpulkan nilai-nilai kritisisme oleh peserta didik, sehingga pertumbuhan dan
perkembangannya menjadi lambat. Pendidikan dalam pesanatren memberikan
kesan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang sulit dielakkan. Namun perlu
ada penjelasan mengenai pendidikan dalam dunia pesantren. Tidak bisa kita
pungkiri memang ada pesantren yang dikhususkan pendidikannya untuk mencapai
spesialisasi bidang keagamaan. Misalnya, spesialisasi ilmu hadist dan tafsir, atau
spesialisasi ilmu bahasa arab. Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan
dalam pesantren yang bercorak tradisional juga telah merambah pada pendidikan
keusahawanan, yakni melatih peserta didik untuk bekerja keras, namun
pendidikan tersebut tidak terkordinir dengan baik yang konsekuensinya
usahawan-usahawan tersebut bergerak sendiri-sendiri, yang pada akhirnya mereka
akan menjadi usahawan-usahawan otodidak, yang tidak mendekati masalahnya
dari segi ilmiah, tetapi berdasarkan instuisi.
Prinsip dasar dari pendidikan pesantren, tidak terlepas dari kitab-kitab
klasik atau literatur universal pesantren yang merupakan latar belakang kultural
sistem nilai yang dikembangkan pesantren. Untuk mempelajarinya para santri
memiliki keyakinan bahwa bimbingan seorang kiai merupakan syarat utama untuk
menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan baik dan benar. Para santri sangat taat pada
kiainya, baik yang berbentuk perintah maupun sikap dan perilaku kiai senantiasa
dijadikan sebagai pedoman dalam keseharian mereka. Dalam hal kepemimpinan
seorang kiai memiliki peran ganda yakni, satu sisi sebagai pelestari budaya Islam
dan disisi yang lain sebagai penjaga ilmu-ilmu agama.

Disinilah kemudian yang membentuk sentralisasi pendidikan pesantren


yang telah tertanam dalam pesantren ratusan tahun silam, sehingga para kiai
sebagai pucuk pimpinan dalam sebuah pesantren tetap melestarikan tradisi yang
telah dikembangkan sejak terdahulu. Paradigma pendidikan pesantren telah
memberikan warna tersendiri dalam proses perubahan dan perkembangan suatu
kultur dalam masyarakat. Paradigma dari suatu pendidikan tradisional, tidak bisa
dielakkan masih bersifat sentralistik yang memungkinkan bagi peserta didik untuk
berpikir kritis menjadi terhambat, sebab kekuatan doktrinal yang cukup kuat
mempengaruhi pola berpikir dari peserta didik itu sendiri.

Paradigma Pendidikan Modern

Pesatnya perkembangan pengetahuan dan tekhnologi dewasa ini,


memberikan dampak yang signifikan dalam suatu perubahan, baik perubahan
terhadap pola berpikir maupun dalam bentuk tindakan. Perubahan itu sendiri
tidak lepas dari bentuk pemikiran dan perbuatan manusia, apakah bentuk tersebut
mengarah pada sesuatu yang positif ataupun mengarah pada sesuatu yang negatif.
Salah satu sumber dari suatu perubahan, salah satunya pentingnya peran dari suatu
pendidikan yang telah memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi peserta didik
untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki.

Pendidikan modern merupakan bentuk perkembangan dari situasi yang


menjadi tuntutan dalam kompetisi global, dimana berkembangnya pengetahuan
dan tekhnologi secara drastis telah membuka kesadaran pemerintah, pendidik, dan
masyarakat untuk bersama-sama membaca perubahan dan perkembangan zaman.
Mudahnya akses tekhnologi informasi telah memberikan pengaruh yang luar biasa
dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tekhnologi informasi merupakan salah
satu bentuk dalam kerangka menghadapi arus budaya global, sehingga pendidikan
diharapkan mampu mengontrol dan memfilter arus westernisasi yang semakin
merambah kedalam dunia pendidikan itu sendiri.

Modernisasi sebagai sebuah gagasan pendidikan ingin memberikan


kesetaraan dan pengakuan akan ragam budaya yang memiliki sejarah panjang.
Parktek mengenai berjalannya pendidikan modern diberbagai negara, baik di barat
maupun di timur telah menghasilkan kesepakatan bersama (mutual
agrement) bahwa salah satu pilar pendidikan adalah “living together” yakni
memberikan latihan dan keterampilan kepada para siswa akan pentingnya
pengakuan dan penghargaan kepada orang yang memiliki ragam bahasa, budaya,
etnis, maupun agama.

Paradigma pendidikan modern telah menjadi suatu acuan dalam


perkembangan pendidikan, khususnya di negeri ini. Modernitas adalah bentuk
akan perubahan dan pergeseran budaya dalam kehidupan suatu masyarakat, begitu
pula dalam konstek dunia pendidikan, modernitas menjadi langkah yang strategis
guna memudahkan proses tranformasi ilmu pengetahuan terhadap peserta didik.
Oleh karenanya perkembangan tekhnologi sangat memudahkan bagi proses
belajar mengajar, disamping itu pula sebagai alat untuk membantu para siswa
menggali dan mengembangkan seluruh potensinya.

Ada perbedaan yang cukup mendasar antara pendidikan di era tradisional


dan pendidikan di era modern, dimana keduanya memiliki kelemahan dan
kekurangannya masing-masing. Pendidikan tradisional yang masih menggunakan
sistem belajar mengajar yang konvensional, justru memakan waktu yang cukup
lama, sehingga dalam proses belajar mengajar, peserta didik dituntut untuk
mencatat tulisan seorang guru di papan, hingga berlembar-lembar. Model
pembelajaran klasik ini menjadi kurang efektif dalam konstek saat ini, karena
pendidikan di era modern, peran serta tekhnologi sangat memudahkan dalam
proses belajar mengajar. Dengan adanya proyektor misalnya sebagai alat
pembelajaran terhadap peserta didik, sehingga guru hanya memberikan
pemahaman dan pengertiannya melalui proyektor tersebut. Pertanyaannya, apakah
pendidikan di era tradisional lebih jelek dari pendidikan di era modern, dan atau
pendidikan di era modern jauh lebih baik? Keduanya memiliki sisi kekurangan
dan kelemahan, namun perlu disadari bahwa dua aspek yang berbeda
menunjukkan keragaman, sebagai manifestasi dari ideologi bhineka tuggal ika.

Pada era modern ini pemerintah telah mengeluarkan kurikulum baru


sebagai penyempurna dari kurikulum sebelumnya, kurikulum baru dalam dunia
pendidikan di Indonesia, yakni kurikulum tahun 2013. Kurikulum tahun 2013
adalah sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan
karakter. Siswa dituntut untuk paham terhadap materi, aktif dalam diskusi dan
presentasi, serta memilki sopan santun, disiplin tinggi. Kurikulum ini
menggantikan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diterapkan sejak
tahun 2006. Kurikulum ini lebih menekankan pada soft skill, dimana siswa bisa
dilihat dari aspek sikap dan attitudnya di sekolah.[5]

Dengan kurikulum 2013 diharapkan mampu memberikan perubahan


terhadap peserta didik untuk menjadi lebih baik. Dengan penerapan kurikulum
2013 sebuah sekolah nasional di Indonesia dengan standar mutu internasional.
Proses belajar mengajar disekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi,
inovasi, dan eksprimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada.
Pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI ) di Indonesia didasari oleh
undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 dalam ketentuan ini pemerintah
didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Standar
internasional yang dituntut oleh SBI adalah standar kompetensi lulusan , SDM,
Fasilitas, manajemen, pembiayaan dan penilaian standar internasional.[6]

Konsepsi dari kurikulum 2013 hakekatnya diadaptasikan dengan tantangan


zaman yang berkembang saat ini, karena dengan kurikulum tersebut diharapkan
mampu mengantarkan para peserta didik untuk memiliki kecerdasan yang
berimbang, yakni cerdas secara intelektual, emosional dan spritual, walaupun
tidak bisa kita pungkiri merebaknya kekerasan dalam dunia pendidikan dari
berbagai aspek, menjadikan kita semakin prihatin mengenai nasib pendidikan kita
kedepan. Dengan demikian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
diterapkan pada tahun 2006, dan penyempurnaan kurikulum yan disebut dengan
kurikulum 2013, dua-duanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing,
namun pada esensinya bahwa dua kurikulum tersebut mengacu pada paradigma
pendidikan di era modern, dengan konsep pembelajaran aktif.

Bertemunya Dua Sisi Yang Berbeda

Pendidikan di era tradisional dan pendidikan di era modern, sesungguhnya


ini merupakan rentetan dari peristiwa sebelumnya. Lahirnya pendidikan di era
modern, hakekatnya tidak terlepas dari proses dan perkembangan dari pendidikan
diera tradisional. Maka kemudian perlunya kita perhatikan secara seksama,
mengenai peluang, tantangan, konsep, kelemahan dan kekurangan, harusnya tetap
menjadi tanggung jawab para pihak. Konsepsi pendidikan di era tradisional dan
pendidikan di era modern, yang memiliki sisi yang sangat berbeda, sehingga
terkesan bahwa kedua konsep pendidikan tersebut ada jurang pemisah yang
menjadikannya sangat berseberangan.

Secara sederhana perbedaan antara pendidikan tradisional dan pendidikan


modern, misalnya dalam proses belajar mengajar.

Pendidikan tradisional :

a) Guru mengajar, murid menyimak

b) One man show dimana guru menjadi satu-satunya pelaku pendidikan

c) Tatanan bangku yang berurutan

d) Masih diberlakukan bentuk hukuman fisik bagi siswa yagn tidak taat.
Pendidikan modern

a) Guru sebagai fasilitator

b) Peserta didik juga pelaku pendidikan

c) Memanfaatkan media pembelajaran

d) Tidak melakukan hukuman fisik

e) Tempat pembelajaran bisa dimana saja

Melihat perbedaan yang cukup jauh, konsep dari pendidikan tradisional


dan modern, juga sangat berpengaruh terhadap output yang dihasilkan pada
akhirnya. Pendidikan tradisional lebih menekankan pada nilai-nilai moral dan
tatanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga lulusan yang
dihasilkan lebih mapan dan diterima ditengah-tengah masyarakat. Sementara
dalam konstek modernitas, pendidikan cukup memprihatinkan, dimana ketidak
seimbangan dalam menerima pengetahuan dan tekhnologi menyebabkan sering
terjadinya tawuran antar pelajar, kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum
dalam pendidikan itu sendiri, sampai pada bejatnya moral seorang guru.

Dengan demikian, meski satu sisi pendidikan modern dan pendidikan


tradisional memiliki konsepsi yang cukup jauh, akan tetapi perlu adanya
keseimbangan satu sama lain, pendidikan modern dengan pesatnya pengetahuan
dan canggihnya tekhnologi yang memudahkan bagi peserta didik untuk
mengaksesnya, menjadikan lemahnya kontrol dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Oleh sebab itu pendidikan modern ini, harus tetap didampingi dengan konsep
pendidikan tradisional yang menekankan pada sikap dan menjunjung tinggi nilai-
nilai moral terhadap peserta didik, sehingga out put yang dihasilkan dari dua
konsep tersebut menjadikan peserta didik memiliki kematangan intelektual, sikap,
tindakan, dan yang terpenting bisa di terima ditengah-tengah masyarakat untuk
terus melakukan perbaikan dalam segala aspek.

C. Kesimpulan
Paradigma yang satu dengan paradigm yang lain maka semua paradigma
tersebut pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan, di mana paradigma yang
lahir kemudian sebagai paradigma yang berusaha untuk menutup kelemahan-
kelemahan yang ada pada paradigm sebelumnya. Paradigma yang muncul atau
lahir kemudian dapat dikatakan sebagai paradigma yang mewakili masa atau
waktu tersebut sehingga ada kemungkinan pada masa yang akan datang muncul
paradigma yang lebih baru yang dapat mengcover semua kelemahan-kelemahan
pada paradigma sebelumnya. Jadi setiap paradigma mempunyai masa atau
zamannya sendiri dengan penganutnya.

Daftar Rujukan

Bhaskar, R. 1989. The Possibility of Naturalisme. New York: Harvester


Wheatsheaf
Capra, F. 1991. Tao of Physics, London: Flamingo.
Chua, W. F. 1986. Radical Development in Accounting Thought.
The Accounting Review LXI
Denzin, N. K. 2000, Handbook of Qualitative Research. California: Sage Public.
Guba,E. 1990. The Paradigma Dialog. London: Sage
Kuhn, T. S. (2002). The structure of scientific revolution. Diterjemahkan oleh:
Tjun Surjaman. Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, D. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Rosda Karya. Bandung
Phenix, Philip H. 1986. Realms of Meaning. A Philosophy of The Curriculum for
General Education. A Perspective Through a Retrospevtive Volume 8.
Ventura County Superintendent of Schools Office. Ventura, California.
Printcraft Inc
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ritzer, G. 1981. Toward an Integrated Sociological Paradigma. Boston: Allyn and
Bacon
Syaodih, Nana, 2004. Kurikulum pembelajaran Kompetensi. Bandung: Yayasan
Kesuma Karya.
Tapscott, Don. (2009). Grown Up Digital: How the Net Generation is Changing
Your World. McGraw-Hill eBooks. ISBN: 978- 0-07-164155-5. MHID: 0-
07-164155-6

Anda mungkin juga menyukai