Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MEMAHAMI KONSEP PARADIGMA UNITY OF SCIENCE: DEFINISI DAN


IMPLEMENTASINYA

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Falsafah Kesatuan Ilmu

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Muslih, M.A.

Disusun oleh kelompok 12:

Mashita Purwaningtias (23030460149)

Idham Mafa Atihur Rizki (23030460161)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2023/2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam evolusi pemikiran manusia, konsep paradigma memiliki peran penting dalam
membentuk cara kita memahami dunia di sekitar kita. Kata paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Samuel Kuhn (1922-1996), Khun memiliki peran yang sangat
signifikan. Bagi Kuhn, paradigma merujuk pada seperangkat teori, metode, dan prinsip
ilmiah yang disetujui oleh kelompok ilmuwan yang memiliki pandangan serupa, dan hal ini
membedakan mereka dari ilmuwan di luar kelompok tersebut. 1 Hal ini mencakup serangkaian
keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi yang membentuk perspektif umum dalam memahami dan
mengevaluasi berbagai masalah kompleks dalam kehidupan nyata. Paradigma memberikan
kerangka kerja untuk menganalisis dan menjelaskan fenomena yang kompleks dengan
menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang sesuai dengan pandangan tersebut. Oleh
karena itu, paradigma menjadi landasan untuk menguraikan dan memecahkan tantangan yang
kompleks dalam berbagai bidang pengetahuan dan praktik.2

Salah satu paradigma yang menarik perhatian adalah paradigma Unity of Science.
Paradigma ini menekankan kesatuan dalam ilmu pengetahuan, mengusulkan bahwa semua
bidang ilmu dapat disederhanakan menjadi satu kerangka pemahaman yang lebih besar. Di
masa silam, terdapat keterkaitan yang erat antara ilmu pengetahuan dan agama. Hubungan ini
telah mengalami pasang surut dalam sepanjang sejarah, dengan periode dimana ilmu
pengetahuan dan agama terhubung secara harmonis, sementara pada waktu lain terdapat
konflik antara keduanya.3 Konsep ini telah menginspirasi banyak penelitian dan diskusi
dalam komunitas ilmiah, yang bertujuan untuk memperluas pandangan kita tentang alam
semesta. Strategi implementasi paradigma kesatuan ilmu pengetahuan (Unity of Science)
melibatkan kolaborasi antar-disiplin, pendekatan interdisipliner dalam pendidikan dan
penelitian, serta promosi dialog antara ilmu pengetahuan dan agama. Melalui kerja sama
antara berbagai bidang ilmu, integrasi pendekatan dalam studi dan penelitian, serta
komunikasi yang terbuka antara ilmu pengetahuan dan keyakinan keagamaan, paradigma ini
dapat diterapkan dengan lebih efektif untuk memperluas pemahaman kita tentang dunia ini
1
Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan, ed. by Fanani Muhyar (Semarang: UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO, 2015).
2
Khoer Ummah, ‘Strategi Menjalankan Kesatuan Ilmu Pengetahuan Dalam Kaitannya Dengan Kearifan Lokal’,
Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, Dan Sains, 14.2 (2020), 1–13.
3
Maulana, ‘Filsafah Kesatuan Ilmu’, 1.2 (2022), 1–4.

1
secara komprehensif. Dalam tulisan ini, kami akan menjelajahi definisi dan implementasi
paradigma Unity of Science, serta dampaknya terhadap berbagai bidang pengetahuan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi paradigma unity of science?
2. Bagaimana paradigma unity of science di implementasikan?

C. Tujuan
1. Untuk memahami definisi paradigma unity of science.
2. Untuk menjelaskan implementasi paradigma unity of science.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Definisi Paradigma Unity of Science

Secara etimologis, paradigma berasal dari bahasa Yunani, gabungan dari kata "para"
yang berarti disamping atau disebelah, dan "diegma" yang menggambarkan sebuah teladan,
ideal, model, atau arketip. Secara terminologis, paradigma merujuk pada suatu sudut pandang
atau cara pandang yang digunakan untuk menafsirkan dunia dan lingkungan sekitarnya. Ini
mencakup sebuah gambaran umum atau perspektif yang digunakan untuk menguraikan
berbagai permasalahan yang kompleks dalam kehidupan nyata. Paradigma memberikan
kerangka kerja yang memungkinkan kita untuk memahami dan mengevaluasi fenomena-
fenomena yang beragam dengan cara yang terstruktur dan sistematis. Dengan menggunakan
paradigma ini, kita dapat menginterpretasikan dunia dengan lebih baik dan mengeksplorasi
berbagai masalah yang kompleks dalam berbagai bidang keilmuan dan praktik.4

Menurut Thomas Kuhn, paradigma adalah landasan berpikir atau konsep dasar yang
diadopsi sebagai model atau pola oleh para ilmuwan dalam upaya mereka, dengan
mengandalkan studi ilmiah yang mereka lakukan. Seiring dengan bergantinya generasi,
akhirnya terbentuklah teori-teori, metode-metode, fakta-fakta, dan eksperimen-eksperimen
yang disepakati secara bersama-sama dan menjadi pegangan dalam aktivitas ilmiah para
ilmuwan. Inilah yang disebut Kuhn sebagai paradigma. Paradigma, menurut Kuhn, juga
membantu komunitas ilmiah untuk mengatur disiplin mereka dan merumuskan persoalan-
persoalan, memilih metode yang sesuai untuk menjawab persoalan tersebut, menentukan
wilayah kajian, dan sebagainya. Jadi, paradigma memiliki peran yang sangat penting dalam
penyelidikan ilmiah (scientific inquiry).5

Thomas Kuhn, dalam bukunya "The Structure of Scientific Revolution” juga


menggunakan istilah paradigma dalam dua dimensi yang berbeda. Pertama, paradigma
merujuk pada keseluruhan konstelasi kepercayaan (Belief), nilai (Value), teknik (Technique),
dan elemen-elemen lain yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat ilmiah
tertentu. Kedua, paradigma juga mengacu pada unsur-unsur tertentu dalam kerangka tersebut,
seperti cara-cara pemecahan masalah yang rumit, yang berfungsi sebagai model atau contoh
yang dapat menggantikan model atau pendekatan lain sebagai dasar dalam proses pemecahan

4
Khoer Ummah, ‘Strategi Menjalankan Kesatuan Ilmu Pengetahuan Dalam Kaitannya Dengan Kearifan Lokal’,
Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, Dan Sains, 14.2 (2020), 1–13., 2-13
5
Khoer Ummah, ‘Strategi Menjalankan Kesatuan Ilmu Pengetahuan Dalam Kaitannya Dengan Kearifan Lokal’,
Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, Dan Sains, 14.2 (2020), 1–13., 2-13

3
masalah dalam ilmu pengetahuan normal (normal science). Menurut Kuhn, paradigma sangat
erat kaitannya dengan tradisi ilmu pengetahuan yang telah mapan, yang menjadi pola atau
model yang mencakup dalil, teori, penerapan, dan instrumentasi.6

Konsep paradigma dalam pengertian Kuhn lebih mengacu pada kumpulan pemikiran,
baik berupa model maupun pola, yang digunakan oleh sekelompok komunitas ilmiah tertentu
dalam upaya mereka untuk melakukan studi ilmiah dan memecahkan persoalan-persoalan
yang rumit yang dihadapi. Paradigma merupakan konsep yang sudah ada, tumbuh, dan
berkembang dalam tradisi ilmu pengetahuan, diikuti oleh komunitas ilmiah. Sebuah
paradigma akan semakin memperkuat posisinya jika mampu secara lebih efektif memecahkan
masalah-masalah ilmiah dibandingkan dengan paradigma-paradigma lainnya. Komunitas
ilmiah akan cenderung menganggap paradigma yang lebih produktif jika memiliki tingkat
ketepatan, ruang lingkup, kesederhanaan, kegunaan, dan kualitas lainnya yang lebih baik
dibandingkan dengan paradigma yang lain. 7

Dalam konteks ini, paradigma ilmiah yang diperkenalkan oleh Kuhn memberikan
landasan bagi pemahaman tentang kesatuan ilmu pengetahuan. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, paradigma menyoroti pentingnya kumpulan pemikiran yang digunakan oleh
komunitas ilmiah dalam upaya mereka memecahkan persoalan-persoalan rumit. Di sisi lain,
"unity of sciences" menegaskan bahwa semua cabang ilmu pengetahuan merupakan bagian
integral dari kesatuan yang lebih besar, sejalan dengan konsep paradigma yang terus
berkembang dalam tradisi ilmiah. Dengan demikian, pemahaman tentang paradigma ilmiah
dapat memperkuat gagasan tentang kesatuan ilmu pengetahuan dalam "unity of sciences".

Dalam bahasa, "Unity" bermakna kesatuan, dan "science" merujuk pada ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, "Unity of Science" menggambarkan sebuah kesatuan dalam
ilmu pengetahuan di mana tidak ada pemisahan yang tegas antara berbagai disiplin ilmu
(semua ilmu pada dasarnya dianggap sama). Menurut pandangan Seyyed Hosen Nasr yang
disampaikan dalam buku "Azyumardi Azra", ia meyakini bahwa kesatuan ilmu itu bersifat
Islami dan berakar pada dimensi transendental. Konsep persatuan merupakan esensi dari
ajaran Islam.

6
Yuli Supriani, Nanat Fatah Natsir, and Erni Haryanti, ‘Paradigma Keilmuan Yang Melandasi Proses
Transformasi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang’, JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 4.7 (2021),
725–32.
7
Yuli Supriani, Nanat Fatah Natsir, and Erni Haryanti, ‘Paradigma Keilmuan Yang Melandasi Proses
Transformasi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang’, JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 4.7 (2021),
725–32.

4
Secara hakiki, tujuan dari ilmu dalam Islam adalah untuk menegaskan hubungan dan
kesatuan dari segala sesuatu yang ada. Namun, perspektif islam yang bersifat bersatu tidak
mengizinkan perkembangan berbagai cabang ilmu dengan kebebasan yang absolut.8

Agama dan ilmu pengetahuan, meskipun berbeda, keduanya memiliki peran penting
dalam kehidupan manusia. Meskipun seringkali dianggap berada dalam konflik atau
ketidaksepahaman, agama dan ilmu pengetahuan tidak selalu berlawanan. Banyak ilmuwan
berupaya untuk menjelajahi hubungan antara keduanya. Dalam islam, umatnya dianjurkan
untuk menggunakan akal dan pikiran mereka untuk memahami dunia dan isinya. Dalam
konteks Unity of Science, seharusnya agama dan ilmu pengetahuan saling melengkapi satu
sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan merupakan sumber kebenaran yang berakar dari
sudut pandang dan metode yang berlainan. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan dapat
ditemukan melalui penelitian dan eksperimen, sementara kebenaran dalam agama dapat
diperkuat melalui keimanan kepada ajaran tuhan yang terdapat dalam Al-Quran.9

Paradigma kesatuan ilmu pengetahuan (Unity of Science) adalah ciri khas dari pemikiran
ilmiah dalam tradisi islam yang menyatakan bahwa segala bentuk pengetahuan pada dasarnya
membentuk satu kesatuan yang berasal dari dan kembali kepada Allah melalui wahyu-Nya,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
seharusnya saling berinteraksi dan memiliki tujuan yang sama, yaitu membawa pengkaji
lebih mendekat dan memahami Allah sebagai al-Alim (Yang Maha Mengetahui). 10 Paradigma
Unity of Science sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Paradigma ini telah menjadi
praktek umum bagi para ilmuwan Muslim klasik seperti Ibn Sina (980-1037M), al-Kindi
(801-870M), dan al-Farabi (874-950M). Mereka mengkaji ilmu-ilmu Yunani yang cenderung
menekankan pemikiran kontemplatif non-eksperimental, namun mengadaptasi dan
memodifikasinya dengan petunjuk ilmiah dari wahyu islam yang menekankan pengamatan
empiris terhadap fenomena alam.11

Mendialogkan keseluruhan bidang ilmu, seorang ilmuwan akan memperluas wawasannya


secara signifikan. Oleh sebab itu ilmuwan islam pada zaman dahulu yang memiliki
8
Zuhriva Ulfi Ernadila, Tasya Putri Hendrika, and Ahmad Fauzan Hidayatullah, ‘Implementasi Unity of
Science Terhadap Visi Dan Misi UIN Walisongo Semarang’, Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial Dan
Sains, 10.1 (2021), 7–13.
9
Maulana, ‘Filsafah Kesatuan Ilmu’, 1.2 (2022), 1–4.
10
Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan, ed. by Fanani Muhyar (Semarang: UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO, 2015).
11
Choy Beta, ‘Kesatuan Ilmu (Unity of Science)’, Angewandte Chemie International Edition, 2 (2019), 1–12.

5
pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, seorang ulama yang dokter, ulama yang filosof,
ulama yang ahli matematika. Dengan paradigma Unity of Sciences akan melahirkan seorang
ilmuwan menjadi ensiklopedis, memiliki pemahaman luas tentang banyak ilmu, melihat
semua bidang ilmu sebagai satu kesatuan yang holistik, dan mendialogkan keseluruhan
bidang ilmu menjadi satu kesatuan yang kaya dan kompleks. Paradigma Unity of Science
tidak menciptakan ilmuwan yang hanya menumpuk semua pengetahuan seperti kliping koran
yang tidak berhubungan satu sama lain, tetapi dapat menyatukan dan menyusunnya secara
terpadu untuk menjelaskan fenomena ilmiah secara komprehensif.12

Paradigma kesatuan ilmu pengetahuan (Unity of Science) diibaratkan sebagai sebuah


intan berlian yang indah dan berharga tinggi, terdiri dari beberapa cabang ilmu yang saling
terhubung. Cabang-cabang tersebut melambangkan kelompok-kelompok ilmu yang diliputi
oleh paradigma kesatuan ilmu pengetahuan (Unity of Science) yaitu: sebagai berikut:

1. Ilmu agama dan humaniora (religion and humanity sciences) adalah disiplin ilmu
yang timbul dari pembelajaran manusia tentang agama dan refleksi atas dirinya
sendiri. Ini meliputi studi keislaman, seni, sejarah, bahasa, dan filsafat.
2. Ilmu-ilmu sosial (social sciences) mencakup sains-sains yang berkembang saat
manusia mempelajari interaksi sosial, seperti sosiologi, ekonomi, geografi, politik,
dan psikologi.
3. Ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) terfokus pada pemahaman manusia terhadap
fenomena alam, mencakup bidang seperti kimia, fisika, astronomi, dan geologi.
4. Ilmu matematika dan sains komputer (mathematics and computing sciences)
melibatkan pengkuantifikasian fenomena sosial dan alam, termasuk studi dalam
bidang komputer, logika, matematika, dan statistik.
5. Ilmu-ilmu profesi dan terapan (professions and applied sciences) muncul saat
manusia menggunakan pengetahuan dari dua atau lebih disiplin di atas untuk
mengatasi masalah praktis dalam berbagai bidang, seperti pertanian, arsitektur, bisnis,
hukum, manajemen, dan pendidikan.13

12
Choy Beta, ‘Kesatuan Ilmu (Unity of Science)’, Angewandte Chemie International Edition, 2 (2019), 1–12.
13
Ratna Muthia, ‘PERKULIAHAN BAHASA INDONESIA BERBASIS TEKS DALAM PARADIGMA
KESATUAN ILMU PENGETAHUAN’, At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam, 4.2 (2019), 104.

6
Gambar 1. Intan Berlian yang merupakan simbolisasi Paradigma Kesatuan Ilmu
Pengetahuan.

Gambar diatas menggambarkan konsep kesatuan ilmu pengetahuan yang berarti


bahwa semua ilmu berasal dari wahyu, baik secara langsung maupun tidak langsung dan
semuanya berada dalam wilayah alam yang keseluruhannya berasal dari Allah. Ilmu yang
dipelajari harus memenuhi tiga persyaratan: (1) Mengarahkan pengkajinya untuk semakin
mengenal Tuhannya. (2) Mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup manusia dan alam.
(3) Mendorong perkembangan ilmu baru yang berakar pada kearifan lokal. Dengan dasar
tersebut, maka prinsip-prinsip paradigma kesatuan ilmu pengetahuan (Unity of Science)
adalah sebagai berikut:

1. Integrasi.

Prinsip ini percaya bahwa semua cabang ilmu membentuk satu kesatuan yang saling
terkait, berasal dari wahyu Allah yang diterima melalui para nabi, pemikiran rasional, dan
penelitian alam.

2. Kolaborasi.

Prinsip ini menggabungkan nilai-nilai universal Islam dengan pengetahuan modern untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kemajuan peradaban manusia.

3. Dialektika.

Prinsip ini menekankan pentingnya dialog intensif antara ilmu-ilmu yang berasal dari
wahyu, ilmu pengetahuan modern, dan kearifan lokal.

4. Prospektif.

7
Prinsip ini meyakini bahwa pendekatan kesatuan dalam ilmu pengetahuan akan
menghasilkan disiplin ilmu yang lebih humanis dan etis, yang bermanfaat bagi kemajuan
bangsa serta keberlanjutan alam.

5. Pluralistik.

Prinsip ini mengakui keberadaan beragam realitas, metode, dan pendekatan dalam semua
kegiatan ilmiah.14

Selain prinsip-prinsipnya, paradigma Unity of Science juga mengadopsi pendekatan teo-


antroposentris. Pendekatan ini mengarahkan para peneliti untuk senantiasa mengakui Tuhan
sebagai sumber dan tujuan dari semua proses ilmiah, sementara tetap mengakui peran
manusia sebagai makhluk yang diberi mandat ilmiah.

Dalam paradigma Unity of Science, pandangan islam terhadap ilmu menekankan


pendekatan teo-antroposentris yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis. Pertama, dalam dimensi ontologis (whatness), ilmu dipahami sebagai pemahaman
menyeluruh terhadap realitas, termasuk aspek metafisik dan fisik, serta mencakup teks
Qur'aniyah dan Kauniyah. Ini menghasilkan pemahaman bahwa tidak ada pemisahan antara
objek ilmu yang bersifat metafisik dan fisik, serta tidak ada pemisahan antara jenis ilmu yang
berkaitan dengan teks Qur'aniyah dan teks Kauniyah.

Kedua, dalam dimensi epistemologis (howness), diakui bahwa ilmu berasal dari dua
sumber, yaitu Tuhan dan manusia, baik melalui indera, akal, ataupun intuisi. Hal ini
menghasilkan kesadaran bahwa tidak ada pembatasan metodologis dalam memperoleh
pengetahuan, karena ada beragam metode yang sesuai dengan beragam realitas yang menjadi
objek ilmu.

Terakhir, ketiga, dalam dimensi aksiologis (whyness), ilmu memiliki dua orientasi nilai:
nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan. Ini berarti bahwa pengembangan ilmu harus
mempertimbangkan kedua nilai ini, menolak pemisahan antara orientasi nilai ketuhanan dan
nilai kemanusiaan, serta menentang pandangan bahwa ilmu harus bebas dari nilai.15

Pemahaman tentang paradigma Unity of Science sangat penting karena membantu kita
menyadari bahwa berbagai cabang ilmu pengetahuan berasal dari sumber yang sama, yaitu
14
Hendri Hermawan Adinugraha, Ema Hidayanti, Agus Riyadi, ‘Fenomena Integrasi Ilmu Di Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam Negeri: Analisis Terhadap Konsep Unity of Sciences Di UIN Walisongo Semarang’,
HIKMATUNA: Journal for Integrative Islamic Studies, 4.1 (2018), 1–24.
15
Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan, ed. by Fanani Muhyar (Semarang: UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO, 2015).

8
Allah melalui wahyu-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa semua bidang pengetahuan
memiliki nilai yang signifikan. Sebagai hasilnya, kita tidak lagi memisahkan berbagai disiplin
ilmu secara tegas. Meskipun kita fokus pada salah satu bidang ilmu, penting juga bagi kita
untuk memahami keterkaitannya dengan bidang ilmu lain dalam konsep Unity of Science.

B. Implementasi Paradigma Unity of Science

Dalam mengimplementasikan paradigma kesatuan ilmu pengetahuan, terdapat tiga


strategi, yakni: humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu-ilmu modern, dan
revitalisasi local wisdom.

 Humanisasi ilmu-ilmu keislaman.

Strategi ini bertujuan untuk merekonstruksi ilmu-ilmu keislaman agar lebih relevan dan
memberikan solusi konkret terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini
melibatkan upaya untuk menyatukan nilai-nilai universal islam dengan pengetahuan
modern guna meningkatkan kualitas hidup dan peradaban manusia.

Misalnya sebagai seorang Muslim, kita memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan
salat wajib lima kali sehari. Salah satu persyaratan penting dalam melaksanakan salat
adalah menghadap kiblat. Untuk menentukan arah kiblat dengan benar, dibutuhkan
pengetahuan dalam ilmu falak. Seorang ahli falak memiliki pengetahuan tentang berbagai
metode untuk menentukan arah kiblat yang diperlukan untuk menjaga kesahihan
pelaksanaan salat. Contoh ini menunjukkan bagaimana pemahaman dalam suatu ilmu
dapat digunakan untuk memahami dan melaksanakan ajaran agama, seperti penggunaan
ilmu falak untuk menentukan arah kiblat.16

 Spiritualisasi ilmu-ilmu modern.

Strategi ini berfokus pada pemberian landasan nilai-nilai ketuhanan (ilahiyyah) dan etika
kepada ilmu-ilmu sekuler, sehingga memastikan bahwa semua ilmu berorientasi pada
peningkatan kualitas hidup manusia dan alam, dan tidak menyebabkan penistaan atau
kerusakan terhadap keduanya. Upaya spiritualisasi ilmu-ilmu modern melibatkan
pembangunan pengetahuan baru yang bersandar pada kesadaran akan kesatuan ilmu, yang
bersumber dari ayat-ayat allah, baik itu diperoleh melalui wahyu para nabi, eksplorasi
akal, maupun penjelajahan alam.

16
Faizatuz Zulfa and Junaidi Abdillah, ‘Strategi Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman Dalam Pandangan
Muhammad Abid Al-Jabiri’, Jurnal Studi Islam, 3.3 (2023), 399–416.

9
Misalnya menghadirkan ayat-ayat Al-Qur'an dalam setiap proses berpikir ilmiah dapat
dianggap sebagai proses penyempurnaan ilmu pengetahuan. Mencocokan ayat-ayat
tersebut dengan temuan dalam ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh UIN Walisongo
dianggap sebagai langkah positif dalam mengembangkan paradigma Unity of Science. 17

 Revitalisasi local wisdom.

Strategi ini bertujuan untuk memperkuat kembali ajaran-ajaran luhur bangsa. Ini
melibatkan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai budaya lokal
yang telah diwariskan, dengan tujuan memperkuat karakter bangsa.

Misalnya Ajaran Sunan Kalijaga mengenai gotong royong. Gotong royong telah
menjadi karakter budaya bangsa sejak zaman dulu. Penting bagi seluruh komunitas
akademik di kampus UIN Walisongo Semarang untuk mempertahankan karakter ini.
Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan kepribadian yang kuat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ni sejalan dengan prinsip islam mengenai saling
tolong menolong antara sesama manusia.18

Dengan menerapkan ketiga strategi ini, kita dapat berupaya dalam memadukan nilai-nilai
islam dengan pengetahuan modern, mengakar nilai-nilai spiritual dalam ilmu-ilmu sekuler,
dan memperkuat serta mengembangkan nilai-nilai lokal untuk membangun peradaban yang
lebih baik.19

PENUTUP

Kesimpulan

17
Mahmudi, ‘Paradigma Kesatuan Ilmu UIN Walisongo Dalam Perspektif Scientia Sacra S.H. Nasr’, 2020, 1–
222., 142-222
18
Mahmudi, ‘Paradigma Kesatuan Ilmu UIN Walisongo Dalam Perspektif Scientia Sacra S.H. Nasr’, 2020, 1–
222., 145-222
19
Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan, ed. by Fanani Muhyar (Semarang: UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO, 2015).

10
Berdasarkan dari pemaparan yang telah dijelaskan, makalah ini menyimpulkan sebagai
berikut:

1. Paradigma kesatuan ilmu pengetahuan (Unity of Science) adalah ciri khas dari
pemikiran ilmiah dalam tradisi islam yang menyatakan bahwa segala bentuk ilmu
pengetahuan pada dasarnya membentuk satu kesatuan yang berasal dari dan kembali
kepada Allah melalui wahyu-Nya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan seharusnya saling berinteraksi dan memiliki
tujuan yang sama, yaitu membawa pengkaji lebih mendekat dan memahami Allah
sebagai al-Alim (Yang Maha Mengetahui). Sebab dengan mendialogkan keseluruhan
bidang ilmu pengetahuan, seorang ilmuwan akan memperluas wawasannya secara
signifikan. Oleh sebab itu para ilmuwan pada zaman dahulu menjadi ulama yang
dokter, ulama yang filosof, ulama yang ahli matematika dan lain-lain.
2. Strategi implementasi paradigma unity of science yaitu:
 Humanisasi ilmu-ilmu keislaman, upaya untuk menyatukan nilai-nilai
universal islam dengan pengetahuan modern guna meningkatkan kualitas
hidup dan peradaban manusia.
 Spiritualisasi ilmu-ilmu modern, upaya spiritualisasi ilmu-ilmu modern
melibatkan pembangunan pengetahuan baru yang bersandar pada kesadaran
akan kesatuan ilmu, yang bersumber dari ayat-ayat allah, baik itu diperoleh
melalui wahyu para nabi, eksplorasi akal, maupun penjelajahan alam.
 Revitalisasi local wisdom, upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan
nilai-nilai budaya lokal yang telah diwariskan, dengan tujuan memperkuat
karakter bangsa.

Saran

11
Kami menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah falsafah kesatuan ilmu, mungkin terdapat kekurangan dan kesalahan yang perlu
diperbaiki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun untuk meningkatkan kualitas
makalah berikutnya. Kami berharap agar masukan yang diberikan dapat membantu kami
dalam menyempurnakan karya kami di masa mendatang. Semoga makalah ini tidak hanya
menjadi karya akademis belaka, tetapi juga memberikan manfaat yang nyata bagi pembaca
serta dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pemikiran dan keilmuan di
bidang filsafat kesatuan ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

12
Adinugraha, Ema Hidayanti, Agus Riyadi, Hendri Hermawan, ‘Fenomena Integrasi Ilmu Di
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri: Analisis Terhadap Konsep Unity of
Sciences Di UIN Walisongo Semarang’, HIKMATUNA: Journal for Integrative Islamic
Studies, 4.1 (2018), 1–24

Beta, Choy, ‘Kesatuan Ilmu (Unity of Science)’, Angewandte Chemie International Edition,
2 (2019), 1–12

Ernadila, Zuhriva Ulfi, Tasya Putri Hendrika, and Ahmad Fauzan Hidayatullah,
‘Implementasi Unity of Science Terhadap Visi Dan Misi UIN Walisongo Semarang’,
Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial Dan Sains, 10.1 (2021), 7–13

Fanani, Muhyar, Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan, ed. by Fanani Muhyar (Semarang:
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO, 2015)

Mahmudi, ‘Paradigma Kesatuan Ilmu UIN Walisongo Dalam Perspektif Scientia Sacra S.H.
Nasr’, 2020, 1–222

Maulana, ‘Filsafah Kesatuan Ilmu’, 1.2 (2022), 1–4

Muthia, Ratna, ‘PERKULIAHAN BAHASA INDONESIA BERBASIS TEKS DALAM


PARADIGMA KESATUAN ILMU PENGETAHUAN’, At-Tarbawi: Jurnal Kajian
Kependidikan Islam, 4.2 (2019), 104

Supriani, Yuli, Nanat Fatah Natsir, and Erni Haryanti, ‘Paradigma Keilmuan Yang Melandasi
Proses Transformasi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang’, JIIP - Jurnal
Ilmiah Ilmu Pendidikan, 4.7 (2021), 725–32

Ummah, Khoer, ‘Strategi Menjalankan Kesatuan Ilmu Pengetahuan Dalam Kaitannya


Dengan Kearifan Lokal’, Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, Dan Sains, 14.2
(2020), 1–13

Zulfa, Faizatuz, and Junaidi Abdillah, ‘Strategi Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman Dalam
Pandangan Muhammad Abid Al-Jabiri’, Jurnal Studi Islam, 3.3 (2023), 399–416

13

Anda mungkin juga menyukai