Anda di halaman 1dari 17

PARADIGMA MASALAH BELAJAR

(KETERATURAN MENJADI KESEMRAWUTAN)

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Pembelajaran
Program Studi Pendidikan Agama Islam Semester 3 (Tiga)
Program Pascasarjana IAIN Bone

Oleh:
HARDIANTI
NIM: 861082019009

DOSEN
Dr. Nursyirwan, S. Ag., M.Pd
Dr. Ridwan, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)BONE
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu
pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan
itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system
pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu
terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global
itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi
telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya
bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang
konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi
sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah
konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya
memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan
perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi
social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk
menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada
jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya
tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-
metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan
zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya.
Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan.
Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya.
Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat
dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban.1Era
kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era
kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori

1
Sudana Degeng, Pengorganisasian Pengajaran Berdasarkan Teori Elaborasi dan
Pengaruhnya Terhadap Perolehan Belajar Informasi Verbal dan Konsep, (Malang:FPS IKIP
Malang, 1988), h, 9.
pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure
terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan
yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan
apa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud
adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok
lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
B. Rumusan Maslah
Masalah pokok yang akan dipecahkan pada makalah ini adalah Paradigma
Masalah Belajar (Keteraturan vs Kesemrawutan), dari masalah pokok ini
dijabarkan sub masalah sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Paradigma?
2. Bagaimana Pandangan Behavioristik dan Kontruktivistik tentang Masalah
Belajar dari Keteraturan menjadi Kesemrawutan?
3. Bagaimana Paradigma masalah Belajar dari Keteraturan menjadi
Kesemrawutan?

C. Tujuan Masalah
Dari hasil rumusun di atas, tujuan yang ingin dicapai Penulis sebagai
berikut:
1. Untuk Menguraikan Pemgertian Paradigma.
2. Untuk menguraikan Pandangan Behavioristik dan Kontruktivistik tentang
Masalah Belajar dari Keteraturan menjadi Kesemrawutan.
3. Untuk Menguraikan Paradigma Masalah Belajar dari Keteraturan menjadi
Kesemrawutan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Paradigma

Secara etimologis, istilah paradigma (paradigm) berasal dari bahasa


Yunani ”para deigma”, dari kata ”para”, yang berarti di samping, di sebelah dan
”dekynai” yang berarti model, contoh, ideal.2 Sebagai suatu konsep, istilah
paradigma pertama kali dipopulerkan oleh ilmuwan Amerika, Thomas Kuhn.
Menurutnya, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal
science), di mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan
paradigma secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini seorang ilmuwan tidak
bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya.

Selain itu, dengan paradigma memungkinkan sang ilmuwan untuk


memecahkan kesulitan yang dihadapi dalam rangka ilmunya, sampai muncul
banyak anomali yang tak dapat diterangkan dengan teorinya. Jika anomali
semakin banyak dan kualitasnya semakin tinggi, maka bisa timbul krisis. Dalam
krisis inilah paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Dengan begitu sang
ilmuwan sudah keluar dari ilmu normal. Untuk mengatasi krisis itu sang ilmuwan
bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara
itu atau mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan
masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Jika yang terakhir ini
terjadi, berarti telah terjadi revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.

Pengertian “paradigma” itu sendiri kurang jelas, karena pelbagai


pengertian yang dikemukakan Thomas Kuhn, kadang terasa tidak begitu konsisten
satu sama lain. Meskipun demikian, Verhaak dan Imam3 menyimpulkan bahwa
paradigma merupakan cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi

2
Bagus, Kamus filsafat, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 779

3
Verhaak. & Imam, R.H, Filsafat ilmu pengetahuan, (Jakarta : PT.Gramedia, 1989),
h.165
atau praktek ilmiah konkret. Paradigma adalah asumsi-asumsi dasar yang
terkandung atau tersirat dalam satu atau sejumlah teori dominan. Asumsi-asumsi
dasar ini membentuk kerangka keyakinan (belief framework) dan merupakan
konstelasi komitmen intelektual suatu masyarakat ilmuwan. Ini berfungsi sebagai
semacam acuan, kiblat, atau pedoman, dan menentukan cara untuk melihat
persoalan dan bagaimana menyelesaikannya. Selain itu, paradigma juga bisa
berarti contoh, menunjuk pada teknik-teknik percobaan yang unggul, yang
lazimnya telah membuktikan kebolehannya dalam menghasilkan terobosan-
terobosan keilmuan yang krusial, dan diteladani oleh warga masyarakat ilmuwan.4

Sementara itu, Hardiyanto mengartikan paradigma sebagai kerangka


berfikir dan tuladan representatif.5 Sedangkan Bagus memberi empat arti
paradigma, yaitu: (1) cara memandang sesuatu; (2) dalam ilmu pengetahuan
berarti model, pola, dan ideal yang digunakan untuk memandang dan menjelaskan
suatu fenomena; (3) totalitas premis-premis teoretis dan metodologis yang
menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret; dan (4) dasar untuk
menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset.6

Dari uraian di atas, tampak ada berbagai pengertian paradigma, yang satu
sama lain tidak selalu sama. Berhubung dengan itu, Wilardjo meyakini bahwa
adanya kekurangjelasan pengertian atau kelenturan konseptual mengenai
paradigma an sichtak ada salahnya.7 Bahkan, bagi Hardiyanto, dengan mengacu
pada pendapat Thomas Kuhn dan para ahli lainnya, rumusan paradigma itu dapat
berkembang, meskipun inti pengertiannya sendiri dianggapnya tidak berbeda.8

Selanjutnya, bila berbagai pengertian paradigma di atas dianalisis, dapat


disimpulkan apa hakekat paradigma itu, paling tidak dari segi substansi dan
4
Wilardjo, Paradigma dalam ilmu-ilmu kealaman. (Salatiga: LP3K Sinode, 1999), h. 72
5
Hardiyanto, ITU- Apakah paradigma? (Salatiga: LP3K Sinode, 1999), h. 102
6
Bagus, Kamus filsafat,h. 779
7
Wilardjo, Paradigma dalam ilmu-ilmu kealaman, h. 73
8
Hardiyanto, ITU- Apakah paradigma, h. 103
fungsinya. Dari segi substansi, paradigma menunjuk pada: (a) model, pola, ideal,
contoh atau kerangka berfikir yang digunakan sebagai cara untuk memandang dan
menjelaskan suatu fenomena; (b)berisi seperangkat asumsi-asumsi dasar
mengenai obyek penelitian, nilai, cara kerja, dan validitas dari ilmu; dan
(c)kerangka keyakinan, yang merupakan komitmen, konsensus, yang diteladani
dan digunakan oleh komunitas ilmuwan. Dari segi fungsinya, paradigma
berfungsi sebagai dasar, acuan, kiblat, atau pedoman, dan menentukan cara untuk
melihat persoalan dan bagaimana menyelesaikannya.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, paradigma pendidikan dalam tulisan ini


menunjuk pada model, pola, ideal, contoh atau kerangka berfikir yang digunakan
sebagai cara untuk memandang dan menjelaskan suatu fenomena pendidikan.
Paradigma pendidikan berisi seperangkat asumsi-asumsi dasar mengenai obyek
penelitian, nilai, cara kerja, dan validitas dari ilmu pendidikan. Paradigma
pendidikan itu membentuk kerangka keyakinan, yang merupakan komitmen,
konsensus, yang diteladani dan digunakan oleh komunitas ilmuwan bidang
pendidikan serta berfungsi sebagai dasar, acuan, kiblat, atau pedoman, dan
menentukan cara untuk melihat persoalan pendidikan dan bagaimana

menyelesaikannya.

B. Pandangan Behavioristik dan Kontruktivistik tentang Masalah


Belajar dari Keteraturan menjadi Kesemrawutan

Pemecahan masalah-masalah belajar dan pembelajaran di era anyar


nampak sekali bertumpu pada paradigma keteraturan sebagai lawan dari
paradigma kesemrawutan. Belajar dan pambelajaran di semua jenjang , mulai dari
Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, sampai Perguruan
Tinggi atau latar lainnya, nampak sekali didesain dengan menggunakan
pendekatan keteraturan. Suatu pendekatan yang hingga kini diyakini sangat shahih
oleh pengajar, orang tua, atau pendidik lainnya. Perbandingan teori dan konsep
yang melandasi paradigma keteraturan dan kesemrawutan untuk memecahkan
maslah-masalah belajar dan pembelajaran. Paradigma keteraturan dilandasi oleh
teori dan konsep behavioristik, sedangkan paradigma kesemrawutan dilandasi
oleh teori dan konsep konstruktivistik.9

Pandangan teori behavioristik dibandingkan dengan kontruktivistik


tentang belajar dan pembelajaran sebagai berikut:10

Tabel 1.

BEHAVIORISTIK KONSTRUKTIVISTIK
Behavioristik memandang bahwa Konstruktivistik memandang bahwa
pengetahuan adalah objektif, pasti, dan pengetahuan adalah non-
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah objektif,bersifat temporer, selalu
terstruktur dengan rapi. berubah dan tidak menentu.
Belajar adalah perolehan pengentahuan, Belajar adalah penyusunan
sedangkan mengajar adalah pengetahuan dari pengalaman
memindahkan pengetahuan ke orang kongkrit, aktivitas kolaboratif, dan
yang belajar refleksi serta interpretasi. Mengajar
adalah menata lingkungan agar
peserta didik termotivasi dalam
menggali makna serta menghargai
ketidak menentuan.
Peserta didik diharapkan memiliki Peserta didik akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, pengetahuan tergantung pada
apa yang dipahami oleh pengajar itulah pengalamannya,dan perspektif yang
yang harus dipahami oleh peserta didik. dipakai dalam
menginterpretasikannya.
Fungsi mind adalah menjiplak struktur Mind berfungsisebagai alat untuk
pengetahuan melalui proses berpikir menginterprestasi peristiwa, objek
yang dapak dianalisis dan dipilah atau perspektif yang ada dalam
sehingga makna yang dihasilkan dan dunia nyata sehingga makna yang
proses berpikir seperti ini ditentukan dihasilakan bersifat unik dan
oleh karakteristik struktur pengetahuan. individualistik

9
Sudana Degeng, Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan
menuju Kesemrawutan, (Malang: IKIP Malang, 1998), h, 7

10
Sudana Degeng, Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan
menuju Kesemrawutan, h.8
Pandangan teori behavioristik dibandingkan dengan kontruktivistik
tentang Penataan lingkungan belajar dan pembelajaran sebagai berikut:11

Tabel 2

KONSTRUKTIVISTIK
BEHAVIORISTIK
Ketidakteraturan, ketidakpastian,
Keteraturan, kepastian, ketertiban
kesemrawutan
Peserta didik harus dihadapkan pada Peserta didik harus bebas. Kebebasan
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan menjadi unsur yang asensial dalam
lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan lingkungan belajar.
disiplin menjadi sangat esensial.
Pembelajaran lebih banyak dikaitkan
dengan penegakan disiplin.

Kegagalan dan ketidakmampuan dalam Kegagalan atau keberhasilan,


penambahan pengetahuan dikategorikan kemampuan atau ketidakmampuan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dilihat sebagai interprestasi yang
dan keberhasilan atau kemampuan berbeda yang perlu dihargai.
dikategorikan sebagai bentuk perilaku
yang pantas diberi hadiah.

Ketaatan pada aturan dipandang sebagai Kebebasan dipandang sebagai penentu


penentu keberhasilan belajar. Peserta keberhasilan belajar. Peserta didik
didik adalah objek yang harus berperilaku
adalah subjek yang harus mampu
sesuai dengan aturan. menggunakan kebebasan untuk
melakukan pengaturan diri dalam
belajar.
Kontrol belajar dipegang oleh sistem Kontrol belajar dipegang oleh peserta
yang berada di luar diri peserta didik. didik.

Dari uraian di atas, dapat kita tonjolkan dari pembedaan ini adalah
Penekanan pada keteraturan oleh teori behavioristik dan kesemrawutan oleh teori
kontruktivistik. Pengajar yang behavioristik akan mengedepankan keseragaman
demi keteraturan dan ketertiban melalui penegakan aturan, sedangkan pengajar
yang kontruktivistik akan mengedepankan keseragaman melalui penataan
lingkungan belajar yang bebas.

11
Sudana Degeng, Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan
menuju Kesemrawutan, h. 10
C. Paradigma masalah Belajar dari Keteraturan menjadi Kesemrawutan
1. Peradigma Keteraturan

Dalam bidang belajar dan pembelajaran ditemukan banyak sekali praktek


yang dilakukan secara turun-temurun tanpa kajian tentang kesahihannya. Bahkan
seringkali telah menjadi ketentuan yang harus diikuti oleh orang tua/pengajar, atau
siapa saja yang terlibat dalam pembelajaran. Beberapa diantaranya yang menonjol
perlu dikaji dalam rangka pembaharuan paradigma pemecahan masalah
pembelajaran pada Pra-sekolah dan sekolah dasar kelas awal sebagai berikut:

a. Duduk Manis

Ungkapan yang sangat khas ditemukan dalam penyelenggaraan


pembelajaran pada anak-anak usia awal adalah “duduk manis”, diam, jangan
bicara, jangan melakukan gerakan apapun, tangan dilipat, dan arahkan pandangan
ke depan. Orangtua/guru memandang sikap anak serti ini harus dibentuk agar
anak siap untuk belajar. Kegiatan belajar biasanya tidak akan dimulai sebelum
anak menunjukkan sikap serti itu, apabila ada anak yang tidak menunjukkan sikap
seperti itu, maka hukuman dijatuhkan. Fenomena ini sangat khas dalam sistem
pembelajaran baik di rumah maupun di sekolah.

b. Taat, Patuh pada orang tua/guru

Ungkapan “taatilah atau patuhilah orangtua/guru” telah menjadi semacam


aturan yang mutlak harus diikuti oleh anak. Orang tua atau guru menempatkan diri
dalam posisi sebagai pengatur dan aturan itu sendiri. Anak berada pada posisi
yang diatur dan harus memenuhi aturan itu. Ini serupa dengan kenyataan bahwa
tanah liat tidak akan pernah bisa berubah menjadi keramik apabila tidak dibentuk
oleh ahlinya. Anak sebagai objek yang dapat dibentuk menjadi apa saja kehendak
ornag tua atau guru.12

Pemaksaan akan keseragaman demi keteraturan, kerapian, kedisiplinan


demi keindahan dan terlihat menarik untuk dilihat telah menjelma menjadi dosa

12
Ibid, h. 15-16
warisan yang kita terima turun-temurun dari generasi-generasi sebelumnya tanpa
ada pembangkangan apalagi perlawanan. Pemaksaan keseragaman ini terjadi
mulai dari anak kecil hingga dewasa, semua tidak terlepas dengan doktrin
keseragaman dan keteraturan sebagai satu-satunya kunci sukses meraih masa
depan. Anak-anak kita dirumah nyaris tidak pernah punya kesempatan untuk
mengutarakan pendapat atas tuduhan sepihak orang tua menyalahkan anaknya
baik benar maupun salah yang benar harus orang tua, anak yang manut dengan
orang tua adalah anak yang diam ketika dimarahi. Tidak adanya ruang
berdialektika anak terbawa hingga pada masa sekolah dasar hingga jenjang SMK,
selalu saja anak hanya dihadapkan pada ujian penentu prestasi dengan pilihan
ganda dan bukan soal uraian. Paradigma keteraturan, peserta didik sangat dibatasi
dalam kebebasan berpikir kreatif, karena apapun yang ingin dilakukan harus
dengan perintah dari orang tua atau guru.

Di dalam pengalaman bermain masa kanak-kanak hingga dewasa juga


tidak luput dari pagar keteraturan yang dibuat sepihak oleh orang tua. Pola
pengajaran orang tua dirumah dan disekolah benar-benar terbelenggu dalam
keseragaman pemuja aliran behavioristik. Mengajar hanyalah dimaknai sebagai
proses memindahkan pengetahuan kepada anak dengan harapan adanya kesamaan
pemahaman. Demi menghargai sebuah birokrasi, anak-anak diwajibkan
berseragam sama persis satu dengan yang lainnya. Bukankah dari sini kita mampu
berfikir kritis, darimana munculnya celah berfikir kritis peserta didik tentang
menghargai keberagaman jika terus disama-samakan satu dengan yang lainnya.
Disamping itu, pembelajaran dikelas pada akhirnya juga dilaksanakan dengan
mengikuti aturan kurikulum yang ketat. Kondisi ini pada akhirnya menuntut
peserta didik untuk dapat menghafal setiap mata pelajaran dari buku teks yang
telah disediakan. Sehingga, pembelajaran harus diakhiri dengan evaluasi pilihan
ganda dan menekankan pada hasil yang bagus.13

13
Daris Wibisono Setiawan, https://www.timesindonesia.co.id/read/news/241375/cara-
gila-guru-hadapi-era-kesemrawutan-global (Diakses tanggal 12-01-2021)
2. Paradigma Kesemrawutan

Pengaturan lingkungan belajar sangat diperlukan agar anak mampu


melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan
belajar yang memberi kebebasan kepada anak untuk melakukan pilihan-pilihan
akan mendorong anak untuk terlibat secara fisik, emosional, dan mental dalam
proses belajar, karena itu akan dapat memunculkan kegiatan-kegiatan yang kreatif
dan produktif. Itulah sebabnya mengapa setiap anak perlu diberi kebebasan untuk
melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dilakukan.

Prakarsa anak untuk belajar akan mati bila dihadapkan pada berbagai
macam aturan yang tak ada kaitannya dengan pembelajaran, sebagaimana
ditemukan dalam paradigma keteraturan (behavioristik). Banyaknya aturan yang
sering kali dibuat oleh orang tua atau guru yang harus ditaati oleh anak akan
menyebabkan anak-anak diliputi rasa takut dan rasa bersalah, anak-anak juga akan
kehilangan kebebasan berbuat dan melakukan kontrol diri.14

Pembelajaran guru model behavioristik hendaknya harus bisa direduksi


karena sangat tidak sesuai dengan tuntutan pembelajaran abad 21. Pembelajaran
abad 21 yang mengamanatkan untuk merangsang kemampuan peserta didik untuk
bisa berfikir kreatif-inovatif, bekerjasama, komunikasi, dan berfikir kritis dan
mampu memecahkan masalah harus menjadi kesadaran kolektif para guru untuk
segera hijrah dari penganut aliran behavioristik menuju konstruktivistik.
Menggeser paradigma pendekatan pembelajaran yang awalnya berpusat pada
pendidik berubah menjadi pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik (student centered learning).

Era kesemrawutan global saat ini diwarnai dengan perubahan super cepat
dan bahkan kecepatannya melebihi kedipan mata kita. Fenomena PHK akibat
pergantian tenaga manusia yang tergantikan oleh robot dalam dunia industri setiap
saat bisa dilihat. Profesi ojek yang digeluti kebanyakan orang secara turun-

14
Sudana Degeng, Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan
menuju Kesemrawutan, h. 24
temurun bertahun-tahun dalam sekejab habis hanya dengan sebuah aplikasi yang
bernama Gojek, Grab, dan ojek online lainnya. Kebutuhan akan Teller dan
custumer service perbankan semakin habis seiring semakin banyaknya fasilitas
ATM setoran dan ambil tunai bahkan cukup aplikasi yang tertanam di HP
Android. Runtuhnya supermarket yang ada masa jayanya seperti mercusuar yang
menjulang ke langit super sekian detik kalah bertarung dengan aplikasi Shoppe,
Tokopedia, Bukalapak dan aplikasi-aplikasi lainnya yang semakin hari
menawarkan kemudahan dan jaminan keamanan pengiriman. Beragam fenomena
era kesemrawutan global tersebut tentu saja tidak bisa dilawan dengan
keteraturan, sebaliknya harus dilawan dengan cara-cara gila super kreatif dengan
pikiran-pikiran krtis yang blue ocean.

Paradigma keteraturan, kerapian, keseragaman untuk merekayasa mimpi


peserta didiknya menjadi PNS, TNI-Polri, Dokter, Insinyur, Dosen, dan beberapa
profesi keteraturan lainnya sudah tidak tepat lagi untuk digaungkan. Perubahan
kecil yang disampaikan Mendikbud layak untuk secara kolektif menjadi gerakan
yang massif dilakukan pada tempat mengajar. “Ajaklah kelas berdiskusi, bukan
hanya mendengar, berikan kesempatan murid untuk mengajar dikelas, temukan
suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri” adalah tiga dari lima
pesan perubahan kecil yang luar biasa dahsyat jika dilakukan. Dari perubahan-
perubahan kecil tersebut menyimpan harapan besar agar bagaimana peserta didik
potensi dan mimpinya tidak hanya terbentur pada dinding-dinding kelas.
Sebaliknya, dari lebih mendekatkan diri dan lebih banyak mendengarkan siswa
akan terlihat betapa beragamnya talenta siswa yang selama ini tersembunyi
dibalik monopoli otoritas guru. Guru era revolusi industri 4.0 menghadapi anak-
anak milenial dengan keberagaman potensi harus menyuguhkan eberapa profesi
yang menjanjikan di era digital seperti; sosial media officer, copywriter, content
writer, graphic designer, Ux designer, web developer, digital marketing, video
maker, dan profesi-profesi era disruptif lainnya.15

3. Implikasi paradigma Kesemrawutan

Butiran-butiran yang dapat dijadikan acuan dalam mengelola belajar dan


dan pembelajaran yang di landasi oleh paradigma kesemrawutan sebagai
berikut:16

1) Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru. Belajar adalah


penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif,
dan refleksi serta interprestasi.

Implikasinya terhadap pembelajaran/evaluasi:

a. Dorongan munculnya diskusi terhadap pengetahuan baru yang


dipelajari. Pengetahuan baru bukan dijiplak untuk diterima sebagaiman
adanya.
b. Dorongan munculnya berpikir divergent, kaitan dan pemecahan ganda,
bukan hanya ada satu jawaban benar.
c. Dorongan munculnya berbagai jenis luapan pikiran/aktivitas, seperti:
main peran, simulasi, debat dan pemberian penjelasan kepada teman.
d. Tekankan pada keterampilan berpikir kritis: analisis, membandingkan,
generalisasi, memprediksi, menghipotesis.
e. Kaitkan informasi baru kepengalaman pribadi atau kepengetahuan
yang telah dimiliki oleh siswa
f. Gunakan informasi pada situasi baru

15
Daris Wibisono Setiawan, https://www.timesindonesia.co.id/read/news/241375/cara-
gila-guru-hadapi-era-kesemrawutan-global (Diakses tanggal 12-01-2021)

16
Sudana Degeng, Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan
menuju Kesemrawutan, h. 26-28
2) Konstruktivistik berangkat dari pengakuan bahwa orang yang belajar harus
bebas. Hanya di alam yang penuh dengan kebebasan peserta didik dapat
mengungkapkan makna yang berada dari hasil interprestasinya terhadap
segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang
esensial dalam lingkungan belajar.

Implikasinya terhadap pembelajaran/evaluasi:

a. Sediakan pilihan tugas (tidak semua mengerjakan tugas yang sama)


b. Sediakan pilihan bagaimana cara memperlihatkan bahwa siswa telah
menguasai apayang dipelajari
c. Sediakan waktu yang cukup untuk memikirkan dan mengerjakan
tugas.
d. Jangan terlalu banyak menggunakan tes yang telah ditetapkan
waktunya.
e. Sediakan kesempatan untuk berpikir ulang dan melakukan perbaikan.
f. Libatkan pengalaman-pengalaman konkrit.

3) Strategi yang dipakai siswa dalam belajar akan menentukan proses dan
hasil belajarnya.

Implikasinya terhadap pembelajaran/evaluasi:

a. Berikan kesempatan untuk menerapkan cara berpikir dan belajar yang


paling cocok dengan dirinya.
b. Siswa melakukan evaluasi diri tentang cara berpikirnya, tentang cara
belajarnya, tentang mengapa ia menyukai tugas tertentu.

4) Motivasi dan usaha mempengaruhibelajar dan unjuk kerja

Implikasinya terhadap pembelajaran/evaluasi:

a. Motivasilah siswa dengan tugas-tugas riil dalam kehidupan sehari-hari


dan kaitkan tugas-tugas dengan pengalaman pribadinya.
b. Dorong siswa untuk memahami kaitan antara usaha dan hasil.

5) Belajar pada dasarnya memiliki aspek soaial. Kerja kelompok sangat


berharga.

Implikasinya terhadap pembelajaran/evaluasi:

a. Beri kesempatan untuk melakukan kerja kelompok


b. Gabungkan kelompok-kelompok yang heterogen
c. Dorong siswa untuk memainkan peran yang bervariasi
d. Perhitungan proses dari hasil kelompok.

Kesemrawutan terjadi karena setiap individu aktif melakukan aktivitas


belajarnya secara mandiri sesuai dengan kekhasannya. Akan sangat sulit
ditemukan keteraturan karena setiap anak mengerjakan hal yang berbeda, baik
jumlah maupun jenisnya. Akan sulit ditemukan kepastian karena setiap anak
melakukan pilihan kegiatan yang berbeda. Demikian pula, akan sulit ditemukan
ketaatan dan kepatuhan karena suasana debat, ekspresi diri,pengambilan peran
yang berbeda sangat ditonjolkan. Jadi, yang tersisa dan nampak jelas adalah
Kesemrawutan.

Sebagai paradigma pembelajaran kesemrawutan merupakan kerangka


pikire pemecahan masalah-masalah pembelajaran dengan marancang beragam
tindakan belajar sesuai dengan keragaman kekhasan peserta didik, menuju
ketujuan yang beragam dengan strategi yang beragam, dan melibatkan sumber-
sumber yang beragam pula.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Paradigma pembelajaran baru menuntut supaya dalam mengajar guru


memberikan kesempatan atau mendorong supaya siswa membangun
pengetahuannya sendiri. Metode atau pendekatan pembelajaran mengikuti
paradigma baru (yg didasarkan pada teory konstrutivisme) ini memang bagus
karena dapat mengembangkan kemampuan tingkat berpikir yang lebih tinggi,
kalau ditinjau dari taksonomi Bloom. Pendekatan pembelajaran berdasarkan teori
konstrutivisme ini baik, tetapi juga bukan pendekatan pembelajaran terbaik.
Pemilihan pendekatan ataupun metode pembelajaran harus selalu disesuaikan
dengan kondisi dan situasi pembelajaran tertentu. Sebuah metode pembelajaran
yang berhasil digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam
situasi pembelajaran tertentu, belum tentu bagus untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang berbeda dalam situasi pembelajaran yangberbeda pula.

Sesuatu yang baik belum tentu baik kalau pelaksanaannya dipaksakan.


Inilah tantangan dunia pendidikan kita, bagaimana kita menyiapkan diri kita
supaya kita dapat melaksanakan paradigma baru pembelajaran kita dengan baik
supaya hasilnya baik seperti yang kita harapkan bersama. Marilah tantangan ini
kita jadikan sumber semangat bekerja untuk kemajuan pendidikan kita.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka penulis sangat mengarapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari dosen pembimbing mata kuliah, dan pembaca, serta pihak-pihak
lain demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, 2002, Kamus filsafat, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Degeng Sudana, 1988, Pengorganisasian Pengajaran Berdasarkan Teori


Elaborasi dan Pengaruhnya Terhadap Perolehan Belajar Informasi Verbal dan
Konsep, Malang: FPS IKIP Malang.

Sudana Degeng, 1998, Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari


Keteraturan menuju Kesemrawutan, Malang: IKIP Malang.

Daris Wibisono Setiawan,


https://www.timesindonesia.co.id/read/news/241375/cara-gila-guru-hadapi-
era-kesemrawutan-global (Diakses tanggal 12-01-2021)

Hardiyanto, 1999, ITU- Apakah paradigma? Salatiga: LP3K Sinode.

Verhaak. & Imam, 1989, Filsafat ilmu pengetahuan, Jakarta : PT.Gramedia.

Wilardjo, 1999, Paradigma dalam ilmu-ilmu kealaman. Salatiga: LP3K Sinode.

Anda mungkin juga menyukai