Anda di halaman 1dari 23

PARADIGMA SOSIOLOGI

Makalah
Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah Sosiologi Hukum
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bone

Oleh:
Samsul M
1020114

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM BONE


TAHUN AKADEMIK
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah Swt. Allah yang
senantiasa melimpahkan rahmat taufik dan hidayah-Nya kepada segenap hamba-
hamba-Nya yang beriman. Atas petunjuk-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan salah satu tugas. Serta Shalawat dan taslim semoga selalu tercurah
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. karena bimbingannyalah kepada umat
manusia sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di
akhirat.
Terima kasih kepada Bapak telah memberikan kami kesempatan untuk
menyusun suatu karya tulis ilmiah/makalah sebagai salah satu tugas yang harus
kami selesaikan.

Bahwa terwujudnya hasil makalah dengan judul “Paradigma Sosiologi”


adalah hasil kerja penulis dengan bantuan dan dukungan oleh teman-teman dan
beberapa referensi. Semoga makalah ini dapat diterima dan dijadikan referensi
oleh pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu saran dan kritiknya sangat kami harapkan. Mudah-mudahan makalah ini dapat
berguna bagi para pembaca dan semoga apa yang kita inginkan tercapai. Aamiin.

Watampone, 28 November 2022


Penulis,

Samsul M.

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL-------------------------------------------------------------------------------i
KATA PENGANTAR---------------------------------------------------------------ii
DAFTAR ISI--------------------------------------------------------------------------iii
BAB I PENDAHULUAN-----------------------------------------------------------1
A. Latar Belakang Masalah-----------------------------------------------------1
B. Rumusan Masalah------------------------------------------------------------2
C. Tujuan Penulisan--------------------------------------------------------------2
BAB II PEMBAHASAN------------------------------------------------------------3
A. Pengertian Paradigma Sosiologi--------------------------------------------3
B. Pembagian Paradigma Sosiologi--------------------------------------------4
C. Teori Pendukung Paradigma Sosiologi------------------------------------9
BAB III PENUTUP------------------------------------------------------------------18
A. Kesimpulan--------------------------------------------------------------------18
B. Saran----------------------------------------------------------------------------19
DAFTAR PUSTAKA----------------------------------------------------------------20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Dengan adanya kajian paradigma ilmu pengetahuan sosial kemudian
dikembangkanlah metode baru yang berdasar pada hakikat dan sifat
paradigma ilmu, yaitu manusia yang disebut metode kualitatif. Kemudian
berkembanglah istilah ilmiah tersebut dalam bidang manusia serta ilmu
pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-
bidang lainnya.. Dengan demikian paradigma menempati posisi dan fungsi
yang strategis dalam proses kegiatan. Perencanaan, pelaksanaan, dan hasil-
hasilnya dapat diukur dengan paradigma tertentu yang diyakini kebenarannya.
Paradigma adalah gambaran fundamental dari pokok bahasan dalam
ilmu pengetahuan. Dia menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa
yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus
diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-
jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam
ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia
memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori
dan metode serta instrument yang ada didalamnya. Kemudian, bertolak dari
suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang yang akan menyelesaikan
permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang
menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh
jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Paradigma sosial merupakan kerangka berpikir dalam masyarakat
yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial
dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga
menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria
pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah.

1
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka
untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai
berikut:
1.    Apakah Pengertian dari Paradigma Sosiologi?
2.    Bagaimanakah Pembagian Paradigma Sosiologi?
3.    Apa Sajakah Teori yang Mendukung Paradigma Sosiologi?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar mahasiswa atau
pembaca tahu tentang:
1.      Pengertian paradigma sosiologi.
2.      Pembagian paradigma sosiologi.
3.      Teori pendukung paradigma sosiologi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Paradigma Sosiologi


Paradigma berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti: model
pola, contoh. Dalam kamus ilmiah populer, paradigma dapat diartikan sebagai
contoh, tasrif, teladan, pedoman, dipakaiuntuk menunjukkan gugusan sistem
pemikiran bentuk kasus dan polapemecahannya. Sedangkan dalam kamus
besar Bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir, model
teori ilmu pengetahuan.
Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah: Pertama, Cara
memandang sesuatu. Kedua, Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan.
Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan. Ketiga, Totalitas
premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau
mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek
ilmiah pada tahap tertentu. Keempat, Dasar untuk menyeleksi problem-
problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset. Paradigma
diartikan sebagai pandangan yang mendasar dari suatu disiplin pengetahuan
tentang subjek matters atau pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh
setiap komunitas ahli ilmu. Paradigma merupakan suatu consencus yang
terdapat dalam suatu cabang ilmu pengetahuan. Consencus dilakukan oleh
seorang atau kelompok yang memiliki pandangan yang relative sama dengan
memandang pokok permasalahan.1
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika
Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolution (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert
Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology (1970). Menurut Kuhn,
paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh
mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan
1
Sukanto, Memahami Fenomen Hukum dengan Perspektif Paradigma Sosial, (Surabya:
Al-Qanun, 2005), hlm. 656.

3
mode of knowing yang spesifik. Menurut Khun yang dikutip George Ritzer,
Paradigma adalah gambaranfundamental dari pokok bahasan dalam ilmu
pengetahuan.Dia menentukan apa yang harus dipelajari,pertanyaan apa yang
harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan,
dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang
diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu
pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia
memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori
dan metode serta instrument yang ada didalamnya.
Di dalam masyarakat banyak sekali permasalahan yang dihadapi, baik
berupa masalah yang ringan sampai yang paling berat. Dalam menghadapi
masalah yang ada dalam masyarakat tersebut, masyarakat biasanya
menggunakan cara atau pola pikir tertentu ketika memandang suatu fakta atau
keadaan yang terjadi dalam masayarakat. Pola pikir masyarakat dalam
memandang suatu fakta sosial itulah yang di sebut dengan paradigma
sosiologi. Di dalam paradigma sosiologi, ada beberapa unsur ilmu sehingga
paradigma sosiologi dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang bisa
dijadikan sebagai acuan atau landasan dalam penelitian mengenai problem-
problem  sosial.
B.  PembagianParadigma Sosiologi
Thomas Samuel Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu
amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari
perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani.
Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada
filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan
berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-
masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat
sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut
Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh
para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut.
Palingtidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama,

4
pandanganfilsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang
hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; Kedua, pandangan filsafat
yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek
berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.
Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi.
Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject
matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer
menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa
paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian,
teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi
perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi, namun menurut
George Ritzer, secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi
dalam keilmuan sosiologi, yakni:
1. Paradigma fakta sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim
yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895)
dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai
antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert
Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam
sosiologi. Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut
Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia
ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang
dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini
menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri.
Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang
filsafat. Berangkat dari kritik ini,  akhirnya Durkheim
membangunkonsepfakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek
kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial
adalah barang yang nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat
dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam pemikiran

5
manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan
data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.
Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai
studi fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari
struktur sosial, dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat,
dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti
struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan
tindakan individu menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para
teoritisi yang menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi
antara struktur sosial dengan individu, dan relasi institusi sosial dengan
individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan individu pada analisis
fakta sosial antara struktur dan institusi sosial bersifat terpisah.
Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu
dalam konteks yang nyata (material) saja,melainkan juga berkaitan dengan
sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim
membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami,
dilihat dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu
yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk
bangunan, hukum dan peraturan.
b. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi
atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta
sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia.
Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok,
kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga,
pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam
paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori
sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang
biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme
struktural, dan teori konflik.

6
2. Paradigma Definisi Sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial
(social action). Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas.
Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber
melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang
penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang
mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada
tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada
benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan
orang lain bukan suatu tindakan sosial.
Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga
melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian
utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang
berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai
hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma
ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial
didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme
simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu
dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma ini
menyatakanbahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah
perilakumanusia atauindividu yang tampak dan kemungkinan
perulangannya.
Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai
hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah
laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih ditentukan oleh
sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur
sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus
Frederic Skinner, salah satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut

7
George Ritzer, Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi
aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spektrum yang
sangat luas. Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah
memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa
yang menjadi obyek dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek
dari kedua paradigma itu seperti struktur dan institusi sosial adalah sesuatu
yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi dalam pemikiran manusia.
Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi Skinner,
obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang
sebenarnya yaitu sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner
mengklaim bahwa obyek perilaku manusia adalah obyek studi sosiologi
yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam paradigma ini
adalah teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).
4. Paradigma Integratif/Multi Paradigma
Seiring perkembangan analisis tiga paradigma di atas dengan
berbagai macam perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi,
makamenurut George Ritzer, perlu adanya paradigma yang
mengakomodasi penyatuan dari ketiga paradigma tersebut,sebab teramat
sulit untuk memahami fenomena sosialyang begitu
kompleks.  MakaGeorge Ritzer berusaha mengetengahkan masalah ini
dengan mengajukan konsep  paradigma integratif yakni dengan
menggabungkan subject matterdari ketiga paradigma ini, yang meliputi
semua tingkatan realitas, baik tingkat makro-obyektif seperti masyarakat,
hukum, birokrasi dan bahasa, tingkat makro-subyektif seperti nilai, norma
dan budaya, tingkat mikro-obyektif seperti pola perilaku, tindakan, dan
interaksi, serta tingkat mikro-subyektif seperti persepsi dan keyakinan.
Ketiga paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun
sesungguhnya saling memperkaya analisis. Masing-masing paradigma
yang ada menjelaskan satu tingkat realitas sosial tertentu, dan paradigma
integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas sosial yang ada.

8
Kelemahan paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman
analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak
sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk itu,
dalam menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian
yang diajukan. Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi
memerlukan pendekatan integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu
paradigma.
Paradigma integratif ini dikembangkan lebih lanjut oleh Peter L.
Berger, Thomas Luckman dan Anthony Giddens. Ketiga sosiolog ini
berusaha menjembatani ketegangan antara subyektivisme dan
obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme dan
determinisme. Ketiganya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan
struktur. Kiranya inilah pandangan paradigma integratif yang dapat juga
dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”. Paradigma ini berusaha
menawarkan perpaduan berbagai paradigma sesuai dengan tingkat
kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut.
C.    Teori Pendukung Paradigma Sosiologi
1. Teori pendukung paradigma fakta sosial
Ada beberapa teori pendukung paradigma sosial yaitu sebagai
berikut:
a. Teori fungsionalisme struktural
Teori fungsionalisme strukturallahir dari pemikiran biologis
yang dikonsepkan oleh Comte   dan   Herbert   Spencer,  di
manamasyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis. Maksudnya,
masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung
gunakebertahanan hidup. Kemudian lebih lanjut teori ini dikembangkan
oleh Durkheim. Karena pengaruh dari Comte dan Herbert Spencer,
Durkheim mengonsepkan teori sosiologinya dengan terminologi
organisme.
Menurut Durkheim, masyarakat merupakan sebuah kesatuan
yang di mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang memiliki

9
fungsinya masing-masing, dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Untuk itu, teori ini lebih menekankan social order dan mengabaikan
konflik atau masyarakat bergerak dalam kondisi statis dan seimbang.
Adapun tokoh-tokoh dalam teori ini antara lain, Durkheim, Talcott
Parsons, Robert K. Merton, dan Herbert J. Gans.
Kelemahan teori ini yakni bersifat tertutup terhadap proses
terjadinya perubahan sosial karena terlalu menekankan order dan
kemapanan struktur sosial yang sudah formal, serta mempertahankan
status quo dan tidak membuka kepada orang atau hal lain berperan.
Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman bagi
masyarakat dan pemegang status quo.
b. Teori konflik
Teori konflikmerupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori
fungsionalisme struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx.
Pendukung teori ini antara lain George Simmel, Lewis A. Coser, dan
Ralf Dahrendorf.
Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan
yang selalu ditandai dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori
fungsionalisme struktural memandang keteraturan terjadi karena
masyarakat terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka teori
konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak
yang berkuasa.
Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan
kekuasaan. Adapun kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan
dalam masyarakat dan terlalu menekankan perubahan dalam konteks
konflik. Metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu
interview-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interview-
kuesioner memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu
menyajikan informasi yang bersifat fakta sosial, atau informasi yang
didapat lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun begitu, bagi
para penganut fakta sosial metode interview-kuesioner merupakan

10
sesuatu metode yang cocok dalam penelitian empiris mereka guna
mendapatkan fakta-fakta sosial yang menjadi subject matter sosiologi.
2. Teori pendukung paradigma definisi sosial
a. Teori aksi
Teori aksi atau teori bertindak pada awalnya dibangun
berdasarkan pemikiran Weber dan Pareto. Menurut Weber, individu
melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi,
pemahaman dan atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Di sini
Weber melihat tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial.
Sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak
mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut.
Dengan konsep rasionalitas, Weber membagi beberapa macam
tindakan sosial. Semakin rasional tindakan sosial tersebut, maka
semakin mudah memahaminya. Adapun pembagian tindakan sosial itu
terbagi menjadi empat macam, yaitu: Pertama, tindakan rasionalitas
instrumental, yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang
memiliki tujuan untuk dicapai dan menentukan nilai dari tujuan itu
sendiri. Bila individu tersebut bertindak rasional maka tindakannya pun
dapat dipahami. Keduatindakan rasionalitas yang berorientasi nilai,
yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-
nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya
yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya.
Tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama,
sehingga tindakannya masih dapat dipahami.Ketiga,tindakan afektif
(affectual), yaitu tindakan yang ditentukan olehkondisi kejiwaan dan
perasaan individu yang melakukannya. Tindakan ini dilakukan
seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul
secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Tindakan ini sukar
dipahami karena kurang rasional. Keempattindakan tradisional,yaitu
tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah
mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi

11
atau adat istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini pun sukar
dipahami karena kurang rasional bahkan tidak rasional.
Setelah Weber, teori aksi berkembang ketika sosiolog Amerika
Charles Horton Cooley membuktikan bahwa sesuatu yang mempunyai
arti penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah kesadaran
subyektif. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan
individual, sentimen dan ide-ide merupakan faktor pendorong manusia
untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain.
Sedangkan Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan
istilah “action” (aksi atau tindakan) dimaksudkan untuk membedakan
teori ini dengan teori perilaku, yang menggunakan istilah “behavior”
(perilaku atau tindakan yang dilakukan berulang-ulang). “Aksi”
menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan proses
penghayatan diri individu. Sedangkan “perilaku” menunjukkan adanya
penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap stimulus
(rangsangan) dari luar.Menurut Parsons, teori perilaku mengabaikan
sifat kemanusiaan manusia dansubyektivitas tindakan
manusia.Sebaliknya, teori aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan
manusia dan subyektivitas tindakan manusia.
Teori aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog
mengembangkan teori ini, khususnya para sosiolog Amerika. Karya
terkemukan yang menjadi rujukan dari teori aksi antara lain, Florian
Znaniecki melalui karyanya The Method of Sociology (1934) dan Social
Actions (1936), Robert Morrison MacIver melalui
karyanya Sociology: Its Structure and Changes (1931), dan Talcott
Parsons melalui karyanya The Structure of Social Action (1937).
Karya-karya tersebut kemudian menjadi landasan Roscoe
Hinkle untuk merumuskan asumsi dari teori aksi. Menurut Hinkle,
tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek,
dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai
subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud

12
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia
menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang
diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan. Kelemahan dari teori ini,
cenderung memfokuskan analisis pada level individu dan mengabaikan
faktor kolektivisme.
b. Teori interaksionisme simbolik
Teori interaksionismesimboliklahirsebagai persfektif baru yang
dilatarbelakangi kemandekan aplikasi teori aksi. Landasan teori ini
didasarkan pada analisis Weber. Teori ini memfokuskan pada
pembahasan individu yang terkait pada hubungan antara simbol dan
interaksi yang terjadi (interaksi sosial mikro).
Awalnya teori ini dikembangkan di Universitas Michigan oleh
John Dewey dan Charles Horton Cooley. Kemudian John Dewey
pindah mengajar ke Universitas Chicago. Kepindahan John Dewey
diikuti denganmengembangkan teori interaksionis simbolik. Ternyata
teori interaksionis simbolik mendapat apresiasi yang sangat baik.
Sehingga Universitas Chicago dianggap sebagai tempat yang pertama
kali berkembangnya teori interaksionis simbolik. Maka teori ini juga
dikenal sebagai aliran Chicago.Dari John Dewey, kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh sosiolog Amerika
seperti William Isaac Thomas,George Herbert Mead,Herbert Blumer,
Robert E. Park, William James, Ernest Burgess,James Mark Baldwin,
Manfred Kuhn dan Kimball Young.
Prinsip dasar dari teori ini adalah; (a) manusia pada dasarnya
memiliki kemampuan berpikir, (b) kemampuan berpikir ini kemudian
dibentuk melalui interaksi sosial, (c) individu dalam setiap interaksi
dengan orang lain mempelajari makna dan simbol yang
memungkinkanmereka menggunakan kemampuan berpikirnya, (d)
setiap individu dapat memodifikasi makna dan simbol yang mereka
gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka atas
situasi yang ada, (e) setiap individu dapat menentukan tindakan apa

13
yang dilakukan setelah individu tersebut menafsirkan situasi, (f) dari
interaksi ini kemudian individu tersebut menciptakan kelompok dan
masyarakat. Adapun kelemahan dari teori ini adalah mengabaikan
pembahasan pada struktur sosial makro, seperti nilai-nilai, norma sosial,
hukum, serta institusi sosial dan terlalu fokus pada pembahasan
interaksi sosial mikro (hubungan antar pribadi).
c.  Teori fenomenologi
Teori fenomenologimembahas mengenai bagaimana kehidupan
bermasyarakat itu terbentuk. Berangkat dari pandangan Weber, Alfred
Schultz sebagai seorang tokoh yang mengembangkan teori ini
memandang bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan
sosialbila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap
tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu
sebagai sesuatu yang penuh arti. Dengan kata lain, teori ini berpendapat
bahwa manusia atau individu bisa menciptakan dunia sosialnya sendiri
dengan memberikan arti kepada perbuatan-perbuatannya itu. Teori ini
muncul sebagai reaksi atas anggapan yang memandang bahwa manusia
atau individu dibentuk oleh kekuatan- kekuatan sosial yang
mengitarinya. Untuk melakukan studi fenomenologis orang harus
tinggal dalam masyarakat yang bersangkutan agar ia bisa menangkap
arti fenomena sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.
d. Teori etnometodologi
Teori etnometodologimerupakan cabang dari fenomenologi.
Etnometodologi berusaha mengungkap realitas dunia kehidupan dari
individu atau masyarakat. Etnometodologi mempelajari dan berusaha
menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat
berdasarkanungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka
ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit.Sekalipun
etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi
pembaharuan dalam sosiologi, namun etnometodologi memiliki
kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu

14
fenomenologi, interaksionis simbolik dan teori Talcott Parsons. Teori
ini dikembangkan oleh Harold Garfinkel seorang dosen sosiologi di
Universitas California of Los Angeles (UCLA). Teori ini mulai
berkembang sekitar tahun 1950-an.
Garfinkel menekankan, pokok masalah etnometodologi tidak
lain adalah pertukaran komunikasi yang di dalam penelitian
etnometodologis disebut proses-proses komunikasi menuju saling
memahami di antara para para pelaku komunikasi.
Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti
atau makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok,
tetapi tugas sosiolog adalah menemukan bagaimana individu atau
masyarakat mengonstruksi kehidupan sosialnya dan mencoba
menemukan bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia
sosialnya sendiri. Pada teori ini Grafinkel berusaha menekankan pada
kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui
simulasi.
Pada perkembangan selanjutnya etnometodologi
dikembangkan  Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy
Turner, oleh Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Dari beberapa
pakar ini, Jack Douglaslah yang pembahasannya tentang
etnometodologi paling lengkap.
3. Teori pendukung paradigma perilaku sosial
a. Teori behavioral sociology
Teori behavioral sociologymerupakan implementasi dari
perpaduan obyek kajian psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut
George C. Homan, manusia di dalam masyarakat tidak memiliki sifat
selain yang diperolehnya dari, dan mungkin dibentuknya sendiri.  Inti
analisis teori ini terfokus pada hubungan kausal atas perilaku individu.
Teori ini menekankan adanya hubungan historis antara akibat tingkah
laku yang terjadi dalam lingkungan individu dengan tingkah laku yang

15
terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu akan
mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.
b. Teori pertukaran (exchange)
Teori pertukarandikembangkan oleh George Homan. Teori ini
berangkat dari asumsi dasar bahwa semua kontak di antara manusia
bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah
yang sama. Secara garis besar Homan menyusun lima proposisi dari
teoriini yaitu: Pertama, semakin sering individu melakukan suatu
tindakan tertentu yang dinilainya membawa keuntungan atau manfaat,
maka semakin sering individu tersebut akan melakukan tindakan yang
sama; Kedua, jika di masa lalu ada stimulus yang di mana tindakan
individu tersebut memperoleh ganjaran (positif), maka semakin besar
kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa; Ketiga, semakin
tinggi apresiasi yang diberikan atas suatu tindakan individu, maka akan
semakin sering individu melakukan tindakan tersebut; Keempat,
semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang
berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut; Kelima,
bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan
atau menerima hukuman, maka akan timbul perasaan emosi atau
kecewa dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang
menerima ganjaran yang lebih besardari apa yang dia harapkan, maka
dia akan merasa senang dan lebih besar kemungkinan dia akan terus
melakukan perilaku tersebut.

4. Teori pendukung paradigma integratif (multi paradigma)


a. Teori konstruksi sosial
Teori konstruksi sosial bermuladari analisis Peter Ludwig
Berger dan Thomas Luckman. Melalui The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Tafsir Sosial Atas
Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan) yang ditulisnya
pada tahun 1966. Peter L. Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa

16
manusia dan masyarakat merupakan produk yang dialektis (tesis Mark).
Maka keduanya bukanlah sesuatu realitas tunggalyang stagnan dan
absolut. Untuk itu, realitas memiliki dimensi subyektif dan obyektif
(tesis Schutz).13Dualisme realitas ini menunjukkan bahwa manusia
merupakan instrumen dalam menciptakan ‘realitas yang obyektif’
melalui proses eksternalisasi,sebagaimana dia mempengaruhinya
melalui proses internalisasi yang mencerminkan ‘realitas yang
subjektif’ (tesis Weber). Analisis Peter L. Berger dan Thomas Luckman
dilandasi dari berbagai penyatuanparadigma yang ada pada sosiologi.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmanbersandar pada berbagai
pemikiran para tokoh seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Schutz.
b. Teori strukturasi
Tokoh selanjutnya yang menerapkan paradigma integratif yaitu
Anthony Giddens. Karya Anthony Giddens The Constitution of
Society (1984) merupakan sumbangsih besar bagi penyelesaian
perdebatan pada kajian ilmu sosial. Awal lahirnya karya Anthony
Giddens ini dilatarbelakangi perbedaan pandangan subyek matter pada
kajian ilmu sosial. Perbedaan ini melihat bahwa struktur (makro) adalah
yang lebih berperan dibandingkan dengan individu (mikro), yang oleh
Anthony Giddens disebut agen. Anthony Giddens berusaha menjadi
penengah dengan menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah agen
ataupun struktur, melainkan interaksi keduanya. Pemikiran Anthony
Giddens ini kemudian dikenal dengan nama teori strukturasi.

17
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Paradigma sosiologi ialah cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan
bertindak. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai,
dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah
komunitas yang sama. Paradigma sosiologi adalah kerangka berpikir dalam
masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta
kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma
ini juga menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta
kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah.
Paradigma sosiologi dibagi menjadi empat kelompok besar yaitu: a)
Paradigma fakta sosial, yang memandang masyarakat sebagai kenyataan atau
fakta yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu-individu
menyukainya atau tidak menyukainya. Masyarakat dalam strukturnya (bentuk
pengorganisasian, peraturan, hirarki kekuasaan, peranan-peranan, nilai-nilai,
dan apa yang disebut sebagai pranata-pranata sosial) merupakan fakta yang
terpisah dari individu, namun mempengaruhi individu tersebut. b) Paradigma
definisi sosial, yang memandang bahwa pokok persoalan sosiologi adalah
bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana
tindakan yang penuh arti itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal.
Struktur dan institusi sosial, merupakan satu kesatuan yang membentuk
tindakan manusia yang penuh arti atau makna. c)  Paradigma perilaku sosial,
yang memandang bahwa obyek studi yang konkret-realistik itu adalah
perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Menurut
paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan
lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. d) Paradigma
integratif (multi paradigma), yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma
“jalan tengah”.

18
Teori pendukung dari masing-masing paradigma ini adalah: a)
Paradigma fakta sosial didukung oleh teori fungsionalisme struktural dan
teori konflik. b) Paradigma definisi sosial didukung oleh teori aksi, teori
interaksionisme simbolik, teori fenomenologi dan teori etnometodologi.
c) Paradigma perilaku sosial didukung oleh teori behavioral socilology dan
teori pertukaran (exchange). d)  Paradigma integratif (multi paradigma)
didukung oleh teori konstruksi sosial dan teori strukturasi.
B. Saran
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat kepada para pembaca dan
menjadi referensi, juga dapat menambah khazana keilmuwan dalam dunia
pendidikan. Adapun penulis harapkan dari pembaca memberikan kritikan dan
saran yang bersifat membangun, guna untuk perbaikan makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter Ludwig dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan


Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990.

Giddens, Anthony dan Jonathan H. Turner (ed). Social Theory Today; Panduan


Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, diterjemahkan oleh
Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

___________. Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial


Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers, 1994.

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2009.

. Teori Sosiologi Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010.

20

Anda mungkin juga menyukai