Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TIPE TIPE MASYARAKAT DALAM


SOSIOLOGI HUKUM

Dosen Pengampuh:
Dr. A. Hartawati, S.H.,M.H

Disusun Oleh:
Kelas A

Lilis lestari gusti


(01 20 013)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM PENGAYOMAN BONE
SULAWESI SELATAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai Tipe-
Tipe Masyarakat ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada bidang studi Sosiologi Hukum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. A. Hartawati, S.H.,M.H
selaku dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi Hukum yang telah memberikan
saya tugas ini, juga sebagai bahan ilmu pengetahuan saya di kemudian hari.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan senantiasa
saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Watampone, 30 November 2022


Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………..………….......................................................... ii

DAFTAR ISI…………………………………………....................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………................................................... 1

A Latar Belakang.…..………………………............................................................. 1

B Rumusan Masalah…………….….……................................................................. 2

C Tujuan.…………………….................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ………….................………………………………………….. 3

A Tipe-tipe Masyarakat………………………………………………………….. 3

1. Masyarakat litigasi dan non litigasi…………………………………………… 3

2. Masyarakat Konsensus dan Masyarakat Konflik…………………………….. 5

3. Masyarakat Didominasi Hukum dan Masyarakat Didominasi Kultur………… 7

4. Masyarakat Sederhana dan Masyarakat Kompleks……………………………. 8

BAB III PENUTUP………..…………..………………………………………………… 10

A Kesimpulan………..………..…………….………….…………………………... 10

B Saran………..…………..…………….………..………….……………………... 11

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..... 12

iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat merupakan kelompok manusia yang mempunyai kebiasaan,
tradisi, sikap dan perasaan yang sama. Oleh karena itu, wajar dan patut
bilamana Auguste Comte beranggapan bahwa masyarakat merupakan sebuah
organisme kolektif dimana masing-masing bagian saling bergantung
memberikan manfaat pada keseluruhan.
Berkenaan dengan eksistensi masyarakat sebagai kelompok manusia yang
mempunyai hasrat hidup damai, tentram dan aman. Sehingga seorang filsuf
bernama Cicero sekitar 2000 tahun yang lalu dalam sebuah adagium ubi
societas ibi ius, bermakna di mana ada masyarakat disitu ada hukum.
Masyarakat dalam keadaan bagaimanapun, mulai dari masyarakat yang
sederhana sampai kepada masyarakat paling modern pastilah mempunyai
sistem hukum yang mengatur hubungan mereka antara satu dengan yang lain.
Walaupun demikian, dalam hubungan inilah Frans E.Likaja mengungkapkan,
adagium ubi societas ibi ius pada masa sekarang sudah mengalami
perkembangan. Di tengah hutan belantara yang tidak dihuni manusia, ternyata
hukumpun ada dengan mengatur fenomena alam.
Pentingnya ada hukum bagi kehidupan masyarakat, karena unsur-unsur
pokok yang ada di dalam masyarakat itulah yang menghendakinya. Kemudian
salah satu ciri masyarakat, yakni setiap individu yang ada di dalam masyarakat
seyogyanya mempunyai perhatian terhadap individu yang lain dalam
berintegritas dan beraktivitas. Membiasakan perhatian yang dimaksud, lambat-
laun akan menjadi tradisi atau adat dan pada akhirnya akan melembaga.
Sedang kebiasaan dan adat-istiadat itu sendiri merupakan kaidah atau norma
(hukum), karena itu dipandang perlu untuk mendapatkan perhatian dalam
pergaulan hidup masyarakat.

1
Apabila pengamatan terhadap masyarakat menggunakan optik sosiologi
hukum, dengan sendirinya dapat ditemukan adanya sekelompok masyarakat
yang mudah mengadaptasi perkembangan.
Namun demikian, ada pula kelompok masyarakat yang memang tidak mau
menerima kenyataan dari suatu perkembangan (masyarakat tertutup) seperti
komunitas masyarakat adat Amma Toa di Kajang Kabupaten Bulukumba.
Sekalipun tergolong masyarakat tertutup, akan tetapi cukup patuh dan taat
terhadap norma hukum yang berlaku.
Berkenaan dengan itulah, sehingga teori-teori sosiologi hukum senantiasa
mengadakan pendekatan terhadap hubungan timbal-balik yang terjadi di
tengah-tengah komunitas masyarakat. Kemudian dari keberadaan komunitas
masyarakat tersebut, diklasifikasi atas tiga tipe masyarakat sebagaimana terurai
pada pembahasan berikut ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana tipe-tipe pembagian masyarakat dalam sosiologi hukum ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tipe-tipe Masyarakat Dalam Sosiologi Hukum
1. Masyarakat litigasi dan non litigasi
Sebelum membahas mengenai tipe ini, litigasi merupakan mekanisme
penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dengan pendekatan hukum
seperti melalui pengadilan umum, agama, militer, ataupun PTUN.
Sedangkan non litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar
pengadilan dan tidak menggunakan pendekatan hukum formal. Mekanisme
ini sering disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Alternative
Dispute Resolution adalah mekanisme penyelesaian sengketa diluar
pengadilan. Dalam konteks ini mekanisme penyelesaian sengketa dapat
berupa arbitrase, mediasi, konsilias, dan lain-lain. Jadi dapat dikatakan tipe
masyarakat litigasi dan non litigasi adalah bagaimana masyarakat itu
menyelesaikan permasalahannya.
Contohnya saja orang-orang Amerika dikelompokkan ke dalam
komunitas masyarakat litigasi dengan suatu aliran pemikiran yang disebut
realism hukum. Buktinya tercatat lebih 15 juta gugatan ke pengadialan
setiap tahunnya. Bahkan terhadap konflik yang paling remeh-pun senantiasa
mereka teriakkan See you in court. Oleh karena itu, untuk dapat dikatakan
masyarakat litigasi setidak-tidaknya mempunyai ciri-ciri tertentu antara lain:
a. Setiap penyelesaian sengketa perkara selalu melalui proses pengadilan.
b. Setiap tuntutan (hak) selalu dipaksakan.
Menurut teori ilmu hukum, kata perkara tidak identik dengan kata
sengketa. Dimana istilah perkara dalam dunia hukum mempunyai
pengertian yang lebih luas dari sengketa. Dalam istilah perkara (perkara
perdata) terkandung dua persoalan, yakni baik yang mengandung sengketa
maupun yang tidak mengandung sengketa. Atau bermakna ada perselisihan
dan tidak ada perselisihan.

3
Dengan demikian, maka apabila dikatakan ada perselisihan artinya
ada sesuatu yang menjadi pokok perselisihan, ada yang dipertengkarkan,
ada yang disengketakan. Selanjutnya dikatakan tidak ada perselisihan
artinya tidak ada yang diselisihkan, tidak ada disengketakan. Terhadap
sengketa dan perkara bagi masyarakat litigasi menghendaki penyelesaian
melalui proses pengadilan, yakni dengan memberdayakan hakim sebagai
instansi yang berwenang dan tidak memihak.
Disamping itu, masyarakat litigasi menyadari bahwa tindakan main
hakim sendiri (eigenrechting) merupakan perbuatan melanggar hukum. Lagi
pula bertentangan dengan norma hukum pasal 702 ayat (1) Rechtsreglment
Buitengewesten (RBg) di dalamnya terkandung asas hukum nemo judex
idoneus in propria causa (tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik
dalam perkaranya sendiri).
Berkenaan dengan hal tersebut, maka setiap tuntutan hak selalu bagi
komunitas masyarakat litigasi selalu dipaksakan. Pemaksaan disini adalah
pemaksaan menurut hakim, dan sama sekali tidak termasuk eigenrechting.
Dasar pemaksaan tersebut, agar putusan hakim (pengadilan) tetap
berwibawa. Hal ini penting, karena adanya pandangan yang menempatkan
hakim sebagai sekumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh
Negara melalui pengadilan dengan penekanan pada jaminan keadilan.
Di Indonesia dianut suatu asas hukum, bahwa terhadap putusan hakim
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dipaksakan
pelaksanaannya. Dan jika dipandang perlu, dapat melibatkan alat kekuasaan
(kekuatan) Negara seperti jaksa, panitera, juru sita didukung oleh kepolisan
Negara dan tentara, sebagaimana dimaksud Pasal 36 UU No.4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Lain halnya dengan komunitas masyarakat yang anti litigasi seperti
Korea dan Jepang, dengan suatu anggapan bahwa cara penyelesaian perkara
(sengketa) melalui pengadilan lebih banyak dampak negatifnya ketimbang
keuntungan yang diperoleh daripadanya. Lincoln dalam catatan kecilnya
4
yang dipublikasikan oleh Peter Lovenheim, antara lain menyatakan bahwa
Discourange litigation. Persuade your neighbors to compromise whenever
you can. Point out to them how the nominal winner is often a real-in fees,
expences, and waste of time.
Pernyataan bijak dari Lincoln yang dipublikasikan oleh Peter
Lovenheim tersebut, bersesuaian dengan pemeo orang-orang tua dahulu
bahwa menang menjafi arang-kalah menjadi abu. Oleh karena itu, Lincoln
mengharapkan semua pihak untuk memperkecil kemungkinan
pemberdayaan pengadilan dalam menyelesaikan konflik yang ada di tengah-
tengah masyarakat. Konflik tidak hanya dapat diselesaikan melalui
pemberdayaan pengadilan, akan tetapi masih ada cara lain yang lebih bijak
yakni mediasi, arbitrasi dan konsiliasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, sehingga tipe masyarakat yang
digolongkan sebagai masyarakat anti litigasi paling tidak mempunyai dua
ciri pokok yakni:
a. Setiap penyelesaian perkara senantiasa berupaya melalui negosiasi,
mediasi, arbitrase ataupun konsiliasi.
b. Penyelesaian perkara melalui pemberdayaan pengadilan, berarti lebih
memperbesar (menambah) masalah.
Adanya kecenderungan masyarakat anti litigasi untuk tidak
menggunakan bantuan lembaga peradilan dalam penyelesaian perkara,
dilator belakangi beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a. Beranggapan bahwa pada hakikatnya persengketaan itu merupakan
sesuatu yang buruk (jelek).
b. System litigasi merupakan hal yang dapat mempersulit diri sendiri.
c. Apabila menggunakan system litigasi (pengadilan), maka masalah yang
akan dihadapi tidak akan pernah ada habisnya.

2. Masyarakat Konsensus dan Masyarakat Konflik

5
Pada dasarnya tipe masyarakat konsensus mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Keharmonisan selalu terjaga.
b. Kerjasama semakin diperkuat.
c. Lebih mengutamakan perdamaian.
d. Menjaga keseimbangan bilamana terjadi perubahan.
Kemudian apabila terjadi persengketaan, maka masyarakat yang
bertipe konsensus mempunyai kecenderungan untuk menyelesaukan
persengketaan dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Bertindak sebagai suatu regulasi yang netral dan sama sekali tidak
berpihak, serta berupaya semaksimal mungkin untuk mendukung dan
mengembangkan integrasi social.
b. Senantiasa berupaya semaksimal mungkin menjaga keterpaduan sosial
dan perubahan ketertiban melalui prinsip keseimbangan dalam berbagai
konflik.
Penanganan persengketaan dengan cara-cara dan prinsip
keseimbangan bagi masyarakat yang bertipe konsensus, bersesuaian dengan
konsep pemikiran dari Theory Smart Regulation of Proportionaliti, dan
Teori Hukum Responsif dari Philippe Nonet dengan Philip Selznick.
Menurut pandangan Theory Smart Regulation of Proportionaliti yang
dicetuskan Syamsuddin Pasamai, bahwa teori ini secara tegas
mempertimbangkan secara seimbang keseluruhan kepentingan yang ada
ditengah-tengah masyarakat dengan tetap menerapkan asas desentralisasi
yang berorientasi kepada Buttom up and top down planning.
Kemudian Teori Hukum Responsif berpandangan, bahwa hukum yang
dapat menjadi fasilitator respons terhadap kebutuhan social dan aspirasi
social masyarakat yang diharapkan mampu memberikan pelayanan kepada
manusia maupun badan hukum demi tercapainya keadilan prosedural
maupun keadilan substantif.

6
Teori hukum dimaksud, cenderung mengunggulkan tipe hukum yang
otonom.
Lain halnya dengan masyarakat yang bertipe konflik mempunyai ciri-
ciri khusus, sebagai berikut:
a. Lebih bersifat individualistis.
b. Mempertahankan kehidupan berkelompok-kelompok.
c. Kepentingan cukup beraneka ragam dan saling konflik antara satu
dengan yang lainnya.
d. Sifat egoistis lebih ditonjolkan dalam mengejar tujuan masing-masing.
e. Eksistensi hukum dipandang sekedar sebagai suatu instrumen untuk
melegalisir kepentingan penguasa, ekonomi, social dan politik.

3. Masyarakat Didominasi Hukum dan Masyarakat Didominasi Kultur


Mengenai tipe masyarakat yang didominasi oleh hukum, mempunyai
ciri-ciri khusus antara lain:
a. Setiap permasalahan yang muncul di dalam masyarakat, harus
diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku.
b. Warga masyarakat selalu menuntut pelaksanaan fenomena-fenomena
social yang bersifat formil.
Masyarakat yang bertipe didominasi hukum tampak dalam aktivitas
dan interaksi sehari-hari, dimana mereka menempatkan hukum sebagai
panglima. Hukum dianggap sebagai satu-satunya instrument yang dapat dan
mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dialami masyarakat, tanpa
bantuan hukum maka penyelesaian permasalahan tidak akan tuntas dan
tidak memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum.
Sehubungan dengan prinsip-prinsip dasar masyarakat yang bertipe
didominasi oleh hukum tersebut, sehingga segala sesuatu yang dilakukan
dalam berinteraksi hendaknya sesuai dengan format-format yang formal.

7
Tidak ada rekayasa, dan tidak mengenal kebijaksanaan dari pimpinan
kelompok. Oleh karena itu, segala sesuatu yang bertalian dengan kehidupan
social kemasyarakatan telah diatur sedemikian rupa secara formal dalam
suatu regulasi yang sifatnya mengikat segenap warga masyarakat.
Berlainan dengan masyarakat yang bertipe didominasi oleh kultur,
mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut:
a. Warga masyarakat umumnya lebih mengutamakan terciptanya
keseimbangan.
b. Setiap permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat selalu
diupayakan untuk diselesaikan secara damai, dengan suatu prinsip bahwa
perdamaian di atas segala-galanya.
c. Setiap persengketaan yang berada ditengah-tengah masyarakat, tidak
perlu adanya pemilahan baik yang bersifat perdata maupun pidana.
Kemudian Alvin S. Jhonson, antara lain mengemukakan bahwa
keseimbangan merupakan satu-satunya instrument yang dapat
menyelamatkan persatuan. Dengan melalui konvigurasi keseimbangan,
maka permusuhan, ketegangan dan tabrakan serta pembatasan-pembatasan
yang ada dapat dihilangkan demi terwujudnya kebersamaan dan persatuan.
Hal ini sejalan dengan pandangan Talcott Parsons, bahwa ada
kecenderungan masyarakat selalu mempertahankan ekuiliberium atau
keseimbangan.

4. Masyarakat Sederhana dan Masyarakat Kompleks


Tipe masyarakat sederhana dan kompleks, biasanya diasumsikan
sebagai masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan
(urban community). Sekalipun pembedaan komponen kedua masyarakat
tersebut, tidak ada kaitannya dengan eksistensi tipe masyarakat sederhana
dan masyarakat kompleks (modern).
Soerjono Soekanto beranggapan, bahwa betapapun kecilnya suatu
desa pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota.
8
Sebaliknya ada masyarakat-masyarakat sederhana, pengaruh kota relatif
tidak ada. Berkenaan dengan penjelasan itu, terpenting diketahui ciri-ciri
khusus yang biasanya menyelimuti tipe masyarakat sederhana, antara lain:
a. Senantiasa lebih mengutamakan kebersamaan, disertai hubungan
kekeluargaan yang bersifat kekerabatan.
b. Solidaritas dan saling bantu-membantu pada setiap aktivitas masih
dijunjung tinggi.
c. Hukum senantiasa dijadikan sebagai tolak ukur di dalam setiap
melakukan aktivitas dan atau tindakan.
d. Mengenal prinsip penyelesaian sengketa secara preventif dan represif.
e. Hubungan dan interaksi social yang dibangun bersifat homogen di antara
sesame anggota masyarakat.
Lain halnya dengan masyarakat yang bertipe kompleks, mempunyai
ciri-ciri tertentu sebagai berikut:
a. Hubungan dan interaksi social yang dibangun di antara sesame anggota
masyarakat masih bersifat heterogen.
b. Sudah mengenal penyelesaian sengketa melalui cara-cara institutive,
seperti pemberian konpensasi sebagai pengganti daripada pengenaan
sanksi atau hukuman.
c. Lebih mengutamakan upaya perbaikan dan pembinaan bilamana terjadii
suatu pelanggaran.

9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan dengan pendekatan hukum seperti melalui pengadilan umum,
agama, militer, ataupun PTUN. Sedangkan non litigasi merupakan
mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak
menggunakan pendekatan hukum formal. Mekanisme ini sering disebut
Alternative Dispute Resolution (ADR). Alternative Dispute Resolution
adalah mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Dalam konteks
ini mekanisme penyelesaian sengketa dapat berupa arbitrase, mediasi,
konsilias, dan lain-lain. Jadi dapat dikatakan tipe masyarakat litigasi dan
non litigasi adalah bagaimana masyarakat itu menyelesaikan
permasalahannya.
Penanganan persengketaan dengan cara-cara dan prinsip
keseimbangan bagi masyarakat yang bertipe konsensus, bersesuaian dengan
konsep pemikiran dari Theory Smart Regulation of Proportionaliti, dan
Teori Hukum Responsif dari Philippe Nonet dengan Philip Selznick.
Menurut pandangan Theory Smart Regulation of Proportionaliti yang
dicetuskan Syamsuddin Pasamai, bahwa teori ini secara tegas
mempertimbangkan secara seimbang keseluruhan kepentingan yang ada
ditengah-tengah masyarakat dengan tetap menerapkan asas desentralisasi
yang berorientasi kepada Buttom up and top down planning.
Masyarakat yang bertipe didominasi hukum tampak dalam aktivitas
dan interaksi sehari-hari, dimana mereka menempatkan hukum sebagai
panglima. Hukum dianggap sebagai satu-satunya instrument yang dapat dan
mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dialami masyarakat, tanpa
bantuan hukum maka penyelesaian permasalahan tidak akan tuntas dan
tidak memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum.

10
Berlainan dengan masyarakat yang bertipe didominasi oleh kultur,
mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut:
a. Warga masyarakat umumnya lebih mengutamakan terciptanya
keseimbangan.
b. Setiap permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat selalu
diupayakan untuk diselesaikan secara damai, dengan suatu prinsip bahwa
perdamaian di atas segala-galanya.
c. Setiap persengketaan yang berada ditengah-tengah masyarakat, tidak
perlu adanya pemilahan baik yang bersifat perdata maupun pidana.
Tipe masyarakat sederhana dan kompleks, biasanya diasumsikan
sebagai masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan
(urban community). Sekalipun pembedaan komponen kedua masyarakat
tersebut, tidak ada kaitannya dengan eksistensi tipe masyarakat sederhana
dan masyarakat kompleks (modern).
B. SARAN
Demikian makalah yang dapat saya selesaikan. Namun, dalam
penyusunan makalah ini, saya sadari terdapat banyak kekurangan. Karena
sayapun masih dalam tahap belajar. Maka dari itu kritik dan saran yang
konstruktif saya butuhkan dari para pembaca dan pembimbing agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi.

11
DAFTAR PUSTAKA
Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, A Sociology of Woman, penerjemah;
Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana, 2002, Rineka Cipta, Jakarta, hal.3.

Kaimuddin Salle, Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang, Sebuah Kajian


Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang
Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba; Disertasi. Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, Makassar, 1999, hal.117.

Ahmad Ali, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, STIH-


IBLAM, Jakarta, 2004, hal. 18 dan 41.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,


1992, hal. 26, 28 dan 42.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung,


1996, hal. 18-20.
Achmad Ali, Op cit, hal. 17
Syamsuddin Pasamai, Op cit, hal. 32.

Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsip Pilihan Dimasa Transisi;
Penerjemah Rafael Edy Bosco, Huma Ford Foundation, Jakarta, 2003, hal.
59-92.

Alvin S. Jhonson, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 198.

J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan,


Kencana, Jakarta, 2005, hal. 126.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1986, hal. 134.

12

Anda mungkin juga menyukai