Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PARADIGMA PENELITIAN POSITIVISTIK, POST-POSITIVISTIK


DAN CAMPURAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan


Dosen Pengampu:
Dr. Herwin S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:
Safril Haskin 22112251105
Nurhayati 23011040023
Yesi Martha Afrillia 23011040025
Agus Herwanto 23011040039
Ulil Amri Mufangati 23011040064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atar berkat dan rahmat-
Nya tugas makalah Metodologi Penelitian Pendidikan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Secara umum makalah ini menjelaskan tentang Paradigma Penelitian Positivistik,


Post-Positivistik Dan Campuran. Selain sebagai pemenuhan tugas mata kuliah, kami berharap
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca khususnya bagi guru Sekolah
Dasar dalam memahami Paradigma Penelitian Positivistik, Post-Positivistik

Dan Campuran.
Kami menyadari bahwa proses penyusunan makalah ini memungkinkan adanya
kekurangan maupun kesalahan baik dalam hal teknis penulisan, tata bahasa maupun isinya.
Oleh karena itu guna penyempurnaan makalah ini penulis sangat mengharapkan saran,
masukan maupun kritikan yang membangun dari pembaca makalah ini.

Demikianlah makalah ini disusun. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, Agustus 2023

i
DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar .............................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................................ ii
BAB 1 Pendahuluan ………………………………………….................................... 1
BAB 2 Paradigma Positivistik, Post- Positivistik dan Campuran............................... 2
2.1 Paradigma Positivistik…………………………........................................ 2
2.2 Paradigma Post – Positivistik…………………………………………..... 5
2.2 Campuran………………………………………….................................... 11
BAB 3 Kesimpulan ....................................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan………………………………….............................................. 16
3.2 Saran............................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, di mana masyarakat dianggap telah
memasuki tahap berpikir rasional. Pada masa itulah dibangun metodologi yang
menjamin kebenaran temuan-temuan pengetahuan manusia (Irwansyah, 2021). Dalam
antroposentrisme, manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan
pengetahuan, sehingga terjadi diferensiasi (pemisahan) dengan wahyu Tuhan.
Kebenaran ilmu tidak terletak di luarnya yaitu kitab suci, tetapi terletak dalam ilmu itu
sendiri yaitu korespondensi (kecocokan ilmu dengan objek) dan koherensi
(keterpaduan) di dalam ilmu, antara bagian-bagian keilmuan dengan seluruh bangunan
ilmu. Ilmu pengetahuan rasional yang menjadi pilar utama peradaban modern
(Muthahhari, 2015).
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang
filsuf sosial berkebangsaan Perancis, dalam karya utamanya yang berjudul Course de
Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan
dalam enam jilid (Achmadi, 1997). Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte
bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang
terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis,
menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan
ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan
fungsi yang mengatur alam ini.
Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut
telah digantikan oleh konsep- konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada
fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman
metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya
pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang
tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan
kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan
tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap
fenomena-fenomena (Muslih 2016). Paradigma ilmu yang telah dikembangkan oleh
para filusuf pada zamannya, telah mengalami perkembangan menyesuaikan dengan
proses penemuan ilmu pengetahuan dengan berbagai metode yang dikembangkan.

iii
Paradigma Positivisme, Post Positivisme, dan Campuran merupakan paradigma
keilmuan yang menjadi acuan utama para peneliti dan terus berkembang khusunya di
bidang ilmu sosial.
B. Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan paradigma penelitian?
2. Apa yang dimaksud dengan paradigma positivistik, post-positivistik, dan
campuran?
C. Tujuan Penulisan.
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan Paradigma Penelitian
2. Mendeskripsikan paradigma positivistik, post-positivistik, dan campuran?
D. Manfaat Penulisan.
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik. Secara teoritis, makalah ini
dapat menjadi khazanah ilmu dan referensi dalam mempelajari sub bahasan paradigma
penelitian positivistik, post-positivistik Dan campuran Mata Kuliah Metodologi
Penelitian Pendidikan. Secara praktis, makalah ini dapat dijadikan bahan mahasiswa
dalam mendukung proses penelitian tugas akhir studinya

iv
BAB II
PARADIGMA PENELITIAN POSITIVISTIK, POST-POSITIVISTIK
DAN CAMPURAN

2.1 Paradigma Penelitian Positivistik


A. Paradigma
Paradigma menurut Thomas S. Kuhn adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis
yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode,
serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta
karakter ilmu pengetahuan itu sendiri (Surajiyo, 2010).
Thomas S. Khun berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat
revolusioner, bukan kumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu
pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh
prestasi atau praktik ilmiah konkret. Menurut Kuhn cara kerja paradigma dan terjadinya
revolusi ilmiah dapat digambarkan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut.
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam
masa ilmu normal (normal science). Disini para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan
mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan
mendalam. Dalam tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang
membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah para ilmuwan
menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang
dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya, ini dinamakan anomali.
Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara
kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para
ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan
mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang sama
dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa
memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari
paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah (Rizal Muntasyir,
et al, 2001)

5
PARADIGMA
Dalam Masa Normal Science

ANOMALI

PARADIGMA BARU
Revolusi Ilmiah

Istilah ilmiah paradigma berkembang dalam berbagai bidang kehidupan manusia serta
ilmu pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang lainnnya.
Dalam masalah yang popular istilah paradigma berkembang menjadi terminologi yang
mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas
serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang
tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi maupun dalam pendidikan (Kaelan,
2000).
B. Filsafat Positivisme
Positivisme dibangun oleh August Comte (1798-1857 M) yang titik tolak ajaran-nya
adalah tanggapannya atas perkembangan pengetahuan manusia baik perseorangan maupun
umat manusia secara keseluruhan melalui tiga zaman atau tiga stadia. Menurutnya,
perkembangan menurut tiga zaman ini merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut
adalah zaman teologis metafisis dan zaman ilmiah atau positif (Salahuddin, 2011).
Menurut positivisme pendidikan bertujuan agar masyarakat menyadari bahwa
kebenaran harus ditandai oleh sesuatu yang empiris realistis dan indriawi. Jika pendidikan
hanya mengandalkan idealisme hal tersebut sama dengan menghasilkan khayalan belaka
(Salahuddin, 2011).
Menurut August Comte Indra sangat penting dalam memperoleh pengetahuan tetapi
harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen melalui eksperimen ini,
kekeliruan indra dapat dikoreksi. Dalam eksperimen diperlukan ukuran-ukuran yang jelas
(Salahuddin, 2011).
Aliran positivisme ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara
aliran empiris dan aliran rasonalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan
aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan
ukuran-ukuran (Susanto, 2011).
Positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya
menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang sama dengan kata lain ia
menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya

6
eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya, positivisme sama dengan empirisme
plus rasionalisme. Atas dasar itulah pendidikan yang baik dan benar adalah pendidikan yang
mengajarkan mengajarkan kebenaran rasional dan empiris (Salahuddin, 2011).
Paradigma positivisme sangat digandrungi di dunia Barat. Oleh karena itu, menurut
paradigma barat kebenaran merupakan hal yang bersifat empiris indrawi dan konsistensi.
Kebenaran tidak akan ditemukan dalam agama atau berbagai pendekatan teologis karena
masa teologis merupakan masa kebodohan yang akan membuat masyarakat selamanya. Oleh
sebab itu dalam pandangan Barat, pendidikan yang diberikan kepada masyarakat harus
merupakan pendidikan yang berujung pada penemuan kebenaran posisi positivistik dan
bermanfaat bagi manusia (Salahuddin, 2011).

C. Paradigma Penelitian Positivistik


Dalam penelitian kuantitatif/positivistik, yang dilandasi pada satu asumsi bahwa suatu
gejala itu dapat diklasifikasikan, dan hubungan gejala bersifat kausal (sebab akibat), maka
peneliti dapat melakukan penelitian dengan memfokuskan kepada beberapa variabel saja.
Pola hubungan antara variabel yang akan diteliti tersebut selanjutnya disebut sebagai
paradigma penelitian.
Jadi paradigma penelitian dalam hal ini diartikan sebagai pola pikir yang
menunjukkan hubungan antara variabel yang akan diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis
dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan
untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis, dan teknik analisis statistik yang
akan digunakan.
Ajaran positivisme memandang bahwa realitas atau fenomena yang diteliti itu dapat
diamati, diukur dapat diklasifikasikan yang mana bersifat klausal, bebas nilai dan relative
tetap. Sehingga penelitian yang memiliki paradigma kuantitatif hanya dapat diguakan untuk
meneliti suatu gejala yang dapat diamati oleh pancaindera manusia saja, sehingga belum
dapat meneliti gejala yang bersifat perasaan. Penelitian kuantitatif biasanya dilakukan dengan
cara pengukuran, sehingga penelitian kuantitatif menggunakan instrumen penelitian dalam
pengumpulan datanya. Penelitian kuantitatif biasanya bersifat angka dan dilakukan dengan
adanya variabel pada populasi atau sampel tertentu yang representative. Penelitian ini bersifat
deduktif, yang mampu menjawab rumusan masalah yang digunakan konsep atau teori
sehingga dapat dirumuskan sebuah hipotesis.
Maka dapat dikatakan metode kuantitatif adalah sebuah metode penelitian yang
berdasarkan pada filsafati positivisme, digunakan untuk meneliti pada sebauh populasi atau

7
sample tertentu, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menggambarkan dan menguji hipotesis yang
telah ditetapkan. (Sugiyono, 2017).
2.2 PENDEKATAN POST POSITIVISTIK
A. Pendekatan Post-Positivisme
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an.
Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn,
para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang
positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia
dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan
yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki
kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat
critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan
kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh
peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan
realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas
seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.
Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena
observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari
positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu:
1. Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,
2. Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang
berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
3. Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan
memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
B. Paradigma Post-Positivisme

8
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang
penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan
menguji konsistensi dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai
seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik
tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic
belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of method
but in ontologically and epistomologically fundamental ways.” Pengertian tersebut
mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang
dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-
cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis. Sedangkan Guba
(1990:18) menyatakan suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga
pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi.
Selanjutnya dijelaskan:
a. Ontological: What is the nature of the “knowable?” or what is the nature of reality?
Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui? Atau apakah hakikat
dari realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan
tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi mempertanyakan
hakikat suatu fenomena.
b. Epistomological: What is the nature of the relationship between the knower (the
inquirer) and the known (or knowable)? Epistomologi: Apakah hakikat hubungan
antara yang ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat diketahui? Secara
lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti
ingin mengetahui realitas, atau lebih konkret lagi epistomologi mempertanyakan
mengapa suatu fenomena terjadi atau dapat terjadi?
c. Methodological: How should the inquirer go about finding out knowledge?
Metodologi: Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih
sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara peneliti
menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi mempertanyakan
cara atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti untuk menemukan
pengetahuan?
Sedang Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan ontologi, epistomologi, dan
metodologi sebagai berikut:

9
a. The ontological question: What is the form and nature of reality and, therefore,
what is there that can be known about it? Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk dan
hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat diketahui tentangnya?”
b. The epistomological question: What is the nature of the relationship between the
knower or would be-knower and what can be known? Pertanyaan epistomologi:
“Apakah hakikat hubungan antara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dan apa
yang dapat diketahui.”
c. The methodological question: How can the inquirer (would-be knower) go about
finding out whatever he or she believes can be known. Pertanyaan metodologi:
“Bagaimana cara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dapat menemukan
sesuatu yang diyakini dapat diketahui.”
Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan bahwa pandangan Guba
dan pandangan Denzin & Lincoln tentang ontologi, epistomologi serta metodologi
pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu pandangan Guba (1990) dan
Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma adalah sistem keyakinan dasar
yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi, dan metodologi atau dengan kata
lain paradigma adalah sistem keyakinan dasar sebagai landasan untuk mencari
jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti
dan realitas, dan bagaimana cara peneliti mengetahui realitas.
1. Asumsi Dasar Post Positivisme
a. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
b. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan
fakta anomali.
c. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
d. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase
objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan
persoalan dan senantiasa berubah.
e. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
f. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya
bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
g. Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.

10
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada
Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas
itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme
berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila
peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan
realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu
perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada peneliti
Postpositivisme adalah sebagai berikut:
Asumsi ontologi: “Critical realist – reality exist but can never be fully
apprehended. It is driven by natural laws that can be only incompletely understood.”
Yang artinya “Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah
dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak
dipahami secara sempurna.
Asumsi epistomologi: “Modified objectivist – objectivity remains a regulatory
ideal, but it can only be approximated with special emphasis placed on external
guardians such as the critical tradition and critical community.”yang
artinya“Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan
(regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan
penekanan khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.
Asumsi metodologi: “Modified experimental/manipulative – emphasize critical
multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more natural settings, using more
qualitative methods, depending more on grounded theory, and reintroducing discovery
into the inqury process.” Yang artinya “Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi,
maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan
dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak
menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded
(grounded-theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses
penelitian.”
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar
berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma
ilmu pengetahuan;

11
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-
paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang
posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga
dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru
dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme.
Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai
macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas
apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang
sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal
aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas
dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran
positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut
realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah
kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka
sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman
sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma
hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme
mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme
menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal
yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada
sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria
objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan
indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip
ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa
objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

C. Konsep-Konsep Dan Gagasan Utama Yang Terkait Dengan Post-Positivistik


Post-Positivistik adalah pandangan filosofis dan teoritis yang muncul sebagai
respons dan kritik terhadap gagasan positivisme dalam ilmu sosial dan bidang

12
pengetahuan lainnya. Positivisme adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan
penggunaan metode ilmiah untuk mengumpulkan dan menganalisis data empiris guna
mengungkap kebenaran obyektif tentang dunia. Post-Positivistik, sebaliknya,
menantang gagasan tentang objektivitas mutlak dan ide bahwa penyelidikan ilmiah
dapat memberikan pemahaman yang sepenuhnya netral terhadap realitas.
Konsep-konsep dan gagasan utama yang terkait dengan Post-Positivistik meliputi:
Relativisme Epistemologis: Post-Positivistik berpendapat bahwa pemahaman kita
tentang realitas selalu dimediasi oleh pengalaman subjektif, konteks sosial, dan latar
belakang budaya kita. Ini menunjukkan bahwa bisa ada beberapa interpretasi yang
valid terhadap fenomena yang sama, dan tidak ada satu "kebenaran objektif" tunggal.
a. Sifat Interpretatif Pengetahuan: Post-Positivistik menyoroti peran interpretasi dan
pembentukan makna dalam konstruksi pengetahuan. Ia mengakui bahwa para
peneliti dan pengamat dengan tak terhindarkan membawa bias dan asumsi mereka
sendiri ke dalam proses penelitian, memengaruhi bagaimana data dikumpulkan,
dianalisis, dan diinterpretasikan.
b. Kritik terhadap Objektivitas: Post-Positivistik mengkritik gagasan bahwa para
peneliti dapat mencapai objektivitas yang lengkap dalam penyelidikan mereka.
Mereka percaya bahwa bahkan tindakan memilih pertanyaan penelitian,
metodologi, dan variabel dipengaruhi oleh penilaian subjektif.
c. Pemahaman Kontekstual: Post-Positivistik menekankan pentingnya memahami
fenomena dalam konteks sejarah, budaya, dan sosialnya yang spesifik. Ini berbeda
dari positivisme yang cenderung menggeneralisasi temuan di berbagai konteks.
d. Metode Penelitian Kualitatif: Post-Positivistik sering mendorong penggunaan
metode penelitian kualitatif, seperti observasi partisipatif, wawancara, dan studi
kasus. Metode-metode ini memungkinkan para peneliti untuk menjelajahi
fenomena sosial yang kompleks secara mendalam dan menangkap kekayaan
pengalaman individu.
e. Teori Kritis: Banyak sarjana post-positivistik mengambil inspirasi dari teori kritis,
yang berfokus pada menganalisis struktur kekuasaan, ketidaksetaraan sosial, dan
pengaruh ideologis terhadap produksi pengetahuan.
f. Realitas Subjektif: Post-Positivistik mengakui bahwa pengalaman dan persepsi
subjektif individu memainkan peran yang signifikan dalam membentuk
pemahaman mereka tentang realitas.

13
Penting untuk dicatat bahwa Post-Positivistik tidak menolak riset empiris
atau metode ilmiah secara keseluruhan. Sebaliknya, ia mendorong pendekatan riset
yang lebih sadar dan reflektif, mengakui keterbatasan dan bias yang melekat dalam
proses penelitian. Post-Positivistik telah memiliki dampak signifikan dalam
bidang-bidang seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, dan pendidikan, di mana
para peneliti mengakui kompleksitas perilaku manusia dan masyarakat yang
mungkin tidak sepenuhnya tercakup oleh pendekatan yang sepenuhnya objektif.
2.3 Paradigma Penelitian Campuran.
1. Definisi Paradigma Penelitian Campuran
Paradigma penelitian campuran merupakan pendekatan penelitian yang
menggabungkan elemen-elemen kuantitatif (positivisme) dan kualitatif (post-
positivisme) dalam satu penelitian. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam, holistik, dan lengkap terhadap suatu fenomena.
Johnson dan Cristensen (2007) memberikan definisi tentang metode penelitian
campuran (mixed research) sebagai berikut. “Research that involve the mixing of
quantitative and qualitative approach”. Penelitan yang menggabungkan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif.
Selanjutnya Creswell (2009) memberikan definisi tentang mixed methods
research adalah : “ is an approach to inquiri that combines or associated both
qualitative quintative forms of research. It involves philosophical assumptions the use
of quantitative and qualitative approaches, and the mixing of both approached in a
study”. Metode penelitian campuran merupakan pendekatan dalam penelitian yang
mengkombinasikan atau menghubungkan antara metode penelitian kuantitatif dan
kualitatif.
Karakteristik Penelitian Campuran
 Integrasi Metode: Paradigma ini menggabungkan metode kualitatif dan
kuantitatif dalam satu penelitian.
 Kompleksitas Fenomena: paradigma campuran digunakan saat fenomena
yang diteliti memerlukan pemahaman yang lebih mendalam dari berbagai
sudut pandang.
 Validasi Silang: Penggunaan metode ganda dapat menghasilkan validasi
silang yang memperkuat hasil penelitian.

14
 Penelitian Konvergen: Hasil-hasil dari metode kualitatif dan kuantitatif bisa
mengarah pada temuan yang konvergen atau bertentangan, membantu
memahami fenomena dengan lebih baik.
2. Bentuk-bentuk Penelitian Campuran.
Menurut yusuf (2014), penelitian campuran atau gabungan dapat dibedakan
menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Kongruen gabungan
Penelitian campuran dalam bentuk kongkruen, dimana peneliti secara
serempak menggunakan penelitian kuantitatif dan kualitatif terhadap masalah
yang diteliti. Bobot masing-masing peneeitian digunakan secara seimbang dan
terintegrasi. Peneliti sejak awal telah Menyusun desain penelitian dengan
rancangan terpadu.
b. Sekuensial gabungan
Penelitian campuran dalam bentuk sekuensial, di mana peneliti menggunakan
kedua penelitian secara berurutan. Pada tahap pertama peneliti dapat
menggunakan penelitian kuantitatif, kemudian dilanjutkan dengan penelitian
kualitatif. Sebaliknya dapat juga dilakukan, peneliti mulai dengan penelitian
kualitatif dan kemudian pada tahap berikutnya dilanjutkan dengan penelitian
kuantitatif.
3. Manfaat Paradigma Penelitian Campuran
a. Kemampuan mendalam dan luas: Integrasi antara data kualitatif dan
kuantitatif memungkinkan peneliti untuk menggali makna dan konteks secara
mendalam sambil tetap memperoleh gambaran luas tentang fenomena.
b. Validitas silang: Temuan dari kedua pendekatan dapat saling memvalidasi dan
memperkuat satu sama lain, meningkatkan validitas penelitian secara
keseluruhan.
c. Pemahaman yang lebih lengkap: Paradigma campuran memungkinkan peneliti
untuk menangkap aspek-aspek kompleks dari fenomena yang tidak dapat
dijelaskan hanya dengan satu pendekatan.
d. Dukungan untuk generalisasi: Hasil kuantitatif dapat digunakan untuk
membuat generalisasi yang lebih kuat, sementara temuan kualitatif membantu
menjelaskan konteks di balik generalisasi tersebut.
4. Kelemahan dan hambatan dalam menggunakan paradigma campuran

15
Menurut yusuf (2014), kelemahan dan hambatan dalam melaksanakan
penelitian gabungan adalah sebagai berikut:
a. Biaya
Penelitian menggunakan paradigma campuran membutuhkan sumber biaya
yang lebih besar kalau dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu
pendekatan.
b. Keterampilan peneliti
Penggunaan paradigma campuran membutuhkan keterampilan yang lebih luas
dan kompleks. Peneliti gabungan atau campuran harus mampu dan menguasai
keterampilan melaksanakan penelitian kualitatif, di samping ia juga menguasai
dan mampu melaksanakan penelitian kuantitatif dengan baik. Apabila ia hanya
menggunakan salah satu penelitian dengan baik, maka ia akan mengalami
kesukaran dalam melaksanakan penelitian campuran.
c. Waktu dan sumber daya
Dibutuhkan waktu dan sumberdaya yang lebih besar untuk mengumpulkan
dan menganalisis data dari dua jenis pendekatan.
5. Langkah-Langkah Implementasi Paradigma Penelitian Campuran
a. Perencanaan
Tentukan tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, serta strategi pengumpulan
dan analisis data untuk kedua jenis data.
b. Pengumpulan Data
Kumpulkan data kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan rencana penelitian
yang telah dibuat.
c. Analisis Data
Analisis data kualitatif dan kuantitatif dilakukan terpisah sesuai dengan
metode yang sesuai untuk masing-masing jenis data.
d. Integrasi
Integrasi dapat dilakukan dengan menggabungkan temuan, membandingkan
hasil, atau mengidentifikasi pola dan hubungan antara hasil kualitatif dan
kuantitatif.
e. Interpretasi dan Kesimpulan
Interpretasikan hasil integrasi untuk menggambarkan makna keseluruhan
fenomena yang diteliti. Langkah terakhir membuat kesimpulan yang
menggabungkan temuan dari kedua pendekatan

16
6. Contoh Studi Kasus: Penelitian Campuran di Bidang Penelitian.
Penelitian campuran di bidang pendidikan bisa berfokus pada penelitian yang
menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk memahami fenomena
yang kompleks dalam konteks pendidikan.
Berikut adalah contoh studi kasus penelitian campuran di bidang Pendidikan.
Judul Penelitian: "Dampak Penggunaan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika:
Pendekatan Campuran untuk Menganalisis Efektivitas dan
Pengalaman Siswa”
Pendahuluan:
Teknologi telah menjadi bagian integral dari lingkungan belajar saat ini. Namun,
masih ada pertanyaan mengenai efektivitas teknologi dalam meningkatkan hasil
belajar dan pengalaman siswa dalam mata pelajaran kritis seperti matematika. Studi
ini bertujuan untuk menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk
menganalisis dampak penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika di
sekolah menengah.
Metode:

1) Pendekatan Kuantitatif: Penelitian dimulai dengan survei kuantitatif terhadap


sejumlah besar siswa dari berbagai sekolah menengah. Survei ini akan
mengukur tingkat pemahaman matematika siswa, tingkat keterlibatan dalam
pembelajaran dengan teknologi, dan hasil tes matematika. Analisis statistik
akan digunakan untuk mengidentifikasi korelasi antara penggunaan teknologi
dan peningkatan hasil belajar matematika.
2) Pendekatan Kualitatif: Selanjutnya, beberapa kelas akan dipilih untuk studi
kasus lebih mendalam. Observasi partisipatif akan dilakukan untuk mengamati
bagaimana teknologi diintegrasikan dalam pembelajaran sehari-hari.
Wawancara dengan guru dan siswa akan dilakukan untuk memahami persepsi
mereka tentang manfaat dan tantangan penggunaan teknologi dalam
pembelajaran matematika.
3) Analisis Gabungan: Data dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif akan
digabungkan untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang
dampak penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika. Temuan dari
analisis kuantitatif akan diilustrasikan dan diperdalam dengan wawancara dan
kutipan dari studi kualitatif.

17
Hasil dan Diskusi:
Studi ini diharapkan menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam tentang
efektivitas penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Melalui pendekatan campuran,
studi ini akan mengidentifikasi korelasi antara penggunaan teknologi dan peningkatan
hasil belajar matematika secara kuantitatif, sambil juga merinci pengalaman siswa dan
guru dalam menghadapi tantangan dan peluang yang ditawarkan oleh teknologi dalam
pembelajaran matematika.
Kesimpulan.
Studi campuran ini memberikan wawasan holistik tentang dampak penggunaan
teknologi dalam pembelajaran matematika. Hasilnya akan memberikan panduan
berharga bagi pembuat kebijakan pendidikan, guru, dan pengambil keputusan di
bidang pendidikan tentang bagaimana mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk
meningkatkan hasil belajar dan pengalaman siswa dalam mata pelajaran matematika.
Paradigma penelitian campuran merupakan pendekatan yang kuat untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih kaya dan komprehensif tentang fenomena
penelitian. Dengan mengintegrasikan data kualitatif dan kuantitatif, peneliti dapat
memperoleh wawasan yang lebih mendalam, memvalidasi temuan, dan menghasilkan
pemahaman yang lebih komprehensif. Meskipun tantangan seperti kompleksitas dan
kebutuhan sumberdaya lebih besar mungkin ada, manfaat yang diperoleh dari
paradigma penelitian campuran membuatnya menjadi pilihan yang menarik dalam
dunia penelitian modern.

18
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.
Berdasarkan makalah yang telah dipaparkan oleh penulis maka kesimpulan dari
makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-
satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman
aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan
teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi
metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian di atas dan sebagai
pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno. Terminologi positivisme
dicetuskan pada pertengahan abad ke-19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi
yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa dalam alam pikiran manusia
melewati tiga tahapan historis yaitu teologi, metadisik, dan ilmiah.
2. Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan
memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai
proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai
macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai
cara.
3. Pendekatan Campuran adalah bentuk Hasil-hasil dari metode kualitatif dan
kuantitatif bisa mengarah pada temuan yang konvergen atau bertentangan,
membantu memahami lebih dalam, lebih rinci dan mengoptimalkan wawasan
yang lebih komprehensif menjadi fenomena atau pengetahuan dengan lebih
baik.
B. Saran.
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber
aliran filsafat modern yang biasa memberikan kekuasaan bagi adanya bahan-
bahan yang bersifat pengalaman, jadikanlah makalah ini sebagai pedoman yang
bersifat untuk menambah wawasan pengetahuan, jadikan acuan pemahaman yang
lebih dalam sebagai wadah untuk menampung ilmu

19
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Drs. Asmoro.1997. Filsafat Umum. Ed. 1, cet. Ke-2. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Ali Abdul Azhim. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu. Bandung: Rosda Offset.

Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.

Burhanuddin Salam. 1988. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bina Aksara.

Irwansyah, R. (2021). Perkembangan Peserta Didik. Bandung : Widina Bhakti Persada.

Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Koento Wibisono Siswomihardjo. 1996. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivistime


Auguste Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mohammad Adib. 2011. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muslih. (2016). Filsafat Ilmu, Kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori ilmu
pengetahuan. Yogyakarta: LESFI.

Muthahhari. (2015). Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik


Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan
Dunia. Jakarta: Shadra Press.

Rizal Muntasyir, et al. 2001. Filsafat Ilmu. Pamekasan: Pustaka Pelajar.

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta:
Bumi Aksara.

Susanto. 2011. Filsafat Imu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Salahuddin, A. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Yusuf, Muri. 2014. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.
Jakarta: Kencana.

20

Anda mungkin juga menyukai