Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ARAH KECENDERUNGAN DAN ISU DALAM

PENDIDIKAN MATEMATIKA

PARADIGMA

Disusun Oleh:
Kelompok 2

Dhara Chiltya Simamora (8216171016)


Riki Prasojo (8216171018)

Dosen Pembimbing:
Mangaratua M. Simanjorang, S. Pd, M. Pd

JURUSAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
T. A 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan sungguh-sungguh dan demi memenuhi tugas Arah
Kecenderungan Dan Isu Dalam Pendidikan Matematika yang berjudul “Paradigma”. Makalah
ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang diperoleh dari buku yang berhubungan
dengan judul makalah. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
mata kuliah, atas bimbingan dan arahannya dalam penulisan makalah ini. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang.

Medan, 1 September 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
2.1. Paradigma Interpretivisme........................................................................... 3
2.2. Paradigma Teori Kritis .............................................................................. 7
2.3. Paradigma Pragmatisme ............................................................................. 10
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam pengembangan dari suatu ilmu pengetahuan maka peneliti dapat memilih untuk
melakukan berbagai proses penelitian. Penelitian menurut Kerlinger (dalam Sukardi, 2008)
merupakan suatu proses penemuan dengan beberapa ciri yaitu sistematik, terkendali, empiris
serta berbasis pada teori maupun hipotesis (jawaban sementara). Penelitian ini berbeda
dengan kegiatan profesionalitas lain seperti hasil tulisan wartawan dimana mereka
melaporkan berita berdasarkan fakta. Namun tulisan tersebut tidak dianggap sebagai
penelitian dikarenakan terdapat beberapa karakteristik penelitian yang tidak dilakukan oleh
mereka, seperti pada penelitian kualitatif tidak memiliki dasar pada teori yang relevan,
terkendali dan dilakukan dengan cara intensif. Saat melakukan penelitian maka seorang
peneliti mendasarkan dirinya pada paradigma-paradigma tertentu.
Menurut Kamayanti (2016) Paradigma adalah cara kita memandang dunia, realitas atau
ilmu pengetahuan melalui prinsip-prinsip dasar Tuhan, manusia, alam realitas, dan bahkan
alam semesta. Paradigma menurut Burrell dan Morgan (1979) adalah: “[paradigm] is a term
which intended to emphasise the commonality of perspective which binds the work of a group
of theorists together...it allows...that within any given paradigm there will be much
debate...This paradigm does, however, have an underlying unity terms of its basic and often
“taken for granted assumptions.’which separate a group of theorists in a very fundamental
way from theorists located in other paradigms”.
Oleh karena itu terdapat beberapa cara pandang atau paradigma dalam dunia ini.
Beberapa peneliti sudah membuat beberapa klasifikasi dari paradigma tersebut, dimana antar
paradigma memiliki ke khasan masing-masing. Paradigma penelitian merupakan kerangka
berpikir yang digunakan oleh peneliti dalam memandang realita suatu permasalahan dan teori
atau ilmu pengetahuan. Guba dan Lincoln (1988) mendefinisikan paradigma penelitian
sebagai cara peneliti memahami permasalahan tertentu dengan kriteria untuk menguji guna
ditemukannya penyelesaian masalah. Secara umum, ada 2 kelompok paradigma penelitian
yang kerap digunakan oleh peneliti. Paradigma yang paling banyak digunakan oleh peneliti
adalah kuantitatif dan kualitatif. Kedua paradigma ini memiliki kriteria dan metode tersendiri.
Baik paradigma penelitian kuantitatif maupun kualitatif, keduanya memiliki karakteristik dan
kelebihan serta kekurangan masing-masing. Selain kedua paradigma tersebut, ada pula
beberapa paradigma penelitian lainnya yang mendasari. Beberapa paradigma tersebut antara
1
lain paradigma Positivisme, paradigma Konstruktivisme, paradigma Pragmatisme, paradigma
Subjektivisme, dan paradigma Kritis. Pada makalah ini penulis akan membahas lebih dalam
mengenai paradigma interpretivisme, kritis dan pragmatisme.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari paradigma interpretivisme?
2. Apa pengertian dari paradigma kritis?
3. Apa pengertian dari paradigma pragmatisme?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang paradigm interpretivisme
2. Untuk mengetahui tentang paradigma kritis
3. Untuk mengetahui tentang paradigma pragmatisme

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Paradigma
Secara etimologis, istilah paradigma pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu
dari kata “para” yang artinya di sebelah atau pun di samping, dan kata “diegma” yang artinya
teladan, ideal, model, atau pun arketif. Sedangkan secara terminologis, istilah paradigma
diartikan sebagai sebuah pandangan atau pun cara pandang yang digunakan untuk menilai
dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran atau pun perspektif umum berupa
cara-cara untuk menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat
kompleks.
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dan kemudian
dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara
mengetahui realitas social yang dikonnstruksi oleh mode of thought (cara berfikir) atau mode
of inquiry (cara bertanya) tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing (ragam
pengetahuan) yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu
pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan
yang semestinya dipelajari.
Harmon (dalam Moleong, 2004) menyatakan bahwa paradigma adalah cara mendasar
untuk memahami, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu yang
khusus tentang realitas. Menurut Bogdan (dalam Mackenzie & Knipe, 2006), paradigma
adalah kumpulan longgar sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi logis terkait, yang
mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Sedangkan menurut Baker (dalam Moleong,
2004), paradigma sebagai seperangkat aturan yang (1) menetapkan atau mendefinisikan
batas-batas; dan (2) menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu
untuk berhasil.
Dari berbagai definisi paradigma tersebut, maka dapat disimpulkan paradigma adalah
suatu cara pandang yang digunakan untuk memahami, berpikir, menilai dan melakukan
sesuatu. Komponen-komponen tersebut merupakan perangkat kepercayaan atau juga
keyakinan dasar yang menuntun seseorang bertindak dan berperan dalam kehidupan sehari-
hari. Seperangkat keyakinan mendasar yang memandu atau menuntun tindakan-tindakan
tersebut tidak hanya di aplikasikan dalam tindakan sehari hari, melainkan dapat diaplikasikan
dala segala ranah aspek dalam kehidupan (ekonomi, politik, sosial, atau penyelidikan ilmiah).

3
2.2 Paradigma Interpretivisme
Salah satu paradigma non positivisme adalah paradigma interpretif. Paradigma ini
dikenal juga dengan sebutan interaksionis subyektif (subjective interactionist). Pendekatan
alternatif ini berasal dari filosof-filosof jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa,
interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Paradigma ini mempunyai basis pemikiran
bahwa kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu alam (natural science) tidak dapat diterapkan
pada ilmu-ilmu sosial. Cara pandang yang digunakan milik kaum nominalis yang melihat
realitas sosial sebagai sesuatu yang hanya merupakan label, nama atau konsep yang
digunakan untuk membangun realitas dan tidak ada sesuatu yang nyata. Nama-nama hanya
dianggap sebagai kreasi artifisial yang kegunaannya tergantung pada kecocokannya dalam
mendeskripsikan, mengartikan, dan menegosiasi sesuatu (Burrell dan Morgan, 1979). Bagi
paradigma ini, tidak ada satupun ilmu pengetahuan yang objektif dan bebas nilai sepanjang
dalam proses konstruksinya manusia masih terlibat di dalamnya (Triyuwono, 2006). Manusia
memiliki subjektivitas yang secara sadar atau tidak akan mempengaruhi proses konstruksi
ilmu pengetahuan. Jika subjektivitas tersebut menyatu dalam proses, maka dengan sendirinya
ilmu pengetahuan tersebut akan sarat dengan nilai-nilai humanisme. Penamaan sesuatu atau
sesuatu yang diciptakan oleh manusia merupakan produk dari pikiran yang berupa ide,
konsep, gagasan dan sebagainya. Sehingga realitas sosial bukan sesuatu yang berada di luar
manusia, melainkan sesuatu yang sudah inherent dalam pikiran manusia (Sarantakos, 1993).
Artinya, realitas sosial adalah kenyataan yang dialami secara internal, dibangun melalui
interaksi sosial dan diinterpretasi oleh manusia sebagai pihak yang aktif membangun realitas
tersebut. Dengan demikian, realitas sosial bersifat subjektif, tidak objektif sebagaimana yang
dialami oleh paradigma positivism.
Gambaran umum paradigma yang menganut interpretivisme dapat dilihat pada tabel 2.1
berikut:

Tabel 2.1. Gambaran Umum Paradigm Interpretivisme


1 Pendekatan penelitian Kualitatif
2 Metode penelitian  Observasi non partisipan
 Observasi participant
 Dept. Interview
 Focus Group Discussion (FGD)
 Studi Kasus

4
 Analisis Kualitatif
3 Jenis penelitian Deskriptif dan Eksplolasi
4 Alasan Penepelitian Untuk memahami dan menggambarkan makna-
makna dari aktivitas sosial
5 Wujud Realistas Sosial Definisi yang cair terhadap situasi yang diciptakan
oleh interaksi manusia
6 Wujud keberadaan manusia Keberadaan social (manusia sebagai makhluk
social) yang menciptakan makna dan secara konstan
membuat kesan pada dunia mereka.
7 Peran dari pemahaman awam Penggunaan teori sehari-hari sangat kuat oleh orang
banyak
8 Seperti apa bentuk teori Gambaran bagaimana sistem pemaknaan kelompok
dibangun dan berkesinambungan.
9 Penjelasan tentang sesuatu itu Semua yang sedang diteliti mengandung kebenaran
benar tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang diteliti dan
pihak peneliti
10 Temuan yang baik Tertanam dalam konteks dari interaksi social yang
mudah dipahami
11 Posisi nilai Bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
sehari-hari. Tidak ada nilai kelompok yang salah
(Sumber: Dr. Ibnu Hamad. Workshop Methodelogi Riset Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. 2005)

Hakikat paradigma ini meyakini bahwa realitas sosial secara sadar dan aktif dibangun
sendiri oleh individu-individu sehingga setiap individu mempunyai potensi untuk memaknai
setiap perbuatan yang dilakukan. Dengan kata lain, sebuah realitas sosial merupakan hasil
bentukan dari serangkaian interaksi antar para pelaku sosial dalam sebuah lingkungan
tertentu. Bagi paradigma interpretif, ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk to explain
(menjelaskan) dan to predict (memprediksi) sebagaimana halnya pada paradigma positivisme
melainkan untuk memahami (to understand).

5
Perbedaan antara paradigma interpretivisme dan positivism (dalam Sahab, 2012) dapat
dilihat pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2. Perbedaan Paradigma Positivisme Dan Paradigma Interpretivisme

Ada tiga prinsip dasar yang menjadi landasan dalam pengembangan studi interpretif
(Soetriono dan Hanafie, 2007). Tiga prinsip dasar tersebut adalah:
1. Individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada di lingkungannya berdasarkan
makna sesuatu tersebut pada dirinya;
2. Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu
lain;
3. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang
berkaitan dengan hal-hal lain yang dihadapinya.
Berdasarkan pada tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya dapat kita pahami lebih dalam
bahwa terdapat asumsi penting yang melatarbelakanginya. Asumsi pertama bahwa individu
dapat melihat dirinya sendiri sebagaimana ia melihat orang lain. Yang kedua individu tidak

6
dianggap pasif melainkan memiliki kemampuan untuk secara aktif membaca situasi dan
kondisi di sekitarnya. Oleh karena itu, kata kuncinya adalah bagaimana seorang individu
dapat menafsirkan situasi yang dihadapinya sehingga suatu aktifitas sosial dikembangkan
melalui pola-pola interaksi yang mendalam. Dengan mendasarkan pada beberapa prinsip
dasar tersebut maka paradigma interpretif menekankan pada pemahaman makna melalui
proses empati terhadap sesuatu aktifitas dan menempatkan suatu aktifitas yang ada dalam
masyarakat sehingga dari satu aktifitas akan melahirkan banyak penafsiran dan analisis.

2.3 Paradigma Teori Kritis


Paradigma kritis lahir tidak lepas dari Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für
Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman
Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa”
mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala
mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme). Paradigma kritis adalah anak cabang
pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx
(Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik
masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Paradigma ini mau mencoba
memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi
teknokrasi modern.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor
Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom),
Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog),
Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba
menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi”
gerakan New Left di Amerika).
Ciri khas paradigma Kritis adalah bahwa paradigma ini berbeda dengan pemikiran
filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan paradigma kritis tidak bersifat kontemplatif atau
spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran
Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau
menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa
ingin membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada.
Pandangan paradigma ini menekankan pada ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan
prosedur yang baku, tetapi untuk membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada dalam
pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.

7
Gambaran umum paradigma yang menganut teori kritis dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3. gambaran umum paradigm interpretivisme


1 Pendekatan penelitian Kualitatif
2 Metode penelitian  Analisis wacana
 Framing
 Semiotika
3 Jenis penelitian Deskriptif
4 Alasan penelitian Untuk menghancurkan mitos dan memberikan
kuasa kepada orang/kelompok yang
termarjinalkan guna melakukan perubahan sosial
secara radikal
5 Wujud realitas sosial Berisikan konflik dan diatur atau diperintah oleh
struktur tersembunyi
6 Wujud keberadaan manusia Kreatif, orang-orang yang beradaptasi dengan
potensi yang tidak dipikirkan sebelumnya,
terperangkap oleh ilusi dan eksploitasi
7 Peran dari pemahaman awam Pemahaman palsu yang menyembunyikan
kekuasaan dan tujuan-tujuan tertentu

8 Seperti apa bentuk bentuk Kritik yang membongkar kondisi sebenarnya dan
Teori? membantu orang untuk melihat ke arah dunia
yang lebih baik

9 Penjelasan tentang sesuatu itu Memberikan masyarakat alat-alat yang


benar dibutuhkan untuk mengubah dunia
10 Temuan yang baik Disampaikan melalui teori yang dapat membuka
selubung ilusi
11 Posisi nilai Ilmu pengetahuan harus dimulai dari posisi nilai-
nilai tertentu, beberapa posisi benar dan beberapa
posisi lainnya salah
(Sumber: Dr. Ibnu Hamad. Workshop Methodelogi Riset Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. 2005)

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan
epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan
bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari
warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak
merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels
(Denzin, 2000: 279-280).
Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis
yang bisa dilihat secara jelas yaitu; Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis
tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas
8
ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi.
Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam
situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).
Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari
tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk
memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan
demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang.
Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat
dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana
seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).
Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian
penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu.
Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti.
Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor
intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa
etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
analisis penelitian yang dibuat.
Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis
mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan
penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh
penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan
sosial yang telah, sedang dan akan terjadi.
Dalam pendidikan, pedagogi kritis adalah kritik radikal dari sekolah dan masyarakat,
lingkungan, administrasi sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan. Bernstein (1996)
menunjukkan bahwa dalam pendidikan, pengetahuan dan kekuasaan interkoneksi dan saling
mempengaruhi dengan cara yang sangat halus dan tersembunyi. Kincheloe (2005)
menyarankan bahwa pengetahuan tidak harus diperlakukan oleh pendidik sebagai komoditas
dan bahwa siswa tidak boleh dilatih sebagai pekerja pengetahuan di kelas, sebagai bentuk
pengetahuan dipandang sebagai jalan korporatis, ditarik dari nilai-nilai kemasyarakatan.
Para pendidik telah mencoba mengembangkan pendekatan teori kritis dalam pendidikan
matematika dalam rangka meningkatkan relevansi dan peran pendidikan matematika di
sekolah dan masyarakat. Misalnya, Skovsmore dan Valero (2008) menegaskan bahwa
pemecahan masalah matematika untuk manfaat sosial memiliki aspek berlipat ganda dan
implikasi kuat bagi masyarakat. Mereka menekankan bahwa, konsep matematika dan teori
9
sering dianggap sebagai daerah yang abstrak dan kering pengetahuan, menafsirkan hasil ini
dalam konteks yang memadai mungkin menghasilkan wawasan baru dan konsekuensi yang
kuat. Jadi bisa dikatakan ada asosiasi yang kuat antara matematika dengan menggunakan
pemecahan masalah berbasis konteks. Pedagogi kritis memiliki peran yang cukup besar
dalam menemukan cara yang tepat untuk mengajarkan pendidikan matematika, dalam rangka
memberdayakan siswa dan tetap menjadi tujuan penting dalam memberikan cara
pemahaman, tindakan dan perubahan untuk berbagai masalah sosial
2.4 Paradigma Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata bahasa yunani yaitu pragma yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran
sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu
kebenaran sifatnya menhadi relatif tidak mutlak. Suatu konsep atau peraturan sama sekali
tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi
masyarakat.
Aliran pragmatisme adalah aliran yang bersedia menerima segala hal, asalkan hal
tersebut berakibat baik atau berguna. Aliran ini mementingkan kegunaan suatu pengetahuan
dan bukan kebenaran objektif dari pengetahuan. Pragmatisme akan menguji suatu
pengetahuan dan akan mengetahui kebenaran pengetahuan tersebut melalui konsekuensi dari
pelaksanaan pengujiannya. Dengan demikian, aliran pragmatisme tidak mau direpotkan
dengan pertanyaan-pertanyan seputar kebenaran yang bersifat metafisik.
Richard Rorty adalah salah seorang filsuf Amerika kontemporer kelahiran 4 Oktober
1931. Dia lebih dikenal sebagai pemikir atau filsuf Amerika yang bergaya Eropa, yakni cakap
dalam berbagai hal, optimistis, dan sering terlibat dalam perdebatan umum daripada seorang
filsuf profesional bergaya Amerika. Ia dikenal secara intemasional sebagai pendiri dan bapak
neo-pragmatisme. Melalui karya monumentalnya yang berjudul Philosophy and the Mirror of
Nature (1979) dia telah mengagungkan komunitas filosofis tanpa henti dengan meninggalkan
model trainingnya yang profesional. Dia dikenal pulasebagai filsuf yang telah menghidupkan
kembali gagasan John Dewey yang dia terapkan dalam filsafat analitis.
Pragmatisme merupakan pandangan filsafat Amerika asli, namun berpangkal pada
filsafat empirisme Inggris yang beranggapan bahwa manusia dapat mengetahui apa yang
manusia alami (Sadulloh, 2009 hlm.118). Aliran pragmatisme beranggapan bahwa yang
benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan
melihatkepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. istilah lain yang
dapat diberkan dalam filsafat pragmatisme adalah instrumentalisme dan eksperimentalisme.
10
Instrmentalisme karena menganggap bahwa tidak ada tujuan akhir dalam setiap kehidupan,
apabila tujuan sudah tercapai maka dijadikan landasan untuk mencapai tujuan berikutnya,
selanjutnya eksperimentalisme karena menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan
atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
Paradigma pragmatisme memercayai bahwa realitas tidaklah bersifat tetap karena terus-
menerus dinegosiasikan, diperdebatkan, dan diinterpretasi. Paradigma ini dapat dikatakan
merupakan gabungan dari pandangan positivisme dan konstruktivisme. Biasanya, penelitian
jenis ini menggunakan pendekatan gabungan kualitatif dan kuantitatif.
Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu: (1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam
jangkauan pengalaman indera manusia, (2) apa yang dipandang benar adalah apa yang
berguna atau berfungsi, dan (3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat
(George R. Knight, 1982). Pertama, dari perspektif penganut pragmatisme, kita hidup dalam
sebuah dunia pengalaman. Dalam perjalanan waktu, pengalaman manusia tersebut berubah
dan karenanya konsep pragmatisme tentang kenyataanpun juga berubah. Di luar pengalaman
manusia, tak ada kebenaran atau kenyataan yang sesungguhnya. Dengan demikian, penganut
pragmatisme menolak pemikiran metafisika. Bagi mereka, tidak ada hal yang absolut, tidak
ada prinsip apriori atau hukum alam yang tidak berubah. Kenyataan bukanlah sesuatu yang
abstrak, ia lebih sebagai sebuah pengalaman transaksional yang terus-menerus berubah. Apa
yang “nyata” di hari ini dapat “tidak nyata” di hari esok, sebab kenyataan tidak dapat
dipisahkan dari pengalaman. Kita hidup dalam dunia yang dinamis, yang selalu berubah dan
ada hukum-hukum ilmiah yang didasarkan pada pengalaman manusia yang terbatas, yang
harus dipandang sebagai probabilitas, bukan yang absolut. Menurut kaum pragmatis, pikiran
dan materi bukanlah dua hal yang terpisah dan substansi yang independen. Orang hanya
mengetahui tentang materi sebagaimana mereka mengalaminya dan merefleksikan
pengalaman ini dengan pikirannya. Oleh karena itu kenyataan tidak pernah terpisah dari
manusia yang mengetahui.
Kedua, pragmatisme pada dasarnya adalah sebuah pemikiran epistemologis.
Pengetahuan, menurut kaum pragmatis, berakar pada pengalaman. Manusia mempunyai
pemikiran yang aktif dan eksploratif, bukan pasif dan reseptif. Manusia tidak hanya
menerima pengetahuan, ia juga membuat pengetahuan itu sebagai hasil interaksinya dengan
lingkungan. Jadi, usaha pencarian pengetahuan adalah sebuah transaksi. Manusia berbuat
terhadap lingkungannya, kemudian ia mengalami konsekuensi-konsekuensi tertentu. Ia
belajar dari pengalaman transaksionalnya dengan dunia di sekelilingnya.

11
Dari sudut pandang pragmatis, sebuah pernyataan dikatakan benar adalah jika dapat
diuji dengan pengalaman empiris yang bersifat publik. Selain itu, posisi epistemologi kaum
pragmatis tidak memberi tempat pada konsep-konsep apriori dan kebenaran-kebenaran
absolut. Manusia hidup dalam dunia pengalaman yang berubah secara terus-menerus dan
“apa yang berguna dan berfungsi” di hari ini bisa terbukti sebagai sebuah penjelasan yang
tidak memadai lagi di esok hari. Oleh karena itu, kebenaran bersifat relatif dan apa yang
benar di hari ini bisa tidak benar di waktu mendatang atau dalam konteks situasi yang
berbeda.
Ketiga, manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dari masyarakat. Nilai-nilai bersifat
relative dan tidak ada prinsip-prinsip absolut yang dapat dipedomani. Sebagaimana budaya
berubah, demikian juga nilai-nilaipun berubah. Ini tidak berarti bahwa moralitas tidak
mengalami pasang surut dari hari ke hari, akan tetapi ini berarti bahwa tidak ada aturan
aksiologis yang dapat dianggap sebagai hal yang mengikat secara universal. Menurut kaum
pragmatis, apa yang secara etis baik adalah apa yang berguna dan berfungsi. Dengan
demikian, seperti halnya pengujian epistemologis itu bersifat publik, maka pengujian etis itu
juga didasarkan pada hal yang baik menurut kriteria sosial kemasyarakatan dan bukan
semata-mata didasarkan pada landasan personal yang bersifat pribadi.
George R. Knight (1982) memberi ilustrasi contoh sebagai berikut.
“... jika tujuanku adalah untuk meraih kekayaan, maka aku mungkin beranggapan bahwa akan
tercapai tujuanku jika aku menjadi seorang pencuri. Dengan cara ini, secara pribadi aku akan
mencapai suatu tingkat kekayaan tertentu. Karena hasil yang diraih adalah kepuasan, dalam
arti sesuatu yang telah menjadikanku kaya, aku mungkin tergiur untuk beranggapan bahwa
hal ini bermoral. Namun, menurut penganut pragmatisme, ketika hal itu mungkin berguna dan
berfungsi bagi seseorang, ia jelas tidak mungkin berguna dan berfungsi bagi sistem sosial
secara utuh karena tak seorangpun akan mampu mengumpulkan kekayaan jika setiap orang
yang lainnya berbuat mencuri. Dengan demikian, ketika diletakkan pada pengujian publik,
tindakan mencuri gagal menjadi berguna dan tidak bisa dirumuskan sebagai hal baik atau
bermoral karena ia akan membuat kehidupan yang berkeadaban menjadi tidak mungkin
terwujud....”

Tokoh-tokoh pragmatism dan pendapatnya mengenai pragmatisme


 Charles sandre piere (1839)
Charles berpendapat bahwa apapun yang berpengaruh bila dikatan praktis.
Dibeberapa waktu yang lain ia juga mengutarakan bahwa pragmatisme bukanlah

12
sebuah filsafat, bukan teori kebenaran, dan bukan metafisika, melainkan adalah suatu
cara untuk manusia dalam memecahkan masalah.
Dari dua pendapat diatas bisa disimpulkan bahwasannya pragmatisme bukan
hanya sekedar teori pembelajaran filsafat dan mencari kebenaran, akan tetapi
pragmatism lebih kearah pada tataran ilmu kepraktisan guna membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia.
 John Dewey (1859-1952)
Dewey berpendapat bahwasannya berfilsafat guna memperbaiki kehidupan
manusia dan lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia. Ia juga menyatakan
bahwa filsafat memberikan pengarahan dan filsafat tidak diperkenankan kebawa arus
dalam ide-ide metafisis yang tidak praktis.
 William James
Dia mengatakan secara singkat bahwa pragmatism adalah realitas yang sudah
kita ketahui berguna untukmengukur suatu kebenaran konsep seseorang yang harus
mempertimbangkan konsekuensi yang akan diterapkan paa konsep tersebut.

Pandangan pragmatisme
 Metafisika
Pragmatisme seluruhnya berbeberkan pada penedekatan empiris yaitu semua
apa apa yang dapat dirasakan itu benar artinya akal, jiwa, dan materi adalah hal yang
tidak dapat di pisahkan. Karena itu para cendekiawan pragmatism tidak pernah
mendasarkan satu hal kebenaran. Dan menurut mereka pengalaman yang di alami di
setiap manusia akan berubah juka realita manusia itu berubah.
Realita bukanlah hal yang abtrak dan hanya pengalaman biasa yang dapat
berubah ubah dan terus berubah seiring berjalannya waktu. Setiap manusia
mempunyai tanggung jawab atas lingkungan dan realitas hidup akan lebih indah jika
kita sebagai manusia banyak mempelajari isu makna yang terkan dung dalam realitas
kehidupan.
Tema pokok filsafat pragmatism:
1. Esensi realitas adalah perubahan
2. Hakikat social dan biologis manusia yang esensial
3. Realitas value
4. Penggunaan intergrasi secara terus menerus

13
Pragmatism menyetujui pendapat- pendapat manusia adalah tolak ukur segala
tujuan dan alat pendukung harus terbuka untuk diperbaiki secara terus menerus.
 Epistimologi
Corak dari pragmatism adalah konsep kegunaan. Mengarah kepada sains dan
bukan metafisik. Dan pragmatism cenderung kepada kepercayaan. Hal yang perlu di
ketahui oleh pragmatism adalah bersifat pribadi dan tidak diberitakan, dan jika ada hal
yang sangat dibutuhkan untuk di beritakan, maka harus diberitakan akan tetapj tidak
ada yang sepihak hingga kebenaran akan selalu bersifat valid dan jujur.
Pragmatism mengklaim bahwasannya manusia selalu mempunyai rasa
keinginan untuk meneliti dan tidak mau menerima suatu produk yang belum teruji.
Untuk memecahkan masalah manusia harus memiliki penagalam pengalaman dalam
meneliti dan meliki alat guna mencari sebuah solusi dari akar masalah-masalah
penelitian.
Pragmatism menunjukkan kedapa kita bahwa tujuan berfikir adalah kemajuan
hidup, yaitu untuk memajukan dan memperbanyak capital dengan cara sepragtis
mungkin. metode intelegen adalah guna memperoleh informasi, dan ketika kita
mengetahui informasi maka kita dapat menyelesaikan masalah. Intelegensi nengacu
pada hipotesa yang dimana hipotesa untuk memecahkan masalah, dan hipotesa ini
menjelaskan masalah masalah terkait. Untuk memecahkan masalah itu, ada lima cara
menurut dewey dalam wini rosyidin yaitu
1. Indeterminate situation, atau situasi tegang
2. Diagnosis, mencari penyebab timbulnya masalah
3. Hypothesis, gagasan atau ide ide informasi untuk dikumpulkan
4. Hypothesis testing, membandingkan informasi untuk di praktik kana tau di uji
5. Evaluation, mengkaji ulang apakah ada kesalahan pada point point
sebelumnya
 Aksiologi
Pandangan pragmatisme tentang nilai itu adalah relatif atau situasional.
Kaidah moral dan etika itu tidak tetap, selalu berubah sesuai situasi, waktu, tempat,
persepsi masyarakat dan juga pengaruh kemajuan IPTEK. Pendekatan pragmatisme
terhadap nilai benar salah, baik buruk itu didasarkan pada kemanfaatan dalam
kehidupan masyarakat dan bukan didasarkan pada teori.
Implementasi pragmatisme dalam pendidikan

14
Proses pendidikan dalam pragmatisme bertujuan memberikan pengalaman empiris
kepada anak didik sehingga terbentuk suatu pribadi yang belajar, berbuat (learning by doing).
Proses demikian berlangsung sepanjang hayat. Dalam pandangan filsafat pragmatisme, anak
didik memiliki akal dan kecerdasan. Artinya anak didik secara naluriah dan amaliah memiliki
kecenderungan untuk tetus berkreatif dan dinamis dalam perkembangan zaman. Anak didik
memiliki bekal untuk menghadapi dan memecahkan problematika-problematika.
Maka dalam pembelajarannya, pendidikan pragmatisme selalu menekankan pada
pengalaman hidup dan cara menghadapi masalah dimanapun peserta didik itu tinggal, agar
nantinya peserta didik dapat berfikir kritis dan berhasil beradaptasi dengan perubahan-
perubahan kehidupan dunia. Peranan guru dalam pendidikan pragmatisme adalah sebagai
pengawas dan pembimbing dalam pembelajaran pengalaman tanpa mengganggu minat
kebutuhan siswa. Dan sekolah harus mampu menyesuaikan segala aspek, karena perannya
sebagai tempat untuk mengajarkan pengalaman kehidupan yang terus berubah-ubah dan
seharusnya sekolah juga lebih mengedepankan muatan penglaman pembelajaran dibanding
muatan materi dan nilai akhir.

15
BAB III
KESIMPULAN

Paradigma interpretivisme meyakini bahwa realitas sosial secara sadar dan aktif
dibangun sendiri oleh individu-individu sehingga setiap individu mempunyai potensi untuk
memaknai setiap perbuatan yang dilakukan. Dengan kata lain, sebuah realitas sosial
merupakan hasil bentukan dari serangkaian interaksi antar para pelaku sosial dalam sebuah
lingkungan tertentu.
Paradigma kritis meyakini bahwa realitas yang terjadi merupakan hasil dari sistem yang
telah dikonstruksi. Selain itu, peristiwa atau fenomena yang terjadi sudah dikontrol oleh
pihak maupun kelompok yang berkuasa. Ia tidak berjalan secara alami, bahkan kebetulan.
Akan tetapi memang sudah dirancang sedemikian rupa untuk membentuk realitas tersebut.
Paradigma pragmatisme menilai bahwa suatu fakta atau realitas dari fenomena tidak
selalu tetap. Ia bisa berubah setiap saat. Hal ini dapat berubah dikarenakan realitas masih dan
akan terus bisa dinegosiasi atau ditawar. Pada dasarnya, paradigma Pragmatisme merupakan
gabungan dari paradigma Positivisme dan paradigma Konstruktivisme.

16
DAFTAR PUSTAKA

Burrell, G., and G. Morgan. 1979. Sociology paradigms and organizational analysis:
elements of sociology of corporate life, London: Heineman Educational Books, Ltd.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California: Sage Public
Kamayanti, A. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas
Keilmuan. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sahib, Ali. 2012. Buku Ajar Analisis Kuantitatif Ilmu Politik dengan SPSS. Surabaya:
Airlangga University Press
Sukardi. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Triyuwono, Iwan. 2006. Perspektif, metodologi, dan teori akuntansi syariah. Depok: PT Raja
Grafindo Persada
Uyoh Sadulloh. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta

17

Anda mungkin juga menyukai