Anda di halaman 1dari 7

4

PERAN GURU DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENGAJARAN


BAHASA INGGRIS
Book Chapter
Isu Pendidikan dan Pengajaran Bahasa (2001)
ISBN 979-8416-48-1
Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar
Penulis: Haryanto Atmowardoyo

Pendahuluan
Dalam dunia yang sedang berubah dewasa ini, banyak sekali pemikiran baru yang muncul dalam
berbagai kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Salah satu diantaranya adalah perspektif baru
terhadap peran guru. Peran guru yang telah berabad-abad tak disentuh, tiba-tiba digugat. Adalah Louis V.
Gerstner, Jr. Dan kawan-kawan yang menggugat peran guru, khususnya di Amerika Serikat. Melalui
Reinventing Education (1995) mereka mengemukakan kritik tajam tentang praktik pendidikan di sekolah
rakyat Amerika. Salah satu kritik mereka tertuju pada guru. Menurut mereka guru semestinya kini
mengubah sikap dan perannya dalam pembelajaran, meninggalkan segala praksis kuno yang diciptakan
berabad-abad lalu, guna menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial modem sekarang ini.
Di Indonesia, kritik semacam itu juga pemah dilontarkan oleh beberapa pakar pendidikan, antara
lain Soedijarto (1993), Amidjaja (1991), dan Semiawan (1991). Soedijarto (1993a: 83) menyatakan
bahwa oleh karena telah ditemukan bahwa peranan guru dalam proses belajar mengajar yang berlangsung
saat ini tidak berpengaruh langsung terhadap mutu hasil belajar maupun kualitas proses belajar, maka
peranan .guru harus diubah. Demikian pula Amidjaja (1991) dan Semiawan (1991) yang mengemukakan
ide perubahan peran guru sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Apa yang dikemukakan oleh Gerstner dkk (1995), Soedijarto (1993), Amidjaja (1991), dan
Semiawan (1991) itu sangat menarik untuk disimak lebih lanjut. Melalui makalah ini perspektif baru
tersebut dicoba dikaitkan dengan dunia pengajaran Bahasa Inggris di sekolah Indonesia Pembuatan
makalah seperti ini diharapkan akan memberikan nuansa baru dalam kehidupan pengajaran bahasa
Inggris yang selarna ini belum memuaskan, baik dilihat dari segi kualitas proses belajar mengajar maupun
hasil belajar.

Peran Guru dalam Perspektif Gerstner dkk (1995)


Menurut Gerstner dkk (1995), ada beberapa peran yang perlu dijalankan oleh guru dalam praksis
pendidikan dewasa ini, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Guru sebagai Pelatih
Selama ini pada umumnya guru berperan sebagai instruktur yang bertugas sebagai pemasok informasi
bagi para siswa dengan jalan menuangkan apa yang dimiliki ke kepala siswa. Oleh karena itu, dalam
kelas guru harus bekerja mulai dari merencanakan, memberi ceramah, mengajukan berbagai pertanyaan
kepada siswa, dan mengurusi tes. Peran seperti itu sudah semestinya ditanggalkan dalam praksis
pendidikan jaman kini. Kesan guru sebagai pemasok pengetahuan, menurut Gerstner dkk (1995) perlu
dibuang jauh-jauh. Dan peran guru sebagai instruktur harus diganti dengan peran guru sebagai pelatih
(coach). Sebagai pelatih, guru bertugas membantu siswa menemukan cara mereka sendiri dalam
menyerap dan memahami ilmu pengetahuan. Guru yang terbaik adalah guru yang membantu siswa untuk
belajar, seperti layaknya seorang pelatih yang membantu para pemain sepak bola, misalnya, yang sedang
berlaga dalam permainan belajar. Guru sebagai pelatih harus dapat meyakinkan siswa untuk memiliki
peralatan belajar, memotivasi mereka untuk bekerja keras, mendorong mereka untuk bekerja mencapai
tujuan bersama dan membantu mereka unruk nienghargai pembelajaran serta mengapresiasi pengetahuan.
Sebaliknya guru tidak boleh hanya sekedar menyuruh atau bahkan memaksa siswa untuk belajar.
Pendapat Gerstner dkk ini sejalan dengan pemikiran Soedijarto (1993:83) yang menyatakan
bahwa peran guru dalam pendidikan dewasa ini harus diubah. Guru seharusnya tidak lagi berperan
4

sebagai pemberi ceramah dan penyaji informasi, melainkan lebih mengutamakan kemampuan
merencanakan, mengelola dan mengawasi terjadinya proses belajar yang melibatkan partisipasi
pembelajar, serta meningkatkan motivasi pembelajar untuk belajar keras secara terus menerus.
Dalam bahasa yang berbeda, Amidjaja (1991) dan Semiawan (1991) pada intinya juga
mengemukakan perubahan peran guru dalam pola yang sama. Amidjaja (1991) dalam Semiawan dan
Soedijarto (1991:40) menyatakan bahwa sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, peran guru perlu diubah dari mengajar yang menekankan pada pengembangan kemampuan
murid dalam pengamatan, analisa, dan penalaran. Sedangkan Semiawan (1991) dalam Semiawan dan
Soedijarto (1991) secara tidak langsung menyatakan bahwa guru semestinya tidak hanya menekankan
pada konsep APA yang diajarkan. Dengan kata lain, guru perlu memberikan keterampilan proses kepada
siswanya. Peran seperti ini tentu tidak tepat lagi disebut sebagai peran instruktur, melainkan lebih tepat
disebut sebagai peran pelatih.

h. Guru sebagai Konselor


Guru tidak mungkin dapat membangun inspirasi dan motivasi siswa untuk belajar tanpa
membangun terlebih dahulu hubungan yang akrab dengan mereka. Oleh karena itu, situasi kelas harus
dibuat sedemikian rupa agar memungkinkan bagi guru untuk membangun hubungan dekat dengan
siswanya. Satu alternatif yang dikemukakan oleh Gerstner dkk (1995) untuk mengatasi masalah ini adalah
dengan membuat kelompok-kelompok kecil dalam sekolah. Masing-masing kelompok dibimbing oleh
satu orang guru. Rasio enam orang siswa per satu orang guru adalah angka ideal yang diusulkan oleh
Gerstner dkk itu.
Dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil seperti itu guru dapat menjalin hubungan dekat
dengan siswa. Komunikasi antara guru dan siswa berjalan dengan intensif, dan guru dapat berbuat sesuatu
seperti yang layaknya dilakukan oleh seorang konselor terhadap pasien guna memotivasi siswa dalam
belajar.
c. Guru sebagai Manajer Pembelajaran
Secara tradisional, guru biasanya mengajarkan materi yang sama dalam waktu yang sama pada
kelas yang sama. Guru mengatur dan mempersiapkan materi secara terstruktur dengan rapih dan
mengajarkannya di dalam kelas. Kegiatan mengajar seperti ini memang biasanya menyenangkan baik
bagi guru maupun siswa; akan tetapi kurang merangsang rasa keingintahuan siswa. Bahkan guru
seringkali merasa tak mempunyai kebebasan dan waktu yang cukup untuk memperhatikan setiap siswa
secara individual. Oleh karena itu kegiatan seperti ini perlu diubah.
Peran baru sebagai alternatif peran seperti di atas adalah peran sebagai manajer. Dalam peran ini,
guru mengarahkan siswa untuk melakukan beberapa macam aktivitas dalam waktu yang sama. Sebagian
siswa dapat diarahkan untuk memanfaatkan media atau perangkat yang tersedia, sebagian melakukan
aktivitas kerja kelompok, dan sebagian lagi bekerja dengan tutor. Dalam setting seperti ini tugas guru
adalah mengkordinasi pekerjaan, orang-orang yang terkait, media belajar, dan para siswa dalam
kombinasi yang produktif.

d. Guru sebagai Partisipan


Mengajar, kata Al Shanker dalam Gersmer (1995:154) adalah "a lonely profession". Meskipun
sekolah dipenuhi anak-anak dan memiliki sejumlah guru dewasa yang bekerja dalam satu atap, guru
temyata melewatkan sebagian besar waktunya dalam kesepian. Sepanjang jam mengajar, mereka berada
dalam kelas yang terisolasi dari kehidupan lain. Guru hanya sempat bertukar pikiran dengan kolega-
koleganya dalam waktu yang sangat terbatas. Tak seperti profesional lain yang senantiasa berhubungan
satu sama lam baik melalui saluran telepon, fax, maupun melalui rapat-rapat. Guru biasanya tensolasi satu
dari yang lain.
Terisolasinya guru satu dari yang lain itu sangat tidak menguntungkan dalam jaman sekarang ini.
Dalam dunia ekonomi modem sekarang ini, pertukaran informasi antar pekerja dan pihak lain menjadi
kunci kinerja dan produktivitas. Lebih-lebih dalam sekolah, yang tugas pokoknya adalah
mendistribusikan informasi, dan sasarannya adalah memproduksi manusia yang terampil, cerdas, dan
4

berbudi pekerti luhur. Pertukaran informasi antar guru dan antara guru dan pihak lain sangat diperlukan,
terutama untuk memperbaiki proses belajar mengajar agar menghasilkan lulusan yang lebih bermutu.
Nuansa kesendirian guru dalam menjalankan tugasnya dewasa ini dapat diatasi dengan
pembentukan team teaching. Team teaching dalam perspektif baru ini berbeda dengan yang telah
diterapkan sejak beberapa dekade yang lain.
Team teaching versi lama dibentuk dengan tujuan untuk membantu guru mengatur jadwal,
meningkatkan waktu perencanaan, dan memberikan keterampilan tambahan kepada pembelajar.
Sedangkan team teaching dalam perspektif baru ini dibuat sebagai cara baru untuk menghubungkan guru
dengan guru dan guru dengan siswa. Melalui hubungan itu dibuatlah perencanaan untuk mengaitkan unit-
unit pelajaran dengan strategi pengajaran yang sesuai. Selain itu juga dibicarakan masalah-masalah
khusus yang menimpa siswa-siswa tertentu untuk mencari penyelesaiannya.
Pembuatan team teaching dalam versi baru itu mengandung banyak manfaat. Pertama.
setiap_guru menjadi turut merasa bertanggungjawab terhadap keberhasiian setiap siswa; kedua, hambatan
yang terjadi antara guru dan guru dan antara guru dan siswa teratasi; dan ketiga, guru tidak lagi merasa
kesepian.

3. Problematika Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah


Telah diketahui oleh umum bahwa hasil pendidikan dewasa ini masih belum memuaskan. Tingkat
pencapaian tujuan kurikulum untuk semua bidang studi secara umum belum tercapai dengan baik,
termasuk dalam bidang studi Bahasa Inggns. Mutu hasil pengajaran Bahasa Inggris, khususnya di SMA.
masih sangat jauh dari yang diharapkan. Dari 4.000 orang siswa SMA di delapan propinsi, hanya 4.5%
saja yang berhasil mencapai target kurikulum (Huda, 1988 dalam Wahab, 1991).
Ditinjau dari segi proses belajar-mengajar, berdasarkan pengamatan dan pengalaman pengajaran
Bahasa Inggris di sekolah pada umumnya juga belum memuaskan. Bagi sebagian besar siswa, Bahasa
Inggris masih dianggap sebagai momok yang menakutkan, menyebalkan, membosankan, dan lain
sebagainya. Banyak siswa yang rebut, bolos, dan bermain sendiri tatkala mengikuti pelajaran Bahasa
Inggris.
Tanpa mengabaikan penyebab lain, secara logis dapat diduga bahwa kelesuan dalam proses
belajar mengajar Bahasa Inggris di sekolah ini disebabkan oleh faktor guru, oleh karena gurulah yang
berurusan langsung dengan manajemen proses belajar mengajar. Peranan guru dalam proses belajar
mengajar, sebagaimana diutarakan oleh Soedijarto (1993b: 121) sangat menentukan kualitas proses
belajar yang akhimya akan bermuara pada kualitas hasil belajar.
Dewasa ini guru Bahasa Inggris, sebagaimana guru-guru bidang studi lain, masih lebih banyak
berperan sebagai master atau instruktur yang bekerja memasok pengetahuan kepada pembelajar. Dalam
mengajarkan reading, misalnya guru masuk ke dalam kelas dengan pertama-tama memberi salam; disusul
menyuruh siswa membuka buku teks halaman sekian; kemudian menyuruh beberapa siswa membaca
keras reading passage yang belum tentu dimengerti maknanya oleh para siswa. Setelah itu, guru
menyuruh siswa mengerjakan tugas-tugas melengkapi reading passage tersebut.
Mereka pula bekerja sendiri-sendiri di dalam kelas. Tak ada jalinan kerja antara guru satu dengan
yang lain. Tak pernah ada diskusi tentang masalah-masalah yang dihadapi siswa. Tak pula para guru
berusaha merencanakan bersama materi-materi pelajaran yang akan diberikan di kelas 1, II, dan III. Para
guru menggunakan buku teks yang ada di pasaran tanpa mendiskusikan terlebih dahulu kelemahan-
kelemahan apa yang ada di dalam buku tersebut serta bagaimana cara mengatasinya. Akibatnya para guru
sering saling melempar tanggungjawab. Jika para siswa gagal di Kelas II, guru Kelas I lah yang dianggap
sebagai kambing hitamnya.
Hubungan guru dengan siswa dewasa ini juga belum mencapai tingkat kedekatan yang
diharapkan. Guru tak mengenal siswa dan bahkan sebagian siswa tak mengenal nama guru mereka.
Kondisi-kondisi pegajaran seperti itulah yang mungkin menjadi penyebab rendahnya mutu proses
belajar mengajar, yang kemudian bermuara pada kegagalan belajar. Untuk mengatasi masalah tersebut
diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang mengarah pada perbaikan proses belajar mengajar di kelas.
4. Pemecahan Masalah
4

Munculnya perspektif baru tentang peran guru sebagaimana dikemukakan pada bagian depan
menimbulkan inspirasi untuk mengemukakan salah satu alternatif pemecahan masalah pengajaran Bahasa
Inggris di sekolah. Peran guru yang selama ini dijalankan tampak perlu diubah sedemikian rupa agar
proses belajar dapat berjalan lebih efektif. Peran baru sebagaimana dikemukakan oleh Gerstner dkk
(1995), Soedijarto (1993). dan Amidjaja (1991) perlu mendapat perhatian guna mengatasi masalah
tersebut. Dan dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, rancangan pengajaran perlu dirumuskan secara
mendasar mulai dari perumusan tujuan, materi, strategi, dan evaluasi pembelajaran.
Pada bagian berikut ini dikemukakan contoh model rancangan pengajaran membaca Bahasa
Inggris yang disesuaikan dengan perspektif baru tentang peran guru tersebut.
a. Tujuan Pembelajaran
Tujuan dilakukannya pengajaran bahasa pada umumnya adalah untuk membekali pembelajar
dengan empat keterampilan berbahasa (language skills,. yakni keterampilan-keterampilan menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis (Stem, 1983). Demikian pula dengan pengajaran Bahasa Inggris di
Indonesia. Pada dasarya pengajaran bahasa asing dilakukan untuk membekali pembelajar dengan empat
keterampilan berbahasa tersebut. Namun demikian, ada prioritas tertentu yang menekankan pada
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Di Indonesia, sesuai dengan kebijakan
kurikulum Bahasa Inggris SLTP maupun SMU 1994, prioritas dibuat agar pengajaran bahasa Inggris
menekankan pada keterampiilan membaca. Ini beralasan oleh karena setelah tamat SMU, pembelajar
yang meneruskan pada perguruan tinggi dituntut untuk mampu membaca berbagai literatur perkuliahan
yang berbahasa Inggris. .
Latar belakang demikian hendaknya dijadikan sebagai acuan untuk menemukan tujuan
pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah, khususnya yang dilakukan melalui pengajaran membaca. Sejalan
dengan pemikiran tersebut, tujuan pembelajaran membaca Bahasa Inggris semestinya diarahkan agar
siswa terbiasa dan terampil membaca aneka macam reading passage yang bermuatan informasi-informasi
ilmu pengetahuan.

b. Pemilihan Materi Ajar


(1) Sumber Materi
Sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut, materi pembelajaran hendaknya diambil dan materi-
materi yang bersifat autentik (authentic materials). Materi autentik ini adalah materi yang terdapat pada
dokumen-dokumen asli yang ditulis oleh penutur asli. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam encyclopedia,
surat kabar asing, majalah asing, dan buku-buku yang ditulis oleh penutur asli adalah contoh dan materi
autentik yang dapat digunakan sebagai bahan ajar bagi pengajaran reading pada kelas Bahasa Inggris.
Bahan-bahan ini mempunyai gradasi keterbacaan (readability) yang berbeda-beda. Oleh karena
itu penyusunan pula mempertimbangkan tingkat keterbacaan mulai dari yang sederhana ke yang
kompleks. Dan biasanya bacaan-bacaan yang terdapat dalam encyclopedia cenderung lebih sederhana
dibandingkan bacaan yang terdapat dalam koran atau majalah asing.

(2) Tema Materi


Kurikulum 1994 yang menganut pendekatan kebermaknaan (meaningful approach) telah
memberi peluang kepada guru untuk menyesuaikan diri dengan peran baru guru. Dalam kurikulum itu,
sebagaimana dinyatakan oleh Huda (1994), guru Bahasa Inggris tidak terikat dengan penggunaan buku
teks yang disiapkan oleh birokrat. Dengan demikian, guru bebas menentukan materi sendiri untuk
disajikan kepada siswanya. Kurikulum 1994 hanya meminta guru untuk mengajarkan materi sesuai
dengan tema-tema yang telah ditetapkan. Dan setiap tema dapat dirinci ke dalam topik-topik.
Dengan tema materi yang ditetapkan, guru masih bisa memberi kebebasan kepada siswa untuk
memilih topik-topik (bagian dari tema) yang diminati sepanjang topik itu masih sesuai dengan tema
materi pembelajaran. Sebagai contoh dalam mengajarkan materi membaca tema SPORTS, guru dapat
memberi kebebasan kepada siswa baik secara individual atau secara kelompok untuk mencari sendiri
topik-topik yang bekaitan dengan SPORT. Sekelompok siswa misalnya mengambil bacaan dengan topik
TOKOH OLAHRAGA berjudul, misalnya, MOHAMMAD ALl (sosok petinju terkenal), PELE (tokoh
4

sepak bola), dls; kelompok lain mengambil topik jenis olah raga misalnya SOCCER, LAWN TENNIS,
TAKRAW, DLS; dan kelompok lain mengambil topik nama-nama organisasi olah raga seperti FIFA,
WBA, WBO, dls. Dengan kebebasan seperti itu ada kemungkinan siswa lebih bergairah untuk belajar dan
terlatih untuk menemukan sendiri informasi-informasi yang mereka minati dan butuhkan. Dan tanpa
disadari mereka berlatih membaca wacana berbahasa Inggris.
Strategi Pembelajaran
Penyesuaian diri guru terhadap peran baru pada prinsipnya terletak dalam penggunaan strategi
pembelajaran yang dilakukan. Peran sebagai pelatih, konselor, manajer pembelajaran, dan partisipan
dapat diramu ke dalam strategi pembelajaran sebagaimana akan diuraikan pada bagian berikut:
 Guru memperkenalkan tema materi yang akan diberikan.
 Guru memimpin brainstorming untuk mengaktifkan skemata (pengetahuan latar belakang
yang telah dimiliki pembelajar).
 Guru membimbing dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memberi bacaan
mengenai top:k-topik yang mereka pilih dalam berbagai macam referensi yang ada di
perpustakaan, misalnya Americana Encyclopedia, Reader's Digests, atau surat
kabar/majalah berbahasa Inggris.
 Guru meminta laporan kepada masing-masing individu atau kelompok siswa tentang
informasi-mformasi yang mereka peroleh dari bacaan. Beberapa pertanyaan yang bersifat
menggali informasi mungkin perlu diberikan dan dilontarkan kepada mereka agar dapat
menjawab secara terstruktural dan rinci. Demikian pula penjelasan mengenai aspek-aspek
linguistik yang tidak dimengerti oleh pembelajar.

Evaluasi
Kegiatan evaluasi dilakukan sesuai dengan aktivitas pembelajaran. Oleh karena ada kemungkinan
siswa mempelajari wacana yang berbeda-beda, materi evaluasi juga harus bervariasi. Guru dapat
memberikan beberapa macam reading passage beserta pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Dan
siswa diminta untuk memilih satu atau beberapa reading passage yang mereka minati. Dengan demikian
tidak akan terjadi masalah bahwa siswa tertentu tidak dapat mengerjakan soal evaluasi dengan alasan
tidak pernah mempelajarinya.
Aktivitas pembelajaran seperti di atas akan berdampak positif kepada suasana pembelajaran.
Suasana yang variatif dengan belajar di perpustakaan membawa nuansa tersendiri yang tidak
membosankan bagi pembelajar. Kebebasan memilih topik sesuai dengan' minat siswa juga memberikan
kenyamanan tersendiri bagi mereka. Dan pemerolehan berbagai informasi penting dan menarik dari buku-
buku berbahasa Inggris juga akan membuat siswa gemar membaca sumber-sumber pengetahuan
berbahasa Inggris yang dapat mereka jumpai di perpustakaan. Dengan demikian, kesan pelajaran Bahasa
Inggris sebagai 'momok' yang menakutkan, menjemukan, dan lain sebagainya akan lenyap dari benak
siswa. Sebaliknya, para siswa akan memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam mempelajari Bahasa
Inggris. Dan motivasi ini adalah faktor yang sangat penting untuk menentukan keberhasilan seseorang
dalam mempelajari bahasa asing. Spolsky (1989: 148) menyebutkan,
" The more motivation a learner has, the more he or she she will spend learning an aspect of a
second language. And the more time spent learning any aspect of a second language, the more will be
learned. "
5. Kesimpulan
Perspektif tentang peran baru merupakan hal yang penting dan menarik untuk disebarluaskan,
khususnya, kepada para praktisi pendidikan. Banyak hal-hal dari perspektif ini yang bermanfaat bagi
dunia pendidikan kita. Khususnya bagi dunia pengajaran Bahasa Inggris di sekolah, perspektif baru ini
mempunyai banyak kemungkinan untuk ditransfer ke dalam strategi pembelajaran. Sebuah contoh
rancangan pembelajaran Reading yang diuraikan dalam salah satu bagian dari makalah ini menjadi bukti
bahwa prespektif baru ini dapat dimanfaatkan untuk membuat siswa agar lebih tertarik dan termotivasi
dalam memepelajari bahasa asing ini. Guru-guru yang kreatif tentu akan mampu menterjemahkan dengan
4

lebih baik prespektif baru itu ke dalam pengajaran Bahasa Inggris dalam aspek-aspek lain seperti
Listening, Speaking, dan Writing. Semoga makalah ini menjadi pemicu bagi para guru Bahasa Inggris
untuk melakukan improvisasi dalam mengemban tugas mereka di negeri ini.
4

DAFTAR PUSTAKA

Amidjaja, T.D.A (1991). "Dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap pendidikan
". Dalam Semiawan, C.R. dan Soedijarjo (Ed). Mencari strategi pengembangan pendidikan
nasional menjelang abadXXI. Jakarta :PTGrasindo.
Gerstner, V. Jr.dkk (1995). Reinventing education: entrepreneurship in America s public schools. New
York: Penguin Group
Huda, N. (1994). Principles of meaning Jul approach in the 1994 English curriculum. Makalah disajikan
pada seminar TEFLIN ke 42 di IKIP Ujung Pandang (6-8 oktober 1994)
Semiawan, C.R. (1991). "Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien". Dalam Mencari strategi
pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI. Jakarta PT. Grasindo
Semiawan, C.R., dan Soedijarjo (1991). Mencari' strategi pengembangan pendidikan nasional
menjelang abadXXI. Jakarta : PT Grasindo.
Soedijarto (1993a). Memantapkan system pendidikan nasional. Jakarta: PT Grasindo.
Soedijarto (1993b). Menuju pendidikan nasional yang relevan. Jakarta: Balai Pustaka.
Spolsky, B. (1989). Coditions for second language learning. Oxford: Oxford University Press.
Stern, H. (1983). Fundamental concepts of language teaching. Oxford: Oxford University Press.
Wahab, A. (1991). Isu linguistik dan pengajaran bahasa dan sastra. Surabaya; Airlangga University
Press.

Anda mungkin juga menyukai