Anda di halaman 1dari 17

Paradigma Positivisme dan Konstruktivisme

Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi

Dosen Pengampu :

Dr. Ismail Cawidu, M.Si.

Disusun Oleh :

Dinda Rachmawati Nurdin 11190511000071

Muhammad Ramzy Mubarak 11190511000048

Syifa Putri Arma 11190511000059

PROGRAM STUDI JURNALISTIK 4B

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang

Sesuatu yang dipandang valid sebagai ilmu adalah ilmu-ilmu pengetahuan alam, yaitu
ilmu-ilmu yang disusun berdasarkan fakta-fakta yang dihimpun melalui observasi, dan hasil
penelitiannya dapat diulangi secara tidak terbatas untuk dilihat dan diukur. Sunaryati Hartono
menyebutkan, pembenaran terhadap pandangan ini dapat didasarkan pada pendapat Francis
Bacon dari Inggris dan Rene Descartes dari Perancis, bahwa alam dan benda-benda alamiah
lainnya tidak mempunyai jiwa seperti manusia. Untuk mengenalnya benda-benda itu harus
diteliti secara impersonal artinya lepas dari nilai- nilai subjektif dan hanya didasarkan pada akal
(rasio) dan pengalaman. Oleh karena itulah maka ilmu-ilmu pengetahuan alam sebenarnya selalu
didasarkan pada pengamatan fenomena alam secara bebas, pasang jarak, dan impersonal.
Hukum-hukum yang berlaku dalam ilmupengetahuan alam dirumuskan berdasarkan anggapan
bahwa alam dapat diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dari waktu dan tempat.Aliran
pemikiran tersebut merupakan refleksi mazhab positivisme dalam ilmu pengetahuan.1

Mazhab positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang
menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisir sehingga
gejala ke depan bisa diramalkan.Mazhab positivisme berangkat dari asumsi bahwa ilmu-ilmu
alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid.2

2. Rumusan Masalah
a. Paradigma dan Teori Positivis
b. Prinsip-prinsip Positivis
c. Ciri-ciri Positivis
d. Padadigma Post Positivis
e. Teori Konstruktivisme dalam Komunikasi

1
F.X Adjie Samekto, “MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL”, Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012, hlm 78
2
ibid
1. Paradigma dan Teori Positivis
a. Pengertian Paradigma

Paradigma (paradigm) adalah cara memandang sesuatu (Bagus, 2005: 779). Sedangkan
menurut Sjamsuar (2003, 28), paradigma dapat disinonimkan sebagai dasar perspektif ilmu atau
gugusan pikir (basic point of view). Muliartha (2010: 2) mendefinisikan paradigma adalah pola
pikir, cara pandang mengenai suatu disiplin ilmu serta apa saja yang mesti dipersoalkan,
dipelajari, dan dipahami. Paradigma adalah pokok persoalan yang mestinya dipelajari atau
diselidiki oleh satu cabang ilmu pengetahuan” (Ritzer, 1992:9). Sedangkan Menurut Nikmatur
Ridha Paradigma adalah cara pandang atau melihat sesuatu yang hidup dalam diri
seseorang dan mempengaruhi orang tersebut dalam memandang realitas sekitarnya. 3

Secara mendasar dan normatif, paradigma adalah sebagai seperangkat kepercayaan


atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari.
Selain itu ada definisi lain yang mengatakan bahwa paradigma adalah suatu citra atau gambaran
yang sangat esensial dari suatu pokok pembahasan suatu ilmu. Paradigma memberikan
suatu pedoman yang digariw bawahi mengenai apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan
apa yang seharusnya dikemukakan, dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti
dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Dengan demikian, maka paradigma adalah
ibarat sebuah menara tempat orang mengamati dunia sekeliling sehingga memperoleh wawasan
yang diharapkan.4 Definisi paradigma secara ringkas adalah pola pikir dan cara pandang
seseorang terhadap sesuatu.

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), Ia


berpendapat paradigma sebagai seperangkat keyakinan-keyakinan mendasar yang dijadikan
sebagai navigasi yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun
dalam investigasi ilmiah. Selanjutnya ia mengartikannya sebagai (a) a set of assumption, and
(b) the beliefs concerning: yaitu sebuah asumsi yang dianggap benar secara (given). Supaya bisa
sampai pada asumsi tersebut maka, diperlukan adanya perlakuan empirik (melalui pengamatan)
yang dapat menyimpulkan hal tersebut; accepted assume to be true. Dengan demikian
paradigma dapat dikatakan sebagaia mental window, tempat yang terdapat ―frame‖ yang
tidak membutuhkan pembuktian akan pembenaranya karena masyarakat pendukung
paradigma telah memiliki kepercayaan demikian.5 dan kemudian dipopulerkan oleh Robert
Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang

3
Nikmatur Ridha, “PROSES PENELITIAN, MASALAH, VARIABEL DAN PARADIGMA PENELITIAN”, Jurnal Hikmah,
Volume 14, No. 1, Januari – Juni 2017, hlm 67
4
Mohammad Muslih, FILSAFAT ILMU; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan(LESFI, 2016).
5
Roy Bhaskar, ―The Possibility of Naturalism,(2nd edn) Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf,‖ 1989.
dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian
6
menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs
(1980), sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa
yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan
oleh George Ritzer, dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari
para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semesti-nya dipelajari oleh salah
satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan. 7

Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi;


epistemologi, ontologi, dan metodologi. 8

 Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu,


dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan.
 Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas.
 Metodologi memfocuskan pada bagai-mana cara kita memperoleh pengetahuan

Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan; 9

(1) apa yang harus dipelajari;


(2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab;
(3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan
(4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginter-pretasikan informasi yang
diperoleh.
Secara terminologis, paradigma merupakan a total view of a problem; a total outlook,
not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berpikir tentang
sesuatu. paradigma dapat juga diilustrasikan sebagai kacamata. Paradigma dalah bingkai
(frame) sebuah kacamata, sementara sikap adalah lensa kacamata tersebut. Kita meliht
dunia di sekitar kita menggunakan keduanya. Dengan demikian, paradigma bukanlah
sikap. Atau sebaliknya, sikap adalah lensa kacamata. Sikap ini terkurung dalam sebuah
bingkai, yaitu paradigma. Berdasarkan paradigma itu yang membingkai sikap itulah kita
bertindak dan berperilaku.10
Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Justru kekuatan
sebuah paradigma terletak pada sebuah kemampuannya membentuk apa yang kita lihat;

6
Nikmatur Ridha, “PROSES PENELITIAN, MASALAH, VARIABEL DAN PARADIGMA PENELITIAN”, Jurnal Hikmah,
Volume 14, No. 1, Januari – Juni 2017, hlm 67
7
ibid
8
ibid
9
ibid
10
Rudi Ahmad Suryadi, ―Visi dan Paradigma Pendidikan Agama Islam (PAI): Kualitas, Integratif, dan Kompetitif,‖
EDUKASI: Jurnal Pendidikan Islam4, no. 2 (2016): 253–76.
bagaimana cara kita melihat sesuatu; apa yang kita anggap masalah; apa masalah yang kita rasa
bermanfaat untuk dipecahkan; serta apa metoda yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.
Paradigma sebaliknya mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan
tidak ingin kita ketahui. Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang
lain sesungguhnya bukanlah karena urusan salah atau benar, yakni yang benar akan
memenangkan paradigma yang lain. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan suatu
paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma
yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari pengikut paradigma yang
dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena paradigma mereka lebih baik dari yang dikalahkan.
Demikian halnya dalam memahami dan memilih berbagai teori pembangunan. Dominannya
suatu teori pembangunan, di mana teori tersebut merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu
paradigma tertentu, ada kaitannya dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut.11

Soetandyo12 memberikan catatan tentang paradigma sebagai :

- Sistem filosofis utama, induk, atau payung yang meliputi (premis) ontologi,
epistemologi, dan metodologi tertentu yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan.
- Paradigma dapat dipandang sebagai set basic belief atau metafisika yang berkenaan
dengan prinsip utama dan pertama.
- Paradigma : membentuk cara bagaimana pemegang atau penganutnya mempelajari
dan memahami dunia.

Terdapat banyak paradigma dalam ilmu pengetahuan. Dengan mengacu pada tiga
pertanyaan mendasar yang diajukan, yaitu pertanyaan ontologis, epistemologis, dan
metodologis, terdapat empat paradigma yang kini diakui sebagian besar pakar (ilmu
sosial) di mancanegara, yaitu positivisme, pospositivisme, kontruktivisme, dan critical
theory13

b. Pengertian dan Teori Positivisme

Mulai abad XIX, alam pikiran manusia memasuki pada tahapan dalam kehidupan zaman
modern, dan meninggalkan tahapan kehidupan yang metafisis, sebagai tahapan dimana orang
mencari kebenaran melalalui filsafat. Pada zaman modern tersebut, manusia mencari kebenaran
melalui pendekatan ilmu pengetahuan ilmiah (Saintisme)14. Aliran empirisme yang berkembang

11
Ravik Karsidi. “Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat”, MEDIATOR, Vol.
2 No.1 2001. Hlm 120
12
Soetandyo, Critical Theory, Critical Legal Theory, dan Critical Legal Studies, bahan kuliah pada program Doktor
Ilmu Hukum, UNDIP, Semarang, 2003, hal. 2.
13
Soetandyo, op., cit., hlm. 1
14
Saintisme adalah suatu paham (isme) falsafati yang meyakini kebenaran pernyataan bahwa pengetahuan
manusia yang benar itu hanya dapat diperoleh melalui suatu metode – satu-satunya metode yang disebut metode
sains
pada abad sebelumnya tetap mewarnai kehidupan manusia di zaman modern, namun dalam
bentuk yang berbeda yang disebut dengan positivisme.15

Positivisme kemudian berkembang dan mempengaruhi bidang kehidupan ekonomi, sosial


politik, dan termasuk hukum. Dalam bidang hukum, secara epistemologis, teori positivisme
hukum lahir sebagai kritik terhadap mazhab Hukum Alam (natural of law) yang menitik beratkan
pada hubungan moral dan hukum, yang mengaitkan teorinya dengan dimensi mosaik (ke)
manusia (-an). Bagi Positivisme yuridis16

Filsafat positivisme dikembangkan pertama kali oleh Francis Biken seorang filsuf
dari Inggris. Namun, tokoh yang dianggap berpengaruh besar terhadap aliran positivisme
adalah Henry Saint Simon (1760-1825), dan August Comte (1798- 1857), seorang filsuf dari
Perancis yang lahir di Montpellierpada 19 Januari 1798. Aliran ini juga berkembang di Eropa
Kontinental, khususnya di Prancis. Aliran positivisme dikembangkan secara luas oleh
kelompok Wina dengan aliran Neo-Positivisme.17

Pemikiran dalam positivisme dikembangkan dari teori Auguste Comte yang bertolak dari
kepastian bahwa terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan segala gejala
hidup bersama dan itu mutlak. Inilah yang oleh Comte disebutnya sebagai Hukum Tiga Tahap.
Comte membagi tahap perkembangan manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap
metafisik, dan tahap positif. Dalam tahap teologis,gejala-gejala alam terjadi karena ada
kekuasaan besar yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Tahap pertama ini
dianggap sebagai tahapprimitif (Bening, 2011).

Tahap kedua yaitu tahap metafisik.Tahap ini merupakan tahap transisi dari tahap teologis
menuju tahap positif. Tahap kedua ini lebih bersifat varian dari tahap teologis. Dalam tahap ini
gejala-gejalaalam disebabkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak. Tahap ketiga yaitu tahap positif
menggunakan pengamatan/empiris dan penggunaan akal/rasio dalam memahami gejala-gejala
alam. Tujuan tertinggi dalam tahap ketiga adalah menyusun dan mengatur segala gejala
didasarkan pada satu fakta yang umum. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan
manusia. Ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan itu
didasarkan pada gejala-gejala yang nyata.18

Positivis memerupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek
faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Pos itivi sme merupakan suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
yang benar dan menolak nilai kognitif dari suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula dikatakan
15
Theo Huijbers., Filsafat Hukum. Penerbit Kanisius, 1991,hal 31
16
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi., Gentha Publishing,
2013. hal 108.
17
Jaka Istigyarta, “TELAAH KRITIS FILSAFAT POSITIVISME UNTUK PENGEMBANGAN TEORI AKUNTANSI”, JAAI
Volume 15 No 2, 2 Desember 2011, 204-2014, hlm 207
18
Jaka Istigyarta, “TELAAH KRITIS FILSAFAT POSITIVISME UNTUK PENGEMBANGAN TEORI AKUNTANSI”, JAAI
Volume 15 No 2, 2 Desember 2011, 204-2014, hlm 208
positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai
dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif artinya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
manusia.” 19

Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual,
yaitu apa yang berdasarkan faktafakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh
melebihi faktafakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa
dalam bidang pengetahuan. Maka filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu,
pulalah positivisme menolak cabang filsafat metafisika.20

Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik
dari realitas sosial. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional),
eks-perimental (experimental), atau empiris (empiricist). 21 Sedangkan menurut Gordon
Positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar metodologi yang dipikirkan untuk
menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai
suatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang prakonsepsi metafisis yang dubjektif sifatnya
(Gordon, 1991 : 301).

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa ajaran di dalam filsafat positivisme dapat
dipaparkan sebagai berikut. Pertama, positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat
positivisme hanya mendasarkan pada kenyataan (realita,fakta) dan bukti terlebih dahulu; kedua,
positivisme tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi; ketiga,
positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala alam
diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil-dalil atau
hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan waktu; keempat, positivisme menempatkan
fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi sehingga ke depan dapat
diramalkan (diprediksi); dan kelima, positivisme meyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat
direduksi menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.22

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari
kekangan filsafat (metafisika). Menurut Erns23 ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran
metafisis yang merusak obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis dari ilmu,
para ilmuan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk
menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut

19
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu Surabaya, 1987, hlm.99
20
Juhaya S. Praja, AliranAliran Filsafat dan Etika Prenada, Media Jakarta 2003, hlm.133
21
Nikmatur Ridha, “PROSES PENELITIAN, MASALAH, VARIABEL DAN PARADIGMA PENELITIAN”, Jurnal Hikmah,
Volume 14, No. 1, Januari – Juni 2017, hlm 67
22
F.X Adjie Samekto, “MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL”, Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012, hlm 79
23
http://philosophisme.blogsport.com/2007/06/logical-positivisme.html.4/3/2010
positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsfat
adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. 24

Aliran positivisme telah membawa perkembangan pengetahuan menjadi sangat


berkembang dan modern. Sehingga bila berbicara aliran positivisme berkaitan dengan term-term
sistematik, keras atau sungguh-sungguh, kreatif, valid, logis, realible serta objek dari positivisme
sangat luas, misalnya alam, manusia, tumbuhan, tanah, planet dan sebagainya. Dapat dikatakan
bahwa aliran positivisme menggunakan cara berfikir aqliah yang mecoba memanajemen otak
secara analisis dan sistematis untuk mencari kebenaran.

Kelemahan aliran positivisme menghindari berfikir secara naqliah yaitu berfikir


mengikuti prinsip-prinsip dari tauhid, ayat, hadits. Sehingga kebenaran yang diperoleh oleh
aliran positivisme tidak mutlak. Karena kebenaran yang paling hakiki adalah kebenaran dari
Allah SWT yang menciptakan seluruh jagat raya ini beserta isinya. Menurut Herman Suwardi
pada akhirnya positivisme dapat mengacu pada Sains Barat sekuler bukan 18 mengacu pada
Sains Tauhidllah25

2. Prinsip- Prinsip Positivis

Positivisme melembagakan pandangan objektivistiknya dalam doktrin kesatuan ilmu


pengetahuan (unified science), bahwa seluruh ilmu pengetahuan harus berada di bawah payung
paradigma positivistik dengan kriterium sebagai berikut :

a.Bebas nilai;

b.Ilmu pengetahuan harus menggunakan verifikasi ± empirik;

c.Bahasa yang digunakan harus analitik, dapat diperiksa secara empirik, atau hanya
omong kosong;

d.Bersifat eksplanasi, hanya melakukan penjelasan berkenaan dengan keteraturan alam


semesta. Ilmu pengetahuan tidak menjawab pertanyaan why (kenapa) tetapi menjawab
pertanyaan how (bagaimana).26

Paradigma positivisme membawa pengaruh besar terhadap ilmu hukum, yaitu


lahirnya aliran positivisme. Menurut aliran positivisme, ilmu hukum mempunyai
karakteristik spesialistis, sistematis, logikal, rasional, prosedural, mekanistis, objektif dan
impersonal. Karena karakteristik ilmu hukum seperti ini maka menjadikan hukum kian
jauh dari nilai-nilai keadilan substantif27
24
Hj. Emma Dysmala Somantri, KRITIK TERHADAP PARADIGMA POSITIVISME, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No.
01 Februari 2013, hlm 623
25
Herman Suwardi, Nalar Kontempelasi dan Realita, Universitas Padjadjaran Bandung, 1998.
26
Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2001, hlm. 35-36
27
Neni Sri Imaniyati, “PENGARUH PARADIGMA POSITIVISME TERHADAP TEORI HUKUM DAN
PERKEMBANGANNYA”, Volume XIX No. 3 Juli ± September 2003 : 261- 277, hlm 276
Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai
bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi,
semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi
teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. 28

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada


kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris
dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu: 29

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun


perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan
tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre,
P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun


1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut
pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan


tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang
turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah
Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini
diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Aliran positivisme memandang, bahwa pengalaman sebagai dasar bagi metode ilmiah.
Oleh karena itu, hal-hal internal yang tidak dapat dijangkau secara akal atau berada diluar akal,
tidak menjadi perhatian kaum positivis. Para positivis menentang ilmu metafisika, yang ghaib,
apa yang berada di luar batas pengalaman manusia. Mereka menganggap metafisika sebagai
tidak ada artinya bagi ilmu pengetahuan, sebab metafisika menarik diri dari tiap usaha untuk
verifikasi, kebenaran atau ketidakbenaran pendirian yang tidak dapat ditetapkan. 30 Oleh karena
itu sebagai akibatnya positivisme hanya bersandar pada prinsip-prinsip berikut ini:31
28
Muannif Ridwan, FATWA MUI DITINJAU DARI PERSPEKTIF TEORI POSITIVISME HUKUM, hlm 110
29
Arif Wibowo, Positivisme dan Perkembangannya, 31 Mar 2008,
https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/ , diakses pada tanggal 1 Mei
2021
30
N.E Algra dan K. Van Duyvendijk, Mula Hukum Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu untuk Pendidikan
Hukum dalam Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Bina Cipta, 1983, hlm.132.
31
ibid
a. Hanya apa yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar. Prinsip ini diambil dari
filsafat empirisme Locke dan Hume.

b. Hanya apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat dipastikan
sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti tidak semua pengalaman dapat disebut
benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati kenyataan.

c. Hanya melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang dialami
merupakan sungguhsungguh suatu kenyataan.

Oleh karena itu, semua kebenaran didapati melalui ilmu-ilmu pengetahuan, maka tugas
filsafat tidak lain dari pada mengumpulkan dan mengatur hasil penyelidikan ilmu-ilmu
pengetahuan.

Secara lebih lengkap, prinsip-prinsip aliran positivisme dikemukakan oleh Arief


Sidharta, sebagai berikut:32

a. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang syah.

b. Hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan.

c. Metode filsafat tidak berbeda dari metode ilmu.

d. Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan
menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan
bagi organisasi sosial.

e. Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman


(empiris-verifikatif).

f. Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam.

g. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia
fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan
hasil-hasil ilmu alam.

Prinsip-prinsip aliran positivisme ini selanjutnya mendasarinya kepada sains modern


(sekuler) yang dikembangkan Barat. Sains modern bersandar pada empat premis, yakni:

a. Dunia itu ada.

b. Manusia dapat mengetahui dunia.

c. Manusia mengetahui dunia melalui panca indera, dan

32
Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994, hlm. 50.
d. Fenomena-fenomena di dunia terkait secara kausalitas (sebab akibat). Secara
metodologis, positivisme meyakini sepenuhnya pada empat dalil ‘keilmuan’, orde,
determinisme, parsimoni, dan empirikal.

Positivisme Logis

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah


aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh
yang berasal dari Lingkaran Wina.33

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala
hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-
istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan
ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.34

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk
mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan
”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang
terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.35

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu
bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan
keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa
observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam
bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke
dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.36

3. Ciri-ciri Positivis

Ciri positivisme adalah 37:

33
Arif Wibowo, Positivisme dan Perkembangannya, 31 Mar 2008,
https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/ , diakses pada tanggal 1 Mei
2021
34
ibid
35
ibid
36
ibid
37
F.X. Adie Samekto, Studi Hukum Kritis : Kritik terhadap Hukum Modern, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang 2003, hlm 44
1. Reduksionisme
Reduksionisme mengandung makna bahwa realitas direduksi menjadi fakta-fakta
yang dapat diamati. Akan tetapi sebagaimana dikatakan Santos, reduksionisme tidak
mudah dilakukan dalam ilmu-ilmu sosial, karena tidak adanya teori hukum yang
bersifat universal yang menerangkan realitas sosial. Ilmu-ilmu soial, sangat
tergantung pada sistem sosial dan budaya, sehingga bisa dipahami kalai dikatakan
bahwa ilmu-ilmu soial pada dasarnya tidak bebas nilai seperti ilmu alam.

2. Objektif atau bebas nilai.


Menurut Donny Gahral Adian, di dalam (paradigma) positivisme ada dikotomi yang
tegas antara fakta dengan nilai, dan mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak
terhadap realitas dengan bersikap netral

Lebih jauh, Donny Gahral Adian mengemukakan bahwa positivisme merupakan


perkembangan lebih lanjut dari aliran empirisme yang meyakini bahwa realitas adalah
segala sesuatu yang hadir melalui data sensoris. Dengan kata lain dalam empirisme,
pengetahuan kita harus berawal dari verifikasi empirik. Positivisme mengembangkan
paham empirik dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-
ilmu positif atau sains, yaitu ilmu-ilmu yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi
dan terukur secara ketat.38

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Santos. Menurut Santos Mazhab
positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi dan asumsi ilmu alam.
Asumsi ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah
valid39

Selain itu menurut Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan
metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4
ciri, yaitu :40

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta

2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup

3. Metode ini berusaha ke arah kepastian

4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.


38
Ibid
39
F.X. Adji Samekto, op. cit., hlm. 7
40
Arif Wibowo, Positivisme dan Perkembangannya, 31 Mar 2008,
https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/ , diakses pada tanggal 1 Mei
2021
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan
dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk
mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penerj. Alimandan
(Jakarta: Rajawali Press)

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia

Sjamsuar, Zumri Bestado. 2003. Paradigma Manusia Surya: Membongkar Mitos Parokhialitas
Sumber Daya Manusia. Pontianak: Yayasan Insan Cita

Muliartha, I Wayan. 2010. Eksplorasi Pemikiran Tentang Paradigma, Konsep, Dalil, dan Teori.
Buleleng: Undiksha

Muslih, Mohammad. 2016. FILSAFAT ILMU; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. LESFI

Bhaskar, Roy. ―The Possibility of Naturalism,(2nd edn) Hemel Hempstead: Harvester


Wheatsheaf,‖ 1989.

Suryadi, Rudi Ahmad. ―Visi dan Paradigma Pendidikan Agama Islam (PAI): Kualitas,
Integratif, dan Kompetitif.‖ EDUKASI: Jurnal Pendidikan Islam4, no. 2 (2016): 253–76.

Huijbers, Theo,1991 Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius.

Tanya, Bernard L. dkk., Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.,
Gentha Publishing, 2013.

Soetandyo,2003, “Critical Theory, Critical Legal theory, dan Critical Legal” Studies, UNDIP,
Semarang.

Adian, Donny G., 2001. Arus Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta Jalasutra.

Samekto, Adie, F.X., 2003, Studi Hukum Kritis : Kritik terhadap Hukum Modern, Semarang.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

N.E. Algra dan K.Van Duyvendijk. 1983. Mula Hukum Beberapa Bab Mengenai Hukum dan
Ilmu untuk Pendidikan Hukum dan Pengantar Ilmu Hukum . Bandung: Binacipta.

Endang Saifudin Anshari,1987. Ilmu filsafat Dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu

Herman Suwardi,1998. Nalar Komtempelasi dan Ralitas, Universitas Padjadjaran Bandung,

Juhaya S. Praja,2003. AliranAliran Filsafat dan Etika,Media Jakarta

Ridha, Nikmatur, 2017. “Proses Penelitian, Masalah, Variabel Dan Paradigma Penelitian”,
Jurnal Hikmah, Volume 14, No. 1, Januari – Juni
Samekto, F.X. Adie. 2003, Studi Hukum Kritis : Kritik terhadap Hukum Modern, Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Wibowo, Arief. Positivisme dan Perkembangannya, 31 Mar 2008,


https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/ , diakses pada
tanggal 1 Mei 2021

Imaniyati, Neni Sri. “PENGARUH PARADIGMA POSITIVISME TERHADAP TEORI HUKUM


DAN PERKEMBANGANNYA”, Volume XIX No. 3 Juli ± September 2003 : 261- 277.

Ridwan, Muannif . FATWA MUI DITINJAU DARI PERSPEKTIF TEORI POSITIVISME


HUKUM

Somantri , Hj. Emma Dysmala, KRITIK TERHADAP PARADIGMA POSITIVISME, Jurnal


Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013, hlm 623

Samekto , F.X Adjie, “MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME DENGAN AJARAN


HUKUM DOKTRINAL”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012, hlm 79

http://philosophisme.blogsport.com/2007/06/logical-positivisme.html.4/3/2010

Istigyarta, Jaka , “TELAAH KRITIS FILSAFAT POSITIVISME UNTUK PENGEMBANGAN


TEORI AKUNTANSI”, JAAI Volume 15 No 2, 2 Desember 2011, 204-2014.

Karsidi, Ravik. “Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan dalam Pemberdayaan


Masyarakat”, MEDIATOR, Vol. 2 No.1 2001

Suryadi, Rudi Ahmad , ―Visi dan Paradigma Pendidikan Agama Islam (PAI): Kualitas,
Integratif, dan Kompetitif,‖ EDUKASI: Jurnal Pendidikan Islam4, no. 2 (2016): 253–76.

Anda mungkin juga menyukai