Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2021
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Sesuatu yang dipandang valid sebagai ilmu adalah ilmu-ilmu pengetahuan alam, yaitu
ilmu-ilmu yang disusun berdasarkan fakta-fakta yang dihimpun melalui observasi, dan hasil
penelitiannya dapat diulangi secara tidak terbatas untuk dilihat dan diukur. Sunaryati Hartono
menyebutkan, pembenaran terhadap pandangan ini dapat didasarkan pada pendapat Francis
Bacon dari Inggris dan Rene Descartes dari Perancis, bahwa alam dan benda-benda alamiah
lainnya tidak mempunyai jiwa seperti manusia. Untuk mengenalnya benda-benda itu harus
diteliti secara impersonal artinya lepas dari nilai- nilai subjektif dan hanya didasarkan pada akal
(rasio) dan pengalaman. Oleh karena itulah maka ilmu-ilmu pengetahuan alam sebenarnya selalu
didasarkan pada pengamatan fenomena alam secara bebas, pasang jarak, dan impersonal.
Hukum-hukum yang berlaku dalam ilmupengetahuan alam dirumuskan berdasarkan anggapan
bahwa alam dapat diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dari waktu dan tempat.Aliran
pemikiran tersebut merupakan refleksi mazhab positivisme dalam ilmu pengetahuan.1
Mazhab positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang
menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisir sehingga
gejala ke depan bisa diramalkan.Mazhab positivisme berangkat dari asumsi bahwa ilmu-ilmu
alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid.2
2. Rumusan Masalah
a. Paradigma dan Teori Positivis
b. Prinsip-prinsip Positivis
c. Ciri-ciri Positivis
d. Padadigma Post Positivis
e. Teori Konstruktivisme dalam Komunikasi
1
F.X Adjie Samekto, “MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL”, Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012, hlm 78
2
ibid
1. Paradigma dan Teori Positivis
a. Pengertian Paradigma
Paradigma (paradigm) adalah cara memandang sesuatu (Bagus, 2005: 779). Sedangkan
menurut Sjamsuar (2003, 28), paradigma dapat disinonimkan sebagai dasar perspektif ilmu atau
gugusan pikir (basic point of view). Muliartha (2010: 2) mendefinisikan paradigma adalah pola
pikir, cara pandang mengenai suatu disiplin ilmu serta apa saja yang mesti dipersoalkan,
dipelajari, dan dipahami. Paradigma adalah pokok persoalan yang mestinya dipelajari atau
diselidiki oleh satu cabang ilmu pengetahuan” (Ritzer, 1992:9). Sedangkan Menurut Nikmatur
Ridha Paradigma adalah cara pandang atau melihat sesuatu yang hidup dalam diri
seseorang dan mempengaruhi orang tersebut dalam memandang realitas sekitarnya. 3
3
Nikmatur Ridha, “PROSES PENELITIAN, MASALAH, VARIABEL DAN PARADIGMA PENELITIAN”, Jurnal Hikmah,
Volume 14, No. 1, Januari – Juni 2017, hlm 67
4
Mohammad Muslih, FILSAFAT ILMU; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan(LESFI, 2016).
5
Roy Bhaskar, ―The Possibility of Naturalism,(2nd edn) Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf,‖ 1989.
dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian
6
menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs
(1980), sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa
yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan
oleh George Ritzer, dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari
para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semesti-nya dipelajari oleh salah
satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan. 7
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan; 9
6
Nikmatur Ridha, “PROSES PENELITIAN, MASALAH, VARIABEL DAN PARADIGMA PENELITIAN”, Jurnal Hikmah,
Volume 14, No. 1, Januari – Juni 2017, hlm 67
7
ibid
8
ibid
9
ibid
10
Rudi Ahmad Suryadi, ―Visi dan Paradigma Pendidikan Agama Islam (PAI): Kualitas, Integratif, dan Kompetitif,‖
EDUKASI: Jurnal Pendidikan Islam4, no. 2 (2016): 253–76.
bagaimana cara kita melihat sesuatu; apa yang kita anggap masalah; apa masalah yang kita rasa
bermanfaat untuk dipecahkan; serta apa metoda yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.
Paradigma sebaliknya mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan
tidak ingin kita ketahui. Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang
lain sesungguhnya bukanlah karena urusan salah atau benar, yakni yang benar akan
memenangkan paradigma yang lain. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan suatu
paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma
yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari pengikut paradigma yang
dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena paradigma mereka lebih baik dari yang dikalahkan.
Demikian halnya dalam memahami dan memilih berbagai teori pembangunan. Dominannya
suatu teori pembangunan, di mana teori tersebut merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu
paradigma tertentu, ada kaitannya dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut.11
- Sistem filosofis utama, induk, atau payung yang meliputi (premis) ontologi,
epistemologi, dan metodologi tertentu yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan.
- Paradigma dapat dipandang sebagai set basic belief atau metafisika yang berkenaan
dengan prinsip utama dan pertama.
- Paradigma : membentuk cara bagaimana pemegang atau penganutnya mempelajari
dan memahami dunia.
Terdapat banyak paradigma dalam ilmu pengetahuan. Dengan mengacu pada tiga
pertanyaan mendasar yang diajukan, yaitu pertanyaan ontologis, epistemologis, dan
metodologis, terdapat empat paradigma yang kini diakui sebagian besar pakar (ilmu
sosial) di mancanegara, yaitu positivisme, pospositivisme, kontruktivisme, dan critical
theory13
Mulai abad XIX, alam pikiran manusia memasuki pada tahapan dalam kehidupan zaman
modern, dan meninggalkan tahapan kehidupan yang metafisis, sebagai tahapan dimana orang
mencari kebenaran melalalui filsafat. Pada zaman modern tersebut, manusia mencari kebenaran
melalui pendekatan ilmu pengetahuan ilmiah (Saintisme)14. Aliran empirisme yang berkembang
11
Ravik Karsidi. “Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat”, MEDIATOR, Vol.
2 No.1 2001. Hlm 120
12
Soetandyo, Critical Theory, Critical Legal Theory, dan Critical Legal Studies, bahan kuliah pada program Doktor
Ilmu Hukum, UNDIP, Semarang, 2003, hal. 2.
13
Soetandyo, op., cit., hlm. 1
14
Saintisme adalah suatu paham (isme) falsafati yang meyakini kebenaran pernyataan bahwa pengetahuan
manusia yang benar itu hanya dapat diperoleh melalui suatu metode – satu-satunya metode yang disebut metode
sains
pada abad sebelumnya tetap mewarnai kehidupan manusia di zaman modern, namun dalam
bentuk yang berbeda yang disebut dengan positivisme.15
Filsafat positivisme dikembangkan pertama kali oleh Francis Biken seorang filsuf
dari Inggris. Namun, tokoh yang dianggap berpengaruh besar terhadap aliran positivisme
adalah Henry Saint Simon (1760-1825), dan August Comte (1798- 1857), seorang filsuf dari
Perancis yang lahir di Montpellierpada 19 Januari 1798. Aliran ini juga berkembang di Eropa
Kontinental, khususnya di Prancis. Aliran positivisme dikembangkan secara luas oleh
kelompok Wina dengan aliran Neo-Positivisme.17
Pemikiran dalam positivisme dikembangkan dari teori Auguste Comte yang bertolak dari
kepastian bahwa terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan segala gejala
hidup bersama dan itu mutlak. Inilah yang oleh Comte disebutnya sebagai Hukum Tiga Tahap.
Comte membagi tahap perkembangan manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap
metafisik, dan tahap positif. Dalam tahap teologis,gejala-gejala alam terjadi karena ada
kekuasaan besar yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Tahap pertama ini
dianggap sebagai tahapprimitif (Bening, 2011).
Tahap kedua yaitu tahap metafisik.Tahap ini merupakan tahap transisi dari tahap teologis
menuju tahap positif. Tahap kedua ini lebih bersifat varian dari tahap teologis. Dalam tahap ini
gejala-gejalaalam disebabkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak. Tahap ketiga yaitu tahap positif
menggunakan pengamatan/empiris dan penggunaan akal/rasio dalam memahami gejala-gejala
alam. Tujuan tertinggi dalam tahap ketiga adalah menyusun dan mengatur segala gejala
didasarkan pada satu fakta yang umum. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan
manusia. Ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan itu
didasarkan pada gejala-gejala yang nyata.18
Positivis memerupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek
faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Pos itivi sme merupakan suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
yang benar dan menolak nilai kognitif dari suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula dikatakan
15
Theo Huijbers., Filsafat Hukum. Penerbit Kanisius, 1991,hal 31
16
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi., Gentha Publishing,
2013. hal 108.
17
Jaka Istigyarta, “TELAAH KRITIS FILSAFAT POSITIVISME UNTUK PENGEMBANGAN TEORI AKUNTANSI”, JAAI
Volume 15 No 2, 2 Desember 2011, 204-2014, hlm 207
18
Jaka Istigyarta, “TELAAH KRITIS FILSAFAT POSITIVISME UNTUK PENGEMBANGAN TEORI AKUNTANSI”, JAAI
Volume 15 No 2, 2 Desember 2011, 204-2014, hlm 208
positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai
dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif artinya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
manusia.” 19
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual,
yaitu apa yang berdasarkan faktafakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh
melebihi faktafakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa
dalam bidang pengetahuan. Maka filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu,
pulalah positivisme menolak cabang filsafat metafisika.20
Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik
dari realitas sosial. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional),
eks-perimental (experimental), atau empiris (empiricist). 21 Sedangkan menurut Gordon
Positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar metodologi yang dipikirkan untuk
menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai
suatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang prakonsepsi metafisis yang dubjektif sifatnya
(Gordon, 1991 : 301).
Berdasarkan uraian di atas maka beberapa ajaran di dalam filsafat positivisme dapat
dipaparkan sebagai berikut. Pertama, positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat
positivisme hanya mendasarkan pada kenyataan (realita,fakta) dan bukti terlebih dahulu; kedua,
positivisme tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi; ketiga,
positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala alam
diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil-dalil atau
hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan waktu; keempat, positivisme menempatkan
fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi sehingga ke depan dapat
diramalkan (diprediksi); dan kelima, positivisme meyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat
direduksi menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.22
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari
kekangan filsafat (metafisika). Menurut Erns23 ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran
metafisis yang merusak obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis dari ilmu,
para ilmuan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk
menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut
19
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu Surabaya, 1987, hlm.99
20
Juhaya S. Praja, AliranAliran Filsafat dan Etika Prenada, Media Jakarta 2003, hlm.133
21
Nikmatur Ridha, “PROSES PENELITIAN, MASALAH, VARIABEL DAN PARADIGMA PENELITIAN”, Jurnal Hikmah,
Volume 14, No. 1, Januari – Juni 2017, hlm 67
22
F.X Adjie Samekto, “MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL”, Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012, hlm 79
23
http://philosophisme.blogsport.com/2007/06/logical-positivisme.html.4/3/2010
positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsfat
adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. 24
a.Bebas nilai;
c.Bahasa yang digunakan harus analitik, dapat diperiksa secara empirik, atau hanya
omong kosong;
Aliran positivisme memandang, bahwa pengalaman sebagai dasar bagi metode ilmiah.
Oleh karena itu, hal-hal internal yang tidak dapat dijangkau secara akal atau berada diluar akal,
tidak menjadi perhatian kaum positivis. Para positivis menentang ilmu metafisika, yang ghaib,
apa yang berada di luar batas pengalaman manusia. Mereka menganggap metafisika sebagai
tidak ada artinya bagi ilmu pengetahuan, sebab metafisika menarik diri dari tiap usaha untuk
verifikasi, kebenaran atau ketidakbenaran pendirian yang tidak dapat ditetapkan. 30 Oleh karena
itu sebagai akibatnya positivisme hanya bersandar pada prinsip-prinsip berikut ini:31
28
Muannif Ridwan, FATWA MUI DITINJAU DARI PERSPEKTIF TEORI POSITIVISME HUKUM, hlm 110
29
Arif Wibowo, Positivisme dan Perkembangannya, 31 Mar 2008,
https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/ , diakses pada tanggal 1 Mei
2021
30
N.E Algra dan K. Van Duyvendijk, Mula Hukum Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu untuk Pendidikan
Hukum dalam Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Bina Cipta, 1983, hlm.132.
31
ibid
a. Hanya apa yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar. Prinsip ini diambil dari
filsafat empirisme Locke dan Hume.
b. Hanya apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat dipastikan
sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti tidak semua pengalaman dapat disebut
benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati kenyataan.
c. Hanya melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang dialami
merupakan sungguhsungguh suatu kenyataan.
Oleh karena itu, semua kebenaran didapati melalui ilmu-ilmu pengetahuan, maka tugas
filsafat tidak lain dari pada mengumpulkan dan mengatur hasil penyelidikan ilmu-ilmu
pengetahuan.
d. Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan
menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan
bagi organisasi sosial.
g. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia
fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan
hasil-hasil ilmu alam.
32
Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994, hlm. 50.
d. Fenomena-fenomena di dunia terkait secara kausalitas (sebab akibat). Secara
metodologis, positivisme meyakini sepenuhnya pada empat dalil ‘keilmuan’, orde,
determinisme, parsimoni, dan empirikal.
Positivisme Logis
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala
hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-
istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan
ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.34
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk
mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan
”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang
terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.35
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu
bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan
keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa
observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam
bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke
dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.36
3. Ciri-ciri Positivis
33
Arif Wibowo, Positivisme dan Perkembangannya, 31 Mar 2008,
https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/ , diakses pada tanggal 1 Mei
2021
34
ibid
35
ibid
36
ibid
37
F.X. Adie Samekto, Studi Hukum Kritis : Kritik terhadap Hukum Modern, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang 2003, hlm 44
1. Reduksionisme
Reduksionisme mengandung makna bahwa realitas direduksi menjadi fakta-fakta
yang dapat diamati. Akan tetapi sebagaimana dikatakan Santos, reduksionisme tidak
mudah dilakukan dalam ilmu-ilmu sosial, karena tidak adanya teori hukum yang
bersifat universal yang menerangkan realitas sosial. Ilmu-ilmu soial, sangat
tergantung pada sistem sosial dan budaya, sehingga bisa dipahami kalai dikatakan
bahwa ilmu-ilmu soial pada dasarnya tidak bebas nilai seperti ilmu alam.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Santos. Menurut Santos Mazhab
positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi dan asumsi ilmu alam.
Asumsi ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah
valid39
Selain itu menurut Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan
metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4
ciri, yaitu :40
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
Sjamsuar, Zumri Bestado. 2003. Paradigma Manusia Surya: Membongkar Mitos Parokhialitas
Sumber Daya Manusia. Pontianak: Yayasan Insan Cita
Muliartha, I Wayan. 2010. Eksplorasi Pemikiran Tentang Paradigma, Konsep, Dalil, dan Teori.
Buleleng: Undiksha
Muslih, Mohammad. 2016. FILSAFAT ILMU; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. LESFI
Suryadi, Rudi Ahmad. ―Visi dan Paradigma Pendidikan Agama Islam (PAI): Kualitas,
Integratif, dan Kompetitif.‖ EDUKASI: Jurnal Pendidikan Islam4, no. 2 (2016): 253–76.
Tanya, Bernard L. dkk., Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.,
Gentha Publishing, 2013.
Soetandyo,2003, “Critical Theory, Critical Legal theory, dan Critical Legal” Studies, UNDIP,
Semarang.
Samekto, Adie, F.X., 2003, Studi Hukum Kritis : Kritik terhadap Hukum Modern, Semarang.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
N.E. Algra dan K.Van Duyvendijk. 1983. Mula Hukum Beberapa Bab Mengenai Hukum dan
Ilmu untuk Pendidikan Hukum dan Pengantar Ilmu Hukum . Bandung: Binacipta.
Endang Saifudin Anshari,1987. Ilmu filsafat Dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu
Ridha, Nikmatur, 2017. “Proses Penelitian, Masalah, Variabel Dan Paradigma Penelitian”,
Jurnal Hikmah, Volume 14, No. 1, Januari – Juni
Samekto, F.X. Adie. 2003, Studi Hukum Kritis : Kritik terhadap Hukum Modern, Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro
http://philosophisme.blogsport.com/2007/06/logical-positivisme.html.4/3/2010
Suryadi, Rudi Ahmad , ―Visi dan Paradigma Pendidikan Agama Islam (PAI): Kualitas,
Integratif, dan Kompetitif,‖ EDUKASI: Jurnal Pendidikan Islam4, no. 2 (2016): 253–76.