Anda di halaman 1dari 25

Konsep, Teori dan Paradigma

DEFINISI

Konsep
Konsep adalah mengungkapkan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal
khusus. Konsep mengungkapkan pentingnya suatu fenomena. Agar fenomena tersebut
jelas bagi pengamat dan dapat dikaji secara sistematis maka fenomena harus diisolasi dari
interaksi dengan fenomena yang lain pada suatu saat tertentu. Konsep dibangun dari
definisi yaitu sistem terminologi yang menunjukkan fenomena sebagaimana yang
dimaksudkan oleh konsep. Ciri konsep adalah memberi makna yang satu kepada semua
pihak yang menggunakannya serta bersifat abstrak.

Misalnya Konsep Pendidikan mengungkapkan abstraksi tentang pelaksanaan pendidikan


yang harus disesuaikan dengan faktor lingkungan yang berbeda yaitu faktor ekonomi,
sosial, politik dan budaya, yang melahirkan teori-teori pendidikan.

Teori
Teori terdiri dari konsep, definisi dan sekumpulan proposisi. Teori menjelaskan suatu
fenomena yang ada bertujuan untuk menjelaskan ada atau tidaknya perubahan-perubahan
pada sesuatu obyek yang diamati. Teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan
dan proposisi yang meyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan
merinci hubungan-hubungan antara variabel dengan tujuan menjelaskan dan
meprediksikan gejala itu. Dengan demikian maka teori memuat: (1) seperangkat proposisi
yang terdiri dari konstruk atau konsep yang terdefinisi dan saling terhubung, (2) Menyusun
antar hubungan seperangkat variabel (konstruk) dan merupakan suatu pandangan
sistematis mengenai fenomen-fenomen yang dideskripsikan oleh variabel itu dan (3)
Menjelaskan fenomena.

Misalnya teori pendidikan umum adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu,
menerangkan dan prediktif tentang peristiwa-peristiwa pendidikan. Sedangkan teori
pendidikan khusus membahas secara mendalam aspek pedagogis, seperti bagaimana cara
yang paling efektif untuk belajar dan mengajar.

Paradigma
Pardaigma adalah suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa
yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang ilmu
pengetahuan.

Paradigma adalah suatu konstelasi capaian besar (contelation of greath achieevement


berupa konsep, nilai-nilai tekhnis dan prosedur yang diterima oleh masyarakat keilmuan
dan dipakai sebagai contoh untuk menentukan masalah keilmuan yang sah dan bagaimana
cara memecahkannya.

Misalnya Paradigma Pendidikan Nasional suatu cara memandang dan memahami


pendidikan nasional, dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalah
dan permasalahan yang dihadapi dalam pendidikan nasional, dan mencari cara mengatasi
permasalahan tersebut. Dicantumkan dalam Laporan BSNP (Badan Standar Nasional
Pendidikan, 2010) tentang Pendidikan Nasional Abad 21, yaitu bagaimana pendidikan
yang relevan di Abad 21, antara lain mencakup paradigma dan tujuan nasional pendidikan.
Konstruk Teori (Theoritical Construction ) Dan Paradigma (Paradigm)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya suatu teori dirumuskan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang
ada. Bangunan suatu teori yang merupakan abstrak dari sejumlah konsep yang
disepakatkan dalam definisi-definisi akan mengalami perkembangan, dan perkembangan
itu terjadi apabila teori sudah tidak relevan dan kurang berfungsi lagi untuk mengatasi
masalah. Jika suatu teori ingin diakui sebagai ilmiah, teori ini haruslah cocok (compatible)
dengan teori-teori lain yang telah diakui sebelumnya. Dan jika suatu teori memiliki
kesimpulan prediktif yang berbeda dengan teori lainnya, salah satu di antara kedua teori
tersebut salah.

Penerimaan suatu teori di dalam komunitas ilmiah, tidak berarti bahwa teori tersebut
memiliki kebenaran mutlak. Setiap teori selalu sudah dipengaruhi oleh pengandaian-
pengandaian dan metode dari ilmuwan yang merumuskannya. Kemampuan suatu teori
untuk memprediksi apa yang akan terjadi merupakan kriteria bagi validitas teori tersebut.
Semakin prediksi dari teori tersebut dapat dibuktikan, semakin besar pula teori tersebut
akan diterima di dalam komunitas ilmiah.1 Ketika suatu bentuk teori telah dianggap mapan
di dalam komunitas ilmiah, maka hampir semua ilmuwan dalam komunitas ilmiah tersebut
menggunakan teori yang mapan itu didalam penelitian mereka. Teori yang mapan dan
dominan itu disebut oleh Kuhn sebagai paradigma.2

Paradigma adalah cara pandang atau kerangka berfikir yang berdasarkannya fakta atau
gejala diinterpretasi dan dipahami. Para ilmuwan bekerja dalam kerangka seperangkat
aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigma dalam bidang tertentu,
sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu. Jika dalam
perjalanan kegiatannya timbul hasil yang tidak diharapkan, atau penyimpangan dari
paradigmanya yang oleh Kuhn disebut sebagai anomali3 akan menyebabkan perubahan
paradigma karena adanya anomaly itu kemudian menyebabkan sikap ilmuawan terhadap
paradigma yang berlaku berubah, oleh karena itu sifat penelitian mereka juga berubah.

A. Pengertian Teori dan Paradigma

1
Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 95
2
Ibid. h. 187.
3
G.T.W Patrick, C.A. van Peursen, Ayn Rand, et al., Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu?, (Cet.I;
Bandung: Pustaka Sutra, 2008), h. 95
Kata ‘teori” secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theorea, yang berarti
melihat, theoros yang berarti pengamatan.4

Adapun pengertian teori menurut terminologi memiliki beberapa pengertian seperti yang
dikemukakan oleh ilmuwan sebagai berikut:

Kerlinger mengemukakan bahwa teori adalah suatu kumpulan variabel yang saling
berhubungan, definisi-definisi, proposisi-proposisi yang memberikan pandangan yang
sistematis tentang fenomena dengan mempesifikasikan relasi-relasi yang ada di antara
beragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada”.5 Cooper and
Schindler (2003), mengemukakan bahwa, A theory is a set systematically interrelated
concepts, definition, and proposition that are advanced to explain and predict phenomena
(fact). Teori adalah seperangkat konsep, defininisi dan proposisi yang tersusun secara
sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.

Teori menurut Sugiyono adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat
konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum teori
mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction),
dan pengendalian (control) suatu gejala.6

Berdasarkan pengertian teori tersebut dapat kita mengemukakan bahwa teori memiliki
komponen-komponen yang terdiri atas: Konsep, fakta, fenomena, definisi, proposisi dan
variabel.

Kata “paradigma” berasal dari bahasa Yunani yaitu paradeigma yang berarti contoh,
tasrif, model.7 Paradigma ini dapat pula berarti: 1. Cara memandang sesuatu, 2. Dalam
ilmu pengetahuan berarti model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang
dipandang, diperjelas, 3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang
menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret.4 Dasar untuk menyeleksi
problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.8

4
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Ed. I. ( Cet.III; Jakarta: Gramedia, 2002), h. 1097
5
Reza A.A Wattimena, Op. Cit. h. 257
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Cet.III; Bandung: Alfabeta, 2007), h. 52-54
7
Komaruddin, Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Ed. I, (Cet.II; Jakarta:
Bumi Aksara , 2002), 173
8
Lorens Bagus, Op. Cit. h. 779
Menurut Nasim Butt (1996) suatu paradigma merupakan teori-teori yang berhasil secara
empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian
sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris.9

Di dalam penelitian diartikan sebagai pola pikir yang menunjukkan hubungan antara
variabel yang akan diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan
masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan untuk merumuskan
hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis, dan teknik analisis statistik yang akan digunakan.10

Menurut Husain Heriyanto paradigma adalah seperangkat asumsi-asumsi teoritis umum


dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para
anggota suatu komunitas ilmiah.11

Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1972) menggunakan
istilah paradigma dalam dimensi yang berbeda yaitu: 1. Paradigma berarti keseluruhan
perangkat – ‘kontelasi’ – keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya yang
dimiliki oleh para anggota suatu masyarakat. 2. Paradigma berarti unsur-unsur tertentu
dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki, yang digunakan
sebagai model atau contoh, yang dapat menggantikan model atau cara yang lain sebagai
landasan bagi pemecahan atau teka-teki dalam ilmu pengetahuan normal.

Menurut AF. Saifuddin setiap paradigma mengandung teori-teori yang memiliki logika,
prosedur metodologi dan implikasi teoritis sehingga tidak relevan bila suatu paradigma
diperbandingkan apalagi dipertentangkan dengan paradigma yang lain (lihat Kuhn, 1978).
Kritik terhadap suatu paradigma harus berlangsung dalam paradigma itu sendiri, tidak dari
pandangan paradigma yang lain. Dalam bahasa awam, seekor ular tidak akan sama dengan
seekor harimau, maka tidak beralasan untuk memperbandingkan keduanya apalagi
mempertentangkan atau memperdebatkannya.12

B. Konstruk Teori

Bangunan teori adalah abstrak dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-
definisi. Konsep sebagai abstraksi dari banyak empiri yang telah ditemukan kesamaan
umumnya dan kepilahannya dari yang lain atau abstraksi dengan cara menemukan

9
Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan metodologi Penelitian, Ed.I.9Yogyakarta: Cv. Andi
offset, 2007). h. 32
10
Sugiyono, Op. Cit., h. 42
11
Husain Heriyanto, M. Hum, Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains,dan Kehidupan Menurut Shadra
dan Whitehead, (Cet; Jakarta Selatan: Teraju, 2003), h. 28.
12
sejumlah esensi pada suatu kasus, dan dilakukan berkelanjutan pada kasus-kasus lainnya,
dapat dikonstruksikan lebih jauh menjadi proposisi atau pernyataan, dengan membuat
kombinasi dari dua konsep atau lebih. Bangunan-bangunan teori tersebut antara lain:

1. Teori Ilmu

Teori ilmu memiliki dua kutub arti teori. Kutub pertama adalah teori sebagai hukum
eksprimen muncul beragam, mulai dari hasil eksprimen tersebut meluas ke hasil observasi
phisik seperti teori tentang panas bumi. Kutub kedua adalah hukum sebagai kalkulus
formal dapat muncul beragam pula, mulai dari yang dekat dengan kutub pertama seperti
teori sebagai eksplanasi fisika misalnya teori Galileo tentang peredaran planet pada
porosnya, teori sinar memancar melengkung bila lewat medan gravitasi. Selanjutnya teori
sebagai interpretasi terarah atas observasi seperti teori sosial statis dan sosial dinamis dari
August Comte dan pada ujung kutub kedua adalah teori sebagai prediksi logika; dengan
sifatnya berlaku umum dan diprediksikan berlaku kapan pun dahulu dan yang akan datang,
seperti teori evolusi dari Darwin, teori relativitas dari Einstein13 yang memnberikan
penjelasan alternatif tentang sumber energi yang memungkinkan matahari menghasilkan
energi begitu besar dalam waktu begitu lama. 14

2. Temuan Substantif Mendasar

Temuan-temuan atas bukti empirik dapat dijadikan tesis substantif, dan diramu dengan
konsep lain dapat dikonstruk menjadi teori substantif. Asumsi keberlakuan tesis substantif
tersebut ada pada banyak kasus yang sama di tempat dan waktu berbeda.15

Temuan huruf baca hirogliph Mesir, huruf baca kanji Jepang dan Cina adalah symbol-
simbol untuk benda-benda Huruf baca lebih maju tampil sebagai simbol-simbol ucapan.
Angka-angka Rumawi dan Latin adalah simbol-simbol, seperti X adalah simbol dari 10, L
=50, M = 100, dan seterusnya. Huruf tulis yang kita gunakan adalah huruf Latin. Jika
angka ilmu pengetahuan yang kita gunakan adalah angka latin, bagaimana matematika dan
ilmu eksakta lain akan dapat dikembangkan dengan huruf-huruf simbol X,L,M, dan
lainnya. Angka arab yang kita gunakan dalam berilmu pengetahuan sekarang ini bukan
representasi simbol, melainkan representasi placed value. Sama-sama angka 5 dengan

13
H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme,Post positivism, dan Post Modernisme, Ed.II. (Cet.I;
Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001). h. 39-40
14
Reza A.A Wattimena, Op. Cit. h. 193
15
Noeng Muhadjir, Op. Cit. h. 8-9
letak berbeda, berbeda nilainya. Contoh: 5.555.55. Itu merupakan temuan teori substantif
mendasar.

Demikian pula persepsi ilmuwan tentang atom, berkembang. Dari partikel terkecil, ke
ditemukannya unsur radioaktif pada atom, dan diketemukannya unsur-unsur electron yang
berputar mengorbit pada proton yang mempunyai kekuatan magnetik. Kemudian pada
tahun 1937 diketemukan neutron, semacam proton, tetapi tidak mempunyai kekuatan
magnetik. Berat neutron beragam dan inilah yang menyebabkan atom satu beda beratnya
dengan atom yang lain. Temuan teori atom ini merupakan temuan ilmiah substantif
mendasar.16

3. Hukum-hukum Keteraturan

a. Hukum Keteraturan Alam

Alam semesta ini memiliki keteraturan yang determinate. Ilmu pengetahuan alam biasa
disebut hard science, karena segala proses alam yang berupa benda anorganik sampai
organik dan hubungan satu dengan lainnya dapat dieksplanasikan dan diprediksikan relatif
tepat. Kata relatif mengandung dua makna: pertama, bila teori yang kita gunakan untuk
membuat eksplanasi atau prediksi sudah sangat lebih baik, dan kedua, bila variabel yang
ikut berperan lebih terpantau.17 Menurut al-Kindi ketertiban alam ini, baik susunan,
interaksi, relasi bagian dengan bagiannya, ketundukan suatu bagian pada bagian lainnya,
dan kekukuhan strukturnya di atas landasan prinsip yang terbaik bagi proses penyatuan,
perpisahan, dan muncul serta lenyapnya sesuatu dalam alam, mengindikasikan adanya
pengaturan yang mantap dan kebijakan yang kukuh. Tentu ada Pengatur Yang Maha
Bijaksana dibalik semua ini, yaitu Allah.18

b. Hukum Keteraturan Hidup Manusia

Hidup manusia itu memiliki keragaman sangat luas. Ada yang lebih suka kerja keras dan
yang lain menyukai hidup santai, ada yang tampil ulet meski selalu gagal, yang lain mudah
putus asa, ada yang berteguh pada prinsip dan sukses dalam hidup, yang lain berteguh pada
prinsip, dan tergilas habis. Kehidupan manusia mengikuti sunnatullah, mengikuti hukum
yang sifatnya indeterminate. Mampu membaca kapan harus teguh pada prinsip, kapan
diam dan kapan berbicara dalam nada bagaimana, dia akan sukses beramar ma’ruf nahi

16
Ibid. h. 41.
17
Ibid.
18
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, ( Jakarta: Erlangga, 2006), h. 16-17
mungkar. Manusia mempunyai kemampuan untuk memilih yang baik, dan menghindari
yang tidak baik. Dataran baik tersebut dapat berada pada dataran kehidupan pragmatik
sampai pada dataran moral human ataupun moral religious. Memilih kerja yang
mempunyai prospek untuk menghidupi keluarga, merupakan kebebasan memilih manusia
dengan konsekuensi ditempuhnya keteraturan sunnatullah; harus tekun bekerja dan
berupaya berprestasi di dunia kerjanya. Untuk diterima kepemimpinannya, seorang
pemimpin perlu berupaya menjadi shiddiq, amanah, dan maksum. Kedaan demikian
berkenan dengan pemikiran Ibnu Bajjah yang membagi perbuatan manusia kepada
perbuatan manusiawi, yaitu perbuatan yang didorong oleh kehendak/kemauan yang
dihasilkan oleh pertimbangan pemikiran, dan perbuatan hewani yaitu perbuatan instingtif
sebagaimana terdapat pada hewan, muncul karena dorongan insting dan bukan dorongan
pemikiran.19

c. Hukum Keteraturan Rekayasa Teknologi

Keteraturan alam yang determinate, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keteraturan
substantif dan ketraturan esensial. Seperti Pohon mangga golek akan berbuah mangga
golek. Ketika ilmuwan berupaya menemukan esensi rasa enak pada mangga, menemukan
esensi buah banyak pada mangga, dan menemukan esensi pohon mangga yang tahan
penyakit, ilmuwan berupaya membuat rekayasa agar dapat diciptakan pohon mangga baru
manalagi yang enak buahnya, banyak buahnya, dan pohonnya tahan penyakit, di sini
nampak bahwa ilmuwan mencoba menemukan keteraturan esensial pada benda organik.
Produk teknologi merupakan produk kombinasi antara pemahaman ilmuwan tentang
keteraturan esensial yang determinate dengan upaya rekayasa kreatif manusia mengikuti
hukum keteraturan sunnatullah.20

4. Konstruk Teori Model Korespondensi

Konstruk berfikir korespondensi adalah bahwa kebenaran sesuatu dibuktikan dengan cara
menemukan relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan korespondensi tersebut
beragam mulai dari korelasi, kausal, kontributif, sampai mutual. Konstruk berfikir statistik
kuantitatif dan juga pendekatan positifistik menggunakan cara ini.21 (Menurut Bertand
Russel suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu.

19
Ibid. h. 64-65
20
H. Noeng Muhadjir, Op. Cit.. h. 43.
21
Ibid. h. 52
Misalnya, jika ada seseorang yang mengatakan “ Ibu kota republik Indonesia adalah
Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab pernyataan itu sesuai dengan fakta objektif.22

Pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX, terobosan-terobosan dramatik telah
dilakukan dalam logika formal. Secara khusus jelas dihargai bahwa hal dapat ditarik
kesimpulan, dapat dikonstruksi sebagai sebuah relasi formal yang sepenuhnya indefenden
dari maknanya. Misalnya, orang dapat menyimpulkan kalimat r dari kalimat-kalimat s dan
“jika s maka r” tanpa mengetahui apapun tentang apa yang diklaim (dinyatakan) kalimat-
kalimat s dan r. Para penstudi dan ahli logika menyelidiki kemungkinan pengkonstruksian
(pembentukan) bahasa-bahasa formal yang di dalamnya relasi-relasi logikal akan menjadi
persis (terumus secara cermat). Dari aksioma-aksioma teori itu semua teorema secara
murni formal akan mengikuti ( seperti r mengikuti dari s dan “jika s maka r”) sebab teori
itu mengatakan kepada kita tentang dunia, ia memerlukan sebuah ‘interpretasi”: Kita harus
diberi tahu apa yang menjadi makna dari term-termnya dan pernyatan-pernyataan
pendiriannya. “Correspondence rule” (aturan kores pondensi) adalah pernyataan-
pernyataan yang sekaligus dimaksudkan untuk menyediakan interpretasi itu dan untuk
memungkinkan klaim-klaim dari teori-teori yang sekarang sudah diinterpretasi dapat
diuji.23

5. Konstruk Teori Model Koherensi

Konstruk teori model koherensi merentang dari koheren dalam makna rasional sampai
dalam makna moral. Konstruk koheren dalam makna rasional adalah kesesuaian sesuatu
dengan skema rasional tertentu, termasuk juga kesesuaian sesuatu dengan kebenaran
obyektif rasional.

Aristoteles dalam teori koherensi memberikan standar kebenaran dengan cara deduktif,
yaitu kebenaran yang didasarkan pada kriteria koherensi yang dapat diungkap bahwa
berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita
menganggap benar bahwa “semua manusia pasti mati” adalah pernyataan yang benar,
maka pernyataan bahwa “si fulan adalah seorang manusia dan si Fulan pasti mati” adalah
benar pula. Sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.24

22
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1, Jil.I. ( Cet. I; Pamulang Timur, Ciputat: Lolos Wacana Ilmu, 1997), h.
33
23
G.T.W Patrick, C.A. van Peursen, Ayn Rand, et al.,Op. Cit. h. 51-52
24
Amsal Bakhtiar, Op. Cit. h. 32.
Konstruk berfikir koherensi kedua adalah yang dilandaskan kepada kebenaran moral dan
nilai. Sesuatu dipandang sebagai benar bila sesuai dengan moral tertentu. Moral dalam
maknanya yang luas menyangkut masalah: right or wrong, truth or false, justice or unfair,
human or inhuman dan lainnya. Hal ini terkait dengan kehidupan budi yang terjelma dalam
proses penilaian itu merupakan ciri manusia yang terpenting dalam kehidupan individu,
masyarakat dan kebudayaan, sebagai makhluk yang berkelakuan.

6. Konstruk Teori Model Pragmatis

Konstruk teori model Prgmatis berupaya mengkonstruk teorinya dari kosep-konsep,


pernyataan-pernyataan yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak.
Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak; Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika
pernyataan itu atau implikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Kaum pragmatis berpaling pada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan
tentang alam ini yang dianggap fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala
alamiah. Agama bisa dianggap benar karena memberikan ketenangan pada jiwa dan
ketertiban dalam masyarakat. Para ilmuan yang menganut azas ini tetap menggunakan
suatu teori tertentu selama teori itu mendatangkan manfaat.25

7. Konstruk Teori Iluminasi

Teori Iluminasi menurut Mehdi Ha’iri Yazdi adalah pengetahuan yang semua
hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan
tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior. Artinya hubungan
mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobjek tanpa campur
tangan koneksi dengan objek eksternal.26

Selanjutnya Iluminasi oleh Yazdi disebut sebagai ilmu hudhuri yaitu pengetahuan dengan
kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan neotic dan memiliki objek imanen yang
menjadikannya pengetahuan swaobjek. Ilmu hudhuri tidak memiliki objek diluar dirinya,
tetapi objek itu sendiri ada adalah objek subjektif yang ada pada dirinya. Oleh sebagian
sufi, iluminasi itu adalah pengetahuan diri tentang diri yang berasal dari penyinaran dan
anugerah Tuhan yang digambarkan dengan berbagai ungkapan dan keadaan. Ada yang
menyebutkannya dengan terbukanya hijab antara dirinya dengan Tuhan, sehingga
pengatahuan dan rahasianya dapat diketahui. Ada yang mengungkapkan dengan rasa cinta
25
Ibid. h. 34.
26
Ibid. h. 35-36
yang sangat dalam sehingga antara dia dan Tuhan tidak ada rahasia lagi. Pengetahuan
Tuhan adalah pengetahuannya. Dan ada yang menyatakan dengan kesatuan kesadaran
(ittihᾶd/hulûl).27

C. Konstruk Paradigma

Para ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya membangun paradigma atas berbagai konsep,
asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum dalam tatanan tertentu, menyederhanakan
yang kompleks yang dapat diterima umum. Di bawah ini dikemukakan beberapa
paradigma antara lain:

1. Paradigma Cartesian- Newtonian

Paradigma ini dicanangkan oleh Rene Descartes (1596-1650) dan Isaak Newton (1642-
1727). Penggunaan istilah paradigma dalam frase “paradigma Cartesian-Newtonian”
mengacu kepada pengertian generik yang diturunkan oleh Thomas Kuhn, yang dalam
masterpiece-nya The structure of Scientific Revolutinons (1970) Kuhn menggunakan
istilah paradigma untuk banyak arti, seperti matriks disipliner, model, atau pola berpikir,
dan pandangan-dunia kaum ilmuwan. Namun pengertian umum yang lebih banyak dipakai
paradigma berarti seperangkat asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum serta
teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas
ilmiah.28

Istilah paradigma dalam frase paradigma Cartesian-Newtonian digunakan dalam makna


yang lebih luas yang tidak hanya berlaku pada komunitas ilmiah melainkan bekerja pada
masyarakat modern umumnya. Paradigma dalam hal berarti suatu pandangan-dunia (world
vieu) atau cara pandang yang dianut secara pervasif dan terkandung di dalamnya asumsi-
asumsi ontologis dan epistemologis tertentu, visi realitas, dan sistem nilai.

Selanjutnya Paradigma Cartesian-Newtonian mengandung dua komponen utama, yaitu


prinsip-prinsip dasar dan kesadaran intersubjektif. Prinsip-prinsip dasar itu adalah asumsi-
asumsi teoritis yang mengacu kepada sistem metafisis, ontologis, dan epistemologis
tertentu. Sedang kesadaran intersubjektif adalah kesadaran kolektif terhadap prinsip-
prinsip dasar itu yang dianut secara bersama sedemikian sehingga dapat melangsungkan
komunikasi yang memiliki frame of reference yang sama. Misalnya, konsep ‘maju’
(progress) yang sesuai dengan paradigma Cartesian-Newtonian adalah bertambahnya

27
Ibid. h. 37
28
Husain Heriyanto, M. Hum, Op. Cit. h. 28
kepemilikan dan pengusaan manusia terhadap alam. Pengertian konsep ‘maju’ seperti itu
telah menjadi kesadaran kolektif yang memungkinkannya komunikasi berlangsung antar
manusia modern sedemikian, sehingga bangsa yang mampu mengeksploitasi alam melalui
industri disepakati untuk digolongkan sebagai bangsa maju atau Dunia Pertama.29

Adapun asumsi-asumsi paradigma Cartesian-Newtonian antara lain:

a. Subjektivisme-antroposentristik

Pada asumsi ini mempresentasikan modus khas kesadaran modernisme bahwa manusia
merupakan pusat dunia. Kesadaran subjektivisme ini dicanangkan oleh bapak filsafat
modern, Rene Descartes. Prinsip pertamanya yaitu Cogito ergo sum ( Aku berpikir, maka
aku ada) merupakan bentuk kesadaran subjek yang terarah kepada dirinya sendiri, dan hal
itu merupakan basis ontologis terhadap eksistensi realitas eksternal di luar diri sang subjek.
Descartes berpendirian bahwa kita pertama kali harus memutuskan apa yang dapat kita
ketahui tentang yang riil, dan harus tetap skeptis terhadap realitas sampai kita telah
menemukan apa yang dapat kita ketahui. Pendekatan ini disebut Keith Lehrer sebagai
epistemologi skeptis. Menurut Gallagher, sejak itu filsafat beralih dari kekaguman
terhadap kenyataan kepada kekaguman terhadap pengetahuan kekaguman itu sendiri.
Pertanyaan manusia kembali kepada dirinya sendiri. Descartes menjadikan usahanya
untuk mengetahui diri sendiri sebagai objek penyelidikan: Bagaimana saya tahu bahwa
saya dapat tahu?. Kesadaran cogito merupakan kesadaran subjek yang terarah kepada diri
sendiri.30

b. Dualisme

Penganut paradigma Cartesian-Newtonian membagi realitas menjadi subjek dan objek,


manusia dan alam, dengan menempatkan superioritas subjek atas objek. Keterpilahan yang
dikotomis ini adalah konsekuensi alamiah dari prinsip Descartes untuk menemukan
kebenaran objektif dan universal, yaitu prinsip clearly (jelas) dan distinctly (terpilah).
Paradigma ini menganggap bahwa manusia (subjek) dapat memahami dan mengupas
realitas yang terbebas dari konstruksi mental manusia; bahwa subjek dapat mengukur
objek tanpa mempengaruhinya, dan sebaliknya tanpa dipengaruhi oleh objek.

Selain itu dualisme meliputi pemisahan yang nyata dan mendasar antara kesadaran dan
materi, antara pikiran dan tubuh, antara jiwa cogitans dan benda extensa; serta antara nilai

29
Ibid., h. 29
30
Ibid. h. 43-44
dan fakta. Descartes berkata:” Tidak ada yang tercakup di dalam konsep tubuh menjadi
milik akal; dan tidak ada yang tercakup di dalam konsep akal menjadi milik tubuh”.
Pemisahan antara akal dan tubuh atau antara kesadaran subjek dan realitas eksternal telah
menimbulkan pengaruh yang luar biasa pada pemikiran Barat yang pada gilirannya juga
terhadap pemikiran dunia modern.31

c. Mekanistik- Deterministik

Paradigma Cartesian-Newtonian ditegakkan atas dasar asumsi kosmologis bahwa alam


raya merupakan sebuah mesin raksasa yang mati, tidak bernyawa dan statis. Bahkan bukan
alam saja, segala sesuatu yang di luar kesadaran subjek dianggap sebagai mesin yang
bekerja menurut hukum-hukum matematika yang kuantitatif, termasuk tubuh manusia. Ini
merupakan konsekuensi alamiah dari paham dualisme yang seolah-olah menghidupkan
subjek dan mematikan objek. Karena subjek hidup dan sadar, sedangkan objek berbeda
secara diametral dengan subjek, maka objek haruslah mati dan tidak berkesadaran. Dengan
demikian paradigma Cartesian-Newtonian menganggap bahwa realitas dapat dipahami
dengan menganalisis dan memecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu dijelaskan
dengan pengukuran kuantitatif. Hasil penyelidikan dari bagian-bagian kecil itu lalu
digeneralisir untuk keseluruhan. Alam semesta, manusia, dipandang sebagai mesin besar
yang dapat dipahami dengan menganalisis bagian-bagiannya. Jadi, dalam pandangan
mekanistik, keseluruhan adalah identik dengan bagian-bagiannya, persis sama dengan
perhitungan kuantitatif dalam matematika; bahwa empat (4) itu identik dengan jumlah
bagian-bagiannya (2+2 atau 1+3). Tidak ada sesuatu yang lebih dalam keseluruhan kecuali
dalam jumlah dari bagian-bagiannya yang digabungkan menurut tatanan atau urutan
tertentu. Sejalan dengan itu paradigma ini bersifat deterministik yang memandang alam
sepenuhnya yang dapat dijelaskan, diramal dan dikontrol berdasarkan hukum-hukum yang
deterministik (pasti, niscaya) sedemikian rupa sehingga memperoleh kepastian yang setara
dengan kepastian matematis.32

d. Materialime-Saintisme

Paradigma Cartesian-Newtonian menganut paham Materialisme-saintisme (materialsme


ilmiah). Pandangan epistemologi dan kosmologinya berwatak materialistik. Tuhan bagi
Descartes, lebih bersifat instrumental untuk penjamin kesahihan pengetahuan subjek
terhadap realitas eksternal. Newton mempunyai pandangan bahwa Tuhan pertama-tama

31
Ibid. h. 46
32
Ibid. h. 47-48
menciptakan partikel-partikel benda, kekuatan-kekuatan antar partikel, dan hukum gerak
dasar. Setelah tercipta alam semesta terus bergerak seperti sebuah mesin yang diatur oleh
hukum-hukum deterministik, dan Tuhan tidak diperlukan lagi kehadiran-Nya dalam
kosmos ini.33

2. Paradigma Holistik-Dialogis

Paradigma holistik-dialogis adalah merupakan paradigma alternatif karena tuntutan


pandangan dunia baru dalam upaya memahami fenomena-fenamena global secara lebih
baik, tepat dan sesuai. Pandangan dunia baru itu merupakan paradigma alternatif terhadap
paradigma Cartesian-Newtonian yang dualisme yang lebih menguasai kesadaran manusia
modern dalam kurun waktu tiga ratus tahun terakhir.

Dengan munculnya gagasan orisinal dari Shadr al-Din al-Shirazi yang lebih popular
dengan nama Mulla Shadra (1572-1641), filsuf Persia yang hidup sezaman dengan
Descartes yaitu gerak trans-substansial (trans-substansial motion, harakat al-jawhariyyah).
Gagasan ini dicetuskan setelah melalui analisis ontologis-metafisis yang mendalam
terhadap eksistensial dan realitas. Ontologis Mulla Shadra memiliki banyak kesamaan
dengan Filsafat proses atau filsafat organisme Alfred North Whitehead (1815-1974), dapat
dianggap sebagai upaya transformasi gerak trans-substansial kedalam sistim kosmologi
yang dinamis. Whitehead telah mengintroduksi data-data perkembangan sains modern
sebagai bagian yang integral dalam sistem filsafatnya, khususnya pandanagan
kosmologisnya, sehingga lebih memperkaya pemahaman terhadap dinamika realitas.34

Adapun sistem ontologis Shadra didasarkan atas tiga prinsip yaitu:

a. Prinsip Primasi Eksistensi (ahslat al-wujud) .

Prinsip primasi eksistensi merupakan landasan utama filsafat Shadra. Shadra


memprioritaskan eksistensi atas semua konsep dan esensi, serta memandang eksistensi
sebagai satu-satunya realitas substantif. Ia menolak dualisme eksistensi-esensi dalam
realitas, karena esensi muncul sebagai penyangkalan atau batasan terhadap eksistensi.
Menurutnya, Penyebab semua akibat dan akibat-akibat dari suatu sebab merupakan
eksistensi yang sebenarnya (real existence). Eksistensi sebagai konsep dan atau esesnsi
tidak memiliki realitas. Eksistensi bukanlah sesuatu (something) yang memiliki realitas;
eksistensi adalah realitas itu sendiri. Oleh karena itu eksistensi bukanlah atribut suatu

33
Ibid. h. 52
34
Ibid. h. 154-155
entitas seperti yang terdapat dalam kalimat:”Manusia ada”, dan lebih tepat dikatakan
dengan kalimat “ini manusia”. Karena esensi adalah tidak ada (nothing) dalam dirinya
sendiri. Apapun yang dimiliki oleh suatu maujud (being) diperoleh dari “hubungan”
maujud itu dengan eksistensi, sedangkan eksistensi adalah self real (nyata pada dirinya),
berkat manifestasi dan hubungannya dengan wujud mutlak atau wujud murni.35

b. Gradasi eksistensi ( tasykik al-wujud)

Gradasi eksistensi disebut juga sebagai systematic ambiguity of existence (ambiguitas


sistematis eksistensi). Dikatakan bahwa eksistensi adalah satu realitas yang mengambil
bagian dalam gradasi intensitas dan kesempurnaan. Semakin banyak esensi yang
dikandung satu maujud, semakin rendah tingkat intensitas dan kesempurnaannya.
Sebaliknya semakin sedikit esesnsi yang dikandung, semakin tinggi tingkat gradasi suatu
maujud. Hubungan kesatuan wujud dengan multiplisitas eksistensi seperti hubungan
matahari dengan cahaya matahari. Cahaya matahari bukanlah matahari dan pada waktu
yang sama bukanlah apa-apa kecuali matahari. Jadi multiplisitas muncul dari gradasi
eksistensi tersebut, dan menurutnya pluralitas itu lahir dari unitas. Prinsip gradasi
eksistensi Shadra berarti sebagai keragaman dalam kesatuan, bukan kesatuan dalam
keragaman.

Selanjutnya prinsip ambiguitas sistematis eksistensi selain bersifat ambigu juga sistematik;
dengan kata lain ambiguitas itu bersifat sistematis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa eksistensi itu tidak statis tetapi bergerak terus-menerus . Gerak itu dari yang kurang
sempurna ke yang lebih sempurna, dan bersifat satu arah dan tidak dapat dibalik karena
eksistensi tidak perna bergerak ke belakang.

c. Gerak trans-substansial (al-harakat al-jauhariyyah)

Prinsip gerak trans-substansial ini adalah sebuah temuan filosofis shadra yang sangat
orisinal dan cemerlang serta memberikan kontribusi besar bagi penyelasaian persoalan-
persoalan abadi filosofis, termasuk persoalan dualisme jiwa-tubuh yang menjadi fokus
diskusi dunia modern. Shadra menyatakan bahwa karena gerak (motion) itu berarti
perpindahan (moving) sebagai kata kerja, yakni suatu “kebaruan dan kemenjadian yang
kontinu”, dari bagian-bagian gerak maka adalah tidak mungkin bahwa sebabnya yang
langsung harus sesuatu yang tetap atau wujud yang abadi. Karena, suatu entitas yang tetap
atau abadi mengandung dalam dirinya fase-fase gerak yang dilalui sebagai kenyataan saat

35
Ibid. h. 157
ini (as a present fact), dan kebersamaan melewati fase-fase itu sama dengan stabilitas,
bukan gerak. Oleh karena itu, gerak tidak dapat dibangun atas dasar entitas yang tetap.
Entitas seperti itu dapat memiliki esensi yang tetap, tetapi bukan eksistensi yang tetap
yang sama sekali terdiri dari perubahan dan mutasi. Jadi di bawah perubahan aksiden–
aksiden, terdapat suatu perubahan yang lebih fundamental, yaitu perubahan dalam
substansi (change in substance), yang melalui perubahan pada forma-forma material, maka
semua perubahan dalam aksiden pada akhirnya dapat dilacak. Semua badan, baik langit
(celestial) ataupun material (dunia sublunar), merupakan subjek perubahan substansial ini
dalam wujud mereka. Hal ini membuktikan bahwa seluruh dunia ruang-waktu secara
temporal berawal sejauh eksistensinya terus diperbarui setiap saat.36

Selanjutnya dalam kosmologi, Whitehead berpendapat bahwa materialisme ilmiah berakar


kuat pada kosmologi modern yang dibangun Descartes Newtonian. Oleh karena itu sebagai
alternatif terhadap kosmologi tersebut Whitehead mengajukan kosmologi baru dengan
basis pemikiran filosofis dan ilmiah yang sesuai.

Pandangan organisme dalam kosmologi Whitehead didasarkan pada beberapa konsep


dasar, yaitu:

a. Satuan-satuan aktual (actual entities,actual occasions). Satuan ini merupakan


kategori eksistensi primer yang membentuk segala sesuatu yang ada. Menurut Whitehead
tidak ada sesuatu pun yang lebih nyata dan primer daripada satuan-satuan aktual; ia juga
menyebutnya sebagai final realties. Upaya pemahaman terhadap realitas didasarkan atas
satuan-satuan aktual. Whitehead menyebutnya sebagai prinsip ontologis, bahwa segala
sesuatu merupakan satuan-satuan aktual atau derivasi dari satuan-satuan aktual; bahwa
satuan-satuan aktual adalah satu-satunya alasan, sebab, penjelasan sehingga setiap mencari
sebuah penjelasan adalah mencari satu atau lebih satuan aktual. Satuan aktual disebut juga
sebagai peristiwa aktual, karena setiap satuan aktual merupakan suatu peristiwa
pengalaman, suatu proses perwujudan diri menjadi satu individu. Menurut Whitehead,
istilah peristiwa aktual atau actual occasions ini digunakan untuk menunjukkan karakter
ekstensifnya satuan aktual. Dia mengatakan bahwa dunia aktual adalah suatu proses, dan
proses tersebut adalah proses menjadinya satuan-satuan aktual. Oleh karena itu satuan-
satuan aktual adalah pengada-pengada kreasi; meraka juga disebut sebagai peristiwa-
peristiwa aktual.37

36
Ibid. h. 165-166
37
Ibid. h. 180-181
b. Proses organis. Prinsip “proses” ini ditekankan oleh Whitehead dalam menggambarkan
realitas yang dinamis. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap pengada ditentukan oleh
bagaimana ia menciptakan diri dalam proses menjadi dirinya. Dalam hal ini Whitehead
mengatakan bahwa, bagaimana sebuah satuan aktual yang menjadi (becoming)
mengkonstitusi satuan aktual apa yang ada (being); sehingga dua deskripsi sebuah satuan
aktual tidak terpisah. Ke-pengada-annya dikonstitusi oleh ke-menjadi-annya.38

c. Prinsip “relativitas” Whitehead dalam menggambarkan kondisi umum yang


mengaitkan segala sesuatu dalam kontinum ruang-waktu, mengacu kepada gagasan sentral
yang dicetuskan oleh Teori Relativitas dan mekanika kuantum ia mengemukakan “prinsip
relativitas” (principle of relativity). Dengan semangat yang sama dengan fisika modern itu,
bahwa “Prinsip relativitas universal secara langsung bersebrangan dengan diktum
Aristoteles: Sebuah substansi tidak hadir dalam sebuah subjek, sebaliknya menurut prinsip
relativitas, setiap satuan aktual hadir dalam satuan-satuan actual yang lain. Pada dasarnya
jika kita memperhitungkan tingkat-tingkat relevansi, dan relevansi itu dapat diabaikan, kita
dapat mengatakan bahwa setiap entitas aktual hadir dalam setiap satuan aktual yang lain.
Adalah tugas utama filsafat organisme untuk mencurahkan perhatiannya kepada penjelasan
tentang gagasan bahwa ‘pengada hadir dalam entitas lain’.

d. “Kreativitas” adalah prinsip kebaruan, suatu daya dinamis alam semesta yang
memungkinkan terjadinya proses perubahan terus-menerus yang memunculkan satuan-
satuan aktual baru. Whitehead menjelaskan bahwa, “kreativitas” adalah prinsip kebaruan.
Peristiwa aktual adalah sebuah satuan baru yang diturunkan dari pelbagai satuan tempat
‘yang banyak’ menyatu. Karena itu kreativitas mengintroduksi kebaruan ke dalam
kandungan ‘yang banyak’, yang adalah alam semesta secara disjungtif. “Kemajuan kreatif”
adalah aplikasi dari prinsip dasar kreativitas ini terhadap setiap situasi baru yang darinya ia
berasal. Konsep kreativitas tidak mempunyai karakter tersendiri lepas dari satuan aktual
oleh karena itu kreativitas hanya bisa dikenal dan dipahami dalam proses terjadinya suatu
satuan aktual.

e. Pan-subjektivisme. Dalam sistim kosmologi Whitehead terdapat sebuah prinsip yang


diintroduksinya yang disebut pan-subjektivitas (pan-subjektivity). Menurut Whitehead,
prinsip subjektivitas berlaku untuk semua satuan aktual, mulai dari Tuhan, manusia,
hewan, tumbuhan, mineral, sampai benda-benda mati. Maksudnya adalah segenap pengada
di alam raya ini harus dipahami dan diperlakukan sebagai subjek. Dengan demikian prinsip

38
Ibid.
pansubjektivitas ini dapat dianggap sebagai implikasi alamiah dari prinsip-prinsip primer
seperti prinsip kemenjadian yang mengkonstitusi pengada, prinsip proses sebagai realitas
primer, prinsip relativitas prinsip jaringan yang mengkaitkan segala sesuatu dalam suatu
hubungan organis dan prinsip kreativitas. Dengan prinsip ini ia meneguhkan pemikirannya
yang memandang seluruh alam semesta sebagai suatu ekosistem yang dinamis dan
berevolusi. Dan menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta tidak
mengkontraskan manusia dengan alam.39

3. Positivisme dalam Paradigma IPA

Istilah Positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (1825). Positivisme berakar
pada empirisme. Prinsip Filosofik tentang positifisme dikembangkan pertama kali oleh
empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Tesis positivisme adalah bahwa ilmu satu-
satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi
obyek pengetahuan. Mengembangkan pemikiran tentang ilmu universal bagi kehidupan
manusia, sehingga berkembang ethika, politik dan agama sebagai disiplin ilmu yang
positivistik.40

Pelopor filsafat positivisme ialah August Comte (1798-1857). Dikatakan Positivisme,


karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki, dapat kita pelajari hanyalah
yang berdasarkan fakta-fakta, yang berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka
namakan positif. Positivisme membatasi penyelidikan studinya hanya kepada bidang
gejala-gejala saja. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang tampak, dan
semua gejala.41

Pandangan tersebut didasarkan atas hukum evolusi sejarah manusia yang menurut Comte
mengalami tiga tingkatan, yaitu: Tingkatan teologis yang dikuasai oleh tahayul dan
prasangka, meningkat ke tingkatan metafisik, yang sebetulnya masih abstrak; dan yang
terakhir adalah tingkatan positif, yaitu tingkatan ilmu pengetahuan (science), di mana
pandangan dogmatis diganti oleh pengetahuan faktual. Pada priode terakhir ini manusia
membatasi dan mendasarkan pengetahuannya kepada apa yang dapat dilihat, yang dapat
diukur, dan dapat dibuktikan. Comte sependapat dengan Descartes dan Newton, di mana

39
Ibid. h. 186-189
40
H. Noeng Muhadjir..Op. Cit., h. 69
41
H. Burhanuddin Salam, Logika Material, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 193-194
ilmu pasti dijadikan dasar segala filsafat, karena ilmu pasti memiliki dalil-dalil yang
bersifat umum.42

Pada abad XIX ilmu sosial dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam (IPA) yang
berkembang marak sejak abad XVIII. Problem sosial dan problema kehidupan manusia
dianalisis dengan menggunakan logika induktif, sebagaimana digunakan oleh IPA
berupaya mencari kesamaan, keteraturan dan konformitas agar dapat dibuat hukum dan
prediksi yang berlaku umum, kapanpun dan di manapun. Perilaku manusia dan proses
perubahan individual dicari pula kesamaan, keteraturan, dan konformitas antar individu
sebagaimana gejala alam, agar dapat dibuat hukum dan prediksi yang berlaku umum bagi
siapapun, kapanpun, dan di manapun. Ada upaya untuk menyatukan semua ilmu dalam
paradigm IPA.

Problem sosial dan problem moral manusia dicoba dijelaskan dengan cara yang sama.
Model pembuktian untuk ilmu sosial juga menggunakan model pembuktian matematik
sebagaimana digunakan oleh IPA. Sejak abad XIX sampai medio abad XX terjadi unifikasi
ilmu dalam positivisme dengan paradigma IPA matematik.43

4. Phenomenologi.

Istilah phenomenologi telah digunakan sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, Hegel,
sampai ke Peirce dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert diartikan sebagai ilusi
atas pengalaman.. Pada medio abad Sembilan belas arti phenomenologi menjadi sinonim
dengan fakta. Sejak Edmund Husserl (1859-1938) arti phenomenology telah menjadi
filsafat dan metodologi berfikir. Phenomenon bukan sekedar pengalaman lansung
melainkan pengalaman yang telah menginplisitkan penafsiran dan klasifikasi. Mulai tahun
1970-an phenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai
pendekatan metodologik, dan mengundang kegiatan menterjemahkan karya –karya
utamanya maupun artikel-artikel yang ditulisnya, dan pendekatan phenomenologi menjadi
acuan utamanya.

Core pandangan Husserl yang paling mendasar yaitu Intensionalitas atau keterarahan dan
logika transendentalnya. Menurut Husserl kesadaran berilmu pengetahuan yang pertama-
tama adalah kesadaran manusia tentang obyek-obyek intensional. Intensional memiliki arti
semantik dan ontologik. Arti semantik adalah sesuatu bahasa dan logikanya, sesuatu
dikatakan ekstensional bila dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Dikatakan
42
Ibid. h. 195
43
H. Noeng Muhadjir..Op. Cit., h. 74-75
intensional bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Bahasa atau logika
intensional menampilkan bahasa modalitas atau probabilitas, dengan penjelasan. Ontologik
berarti sesuatu dikatakan ekstensional bila kesamaan identitas antara dua sesuatu dapat
dinyatakan sebagai dua yang equivalen, dua yang identik. Sedangkan sesuatu dikatakan
intensional, bila kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau
identik.

Husserl menjadikan intensionalitas sebagai pusat telaah tentang kesadaran manusia. Dalam
bukunya Logische Untersuchungen Huseerl mengatakan bahwa pengalaman dalam bentuk
intuisi orang mungkin menemukan obyek aktual yang berkorespondensi dengan noema (
sebagai nama dari obyek intended), tetapi mungkin juga tidak menemukan. Namun
bagaimanapun perlu ada keparalelan antara noesis (pemberian deskripsi subyektif atas
sesuatu obyek) dengan noema. Karena itu analisis tentang struktur esensial noetik dari
kesadaran manusia dapat pula mengungkap struktur noematik ataupun struktur
ontologiknya. Kesadaran intensional manusia lebih bersifat aktif, memiliki telos, memiliki
rasionalitas, dan mencari evidensi lebih mendasar.44

Sentral pandangan Husserl yang kedua adalah logika transendentalnya. Dalam bukunya
Formal and Transendental logic mengetengahkan tentang hubungan antara penelitian kita
dengan keputusan kita. Bagaimanapun keputusan kita momot fungsi normatif. Dalam
logika transendental peran aktif pengambilan keputusan penting. Bukan keputusan dalam
bentuk keabadian, melainkan didasarkan pengalaman intersubyektif. Husserl mengakui
bahwa, setiap orang itu merupakan subyek dengan pengalaman-pengalamannya sendiri.
Tetapi orang juga menyadari tentang adanya perilaku dan pernyataan eksternal.
Pengalaman orang lain menjadi landasan dan pengalaman sendiri akan membangun
landasan intersubyektif, dan menjadi basis untuk saling mengurun (sharing) dalam
membangun dunia nilai dan budaya.45

5. Paradigma Islam tentang Transformasi Sosial

Salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana
mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial.
Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapi suatu pertanyaan pokok, yakni bagaimana
mengubah masyarakat dari kondisinya yang sekarang menuju kepada keadaan yang lebih
dekat dengan tatanan idealnya. Elaborasi terhadap pertanyaan pokok semacam itu

44
Ibid. h. 93
45
Ibid. h. 94
menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang
empiris pada masa kini dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan
transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat
berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa
hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.

Sebagai sebuah ideologi sosial, Islam juga menderivasi teori-teori sosialnya sesuai dengan
paradigmanya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang sesuai dengan
cita-citanya. Oleh karena itu jelas bahwa Islam sangat berkepentingan pada realitas sosial,
bukan hanya untuk dipahami, tapi diubah dan dikendalikan. Tidaklah islami misalnya, jika
kaum muslim bersikap tak acuh terhadap kondisi struktural masyarakatnya, sementara tahu
bahwa kondisi tersebut bersifat munkar. Sikap etis seperti ini mungkin akan menghasilkan
bias dalam paradigma teori sosial Islam, sebagaimana teori-teori sosial lain juga mengidap
bias normatif, ideologis dan filosofisnya sendiri.46

Bahwa Islam memiliki dinamika-dalam untuk timbulnya desakan pada adanya


transformasi sosial secara terus menerus, ternyata berakar pada misi ideologisnya yakni
cita-cita untuk menegakkan amr ma’ruf dan nahiy munkar dalam masyarakat di dalam
rangka keimanan kepada Tuhan. Sementara amr ma’ruf berarti humanisasi dan emansipasi,
nahiy munkar merupakan upaya untuk liberasi. Dan karena kedua tugas itu berada dalam
kerangka keimanan, maka humanisasai dan liberasi merupakan dua sisi yang tidak dapat
dipisahkan dari transendensi. Disetiap masyarakat, dengan struktur dan sistem apapun, dan
dalam tahap historis yang mana pun, cita-cita untuk humanisasi, emansipasi, liberasi dan
transendensi akan selalu memotivasikan gerakan transformasi Islam. Cita-cita ini pulalah
yang akan menjadi tema transformasi Islam, suatu tema yang dipenuhi dengan pandangan
profetik tertentu mengenai perubahan.47 Bahwa cita-cita ini akan mengkarakterisasikan
paradigma Islam mengenai transformasi sosial, itu sudah menjadi jelas dengan sendirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens , Kamus Filsafat, Ed. I. ( Cet.III; Jakarta: Gramedia, 2002)

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama 1, Jil.I. ( Cet. I; Pamulang Timur, Ciputat: Lolos Wacana
Ilmu, 1997)

Drajat, Amroeni, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, ( Jakarta: Erlangga, 2006)

46
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998), h. 337
47
Ibid. h. 338
Heriyanto, Husain, , Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains,dan Kehidupan Menurut
Shadra dan Whitehead, (Cet; Jakarta Selatan: Teraju, 2003)

Komaruddin, Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Ed. I,
(Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara , 2002)

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Cet. VIII; Bandung: Mizan,
1998)

Muhadjir, H. Noeng, Filsafat Ilmu: Positivisme,Post positivism, dan Post Modernisme,


Ed.II. (Cet.I; Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001)

Patrick, G.T.W, C.A. van Peursen, Ayn Rand, et al., Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu
itu?, (Cet.I; Bandung: Pustaka Sutra, 2008)

Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan metodologi Penelitian,
Ed.I.(Yogyakarta: Cv. Andi offset, 2007)

Sugiyono, Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Cet.III;
Bandung: Alfabeta, 2007)

Wattimena, Reza A.A , Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, ( Jakarta: PT. Grasindo,
2008)
Paradigma Thomas Kuhn

Berbicara mengenai paradigma tak bisa lepas dari sosok Thomas Kuhn, seorang
mahasiswa fisika teoritis yang kemudian lebih tertarik kepada sejarah sains setelah
mengikuti kuliah eksperimental yang kemudian menjadi salah satu orang penting di socety
of fellow harvard university. Yang kemudian melahirkan gagasan-gagasan baru sains
dalam dunia sains disebut dengan “konsep paradigma”, dituangkan dalam bukunya “The
Structure Of Scientific Revolutions” . buku inilah yang memicu lahirnya filsafat ilmu dan
merupakan gebrakan baru dalam dunia keilmuan yang mampu membentuk dan
mengembangkan wacana intelektual baru dalam dunia filsafat ilmu dan konstribusi
konseptual yang memberi insight dalam berbagai disiplin intelektual dengan derajat
sosialisasi dan popularitas yang jarang ditandingi.

Gagasan baru yang diusung oleh Kuhn merupakan tanggapan terhadap pendekatan Popper
pada filsafat ilmu pengetahuan,. Menurut Kuhn, Popper memutarbalikkan kenyataan
dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang
disusul dengan upaya falsifikasi, dan justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan
sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya. Berbeda dengan Kuhn yang menjadikan
sejarah sebagai starting point dan dasar untuk menyusun paradigmanya. Selain itu sejarah
juga dapat digunakan untuk menentukan ajeg tidaknya suatu paradigma. Pandangan yang
menyatakan sejarah sekedar sebagai disiplin yang sekedar normatif atau deskriptif adalah
pandangan yang keliru yang umumnya didaarkan pada tesis-tesis dangkal yang kadang
hanya bersifat normatif dan impertatif.

Kuhn mendasarkan gagasan-gagasannya pada sejarah dimana sejarah telah membantunya


menemukan konstelasi fakta, teori dan metode-metode yang tersimpan di dalam buku-buku
sains. Dengan jalan begitu, Kuhn menemukan suatu proses perkembangan teori yang
kemudian disebutnya sebagai proses perkembangan paradigma yang revolusioner, yang
dirumuskan dalam rangkaian proses sebagai berikut:

Pra paradigma – Pra Science – Paradigma Normal Science – Anomali – Krisis Revolusi –
Revolusi –Paradigma Baru

• Pra paradigma dan pra science


Pada tahap ini aktifitas-aktifitas ilmiah dilakukan secara berpisah dan tidak terorganisir,
karena belum adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang
suatu teori, akibatnya terjadi persaingan diantara ilmuan untuk menpertahankan varian dari
suatu teori tertentu. Hal semacam ini tetap berlangsung sampi suatu paradigma tunggal
diterima oleh semua aliran ilmuan tersebut dan jalan menuju sains normal telah mulai
ditemukan.

• Paradigma normal science

Pada tahap ini, paradigma tunggal diterima oleh semua ilmuwan. Paradigma tunggal yang
telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai
kritik dan falsifikasi. Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra
science. Keadaan ini tidak mungkin bisa bertahan terus-menerus, sebuah teori yang telah
disepakati sehingga permasalahan apapun yang muncul diusahakan dapat terjawab oleh
paradigma atau teori tersebut, namun jika terdapat suatu fenomena yang tak mampu
dijelaskan oleh paradigma tersebut maka sains memasuki tahap anomali

• Anomali

Pada tahap suatu paradigma dianggap memiliki kelainan karena ketidakmampuannya


menjawab problematika yang sedang menyerang paradigma tersebut. Sehingga muncullah
paradigma baru yang menentang paradigma lama secara terus-menerus sehangga
memunculkan krisis yang disebut krisis revolusi.

• Krisis revolusi

Merupakan tahap dalam perkembangan sains yang menunjuk pada kondisi pertentangan
antara penganut paradigma lama dengan kelompok yang menghendaki perubahan
terhadap paradigma lama. Pada periode ini biasanya muncul gagasan-gagasan baru yang
mengguncangkan eksistensi paradigma lama yang pada gilirannya akan menjadi sebab
semakin memuncaknya pertentangan itu. Meningkatnya pertentangan ini hanya mungkin
jika dipenuhi suatu kondisi, yaitu adaptifnya gagasan-gagasan baru terhadap gejala-gejala
yang berkembang. Krisis ini akan diakhiri oleh munculnya teori baru yang ditandai oleh
suatu proses penggantian kedudukan yang radikal, yaitu revolusi sains.

• Revolusi sains
Merupakan tahap dalam perkembangan sains dimana munculnya teori baru yang secara
radikal menggantikan teori lama. Revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin
tumbuh yang ditandai oleh pandangan subdivisi masyarakat sains yang cenderung bersifat
sempit, yaitu tidak difungsinya lagi paradigma lama. Karenanya paradigma lama harus
digantikan oleh paradigma baru. Bertolak dari dasar proses ini maka lahirlah paradigma
baru.

• Paradigma baru

Merupakan paradigma hasil revolusi sains yang menggantikan kedudukan paradigma lama.
Berdasarkan karakter proses ini maka ciri untuk menentukan standar revolusi sains adalah
ada atau tidaknya penerobosan terhadap suatu komitmen sains yang normal. Ciri lainnya
adalah ada tidaknya anomali, krisis dan akhirnya pergantian kedudukan terhadap suatu
teori lama. Menurut Kuhn, revolusi sains tidak selalu merupakan gejala eksplisit yang
tegas. Sering ia merupakan suatu proses implisit dari perubahan unsur-unsur penting dari
suatu formula. Karenanya hanya buku-buku sainslah yang menjelaskan revolusi itu, yaitu
dengan melihat formulasi paradigma sebelum perubahan, dan buku-buku yang
mengandung uraian tentang itu pada pasca revolusi.

Demikian konsep paradigma yang diusung oleh thomas s. Kuhn. Secarah singkat
paradigma merupakan keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki
suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Kesimpulannya Kuhn
memandang ilmu dapat berkembang secara open ended (sifatnya selalu terbuka untuk
direduksi dan dikembangkan)

Terima kasih

Dikutip dari berbagai sumber referensi yang dapat dipertanggungjawabkan

Anda mungkin juga menyukai