Anda di halaman 1dari 27

ANTARA ILMU DAN TSAQAFAH

TSAQOFAH - 18/12/2005 Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi Pengantar Salah satu kekeliruan terbesar di kalangan umat Islam, adalah anggapan bahwa berbagai pengetahuan khas Barat seperti ilmu politik dan ekonomi sama universalnya dengan sains dan teknologi, yaitu bisa berlaku di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. Padahal, pemikiran politik dan ekonomi Barat amat sarat dengan nilai-nilai (values) khas dari ideologi kapitalisme, bukan pemikiran universal seperti halnya fisika, kimia, astronomi, dan kedokteran. Kekeliruan anggapan itulah yang hendak dikoreksi oleh Taqiyuddin An-Nabhani dalam konsepnya tentang ilmu (natural sciences) dan tsaqafah (social sciences). Bagaimana penjelasannya? Telaah kitab kali ini akan mengupas masalah tersebut dari beberapa kitab An-Nabhani, seperti Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I (1994) dan At-Tafkir (1973), dan literatur-literatur lain yang relevan. Latar Belakang Sesungguhnya tidaklah mengherankan kalau umat Islam terkecoh menganggap ilmu-ilmu alam seperti fisika sama universalnya dengan ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi. Mengapa? Sebab pandangan tersebut juga dominan di negara-negara Barat, setelah kuatnya pengaruh Positivisme yang dirintis oleh August Comte (1798-1857). Sistem pendidikan di Dunia Islam yang didasarkan pada paradigma sekularisme, akhirnya mengimbaskan pandangan yang sama itu kepada umat Islam (Butt, 1996:17 & 42). Positivisme adalah paham yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah 'data-data yang nyata/empirik', atau yang mereka namakan positif. Positivisme merupakan tradisi berpikir dalam ilmuilmu sosial Barat yang sebenarnya dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu-ilmu alam dalam memahami dan menyelidiki fenomena alam. Karena itu, Positivisme mempercayai universalisme dan generalisasi yang diperoleh dari prosedur metode ilmiah(scientific method), sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dianggap bersifat universal, atau cocok (appropriate) untuk semua, kapan saja, dan di mana saja (Fakih, 2001:24). Menurut Positivisme, berdasarkan metode ilmiah nilai-nilai politik dan sosial dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta partikular yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif (Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berpikir), 1990:133). Walhasil, dominasi positivisme dan metode ilmiah yang diterapkan dalam lapangan ilmu-ilmu sosial itulah yang mengakibatkan umat Islam menganggap ilmu-ilmu sosial bersifat universal, sebagaimana halnya ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan, kalau ide demokrasi, kapitalisme, dan liberalisme dianggap sama universalnya dengan fisika atau kimia. Demikian pula sosiologi dan psikologi, juga dianggap universal seperti halnya astronomi dan biologi. Kenyataan itulah yang membuat Taqiyuddin An-Nabhani prihatin. Dari sinilah lalu An-Nabhani merumuskan gagasannya tentang klasifikasi pengetahuan menjadi ilmu dan tsaqafah, termasuk gagasan tentang metode berpikir untuk menghasilkan masing-masing pengetahuan itu. An-Nabhani menegaskan, ilmu-ilmu sosial bukanlah pemikiran universal, melainkan pemikiran khas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat. Dengan kata lain, karakter ilmu sosial adalah terikat atau mengandung nilai (value-bound), berbeda dengan fisika atau kimia yang bebas nilai (value-free) (Agus, 1999:58). An-Nabhani memandang pula, ada perbedaan

metodologi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Metode ilmiah menurut beliau hanya valid (sah) diterapkan dalam ilmu-ilmu alam, tidak berlaku secara universal untuk bidang ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi (An-Nabhani, 1973:32-34). Pengertian Ilmu dan Tsaqafah Ilmu menurut An-Nabhani, adalah pengetahuan (knowledge, marifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan penarikan kesimpulan dari fakta empiris (inference). Contohnya adalah fisika, kimia, dan ilmu-ilmu eksperimental lainnya. Sedangkan tsaqafah, adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (al-ikhbar), penyampaian transmisional (al-talaqqi), dan penyimpulan dari pemikiran (istinbath). Contohnya adalah sejarah, bahasa, hukum, filsafat, dan segala pengetahuan non-eksperimental lainnya (An-Nabhani, 1994:262-263). Dalam khazanah pengetahuan kontemporer, istilah ilmu dalam klasifikasi An-Nabhani di atas identik dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), yang terkadang disingkat sains. Sedang tsaqafah kurang lebih identik dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Sebagian intelektual, seperti Jujun S. Suriasumantri (Kompas, 27/4/1983), mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua cabang besar, yaitu ilmu (science), (yang mencakup ilmu-ilmu alam dan sosial), dan humaniora (humanities). Humaniora, menurut Elwood (1975) adalah seperangkat sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya (L. Wilardjo dalam Suriasumantri, 1992:237), yang meliputi filsafat, moral, seni, sejarah, dan bahasa. Istilah lain dikemukakan oleh S. Waqar Ahmed Husaini dalam bukunya Islamic Sciences (2002:34-57), yang mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sicencies), dan ilmu-ilmu sosialhumanistik (humanistic-social sciences). Yang terakhir ini adalah gabungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Istilah tsaqafah menurut An-Nabhani nampaknya lebih tepat diterjemahkan sebagai humanistic-social sciences, daripada sekadar social sciences. Dari definisi ilmu dan tsaqafah An-Nabhani di atas, dapat dianalisis bahwa kriteria dasar klasifikasinya adalah metode yang digunakan memperoleh pengetahuan, atau aspek epistemologisnya. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah yang asumsi dasarnya adalah netral atau bebas nilai. Sedang tsaqafah, tidak diperoleh melalui metode ilmiah, melainkan metode rasional (rational method), yaitu metode berpikir terhadap suatu fakta empiris dengan cara mengindera fakta tersebut lalu mentransfernya ke dalam otak melalui pancaindera, serta memberikan penafsiran atau keputusan (judgement) terhadap fakta tersebut dengan seperangkat informasi terdahulu yang telah ada dalam memori otak (An-Nabhani, At-Tafkir, 1973:28). Kesimpulan yang diperoleh dari metode atau pendekatan rasional ini, dengan sendirinya, tidaklah universal, karena bergantung pada jenis informasi yang dikaitkan dengan fakta yang ada. Riba (baik disebut interest atau usury) sebagai suatu fakta, akan ditafsirkan secara berbeda antara seorang muslim dan sekuler. Si Muslim akan menilainya haram. Sementara bagi kaum kapitalis sekuler, riba adalah baik, menguntungkan, dan bahkan menjadi tulang punggung sistem ekonomi Barat. Kesimpulannya, dasar klasifikasi An-Nabhani sesungguhnya ada 2 (dua); Pertama, aspek epistemologisnya, yaitu metode berpikir yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah, sedang tsaqafah melalui metode rasional. Kedua, aspek valuasionalnya, yaitu keterkaitan pengetahuan dengan pandangan hidup (wijhatun nazhar, world-view, weltanschauung) atau apa yang sering disebut nilai (value), yang didefinisikan sebagai sesuatu yang mempunyai harga dan karenanya dianggap baik atau benar, atau sesuatu yang diharapkan atau ingin dimiliki oleh manusia (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1992:13). Jadi, ilmu adalah pengetahuan yang bebas nilai (value-free), sedang tsaqafah adalah pengetahuan yang bersifat valuasional, atau value-bound (mengandung nilai). Namun patut dicatat, bahwa karakter bebasnilai pada ilmu hanya ada dataran epistemologinya. Dalam dataran aksiologi, yaitu studi mengenai bagaimana menerapkan suatu pengetahuan, karakter ilmu tidaklah netral, tapi bergantung pada pandangan hidup penggunanya. Internet sebagai contohnya, dapat dimanfaatkan sebagai sarana dakwah, tapi juga dapat digunakan sebagai sarana penyebaran pornografi.

Dengan memahami dasar klasifikasi An-Nabhani di atas, kita akan dapat memahami mengapa An-Nabhani membuat beberapa perkecualian untuk beberapa cabang pengetahuan ketika diklasifikasikan, apakah masuk kategori ilmu atau tsaqafah. Ada pengetahuan yang aslinya merupakan tsaqafah, karena tidak eksperimental, namun kemudian digolongkan sebagai ilmu, karena tidak terkait pandangan hidup dan bersifat universal. Misalnya ilmu hisab (astronomi). Dalam sejarah Islam, penerjemahan ilmu astronomi banyak dilakukan dari buku-buku berbahasa India dan Yunani. Muhammad A. Fajari (w. 161 H), seorang astronom muslim, menerjemahkan buku astronomi berbahasa India, Shiddhanta Barahmagupta (ilmu bintang), ke dalam bahasa Arab. Astronom muslim lainnya, Yakub Ibn Thariq (w. 162 H) menerjemahkan Shiddanta Aryabhrata dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Arab. Hunain Ibn Ishaq, menerjemahkan Almagest (karya Ptolomeus) dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab (Sritain Shadiq, 1995:61). Jadi, walaupun astronomi asalnya adalah tsaqafah, karena dimiliki bangsa non-muslim dan diperoleh secara non-eksperimental, namun kemudian dimasukkan kategori ilmu, karena sifatnya yang universal dan bebas nilai. Perbedaan dan Implikasi Dari penjelasan di atas, paling tidak ada 3 (tiga) poin yang membedakan ilmu dan tsaqafah. Pertama, aspek epistemologinya (metode memperoleh pengetahuan). Ilmu diperoleh dari metode ilmiah yaitu melalui observasi, eksperiman ilmiah, dan inferensi terhadap benda-benda material dalam laboratorium. Sedang tsaqafah diperoleh bukan dari metode ilmiah, melainkan metode rasional yang dalam hal ini adalah melalui penyampaian informasi (misalnya dalam Aqidah Islam), penyampaian trasmisional (misalnya ilmu tarikh, riwayat hadits), dan penyimpulan dari pemikiran (misalnya fiqih Islam). Kedua, aspek valuasionalnya (kaitan dengan nilai kehidupan). Ilmu bersifat bebas nilai dan universal, sedangkan tsaqafah tidak bebas nilai dan juga tidak universal. Ketiga, aspek adopsi. Ilmu dapat diadopsi oleh umat Islam dari mana pun sumbernya, walau pun dari bangsa non-muslim. Sedangkan tsaqafah tidak boleh diadopsi dari bangsa non-muslim, sebab pasti mengadung pandangan hidup yang bertyetangan dengan Aqidah dan Syariah Islam.

Daftar Pustaka Agus, Bustanudin. 1999. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam. Jakarta : Gema Insani Press Al-Alwani, Thaha Jabir. 1995. Identifikasi Terhadap Krisis Pemikiran Modern dan Alternatif Pemecahannya (Al-Azmah Al-Fikriyah Al-Muashirah). Terjemahan oleh A. Zarkasyi Khumaidi. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Al-Attas, Syed M. Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. Bandung : Mizan Al-Banna, Jamal. 1997. Islam dan Akal (Al-Islam wa Al-Aqlaniyah). Terjemahan oleh Sofwan Jauhari. Jakarta : Studia Press. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1973. At-Tafkir. T.tp. : Hizbut Tahrir. ----------. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Beirut : Darul Ummah. An-Najjar, Abdul Majid. 1994. Klasifikasi Ilmu-Ilmu Dalam Pemikiran Islam Antara Pandangan Konvensional dan Pandangan Orisinal, dalam Abdul Hamid Abu Sulaiman dkk, Metodologi Islam dan Ilmu-Ilmu Tingkah Laku Serta Pendidikan (Al-Minhajiyah Al-Islamiyah wa Al-Ulum As-Sulukiyah wa At-Tarbawiyah). Terjemahan oleh Rifyal Kabah. Jakarta : DDII-IIIT.

Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan XIV. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Butt, Nasim. 1996. Sains dan Masyarakat Islam (Science and Muslim Society). Terjemahan olehMasdar Hilmy. Bandung : Pustaka Hidayah. Campbell, Norman. 1989. Ilmu Pengetahuan Alam Tantangan Akal-Budi Manusia (What is Science). Terjemahan oleh Sony Keraf. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Fakih, Mansour. 2003. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Garishah, Ali. 1992. Metode Pemikiran Islam (Manhaj At-Tafkir Al-Islami). Terjemahan oleh Salim Basyarahil. Jakarta : Gema Insani Press Husain, Syed Sajjad & S. Ali Asharaf (Ed). 1994. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam (The Crisis of Muslim Education). Terjemahan oleh Rahmani Astuti. Bandung : CV Gema Risalah Press. Husaini, S. Waqar Ahmed. 2002. Islamic Sciences : An Introduction to Islamic Ethics, Law, Education, Politics, Economics, Sociology, and System Planning. New Delhi : Goodword Books. Khan, Waheeduddin.1982. Agama Versus Sains (Ad-Din fi Muwajahah Al-Ilmi). Terjemahan oleh Ahmadie Thaha. Surabaya : Al-Ikhlas Shadiq, Sriyatin.1995. Perkembangan Hisab, Rukyat, dan Penetapan Awal Bulan Qamariyah, dalam Muammal Hamidy (Ed.), Menuju Kesatuan Hari Raya, Surabaya : PT. Bina Ilmu Salim, Fathi. 1993. Al-Istidlal bi Azh-Zhanni fi Al-Aqidah. Cetakan II. Beirut : Darul Bayariq Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta : PT. Gramedia ----------. 1992. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Cetakan X. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME


A. Pendahuluan Filsafat pragmatisme merupakan pererakan asli dari Amerika yang lahir pada akhir abad ke-19 dengan dimotori oleh William James, Charles Sanders Peirce, dan John Dewey. Pada perkembangannya, pragmatisme banyak mempengaruhi kehidupan intelektual di Amerika, bahkan meningkat ke dunia Inggris. Sampai kini pun dunia banyak yang menganut pemikiran pragmatisme tersebut. Munculnya pragmatisme tidak terlepas dari pengaruh filsafat empirisme yang telah berkembang sebelumnya. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Menurut mereka, pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yan berubah serta fenomena-fenomena, dan alam sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat melangkah keluar daripadanya. Oleh karena itu, pragmatise tdak bisa lepas sebagai protes akan filsafat tradisional dengan membawa pemikiran baru yang berhasil mempengaruhi dunia. Pada perkembangannya, pragmatisme berimplikasi pada berbagai bidang, terutama bidang pendidikan dengan motor penggeraknya terletak pada John Dewey. Filsafat ini digunakan dalam memecahkan persoalan pendidikan serta menyelenggarakan pendidikan. Menarik untuk dikaji bahwa filsafat pragmatisme merupakan salah satu filsafat terbesar yang berhasil

merambah dunia pendidikan sampai saat ini. Meskipun demikian, sangat banyak kritik yang dilontarkan terhadap pragmatisme, terutama dari tinjauan Islam. B. Asal Usul, Tokoh, dan Pemikiran Dasar Pragmatisme Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dengan Renaissance yakni suatu gerakan atau usaha yang berkisar antara tahun 1400-1600 M untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi, yang kemudian juga berkembang ke masa Aufklarung (pencerahan). Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang cuma mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke aliran Empirisme. Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda yang lebih memfokuskan pada bahasan mengenai segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya. Aliran-aliran tersebut yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme. Sebagai aliran filsafat, pragmatisme membahas hal-hal yang bersifat riil, nyata, konkrit, praktis, dan langsung dapat dirasakan hasilnya atau kegunaannya. Seperti yang telah disinggung di atas, pragmatime sebagai paham paham filsafat tidak terlepas dari tokoh seperti Charles Sanders Peierce (1839-1914), yang dianggap sebagai perintis, dan William James (1842-1910) sebagai tokoh resmi pendirinya, yang terkenal sebagai arsitek eksisnya pragmatisme. Namun, juga berkat John Dewey (1859-1952) pragmatisme semakin kokoh dan terkenal karena ia merupakan tokoh ketiga yang menjadi corong pragmatisme dalam menyebarkan paham-pahamnya. Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works). Pragmatisme merupakan filsafat yang mencerminkan secara kuat kehidupan Amerika, ia berusaha menengahi ide filsafat yang telah berkembang sebelumnya, yaitu antara empirisme dan idealisme dan berusaha menggabungkan hal yang sangat berarti dari keduanya. Bagi pragmatisme seperti yang dikatakan James, yang dbutuhkan manusia sekarang bukan hal-hal yang berupa metafisika, tetapi hal-hal yang langsung dapat dirasakan kemanfaatannya bagi manusia (kegunaan praktis. Itulah makna sesungguhnya dari pragmatis. Jadi, inti dari ajaran pragmatisme adalah segala sesuatu akan bernilai benar jika sesuatu itu dapat direalisasikan dan dirasakan langsung keberadaan maupun manfaatnya oleh manusia. Seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa ada tiga tokoh besar pragmatisme. Meskipun akar pemikiran mereka sama, namun masing-masing mereka memiliki kecenderungan tesendiri. 1. Charles Pierce (1839-1914) Pragmatisme Pierce lebih dikenal sebagai eksperimental, maksudnya segala sesuatu yang bersifat praktis hanya dapat dibuktikan melalui penelitian eksperimental, atau dijelaskan secata eksperimental. Dalam hal ini Peirce lebih menekankan pada pendekatan bahasa dan matematika. Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974)

menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme antara lain sebagai berikut: 1) Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini manusia. 2) Bahwa apa yang kita namakan "universal" adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari: Community of knowers" 3) Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas). Dari uraian di atas, nampaknya pragmatisme Peirce juga lebih menekankan pada teori arti. Ia berusaha mengemukakan arti sesuatu, yang mana sesuatu itu praktis jika bisa diuji dengan pengalaman, dan berusaha mengungkapkan sesuatu dengan penjelasan arti (bahasa) dan matematika. 2. William James (1842-1910) Pragmatisme James disebut juga praktikalisme, yang dikatakan praktis adalah yang dapat mempengaruhi perilaku manusia. Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme , sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi. 3. John Dewey(1859-1952) John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini, yang pada akhirnya sangat berdampak pada proses pendidikan. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: 1. Merasakan adanya masalah 2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin. 3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah. 4. Memilih dan menganalisis hipotesis. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian. Pragmatisme Dewey juga biasa disebut instrumentalisme (pengalaman). Pengalaman manusia membentuk aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Kita tidak hanya berpikir biasa, melainkan berpikir reflektif. Berpikir reflektif akan terjadi jika kita mengahdapi masalah. Dan untuk memecahkan masalah itulah manusia memerlukan akal. Pada akhirnya, terjadilah proses pemecahan maslaah seperti yang telah dinyatakan di atas. Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia. Adapun pemikiran dasar pragmatisme secara umum agar lebih rinci dan teratur untuk dipahami akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Realitas

Realitas dan dunia yang kita amati tidak bebas dari ide manusia dan sekaligus juga tidak terikat kepadanya. Realitas merupakan interakti antara manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Selain itu, menurut pragmatis realitas tidak terbakukan melainkan berada dalam suatu keadaan yang berubah terus menerus sebagaimana pengalaman manusia yang terus meluas. Apa yang bernar hari ini kemungkinan tidak benar esok harikarena realitas tidak dapat dipisahkan dari pengalaman. Kita hidup di alam yang dinamis yang akan berubah terus menerus. Artinya, realitas ni selalu berubah karena ia adalah interaksi manusia dengan lingkungannya yang selalu bersifat dinamis. 2. Pengetahuan dan Kebenaran Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar apabila memiliki konsekuensi yang menyenangkan. Menurut Dewey dan Peirce, suatu ide itu benar apabila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara ojektif dan ilmiah. Kemudian, untuk mencapai kebenaran itu setidaknya ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1) dalam kehidupannya manusia menjumpai keadaan yang mengganggu dan menjadi masalah sehingga menimbulkan keragu-raguan; 2) manusia berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan itu; 3) manusia berusaha memberikan solusi-solusi; 4) upaya penalaran, maksudnya berusaha memperhitungkan konsekuansi-konsekuensi dari solusi yang terpikirkan tadi; 5) pengujian hipotesis dengan tindakan yang nyata dan paling bisa diterima dengan akal. Sesuai dengan pemikiran dasar pragmatis, pengetahuan dan kebenaran itu tentunya tidak bersifat absolut, tetapi ia relatif. Pragmatis tidak menentukan kriteria kebenaran secara umum, melainkan bersifat khusus dan subjektif. 3. Nilai Nilai bersifat relatif. Nilai bersifat benar selama ia dapat terwujud dan memberikan manfaat nyata bagi manusia. Berbicara mengenai kaitannya dengan agama, nampaknya agak sulit dipahami. Knight misalnya mengatakan bahwa dalam konsep pragmatis, nila-nilai tradisional yang bersifat pragmatis bisa diterima, akan tetapi ia harus dibersihkan dari agama karena agama tidak ilmiah. Ditambah lagi, kita tidak bisa bersandar pada prinsip-prinsip yang telah ditentukan dan bersifat kaku. Selanjutnya, Tafsir mengatakan bahwa James (yang merupakan tokoh pragmatis) mengakui agama karena itu perlu bagi manusia. Namun, menurutnya tetap saja bahwa kebenaran agama itu belum selesai. Kemudian, ada unsur-unsur yang tidak ilmiah yang tidak dapat diterima secara pragmatis. Di sisi lain, Sadulloh mengatakan bahwa pragmatis tidak menaruh perhatian nilai-nilai yang tidak empiris, seperti nilai supernatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama. Dari beberapa uraian di atas nampaknya dapat dipahami bahwa dalam pragmatisme, nilai dianggap benar (termasuk dalam agama) asalkan bersifat aplikatif dan bermanfaat bagi manusia, disamping itu nilai kebenaran tersebut tentunya bersifat relatif dan belum final. Diluar lingkup itu, ia tidak benar secara pragmatis. Tapi perlu diingat bahwa dalam pemikiran pragmatisme, bukan agamanya yang dipandang, tapi nilai yang bersifat praktis dan berguna itulah yang diakui. 4. Pendidikan Dalam perkembangannya, akhirnya filsafat pragmatisme memberikan pengaruh yang penting terhadap pendidikan Amerika dan selanjutnya ke negara-negara lain. Bahasan tentang pendidikan ini akan lebih dikhususkan dan dijelaskan pada bagian selanjutnya. C. Pragmatisme dan Pendidikan Seperti yang diketetahui bahwa pragmatisme merupakan paham yang memberlakukan hal secara praktis. Sesuatu yang tidak bersifat praktis maka tidaklah benar, dan pemikiran ini pun menjadi landasan pengembangan pendidikan yang di motori oleh John Dewey. 1. Hakikat Pendidikan Hakikat pendidikan menurut pragmatisme adalah menyiapkan anak didik dengan membekali seperangkat keahlian dan keterampilan teknis agar mampu hidup di dunia yang selalu berubah. Konsep pendidikan Dewey yang berlandaskan pragmatisme, menilai suatu pengetahuan berdasarkan guna pengetahuan dalam masyarakat. Yang diajarkan adalah pengetahuan yang segera dapat dipakai dalam penghidupan masyarakat sehari-hari. Artinya, pragmatisme memandang bahwa pendidikan yang diselenggarakan berpusat pada peserta didik yang

sesuai dengan minat serta kebutuhan-kebutuhannya agar mampu mengatasi persoalan hidup secara praktis. 2. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan dalam pandangan ragmatisme tentunya harus searah dengan konsep filosofis pragmatis. Seperti mengenai realitas, pengetahuan dan kebenaran, serta nilai. Dengan berpijak pada konsep di atas, objektivitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana si anak hidup, dimana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehidupan, melainkan di dalam kehidupan sendiri. Sesuai dengan prinsip pragmatisme bahwa tidak ada kebenaran mutlak dan esensi realitas adalah perubahan, maka dalam hal pendidikan ini tidak ada tujuan umum yang berlaku universal dan pasti. Artinya, tujuan pendidikan harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik. Hal ini berarti, tujuan pendidikan dalam persfektif pragmatisme adalah untuk menyiapkan peserta didik menghadapi kehidupan dalam masyarakatnya yang bersifat praktis. Setiap satuan sosial yang menjalani pendidikan bisa saja memiliki tujuan khusus yang berbeda berdasarkan karakteristik dan kebutuhan masyarakat lokal. 3. Kurikulum dan Proses Pendidikan Pengembangan kurikulum dalam pragmatisme tentunya sejalan dengan hakikat dan tujuan pendidikan itu itu. Dewey memandang bahwa tipe pragmatisnya diasumsikan sebagai sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikatif dalam masyarakat. Pendidikan dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup di masa depan. Ia juga mengkritik model pendidikan Amerika yang hanya mengajarkan muatan-muatan usang yang hanya mengulang-ulang masa lampau dan sebenarnya tidak pantas lagi disampaikan pada peserta didik. Pendidikan harus membekali peserta didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungannya . Tidak ada suatu materi pelajaran tertentu yang bersifat universal dalam sistem dan metode pelajaran yang selalu tepat untuk semua jenjang sekolah. Sebab, seperti pengalaman, kebutuhan serta minat individu atau masyarakat berbeda menurut tempat dan zaman. Dalam hal ini, kurikulum juga harus bersifat elastis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Kemudian, muatan kurikulum harus meliputi perkembangan minat, pikir, dan kemampuan praktis. Kurikulum kiranya perlu dibangun atas dasar unit-unit yang alamiah (wajar) yang tidak menimbulkan persoalan dan pengalaman yang menekan para subjek didik. Dari sini dapat dipahami bahwa pengembangan kurikulum dalam pragmatisme lebih ditekankan pada pendekatan psikologis (peserta didik) dan sosiologis (masyarakat). Serta, kurikulum dibangun sebagai rencana praktis sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan yang tidak terpaku pada materi-materi yang kaku. Berangkat dari hal di atas, berarti model kurikulum yang dikembangkan adalah integrated curriculum (masalahmasalah yang ada dalam masyarakat disusun terintegrasi), serta Dewey juga menawarkan metode pendidikan yang tepat, yaitu belajar sambil berbuat (learnin by doing) dan problem solving. Dengan rancangan kurikulum dan metode pendidikan yang ditawarkan, dasar filosofis pragmatis nampak sangat terurai dalam pendidikan yang dimaksudkan. Dimana segala sesuatu dinilai berdasarkan hal-hal yang realitas, nyata, praktis, dan dianggap memberikan manfaat langsung. Pendidikan dalam pragmatisme yang lebih menekankan pada pertimbangan psikologis dan sosiologis diterjemahkan dalam kurikulum yang dibangun. Selanjutnya agar proses pembelajaran bisa berjalan efektif dalam artian sesuai dengan maksud pragmatis yang akan dicapai, metode problem solving dan belajar dengan berbuat sangat dikedepankan. D. Tinjauan Atas Pragmatisme: Kajian Filosofis Pendidikan Islam Setelah pada bagian sebelumnya dibicarakan pragmatisme dalam persfektif pendidikan, selanjutnya akan kembali diuraikan ke arah filsafat pragmatisme secara umum dan mendasar. Saat ini dapat disaksikan bagaimana pendidikan-pendidikan Barat (khususnya Amerika) sangat unggul dalam pengembangan iptek. Corak pendidikan yang dianut nampaknya tidak jauh dari falsafah pragmatisme. Sehingga, tidak aneh jika sebagian kalangan menganggap pragmatise merupakan konsep yang ideal untuk segera dianut secara komprehensif khusunya bagi negara-negara Timur, termasuk Indonesia. Namun, sebagai sebuah konsep pemikiran yang dibangun manusia, ia pun tak luput dari respon atau tanggapan. Ada beberapa tanggapan yang dilontarkan terhadap pragmatisme, baik pro ataupun kontra.

Abdullah misalnya menyebutkan bahwa pragmatisme sangat penting diterapkan di Indonesia. Alasannya, pragmatisme membicarakan hal-hal yang langsung dapat mempengaruhi hidup manusia, berguna dalam praktek, dan dapat memenuhi tuntutan hidup manusia. Hal itu sangat penting dalam upaya pembangunan di Indonesia. Jangan hanya bisa berteori tanpa berbuat. Di sisi lain, Al-Jawi mengatakan bahwa pragmatisme merupakan ide yang keliru. Ada beberapa hal yang ia kritik dan menjadi titik lemah dari pragmatisme. Pertama, kritik dari segi landasan ideologi. Menurutnya, pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi kapitalisme. Kedua, kritik dari segi metode berpikir yang menggunakan metode ilmiah. Metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan metode empirik sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya juga menjadi landasan pemikiran adalah metode akliyah/rasional (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan hanya metode empirik. Ketiga, kritik terhadap pragmatisme itu sendiri. Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi: 1) pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia; 2) pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif; 3) pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide baik individu, kelompok, dan masyarakat dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan menurut Pragmatisme itu sendiri setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri. Selanjutnya, Tafsir memberikan kritik yang lebih keras lagi. Ia memandang bahwa filsafat pragmatisme ini masih cukup dominan pengaruhnya sampai sekarang, padahal filsafat tersebut membahayakan manusia. Menurutnya, yang paling merusak dalam filsafat tersebut adalah pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, semua kebenaran belum final. Akhirnya, berakibat pada subjektivisme dan individualisme, kedua hal ini sudah cukup mengguncang kehidupan kemanusiaan. Sehingga, sangat pantaslah mengapa kebudayaan Amerika sekarang demikian. Beberapa tanggapan (kritik) terhadap pragmatisme cukuplah banyak terutama jika dilihat dari konsep Islam, terlebih dalam kajian filsafat pendidikan Islam. Dalam pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, Langgulung seperti dikutip Muhaimin menyatakan bahwa sumber pemikiran pendidikan Islam adalah: kitab Allah (al-Quran), sunnah, perkataan sahabat, kemaslahatan sosial, serta pemikir-pemikir Islam Lebih khusus lagi, tujuan pendidikan Islam tentulah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri seperti dalam surat az-Zariyat: 56, yaitu untuk beribadah pada-Nya, serta dalam al-Baqarah: 30, yaitu sebagai khalifatullah di bumi. Jadi, pendidikan Islam selayaknya merupakan suatu proses untuk memanusiakan manusia sesuai dengan tujuan penciptaan beserta fitrahnya. Memanusiakan manusia dalam persfektif pendidikan Islam dapat diterjemahkan sebagai: 1) usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensial dan

berbagai potensi dasar atau fitrahnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan iptek serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah swt.; 2) menumbuhkembangkan sebagian sifat-sifat ketuhanan (potensi/fitrah) itu secara trpadu dan diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari; 3) membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugasnya di muka bumi, baik sebagi abdullah maupun khalifatulah (dalam individu, keluarga, masyarakat, alam). Kajian filsafat pendidikan Islam tersebut jelas sangat kontradiksi dengan pragmatisme. Pendidikan Islam dimaksudkan sebagai memanusiakan manusia (menurut hakikat penciptaan dan firahnya). Fitrah disini bisa berupa rasa ketuhanan beserta sifat-sifat manusiawi/makhluk lainnya yang tentunya dibekali nafsu dan akal. Hal ini berarti, manusia seharusnya mampu menjalani perannya dalam: 1) memanfaatkan, menjaga, dan memakmurkan bumi (hubungan dengan alam); 2) menjaga hubungan baik dengan makhluk lainnya (hubungan sesama manusia), dan; 3) untuk mengontrol dua aspek kehidupan tersebut, maka perlu dijiwai esensi spiritual (hubungan dengan Khaliq). Sementara, pragmatisme hanya berbicara pada wilayah praktis (poin ke 1), tanpa ingin menyentuh wilayah yang abstrak karena dianggap tidak konkret dan tidak bernilai guna yang langsung bisa dirasakan dalam kehidupan. Akan tetapi, aspek itu sangat mampu dimaksimalkan pragmatisme dengan luar biasa sehingga tercapainya kemajuan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang sangat cepat (walaupun itu dinilai hampa bagi kalangan lain). Itulah sebab lahirnya kehidupan yang sekuler dan cenderung bebas nilai. Pendidikan sebagai pabrik pengolah SDM yang menganut filsafat pragmatisme secara otomatis akan melahirkan masyarakat yang pragmatis juga. Oleh karena itu, dapat dilihat pada Amerika -sebagai contoh wajah pragmatisme- masyarakatnya begitu bebas dan praktis. Meskipun di satu sisi ide filsafat itu telah membawa kepada perkembangan ekonomi dan iptek yang tinggi, namun sebenarnya semua itu masih terasa hampa bagi sebagian kalangan. Tanggapan-tanggapan terhadap pragmatisme di atas merupakan hal yang wajar. Pragmatisme bisa dianggap suatu ide yang luar biasa. Karena bisa disaksikan bagaimana perkembangan ekonomi dan iptek khususnya di Amerika. Namun, tidak dapat dibantah pula bahwa corak pemikiran seperti itu telah mengantarkan bangsa penganutnya kepada kehidupan yang sekuler. Dimana segala sesuatu dinilai dari segi realitas, manfaat subjektif, dan kepuasan sementara. Nampaknya, langkah tepat yang harus dilakukan adalah dengan mengadopsi sebagian pemikiran pragmatisme secara kritis dan hati-hati. Karena, bagaimanapun ide pragmatisme sangat penting dalam menciptakan wahana baru demi perkembangan ilmu bagi manusia. Akan tetapi, ide itu perlu diisi oleh ruh lain. Ruh yang bisa mengarahkannya pada jalan yang lebih tepat lagi bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan ketentraman manusia pada umumnya. E. Kesimpulan Dalam perkembangan filsafat era modern, muncullah pragmatisme yang merupakan salah satu filsafat terbesar. Pragmatisme membahas hal-hal yang bersifat riil, nyata, konkrit, praktis, dan langsung dapat dirasakan hasilnya atau kegunaannya. Dengan tokohnya seperti Charles Sanders Peierce (1839-1914), yang dianggap sebagai perintis, dan William James (1842-1910) sebagai tokoh resmi pendirinya, yang terkenal sebagai arsitek eksisnya pragmatisme. Dan, juga berkat John Dewey (1859-1952) pragmatisme semakin kokoh dan terkenal karena ia merupakan tokoh ketiga yang menjadi corong pragmatisme dalam menyebarkan paham-pahamnya Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works). Adapun pemikiran dasar pragmatisme dapat dirinci dari beberapa segi, diantaranya: Realitas. Realitas ni selalu berubah karena ia adalah interaksi manusia dengan lingkungannya yang selalu bersifat dinamis; Pengetahuan dan Kebenaran, Sesuai dengan pemikiran dasar pragmatis, pengetahuan dan kebenaran itu tentunya tidak bersifat absolut, tetapi ia relatif. Pragmatis tidak menentukan kriteria kebenaran secara umum, melainkan bersifat khusus dan subjektif; Nilai, nilai dianggap benar asalkan bersifat aplikatif dan bermanfaat bagi manusia, disamping itu nilai kebenaran tersebut tentunya bersifat relatif dan belum final. Dan Pendidikan. Pendidikan dalam pragmatisme yang lebih menekankan pada pertimbangan psikologis dan sosiologis

diterjemahkan dalam kurikulum yang dibangun. Selanjutnya agar proses pembelajaran bisa berjalan efektif dalam artian sesuai dengan maksud pragmatis yang akan dicapai, metode problem solving dan belajar dengan berbuat sangat dikedepankan. Pro dan kontra terhadap pragmatisme merupakan hal yang wajar. Bisa dilihat bahwa ide pragmatisme telah membawa kemajuan dan manfaat. Namun, disamping itu pragmatisme banyak mengalami kehampaan dan kebuntuan. Oleh karena itu, upaya upaya pengadopsian secara kritis dengan nilai-nilai ruh merupakan langkah yang harus diambil. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Najib, Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika, http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-mohammad.pdf, 2004, Online pada 24 Oktober 2008. Al Jawi, Muhammad Shiddiq, Dekonstruksi Pragmatisme, http://ayok.wordpress.com/2006/12/20/dekonstruksipragmatisme/, 1995, online pada 24 Oktober 2008. Fadliyanur, Aliran Pragmatisme, http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html, 2008, online pada 18 Desember 2008. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan), Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007. Knight, George R., Filsafat Pendidikan, terj. Mahmud Arif, Yogyakarta: Gama Media, 2007. Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern: Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, Yogyakarta: Ircisod, 2004. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers, 2005. Popkin, Richard H. and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple, London: W. H. Allen, 1975. Salam, Burhanuddin, Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2007. Salim, Peter , The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English, 2002. Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2007. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

Dekonstruksi Pragmatisme
Posted in Tsaqofah by Leila Amra on the September 8th, 2007

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan nama

baru bagi sejumlah cara berpikir lama. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme. Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada duniayakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia sebagaimana akan diterangkan nanti. Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Hakikat Pragmatisme Deskripsi mengenai Pragmatisme akan diawali dengan penjelasan ringkas tentang sejarah mata rantai pemikiran Barat, agar diperoleh gambaran komprehensif tentang posisi Pragmatisme dalam konstelasi pemikiran Barat. a. Asal Usul Pragmatisme Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha yang berkisar antara tahun 14001600 M untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance. Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643) . Juga Francis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama. Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven), penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan

apa yang disebut pembebasan akal, tetapi gerakan ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga samasama menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya. Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (16421727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya. Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan immaterialisme, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa pengetahuan tentang manusia akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia. Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia.

Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme. Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah data-data yang nyata/empirik, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilainilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri. Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme). Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang Pragmatisme akan diuraikan lebih rinci pada keterangan selanjutnya pada poin berikut. b. Arti Pragmatisme Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works). Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909). Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.

James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular. Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami. Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme , sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi. Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman. John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1. 2. 3. 4. 5. Merasakan adanya masalah. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah. Memilih dan menganalisis hipotesis. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.

Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia. Kritik Terhadap Pragmatisme Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran : a. Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme. Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap

moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V XV M), yakni keharusan menundukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq. Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini. Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada ketiadaanNya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa. Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya. Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qathi (yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi. Kendatipun demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan tentang eksistensi Al Khaliq atau pembahasan mengenai peraturan yang ditetapkan Al Khaliq untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal. Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang batil termasuk dalam hal ini Pragmatisme pada hakekatnya adalah batil juga. b. Kritik dari segi metode pemikiran Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan. Metode Ilmiyah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi. Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat nateri/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiyah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu

pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiyah. Sebab, Metode Ilmiyah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah. Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak. Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau dengan kata lain Metode Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point:
y

Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan informasiinformasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiyah. Bahwa Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiyah.

Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme. c. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia . Kedua, Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif . Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide baik individu, kelompok, dan masyarakat dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan menurut Pragmatisme itu sendiri setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri .

Kontradiksi Pragmatisme Dengan Islam Jelas sekali bahwa Pragmatisme sebagai standar ide dan perbuatan sangat bertentangan dengan Islam. Sebab Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal haram, yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Bukan kemanfaatan atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis. Allah SWT berfirman : Berilah keputusan di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah (Al Maaidah : 48) Syaikh An Nabhani menjelaskan ayat ini dalam Muqaddimah Dustur, bahwa ukuran perbuatan adalah apa yang diturunkan oleh Allah, bukan konsekuensi-konsekuesi yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas manusia. Selain itu, Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan-Nya, yaitu Syariat Islam. Allah SWT berfirman : Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) selainnya (Al Araaf :3) Mafhum Mukhalafah (pengertian kebalikan) dari ayat di atas adalah, janganlah kita mengikuti apa yang tidak diturunkan Allah, termasuk manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas kita, sebab semuanya bukan termasuk apa yang diturunkan Allah. Allah SWT juga telah berfirman : Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia (Al Hasyr : 7) Mafhum Mukhalafah ayat ini adalah, janganlah kita mengambil apa saja (pandangan hidup) yang tidak berasal dari Rasul, termasuk ide Pragmatisme. Ide ini tidak berasal dari Muhammad Rasulullah saw, tetapi dari orangorang kafir yang berasal dari Eropa dan Amerika. Jelas, bahwa Pragmatisme bertentangan dengan Islam. Sebab ukuran perbuatan dalam Islam adalah perintah dan larangan Allah, bukan manfaat riil suatu ide untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemanfaatan. Islam terbukti telah memperhatikan aspek kemanfaatan, seperti misalnya sabda Rasulullah saw : Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya. (HSR. Muslim) Benar, Islam memang memperhatikan kemanfaatan, tetapi kemanfaatan yang telah dibenarkan oleh syara, bukan kemanfaatan secara mutlak tanpa distandarisasi lebih dulu oleh syara. Hal ini karena nash-nash yang berhubungan dengan manfaat tidak dapat dipahami secara terpisah dari nash-nash lain yang menegaskan aspek halal haram. Maka, kemanfaatan yang diperhatikan oleh Islam adalah kemanfaatan yang dibenarkan oleh syara, bukan sembarang manfaat. Jadi, ketika dinyatakan bahwa standar perbuatan adalah syara, dan bukan manfaat, maka hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan aspek kemanfaatan. Tetapi maknanya adalah, manfaat itu bukan standar kebenaran untuk ide atau perbuatan manusia. Sedang kemanfaatan yang dibenarkan Islam, yakni yang telah diukur dan

ditakar dengan standar halal haram, maka itu adalah manfaat yang yang dapat diambil oleh manusia sesuai kehendaknya. Penutup : Dekonstruksi Pragmatisme, Suatu Kewajiban Pragmatisme adalah ide batil dan ide kufur yang sangat mungkar, karena ide tersebut dibangun di atas landasan ideologi yang kufur, dihasilkan dengan metode berpikir yang tidak tepat, serta mengandung kerancuan dan kekacauan pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, karena Pragmatisme adalah suatu kemungkaran, maka seorang muslim wajib menghancurkan dan membuang Pragmatisme dengan sekuat tenaga serta melawan siapa saja yang hendak menyesatkan umat dengan menjajakan ide hina dan berbahaya ini di tengah-tengah umat Islam yang sedang berjalan menuju kepada kebangkitannya. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]

MEMBEDAH KESALAHAN MENDASAR DARI FILSAFAT BARAT


18:58 Muhammad Qasim Saguni 2 comments Makalah ini adalah tugas Kuliah S-2 yang disarikan dari Kuliah Filsafat Ilmu Oleh Ir. H. Fuad Rumi, MS,pada PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR, tahun 1425 H/2005 M, Oleh Muhammad Kasim Saguni (NIM : 459.03.16.2004. Mohon maaf ya, nama saya di ijazah dan kartukartu identitas adalah Muh.Kasim Saguni. Adapun Qasim, itu menyesuaikan dengan tulisan Arabnya, he... he... he.... I. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU A. Pengertian Filsafat Istilah Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yang tersusun dari kata philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebenaran atau hikmah. Dengan demikian, philoshopia mengandung arti cinta kebenaran atau cinta akan hikmah. Istilah yang sama dengan filsafat adalah falsafah yang berasal dari bahasa Arab, kedua istilah ini sekalipun penyebutannya berbeda tetapi memiliki arti dan sumber yang sama. Orang yang ahli dalam bidang filsafat disebut filsuf atau filosof. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah failasuf, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosoper. Dalam tinjauan terminologis, pengertian filsafat dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain: 1. Plato (427 - 347 sebelum masehi), seorang filsuf Yunani yang memiliki murid bernama Aristoteles dan berguru pada Socrates, berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. 2. Immanuel Kant (1724 1804 M), seorang filsuf yang dikenal sebagai raksasa berpikir barat, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: (1) Metafisika, yang membahas mengenai apakah yang dapat diketahui, (2) Etika, yang membahas apa yang boleh dikerjakan, (3) Agama, yang membahas sampai di mana pengharapan manusia, dan (4) Anthropologi, yang membahas apa dan siapa manusia itu sesungguhnya. 3. Al Farabi (wafat 950 M), filsuf muslim besar sebelum Ibnu Sina mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang sesuatu yang maujud (mengada) sebagaimana ia secara hakiki sebagai wujud. 4. Harold H.Titus, seorang filsuf mutakhir, berpendapat bahwa filsafat ialah usaha mencari suatu konsep rasional tentang alam semesta serta kedududkan manusia di dalamnya. B. Pengertian Ilmu Pengetahuan

Dalam banyak hal, untuk menyatakan bentuk pengetahuan yang disebut ilmu, dalam bahasa Indonesia digunakan istilah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai sebuah nama, sebenarnya terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai arti saling berkaitan, yaitu ilmu dan pengetahuan. Karena itu kedua kata tersebut sering kita dapati digunakan secara sendiri-sendiri dan pula terkadang kita dapati secara bergandengan. Dalam bahasa Inggris, digunakan kata science sebagai padanan kata ilmu dan knowledge sebagai padanan kata pengetahuan. Adapun kata ilmu pengetahuan, tidak kita temukan padanannya. Yang ada ialah scientif knowledge. Tapi bila scientif knowledge diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ia menjadi Pengetahuan Ilmiah, bukan ilmu pengetahuan. Dalam bahasa Arab, terdapat kata 'ilmun ( ) yang bermakna ilmu dan 'ilmiyah ( ) yang bermakna ilmiah atau memiliki sifat-sifat sebagai ilmu. Dari gambaran tersebut di atas dapat kita lihat beberapa kata ilmu dan ilmiah dalam bahasa Indonesia secara konsonan lebih dekat pada bahasa Arab, seperti halnya kursi (Indonesia) dari kata kursiyyun. Yang dimaksudkan dengan istilah ilmu pengetahuan dalam bahasa Indonesia sebenarnya adalah scientific knowledge (pengetahuan ilmiah) itu. Bila dengan kata ilmu yang kita maksudkan adalah science, maka itu berarti sekaligus sama juga dengan scientific knowledge. Atau secara lebih jelas ditulis: ilmu = science = scientific knowledge = pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, seharusnya tidak ada istilah ilmu pengetahuan dalam bahasa Indonesia, sebab itu telah diwakili pengertiannya oleh kata ilmu. Demikian seterusnya, istilah ilmu pengetahuan dan teknologi yang diakronimkan sebagai iptek seharusnya menjadi ilmu dan teknologi yang akronimnya adalah iltek. Iltek dapat pula ditulis dalam akronim piltek, yaitu pengetahuan ilmiah dan teknologi. Sebenarnya, istilah ilmu pengetahuan bagi pengetahuan ilmiah dalam bahasa Indonesia, dilatarbelakangi oleh batasan penggunaan kata science (ilmu) dalam khazanah science modern sebagai ilmu-ilmu kealaman belaka. Alasannya, karena ilmu-ilmu tersebut benar-benar diperoleh melalui proses keilmiahan yang kebenarannya dapat dibuktikan atau diversifikasi secara obyektif empiris. Karena itulah, dengan memandang bahwa ilmu pengetahuan ilmiah bukan hanya sekadar ilmu-ilmu kealaman tapi juga ilmu-ilmu kemanusiaan, dalam khazanah bahasa indonesia digunakan istilah ilmu pengetahuan. Karena istilah ilmu pengetahuan telah menjadi sebuah istilah dalam kebudayaan kita, maka ia bisa tetap dipakai dalam pengertian bahwa yang dimaksud olehnya adalah pengetahuan ilmiah, sehingga dengan demikian dapat ditulis : ilmu pengetahuan = pengetahuan ilmiah = ilmu = science = scientific knowledge, dengan catatan bahwa kata ilmu atau science tidak hanya dipahami secara sempit sebagai ilmu-ilmu kealaman saja. C. Pengertian Filsafat Ilmu Filsafat Ilmu sebenarnya adalah ilmu mengenai ilmu (science for sciences). Filsafat ilmu berkenaan dengan penyelidikan tentang ciri-ciri suatu pengetahuan untuk disebut sebagai pengetahuan ilmiah, karena itu bisa diberi predikat sebagai ilmu. Tercakup di dalamnya penyelidikan terhadap cara-cara untuk memperoleh ilmu itu. Dalam filsafat ilmu akan dipertanyakan kembali secara dejure, landasan serta asas-asas yang memungkinkan suatu pembenaran terhadap ilmu dan apa yang dianggap benar oleh ilmu. Selanjutnya, filsafat ilmu dibedakan lagi menurut tendensinya, yaitu; (1) filsafat ilmu dalam arti luas, dan (2) filsafat ilmu dalam arti sempit. Filsafat ilmu dalam arti luas, disebut juga filsafat yang bertendensi metafisik, yakni membicarakan permasalahan yang menyangkut hubungan ilmu ke luar, seperti implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah (bagaimana imu memandang obyeknya sebagai obyek pengetahuan ilmiah), nilai-nilai yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu serta konsekwensi etis penyelenggaraan dan penggunaan ilmu. Dengan tendensi ini, filsafat ilmu menyelidiki dasar-dasar ilmu. Misalnya apabila ilmu ukur menggunakan kata ruang, maka apakah ruang itu sesungguhnya? Apakah ia sungguh ada sebagai ruang mutlak, atau hanya merupakan skematisasi yang dipaksakan pada gejala-gejala yang diamati manusia. Demikian halnya dengan pertanyaan yang lain, seperti bagaimana peranan hukum sebab akibat dalam realitas alam? Apakah gejala sejarah dapat ditampilkan dalam suatu ilmu dengan alasan-alasan obyektif, dan sebagainya. Sedangkan filsafat ilmu dalam arti sempit bertendensi metodologik, yaitu membicarakan permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan-hubungan ke dalam yang terdapat dalam proses ilmu itu sendiri. Misalnya,

bagaimana sifat ilmu sebagai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Pada pembicaraan filsafat ilmu dalam arti ini dipertanyakan segala hal yang berkenaan dengan konstruksi argumen yang sahih, misalnya: apakah verifikasi atau falsifikasi? peran apa yang dibuat oleh sebuah hipotesis, terdapatkah penalaran induktif di samping penalaran deduktif. Sementara itu ahli lain tidak melihat pembicaraan filsafat ilmu bedasarkan klasifikasi kecondongan, tetapi secara umum sebagai suatu kesatuan konseptual yang membicarakan tiga problem, yaitu: (1). Problema Asal Pengetahuan (Origin of knowledge), (2). Problema penampilan (appearance) realitas. Dan, (3). Problema Pengujian (verivication) Kebenaran. Jujun S. Suriasumantri melihat lain, bahwa filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafati yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu dalam tiga landasan filosofis, yaitu: 1. Landasan Ontologis, dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar: obyek apa yang ditelaah ilmu? bagaimana wujud hakiki obyek tersebut? bagaimana hubungan obyek itu dengan daya tangkap manusia? 2.Landasan epistemologis, dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar: bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? bagaimana prosedurnya? hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? 3.Landasan Aksiologis, dengan pertanyaan mendasar: untuk apa ilmu digunakan? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? II. KESALAHAN FILSAFAT BARAT A. Karakteristik Filsafat Barat Filsafat Barat mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradisi rasional dan sekuler Yunani dan Roma. Karena itu Barat tidak dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan. Demikian yang diungkapkan oleh C. A. Qadir, seorang filsuf muslim kontemporer dalam bukunya, Philosophy and Science in the Islamic Word. Pengetahuan Barat lahir dari spekulasi-spekulasi metafisis para pemikir yang menganut yang menganut faham evolusi kehidupan dan penjelasan psikoanalitik tentang kodrat manusia, yang kemudianmenghasilkan desakralisasi pengetahuan. Melalui pandangan yang melalui desakralisasi itulah kemudian, Barat benar-benar memotong pengetahuan dari akarnya sehingga kehilangan wawasan tentang yang sakral. Akibat dari kecendrungan ini, yang pertama-tama mendapat pengaruh ialah pemikiran itu sendiri. Filsafat pada akhirnya hanya dipandang sebagai produk rasio semata-mata. Yang lebih lanjut timbul dari padanya ialah pandangan yang mekanistik mengenai realitas serta pandangan dunia yang tidak memberi tempat bagi nilai-nilai kerohanian. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Barat memandang bahwa filsafat adalah segala upaya (berfikir filsafati) untuk menemukan kebenaran berdasarkan fikiran atau akal belaka, mereka kemudian memperjelas pengertiannya dengan mengatakan bahwa kebenaran tersebut dicapai bukan menggunakan wahyu atau ajaran agama, sebab jawaban berdasarkan wahyu atau ajaran agama bukan jawaban berdasarkan fikiran atau akal belaka. Karena itu mereka membedakan antara kebenaran filasafat dengan kebenaran wahyu atau agama. Cara pandang yang seperti inilah yang disebut sekularistik. Pola fikir sekularistik inilah yang merupakan akar kesalahan konsep filsafat yang dibangun oleh Barat. Implikasi dari akar kesalahan ini, akan kelihatan secara jelas dalam pembahasan berikut ini. B. Pandangan Filsafat Barat Tentang Sumber Ilmu Pembicaraan tentang sumber ilmu merupakan permasalahan yang sangat mendasar dalam filsafat ilmu, karena dari padanyalah berpijak landasan-landasan filosofis (filsafat) ilmu. Menurut filsafat science modern, yang dikenal juga dengan filsafat Barat (baca: filsafat sekularistik), ada empat sumber ilmu, yaitu:

1. Orang yang Memiliki Otoritas yaitu mereka yang karena otoritasnya, tepat dan relevan dijadikan sebagai sumber pengetahuan tentang suatu hal. Otoritas tersebut didasarkan pada kesaksian yang bisa diberikannya. Di zaman moderen ini, orang yang ditempatkan memiliki otoritas, misalnya, dengan pengakuan melalui gelar, diploma/ijazah. Termasuk juga dalam hal ini, misalnya, hasil publikasi resmi mengenai kesaksian otoritas tersebut, seperti buku-buku atau publikasi resmi pengetahuanlainnya. Namun, penempatan otoritas sebagai sumber pengetahuan tidaklah dilakukan dengan penyandaran pendapat sepenuhnya, dalam arti tidak dilakukan secara kritis untuk tetap bisa menilai kebenaran dan kesalahannya. Karena itu, otoritas hanya ditempatkan sebagai sumber kedua, yang berkedudukan sebagai sumber eksternal, sedangkan sumber-sumber internal pada diri sendiri tetap sebagai sumber pertama. 2. Indra Indra adalah peralatan pada diri manusia sebagai salah satu sumber internal pengetahuan. Untuk memahami posisi indra sebagai sumber pengetahuan biasanya diajukan pertanyaan misalnya, bagaimana mengetahui bahwa besi memuai bila dipanaskan ? atau air membeku bila didinginkan hingga mencapai derajat kedinginan tertentu ? Terhadap pengetahuan semacam itu, filsafat science moderen berpandangan bahwa indra lah yang menjadi sumbernya. Bahkan pandangan empirisme yang diterapkan dalam filafat science moderen menyatakan bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah dan hanyalah pengalaman-pengalaman konkrit kita yang terbentuk karena persepsi indra, seperti persepsi penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pencicipan dengan lidah. Namun dalam menempatkan indra sebagai sumber penegetahuan, filsafat ilmu sekuler juga menekankan pentingnya kehati-hatian, utamanya terhadap kemungkinan pengaruh prasangka dan emosi yang akan merusak obyektifitas. 3. Akal Dalam kenyataannya ada pengetahuan tertentu yang bisa dibangun oleh manusia tanpa harus atau tidak bisa mempersepsinya dengan indera terlebih dahulu. Manusia bisa membangun pengetahuan, misalnya, dari anggapan dua entitas yang masing-masing sama besarnya dengan entitas ketiga adalah entitas sama besar. Pengetahuan semacam itu jelas dengan sendirinya (tanpa persepsi indra) karena ada akal yang memungkinkannya. Demikian argumentasi yang dibangun para filsuf ilmu sekuler untuk melandasi pemikiran mereka mengenai akal sebagai sumber pengetahuan. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka filsafat ilmu sekuler menempatkan akal adalah salah-satu sumber pengetahuan yang mungkin untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Pandangan ini merupakan representasi dari pandangan filsafat Rasionalisme, yang dalam pandangan moderatnya berpendirian bahwa manusia memiliki potensi mengetahui dengan pasti dengan sendirinya, tentang beberapa hal yang relevan. Misalnya, kenyataankenyataan : keseluruhan adalah lebih besar dari bagian-bagiannya; satu adalah separuh dari dua; keliling lingkaran lebih besar dari garis tengahnya; adalah pengetahuan yang dapat diketahui dengan pasti dan dengan sendirinya karena potensi akal. 4. Intuisi George Santayana (dalam Titus et al, 1984) memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran tentang data-data yang langsung dirasakan. Misalnya sewaktu kita mendengar bunyi, maka selain kita mendengar, kita juga sadar tentang pendengaran kita dan sadar tentang diri kita sebagai yang mendengar. Jadi menurut Titus, Smith dan Nolan (1984) intuisi terdapat dalam pengetahuan tentang diri sendiri, kehidupan diri sendiri dan dalam aksioma matematika. Intuisi ada dalam pemahaman kita tentang hubungan antara kata-kata (preposition) yang membentuk bermacam-macam langkah dari argumen. Unsur intuisi adalah dasar dari pengakuan kita terhadap keindahan ukuran moral yang kita terima dari nilai-nilai agama. Kesimpulannya adalah, bahwa ilmu bersumber dari aktifitas optimal yang dilakukan oleh manusia, dengan belajar, memaksimalkan indra, akal, atau ilmu itu datang secara tiba-tiba, dengan kata lain sumber ilmu menurut Barat adalah manusia dan alam. C. Kesalahan Pandangan Filsafat Barat Tentang Sumber Ilmu Sebelum dijelaskan lebih lanjut tentang sumber ilmu menurut filsafat Barat, maka yang terlebih dahulu perlu

didefinisikan adalah, makna Sumber. Logika sehat kita pasti mengatakan, bahwa yang disebut sumber adalah yang tidak pernah tidak memiliki sesuatu. Ketika kita menimba air di sumur, maka timba tidak bisa dikatakan sebagai sumber air, sumber air itu sendiri adalah sumurnya, sedangkan timba yang kita gunakan hanyalah merupakan alat. Filsafat Barat berkesimpulan bahwa sumber ilmu adalah dari manusia dan alam. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: Apakah manusia dan alam menciptakan dirinya sendiri? Apakah manusia dan alam lahir/tercipta dalam keadaan sudah memiliki ilmu. Logika sehat akan menjawab, manusia dan alam tidak tercipta dengan sendirinya (ada yang menciptakan), kalau begitu manusia dan alam pernah tidak memiliki sesuatu kemudian berusaha untuk memiliki, dalam hal ini ilmu. kalau demikian faktanya maka tidaklah benar (baca: kesalahan) yang sangat fatal jika kita mengatakan manusia dan alam adalah sumber ilmu. Disinilah letak kesalahan yang paling mendasar dari teori filsafat Barat yang memisahkan aktifitas berfikir dengan wahyu. III. FILSAFAT ISLAMI SATU-SATUNYA ALTERNATIF A.Filsafat Islami Karena Islam dapat memberikan semua yang didefinisikan oleh para filsafat misalnya yang dikatakan oleh Leighton, yaitu pandangan dunia, konsep rasional tentang keseluruhan kosmos, pandangan hidup, doktrin nilainilai, makna-makna dan tujuan hidup, maka sebenarnya pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan tersebut dapat dijawab dengan cara berpikir filsafat yang berakar pada ajaran Islam. Memberi jawaban dengan mendasarkan fikiran pada ajaran islam, tidaklah berarti memberi jawaban menurut agama belaka dalam arti bukan filsafat sebagaimana yang dikatakan oleh para filsuf barat. Yang dimaksud berfikir filsafat berdasar ajaran Islam di sini, tetap merupakan kegiatan berpikir. Yaitu berpikir Islami dengan cara berfikir filsafat. Yaitu berfikir filsafati berdasarkan pandangan dunia yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam. Yaitu berfikir filsafati menurut pandangan hidup menurut ajaran Islam. Yaitu berfikir filsafati menurut konsep rasional tentang kesatuan kosmos yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam. Yaitu berfikir filsafati menurut konsep rasional tentang kesatuan kosmos yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam. Yaitu berfikir filsafati dengan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Islam. Pertanyaan yang dimunculkan dan jawaban yang diberikan di dalamnya, tetap merupakan perwujudan segala ihwal pemikiran, tapi pemikiran yang didasarkan pada ajaran agama Islam, baik dalam kerja fikirnya maupun isi pemikirannya. Karena itu, ia tetap merupakan kegiatan berfikir, yaitu berfikir filsafat dengan mengacukan fikiran pada dan di atas landasan ajaran Islam. Secara singkat ia diistilahkan berfikir filsafat secara Islami. Pemikiran yang dihasilkannya diberi nama Filsafat Islami. Memang berfikir itu sendiri oleh Islam dipandang sebagai suatu yang fitrah (kodrati) pada manusia. Karena itu ajaran Islam dipresentasikan dalam Al Quran dan Hadis Nabi, berulang-ulang memerintahkan (baca : memberi stimulus) agar manusia berfikir, serta memberi landasan petunjuk agar manusia bisa : (1) melahirkan pandangan filsafati mengenai berfikir, (2) merumuskan kaidah-kaidah berfikir logis secara formal, (3) memformulasi materi pemikiran filsafati dan materi pengetahuan ilmiah, dan (4) memformulasi model pengujian kebenaran pemikiran. Jadi jika berfikir filsafati yang dimaksudkan adalah berfikir dengan semata-mata menggunakan akal, dan bukannya dengan berdasarkan agama, sebenarnya polarisasi yang terjadi bukan antara filsafat dengan agama, tetapi antara berfikir filsafat yang tidak berpijak pada ajaran agama dengan berfikir filsafat dengan berpijak pada ajaran agama. Demikian halnya mengenai kebenaran, polarisasi yang terjadi bukan kebenaran akal dan kebenaran agama atau kebenaran wahyu, tetapi antara kebenaran akal tanpa dasar wahyu dan kebenaran akal dengan dasar wahyu. Yang paling penting dari cara berfikir filsafati secara Islami itu ialah karena ia ingin meletakkan pemikiran dan cara berfikir itu sendiri tidak terlepas dari akarnya. Sistim nilai, pandangan dunia, konsep tentang kosmos, pandangan tentang tujuan dan makna hidup yang diangkat dari pandangan Islam dengan basis wahyu, dengan sendirinya akan memberi makna pada filsafat dan berfilsafat yang akan tetap menempatkan manusia dalam kedudukannya yang seharusnya, tanpa melepaskan dirinya dari hubungan terhadap Tuhan dalam alam kehidupannya.

B. Filsafat Ilmu Islami Yang dimaksud dengan filsafat ilmu Islami di sini ialah pembahasan mengenai masalah ilmu secara filsafati berdasarkan pandangan yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam, dengan sumber utama Al Quran dan Hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dengan penyajian bahasan filsafat ilmu yang demikian, akan diperoleh beberapa manfaat, antara lain : 1.memperkaya pandangan mengenai ilmu secara filsafati baik bagi kalangan mahasiswa, sarjana dan kalangan ilmuan muslim lainnya, maupun kalangan ilmuan non muslim. Bahwa dalam hal filsafat ilmu, juga terdapat satu filsafat khas yang berwatak Islami. 2.memberikan bahan pemikiran kritis bagi ilmuan muslim untuk melakukan koreksi atau bandingan terhadap jalan dan cara yang telah ditempuhnya selama ini dalam membentuk pemikirannya mengenai segala hal yang berkenaan dengan ilmu, yang selama ini secara formal hanya dibentuk oleh dasar pemikiran non-Islami. 3.dimilikinya suatu konsep keilmuan secara filsafati, yang tidak menempatkan ilmu dan agama sebagai dua hal yang masing-masing berdiri berdampingan secara komplementer atau berhadap-hadapan secara kontradiktif. Juga dengan itu, menyodorkan suatu bentuk filsafat ilmu yang tidak memisahkan antara dimensi keduniaan dan dimensi keakhiratan sebagaimana paham sekularisme yang mendasari filsafat ilmu sekuler. Salah satu ayat Al Quran yang dapat dijadikan dasar perumusan pandangan mengenai filsafat ilmu yang Islami, yaitu ayat 190-191 Surah Ali Imran sebagai berikut :

Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Dari ayat tersebut diperoleh gambaran tentang orang yang disebut sebagai ulul albaab, yang ciri-cirinya dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1.memiliki pandangan bahwa seluruh realitas yang ditunjukkan oleh fenomena alam semesta adalah tanda-tanda adanya Allah dengan segala kemahaan dalam sifat-sifatNya (seperti Maha Kuasa, Maha Berilmu, dsb), yang menciptakan alam semesta itu. 2.berfikir dalam keadaan senantiasa sadar (zikir) akan Allah. Dengan filosofi berfikir yang demikian itu ia memikirkan segala kejadian di alam semesta, sehingga : (1) kesadaran keTuhanannya senantiasa terawat (ditunjukkan oleh cetusan kata rabbana), dan (2) menemukan kejelasan makna (ilmu) tentang ketidak-sia-siaan ciptaan Allah. 3.menjadikan pengetahuannya beresensi sebagai doa, dalam bentuk penggunaan pengetahuan tersebut sebagai alat untuk melaksanakan berbagai kegiatan duniawi yang mencegah dirinya menemui adzab neraka, yang pada pengertian hakikinya merupakan perwujudan ibadah kepada Allah. Dari gambaran mengenai cara pandang ulul albaab tersebut di atas, kita bisa menemukan konsep Filsafat Ilmu Islami yang berbicara pada tiga dataran mendasar sebagai berikut : 1.Konsep ontologi ilmu, yang memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an. Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (Pencipta) dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk. Segala atribut yang bisa secara benar dilekatkan pada makhluk adalah perwujudan niscaya karena kemakhlukannya.

2.Konsep Epistemologi Ilmu, yang menempatkan pemikiran (fikir) yang bersenyawa dengan kesadaran akan Allah (zikir) sebagai suatu cara untuk mencapai ilmu yang tetap lekat dengan kesadaran ke Tuhan an. 3.Konsep Aksiologi Ilmu, yang mengarahkan proses ilmiah dan pemanfaatan ilmu tetap berpegang pada nilainilai keilmiahan yang tidak terpisahkan dengan nilai-nilai moralitas, sehingga ilmu digunakan sebagai alat dan sarana untuk mewujudkan kegiatan kehidupan dunia yang tidak berkonsekwensi pada azab neraka. Secara umum dan singkat, kegiatan ilmu yang demikian itu menempatkan ilmu sebagai alat dan sarana untuk ibadah kepada Allah. C. Konsep yang Benar terhadap Sumber Ilmu Telah dikemukakan di atas beberapa pandangan filosofis mengenai sumber ilmu menurut filsafat Barat, demikian pula telah dibedah dimana letak kesalahan mendasar dari pandangan-pandangan itu. Karena itu di sini akan ditunjukkan dan diuraikan konsep yang benar terhadap sumber ilmu itu. Ada beberapa ayat Al Quran yang akan kita jadikan landasan dalam membangun pemikiran filsafati mengenai sumber ilmu yang hakiki. Yaitu:

(98 :

Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu".

(2 : 2

Artinya : Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

(1 : 2
Artinya : Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.

(7 : 4

Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

(7 : 8

Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

(3 :

-5)

Artinya : Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

(1 :

-4)

Artinya : (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara.

(8 : 9

Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu.

(1 : 18

Artinya : Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

(7 :

Artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. Dari ayat-ayat Al Quran tersebut di atas dapat diturunkan beberapa makna mendasar yang daripadanya bisa dirumuskan pandangan filosofis mengenai sumber ilmu. Makna-makna mendasar tersebut ialah : 1.Bahwa manusia tidak membawa pengetahuan sejak awal diciptakan / dilahirkan (An Nahl 78), karena itu tidak mungkin menempati posisi sebagai sumber ilmu. 2.Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu (Thaha 98, At Thalaq 12), yang ilmuNya meliputi yang gaib maupun yang nyata (Al Hasyr 22). 3.Pada hakikatnya hanya Allah Yang Maha Mengetahui dan manusia pada hakikatnya tidak mengetahui (An Nahl 74). 4.Manusia dikaruniai Tuhan "peralatan", "jalan" dan petunjuk yang secara potensial memungkinkan ia memperoleh ilmu (An Nahl 74, Ar Rahman 1-4, An Nahl 89, Ali Imran 118, Al Anbiya' 7, Thaha 98, Al Hasyr 22). 5.Perolehan ilmu oleh manusia adalah perolehan dengan perantaraan (knowledge by), yakni segala perantara (bil) yang meniscayakan (qalam) ilmu itu diridhai oleh Allah untuk diperolehnya, sebagai perwujudan Allah mengajarkan ('allama) kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya (ma lam ya'lam). 6.Segala ilmu yang diusahakan oleh manusia untuk diperolehnya, pada hakikatnya tercakup dan merupakan ilmu Allah. Dari makna-makna mendasar di atas, maka Filsafat Ilmu Islami berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan ialah Allah Subhanahu Wata'ala. Dengan pandangan filsafati bahwa hanya Allah sumber ilmu, tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki keniscayaan memiliki ilmu. Sebagai sumber ilmu yang menyatakan diriNya mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya Dia telah melengkapi manusia segala peralatan dan jalan yang meniscayakan manusia mengusahakan peroleh ilmu (Al 'Alaq 3-5). Yang meniscayakan manusia memperoleh ialah peralatan indrawi lahirian yang diwakili penyebutannya oleh as sam'a (kemampuan mendengar), al abshar (kemampuan melihat, berpandangan), serta indra batiniah (al af'idah) dan kemampuan berakal (An Nahl 74 dan Ali Imran 118). Peralatan diri (qalam internal) yang meniscayakan ilmu tersebut berada pada diri manusia sebagai peralatan dengan potensialitas internal untuk berilmu. Kemudian diantara manusia ada yang dapat menjadi "jalan" lebih lanjut bagi manusia lain untuk memperoleh ilmu. Mereka itu adalah disebut ahl al zikr (Al Anbiya 7). Ahl al zikr ini adalah mereka yang diberi otoritas oleh

Allah sebagai jalan bagi manusia lain untuk memperoleh bagian kecil tertentu dari ilmuNya. Kenyataan bahwa pengetahuan tentang sumber itu sendiri adalah salah-satu bentuk pengetahuan tersendiri yang diperoleh melalui petunjuk Allah dalam Al Quran semakin menjelaskan bahwa Allah adalah Sumber Ilmu. Demikian pula, sebagai sumber, Dia mengajarkan manusia tentang apa saja yang dikaruniakanNya yang meniscayakan pengetahuan itu diperoleh. Dia (Allah) juga menjelaskan bahwa salah satu yang utama meniscayakan diperolehnya ilmu itu (baca : Allah mengajarkan pada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya) ialah petunjuk Al Quran. Dalam hal ini, Al Quran adalah referensi utama bagi manusia untuk memperoleh ilmu. Bahkan dalam arti ini, untuk menyatakan Allah sebagai sumber ilmu, adakalanya digunakan istilah Al Quran sebagai sumber ilmu.

Wallahu Ta'ala 'Alam

Anda mungkin juga menyukai