Anda di halaman 1dari 7

Hari Hari Berlalu - Taha Husain. Judul asli Al-Ayyam diterjemahkan oleh Ali Audah.

Pustaka Jaya
(1985), 652 halaman..

Taha Husain adalah ulama Mesir yang buta sejak umur sekitar dua tahun karena penyakit
Opthalmian. Ia lahir pada 14 November 1889 di kota kecil bernama Maghragha, dekat
hilir Sungai lantaran penyakit Opthalmian.
Meskipun mengalami kebutaan, ia tetap memiliki gairah belajar yang besar . Dalam tradisi
Mesir, agaknya kebutaan memang bukan penghalang bagi seseorang untuk meraih
pendidikan.
Charles C. Adams dalam Islam and Modernism in Egypt (1933) mengisahkan bahwa
disamping belajar bahasa Prancis, pada 1904 Taha juga berhasil menyelesaikan studinya
dengan gelar Doctor of Filosophy. Taha berhasil mempertahankan disertasinya dengan
judul Zikra Abi al- Ala.

Taha Husein kemudian berkesempatan untuk melanjutkan studi di Sarbone University,


Paris pada 1914. Di sana ia pun mengawini Suzanne Brusseau pada 1917. Suzanne adalah
sosok yang sangat mendukung suaminya dalam usaha ekstranya untuk menuntut
pengetahuan.

Taha Husain pun berhasil mendapatkan gelar Doctor untuk yang kedua kalinya setelah
berhasil menyelesaikan disertasinya berjudul The Philosophy of Ibn Khaldun: Introduction
and Critism pada 1918.

Usai merampungkan pendidikannya di Paris, Taha Husein memutuskan untuk kembali ke


Mesir. Ia lalu ditunjuk menjadi dosen sejarah di Universitas Cairo pada 1917. Selain
sebagai dosen, ia juga aktif menulis. Pada 1929, ia kemudian ditunjuk menjadi redaktur
koran al-Syiasat.

Pada 1930, ia menduduki jabatan sebagai Dekan Fakultas Sastra di Universitas Cairo.
Pada 1942, ia berhasil menjadi Rektor Universitas Iskandariyah. Pada 1950-1952, ia pun
menjadi Menteri Pendidikan. Pada 1973, ia meninggal dunia.

Gagasan sekularisasi di Mesir yang digagas oleh Taha Husein membuat heboh dan
menimbulkan reaksi keras di kalangan ulama Mesir. Reaksi tersebut kebanyakan berasal
dari kalangan Masyasyikh dan pembaru tradisionalis, seperti Rasyid Ridha.

Ide sekularisasinya bahkan membahana ke seluruh penjuru dunia hingga sampai ke


Indonesia. Banyal intelektual Islam yang mendukung ide sekularisasi di dunia Islam, tapi
ada juga beberapa intelektual Islam yang menolak atau menentangnya.

Sekularisasi adalah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam


membina kehidupan duniawi. Berbeda dengan sekularisasi, sekularisme memiliki
pengertian bahwa paham keduniawian bertentangan dengan hampir seluruh agama
dunia.
Sekularisasi tidak memiliki maksud untuk menerapkan sekularisme dan mengubah kaum
Muslimin menjadi kaum sekularis. Sekularisasi justru ada untuk menduniakan sebongkah
nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan untuk mengukhrawikannya. (Baca: Nurcholish Madjid: Intelektual dengan
Gagasan “Islam Yes, Partai Islam No!”)

Dalam upaya untuk membumikan gagasan-gagasannya yang cemerlang, Taha Husein


senantiasa menulis tentang ide sekularisasi di koran-koran dan dalam bentuk buku. Ia juga
menuliskannya lewat lembaga pendidikan saat menjadi Menteri Pendidikan. Gagasan
sekularisasinya berkaitan erat dengan kebudayaan, pendidikan, politik, dan agama.

Gagasannya dalam bidang kebudayaan sudah diabadikan melalui sebuah karya dengan
judul Mustagbal al-Syaqafat fi Nisr (Masa Depan Kebudayaan di Mesir). Buku tersebut
membahas tentang Mesir yang dijelaskan oleh Taha sebagai negara Barat yang berada
dalam batasan-batasan orientasi budaya.[]

DALAM sebuah tulisan singkat, saya menyebut Ali Audah (1924-2017) sebagai sosok yang tidak
mudah diterjemahkan. Ketika itu di Salihara, Jakarta Selatan, berlangsung acara ulang tahunnya
yang ke-90. Membaca sosok penerjemah yang tangkas itu sama sekali tidak menimbulkan
kesulitan. Ia bukan pribadi yang membuat repot karena "bahasa"-nya sulit, tapi
"menerjemahkan"-nya ke dalam sebuah tulisan ringkas tidak mudah saya lakukan. Pak Ali--
begitu saya memanggilnya--menunjukkan sikap yang tidak pernah berlebihan: cara bicaranya,
gerak-geriknya, tatapan matanya, dan pokok pembicaraannya tidak menimbulkan rasa kikuk.

Dalam sebagian besar tulisan tentang Ali Audah selalu terbaca rasa kagum dan heran atas
kemampuannya mendidik diri sendiri di luar sekolah. Bisa dipahami: orang yang hanya
berpendidikan formal sampai kelas I madrasah ibtidaiyah (sekolah rakyat/dasar) mampu
menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa pada dasarnya adalah lisan, tapi penguasaan
bahasa di zaman aksara ini juga terletak pada kemampuan merekam yang lisan itu menjadi tulis,
suatu keterampilan yang tidak dikuasai banyak orang yang pandai berbicara dalam kampanye
politik ataupun dalam perkuliahan. Di samping itu, beberapa jabatan penting, seperti dekan
universitas, pemimpin penerbit Tinta Mas, dan ketua pertama Himpunan Penerjemah Indonesia,
tentu menambah rasa hormat orang terhadapnya.

Sejak mengenalnya, saya tidak pernah mendengarkannya berbicara berapi-api di hadapan


khalayak atau menulis karangan yang kasar nadanya. Dengan sikap dingin, ia pernah ambil
bagian dalam suatu polemik panas ketika pada 1960-an sejumlah penulis, antara lain
Pramoedya Ananta Toer, menuduh Hamka bahwa novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk
adalah jiplakan. Ali Audah tidak ikut menjadi panas dalam hal yang tentu dilihatnya sebagai
bagian dari langkah politik kaum kiri.

Namun ia tidak mau juga tinggal diam. Maka ia pun menerjemahkan novel Al-Majdulin karya
sastrawan Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi, yang dianggap sebagai sumber jiplakan Hamka.
Langkah penerjemahan itu jelas sebuah tindakan untuk ikut aktif dalam polemik--dengan cara
yang sama sekali lain. Ia telah masuk ke situasi sastra-cum-politik dengan cara yang sealur
dengan imannya sebagai penerjemah. Sikap politiknya juga terbaca dalam beberapa cerita
pendek yang dikumpulkannya dalam, antara lain, Icih. Kita tidak akan menemukan "tanda seru"
dalam karya-karyanya.

Ali Audah mula-mula adalah sastrawan yang suka menerjemahkan dan dalam perjalanan hidup
selanjutnya berubah menjadi penerjemah yang sesekali menulis karya sastra. Ali berpendapat
bahwa karya yang diterjemahkan harus berharga, hasil terjemahannya harus menjadi karya
yang berharga pula. Terjemahan sastra bukan sekadar bayang-bayang pucat karya aslinya, tapi
merupakan karya baru. Dipandang dengan perspektif ini, karya asli mengalami second existence
(kehidupan kedua) yang berharga bagi kelangsungan tradisi kesusastraan.

Imannya pada penerjemahan telah mendasari niat mendirikan Himpunan Penerjemah Indonesia
(HPI) bersama rekan-rekannya, antara lain Winarsih Arifin, pada 1974. Dan orang yang sekolah
formalnya hanya sampai kelas I sekolah dasar itu memiliki pandangan yang sangat bijak untuk
mencerdaskan masyarakat. Setahu saya, pemerintah pun tidak pernah dengan sungguh-
sungguh memikirkan membentuk lembaga khusus untuk melaksanakan gagasan mulia yang
masuk akal itu. Mungkin saja masyarakat tidak mengingat lagi jasanya sebagai sastrawan, tapi
beberapa karya terjemahannya, seperti Konkordinasi Qur'an: Panduan Dalam Mencari Ayat
Qur'an, Sejarah Hidup Muhammad karya Husain Haikal dan The Holy Qur'an: Text, Translation
and Commentary karya Abdullah Yusuf Ali, satu di antara dua terjemahan Quran dalam bahasa
Inggris yang paling banyak dibaca di samping tafsir karya Marmaduke Pickthall.

Thaha Hussein gemar bercanda, setidaknya menurut caranya sendiri. Ia bisa


mengucapkan pemikiran-pemikiran sekulernya yang kerap dituduh liberal,
dengan ekspresi wajah yang santai dan bibir tersenyum. Ia juga bisa meraih
dua gelar Ph.D, meski matanya buta sejak balita.

Menyebut nama Thaha Hussein di Timur Tengah, bisa jadi justru cap
“intelektual kontroversial” yang mengemuka. Bagi kalangan konservatif, ia
bagai “selilit” yang mengganggu pikiran. Dan bagi kalangan lainnya,
menganggap intelektual ini lahir terlalu cepat, sehingga terlalu melampaui
zamannya. 

Tersambungnya dunia Islam dan Barat pada masa modern, sehingga


memunculkan pemikiran-pemikiran pembaharu dunia Islam. Dan nama Thaha
Hussein ditempatkan paling depan dalam daftar pemikir pembaharu. 

Ia dijuluki “Bapak Pembaruan Mesir”. Uniknya, ide sekularisasi yang ia


lontarkan, sempat membuat banyak orang sewot. Andai ia berkiprah di era
medsos sekarang, bisa jadi ia bakal punya daftar panjang hatters, dan menuai
kritik setiap detik. 

Namun Thaha Hussein punya argumen untuk setiap pemikiran “liberal”-nya,


saya lebih suka menyebutnya progresif.

Menurutnya, sebagai intelektual ia hanya menginginkan kaum muslim Mesir


untuk menggunakan kebebasan berpikirnya, tanpa terikat dengan pemikiran
lapuk. Maka ia tak menerima mentah-mentah pemikiran lawas para
pendahulu, kecuali setelah melalui pembahasan dan penelitian, meski
hasilnya belu tiba pada suatu kepastian.

Menurutnya, hal itu bertujuan agar tercipta dinamika intelektual yang lincah
dan tak bimbang. 

Thaha percaya bahwa penelitian dan kajian terhadap setiap ilmu dan
pemikiran, bisa membawa seseorang untuk tiba pada pendapat yang lebih
kuat. Itu sebab, ia membekali diri dengan melakukan penelitian luas dalam
berbagai bidang. Mulai dari mengkaji ulang tradisi Mesir Kuno, hingga
penguasaannya atas pemikiran Yunani Kuno. 

Sebenarnya pemikiran Thaha tak bisa sepenuhnya disebut sekuler. Ia hanya


meyakini bahwa umat Islam harus berusaha menempuh cara orang-orang
Eropa, agar bisa setara dan menjadi partner dalam peradaban. Cara ini seolah
terlihat ia ingin “memisahkan” urusan agama dengan urusan dunia. 

Padahal yang ia maksud, demi membangun sebuah peradaban yang maju,


maka umat Islam harus mengambil contoh dari jalan peradaban yang telah
terbukti maju. Itulah sebabnya ia dianggap kontroversial, saat menggaungkan
ide sekularisasi.

Metode kritis ini, menurut Hussein, tidak bertentangan dengan Alquran. Ia


tetap meyakini bahwa kedudukan agama lebih tinggi dari akal. Maka, untuk
menjadikan agama sejalan dengan akal, hendaknya agama didekati melalui
jalan argumen yang rasional dengan metode yang kritis. 

Bagi Thaha, rasio dan agama sama-sama sangat dibutuhkan setiap manusia.
Rasio atau akal sehat harus menjadi penunjuk jalan bagi manusia, meski rasio
memiliki keterbatasan. Dan agama yang bertugas memberi jawaban atas hal-
hal yang tak mampu diurai oleh akal sehat. Maka, beragama tanpa
menggunakan akal sehat, atau sebaliknya, berpikir tanpa dilandasi agama,
adalah nonsense.
Apapun yang orang bilang, Taha Hussein yang mantan Menteri Pendidikan
Mesir ini, sohor sebagai “Bapak Pencerahan Mesir”. Gelar ‘Amid al-Adab al-
Araby‘ atau Bapak Sastra Arab pun disandangnya, berkat karya-karya
sastranya yang berjumlah sekira 60 buku. Mencengangkan, mengingat sejak
usia tiga tahun ia tak bisa melihat dunia.

Dosen yang Haus Ilmu 

Meski terlahir dalam keluarga sederhana, pada 15 September, 1889, anak


ketiga dari tujuh bersaudara ini tak surut semangat belajarnya. Kebetulan
Mesir bukanlah tempat bagi pembedaan tempat bersekolah berdasarkan
kemampuan fisik. Sehingga pria yang lahir di Izbet el Kilo, sebuah kampung
kecil di Provinsi Minya, selatan Mesir, berhasil lulus dari Kuttab (sekolah)
setingkat SMA.

Saat menjadi mahasiswa di kampus Al-Azhar, Kairo, ia mempelajari agama


dan sastra Arab. Lulus dari Al-Azhar, ia melanjutkan studi di Universitas Kairo,
tempatnya berkenalan secara sistematis dengan metode pemikiran Barat
modern

Nama Prof. Nallino, Prof. Ennolittman dan Prof. Santilana,


adalah influencer bagi metode pemikiran barat Hussein. Ia yang mengangkat
tesis tentang Abu-Alala’ Al-Ma’ari, berhasil lulus dari Universitas Kairo dan
meraih gelar Doktor (Ph.D).

Pendidikan rupanya telah menjadi passion Taha. Sehingga, kesempatan


menjadi anggota misi pendidikan Universitas Kairo, ia gunakan untuk
melanjutkan studi ke Universitas Sorbanne di Perancis. Perkenalannya dengan
Suzanne Bresseu, berlangsung saat Hussein menjadi mahasiswa di University
of Montpeller, berlanjut ke pelaminan. 

Setelah mendapat gelar MA dari University of Montpellier, disusul raihan gelar


PhD untuk kedua kalinya. Gelar tersebut kali ini berasal dari Universitas
Sorbonne, melalui disertasi doktoralnya mengenai Ibnu Khaldun. 

Dua tahun kemudian (1919) ia memutuskan pulang kampung dan membawa


keluarganya untuk tinggal di Mesir. Pasangan suami istri itu kemudian
menjadi dosen sejarah di Cairo University. Di universitas inilah Thaha berkarir
selama tiga puluh tahun sebagai Guru Besar dan administrator. 

Di sela kesibukannya mengajar dan melakukan penelitian, ia juga mendirikan


sekaligus menjadi rektor di Univeritas Alexandria (Universitas Iskandariyah)
pada 1938. Sejatinya, Universitas Iskandariyah yang awalnya bernama
Universitas Raja Farouk—hingga Revolusi Mesir 1952, adalah kampus cabang
dari Universitas Kairo. 

Namun karier Thaha di grup Universitas Kairo ini terhenti, akibat


pertanyaannya yang kontroversial tentang kebenaran historis Al-Quran, dalam
bukunya On Pre-Islamic Poetry (‫)في الشعر الجاهلي‬. Buku syair pra-Islam ini sempat
dicekal beberapa saat, sebelum akhirnya bisa terbit, dengan beberapa revisi. 

Namun Thaha Hussein tak terbendung. Revolusi kudeta terhadap Raja Farouk
oleh Jenderal Muhammad Naguib pada 1952, lalu sang jenderal digulingkan
lagi oleh wakilnya, Letkol Gamal Abdel Nasser, berujung pada penunjukan
Thaha Hussein sebagai Menteri Pendidikan.

Baca juga:  Marbot Mahasiswa di Masjid Perkotaan

Pembaharu Pendidikan Mesir

Hussein bukanlah seorang intelektual yang doyan wacana semata. Dalam


dunia sastra, intelektual yang produktif ini dijuluki Doyen des Lettres Arabes,
alias sang empu sastra Arab. Sebutan itu mumpuni bagi sastrawan yang telah
empat belas kali masuk nominasi “Nobel Prise in Literature”. 

Berbekal kedalaman ilmu dan jabatan strategisnya sebagai Menteri


Pendidikan Mesir era Gamal Abdel Nasser, Thaha menggunakan kesempatan
ini sebaik-baiknya untuk menetapkan kebijakan yang sesuai dengan gairahnya
dalam mencerahkan bangsanya. 

Demi memperbaiki sistem pendidikan Mesir saat itu, salah satu kebijakan
fenomenal yang ia tetapkan adalah sekolah gratis! Sebenarnya hal itu adalah
kritiknya terhadap sistem pendidikan, yang semula hanya ramah kepada kaum
berduit. Mungkin juga berdasarkan pengalamannya sebagai anak

Terbukti, pilihannya untuk menggratiskan biaya pendidikan di Mesir bisa


dirasakan langsung oleh seluruh rakyat di negeri piramida itu, hingga saat ini.

Kebijakan lainnya ia tujukan bagi madrasah-madrasah. Semula, madrasah


hanya mengajarkan Alquran. Kebijakan Pak Menteri ini membuat madrasah
menjadi lembaga pendidikan yang mengajarkan banyak disiplin ilmu,
termasuk sains dan agrikultur. Kelak, kebijakan publik yang diambilnya,
terbukti mengubah kehidupan masyarakat Mesir yang konservatif menuju
masyarakat yang berkemajuan. 

Ia juga mengkritik para (calon) intelektual. Menurutnya, menurunnya minat


kalangan intelektual terhadap hal-hal yang ‘berat’, menurunkan kualitas diri
seseorang. “Membaca saja malas, apalagi menganalisis,” begitu menurutnya.
Dan memang benar yang ia bilang, bahwa media-media massa pun lebih
senang menyajikan hal-hal yang sangat ringan. Sehingga pembacanya tak
perlu berjerih payah menggunakan akal sehatnya untuk memahami masalah.

Anda mungkin juga menyukai