MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada
1850 M/1266 H, dengan nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Berasal
dari bukan kalangan keluarga bangsawan dan kaya raya.
Muhammad Abduh hidup dalam kehidupan pedesaan yang hijau. karena pekerjaan
keluarganya adalah petani. Walau demikian Ayahnya adalah orang dihormati disana.
Hanya Muhammad Abduh yang tidak membantu pekerjaan orangtuanya seperti yang
dilakukan suadara-saudara lainnya. Karena orangtuanya menginginkan Muhammad Abduh
untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Sampai ada cerita Ibunya sangat kangen sekali dengan Muhammad Abduh anak
kesayangannya saat di tinggal belajar di di desa lain padahal itu baru 2 minggu, karena sudah
tidak sabarnya akhirnya Ibunya pergi menyamparnya.
Berbicara tentang pendidikan Muhammad Abduh, diawali pertama kali belajar ilmu tajwid al-
qur’an selama dua tahun di Masjid al-Ahmadi. Setelahnya di tahun 1864 Ia kembali lagi ke
desanya untuk bercocok tani dengan seperti saudara-saudaranya yang lain. Disinilah saat di
usia yang baru sixteen tahun Muhammad Abduh dinikahkan oleh Orangtuanya.
Setelahnya Muhammad Abduh menikah, Ayahnya sangat kekeh sekali agar Muhammad
Abduh dapat kembali menuntut ilmu pengetahuan. Namun ia menolaknya, dan memilih
melarikan diri ke desa Syibril Khit tempat paman dari Ayahnya tinggal.
Disana lah Muhammad Abduh bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, pamannya. Disinilah
Muhammad Abduh berubah yang tadinya membenci menjadi sangat mencintai ilmu
pengetahuan berkat Syaikh Darwisy Khidr.
Di tahun 1866 Muhammad Abduh kembali ke masjid awal ia mencari ilmu, lalu lanjut ke
Kairo untuk belajar di Universitas Al-Azhar.
Di kampus ini ia banyak kenal dengan dosen-dosen hebat, diantaranya ada Syaikh Hasan ath-
Thawi yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles,
dan lain sebagainya.
Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu; Kedua, Muhammad
al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra
bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan
kemampuan mempraktekkannya.
Adapaun karya karangannya yang menarik dari Syaikh Muhammad Abduh adalah Risalah al-
’Aridat (1837), disusul kemudian dengan Hasyiah Syarah al-Jalal advert-Diwani Lil ‘Aqaid adh-
Adhudhiyah (1875).
Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan
mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan tasawwuf, serta mengkritik
pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Selain itu Muhammad Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram,
Kairo. Melalui media ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar
yang sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari Syaikh
Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan “Syaikh al-Azhar”,
Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di al-Azhar, dalam
usia 28 tahun (1877 M).
Selepasnya mendapatkan gelar Lc, ia Muhammad Abduh mengabdikan dirinya dengan
mengajar Manthiq (Logika) dan Ilmu Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya ia mengajar pula
kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan
Eropa.
Pada tahun 1878, ia diangkat sebagai Pengajar Sejarah pada sekolah Dar al-’Ulum (yang
kemudian menjadi fakultas) dan ilmu-ilmu bahasa Arab pada Madrasah Al-Idarah Wal Alsun
(Sekolah Administrasi dan Bahasa-bahasa) Di tahun 1879, Muhammad Abduh di dari dua
sekolah yang disebut terakhir dan diasingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir),
berbarengan dengan peristiwa pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah
Mesir atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir.
Akan tetapi, dengan terjadinya perubahan Kabinet pada 1880, beliau dibebaskan kembali dan
diserahi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah, Al-Waqa’i al-Mishriyah.
Surat kabar ini, oleh Muhammad Abduh dan kawan-kawan bekas murid Al-Afghani, dijadikan
media untuk mengkritik pemerintah dan aparat-aparatnya yang menyeleweng atau bertindak
sewenang-wenang.
Adapaun Kitab-kitab karangan Muhammad Abduh antara lain :
1. Risalah At-Tauhid (teologi);
2. Syarah Nahjul Balaghah
3. Menerjemahkan karangan Jamaluddin Al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu ‘Ala advert-
Dahriyyin
4. Syarah Maqamat Badi’ Az-Zaman Al-Hamazani (bahasa & sastra Arab).
Di tahun 1905, Muhammad Abduh mencetuskan konsep pembentukan Kampus Mesir.
Gagasan ini mendapat respon yg demikian antusias dari pemerintah ataupunpenduduk,
terbukti dgn disediakannya sebidang tanah buat tujuan tersebut.
Tetapi sayang, kampus yg dicita-citakan ini baru berdiri sesudah Muhammad Abduh
berpulang ke Rahmatullah dan kampus inilah yang selanjutnya jadi “Universitas Kairo”
Tanggal 11 Juli 1905 adalah wafatnya Muhammad Abduh se, ketika periode puncak
aktivitasnya mendidik umat, Muhammad Abduh wafat di Kairo, Mesir.
Dan banyak sekali yang menangisi kepergiannya bukan cuma umat Islam, namun yang ikut
berduka diantaranya dari tokoh Non-Muslim.
Itulah biografi lengkap Muhammad Abduh, semoga bermanfaat dan Kita semua dapat
mengambil ibrah dari kisah Muhammad Abduh diatas
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk
prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun
sarjana tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain
Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak
ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh
Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang
lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari
biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing
di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh
Hamzah Fansuri antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir).
Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan
keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya
dengan “melihat” atau mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri,
seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu.
Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran
mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah
meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai
latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau
meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:
“Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau
metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti
suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni
atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus
“lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan
berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua
mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya
yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah
sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.
Pada hakikatnya, menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya
memerlukan kepasrahan dan keberanian karena “Kekasih zahir terlalu terang/Pada kedua
alam nyata terbentang.” Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat Allah itu
dekat dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya. Dalam jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Azumardi Azra menyebutkan bahwa
faham Hamzah Fansuri berpaham Wujudiyah, berbeda dengan Ar-Raniri yang
memementingkan Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan pembarahu Islam atau neo-
sufisme.
Fahamnya tersebut mendapat pertentangan dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk
membasi faham wujudiyah ini, kitab-kitab berfaham wujudiyah, seperti kitab-kitab hamzah
fansuri bahkan dibakar di depan masjid baiturrahman Aceh.[
3. Syamsuddin Assumatrani
A. Riwayat Hidup
Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan tokoh yang cukup berpengaruh di kalangan
istana Kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 M, dan menjadi qadhi kerajaan. Ia
diperkirakan hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1603-1636 M).
Sebenarnya informasi tentang Syamsuddin Al-Sumatrani tidak banyak didapati. Informasi
lokal tentang Syamsuddin Al-Sumatrani diperoleh dari Hikayat Aceh, Adat Aceh dan Bustan
al-Salathin, sementara sumber – sumber Barat adalah catatan perjalanan dari para
pengembara Eropa yang datang di Aceh.
Dalam Hikayat Aceh diceritakan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan
pemimpin spiritual masyarakat. Dialah yang membaca Al-Fatihah, dan atau menerima
laporan dari para penziarah yang kembali dari Makkah. Adat Aceh memberinya kehormatan
waktu sembahyang besar dan upacara – upacara keagamaan. Lalu, dengan Syamsuddin Al-
Sumatrani lah para pengembara tersebut berurusan antara tahun (1600-1630). Dalam
catatan perjalanan orang Eropa ini disebutkan terdapat seorang imam yang disebut dengan
nama uskup (bishop dan euque).
Informasi yang paling tua berasal dari Frederich de Houtman, seorang pelaut
Belanda yang sampai ke Aceh pada 1599 M, menyebutkan bahwa di Aceh didapatinya
seorang yang menjadi Syeikh Penasihat Agung Raja. John Davis, pelaut asal Inggris yang
menumpang armada kapal Cornelis de Houtman dan Frederich de Houtman, membuat
catatan harian tentang Aceh bahwasanya di Aceh terdapat Imam Besar yang sangat
dihormati oleh raja dan rakyat, serta terdapat seorang yang dianggap memiliki ruh
kenabian yang juga sangat dihormati oleh rakyat. Dengan mempertimbangkan informasi
perjalanan dari Barat ini serta memadukan dengan informasi lokal maka sangat mungkin
yang dimaksud oleh Frederich de Houtman dan John Davis ketika berhubungan dengan
Aceh adalah Syamsuddin Al-Sumatrani. (Miftah Arifin, 2013:50-52)
4. Nurudin Ar Raniri
Riwayat Hidup Beliau
Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan
penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin
Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan
mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama (Piah dkk.,
2002: 59-60).
Guru Beliau
Beliau di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafis Abdullah Basyeiban yang yang
di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus kerna adalah khalifah Tariqah Al-Idrus
Alawi di India. Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qadariyah dari gurunya.
Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka,
India pula telah menikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan
Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.
Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan
agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa
pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran
wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin pindah ke
Semenanjung Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.
Kembali Ke Aceh
Pada tahun 1637 ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syeh
Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan
Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh
Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid
Bait al-Rahman.
Pada saat ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf as-
Singkili, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah
Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para
penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh bersekongkol
untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat.
Keadaan berbalik melawan Nuruddin ketika Sultan Iskandar Tani mangkat dan digantikan
oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Nuruddin
dan aliran wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang
namanya sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang berasal dari
Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat (Braginsky, 1998: 473). Saif ar-Rijl
mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang dengan
besarnya pengaruh orang asing di istana Aceh. Untuk menyelesaikan pertikaian itu mereka
mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak dengan dalih tidak berwenang dalam soal
ketuhanan.
Sesudah berpolemik selama sekitar satu bulan, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh
dengan begitu tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang
berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek
Pengetahuan) (Takeshi Ito, 1978: 489-491; via Braginsky, 1998: 473-474). Nuruddin akhirnya
ia kembali ke Ranir. Ia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 21 September 1658 (Piah
dkk., 2002: 60).
Karya
Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar dua puluh sembilan naskah, di
antaranya adalah:
Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634)
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635)
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638)
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi 6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid
Beliau lahir di kampung Tanara, (sekarang masuk dalam kecamatan Tirtayasa, Kabupaten
Serang) Banten pada tahun 1813 M atau 1230 H.
Ayah beliau bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari
silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin
(Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan
Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin,
Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra
Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia
yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi bermain dengan anak-anak sebayanya
di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun,
rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai
pergi ke laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.
Syahdan, ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu
memulai peng-gembarannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur.
Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh
ibunya,
“Aku do’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa
yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu.
Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih
dahulu. Ternyata mereka bertiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda
yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok.
“Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang
beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu
masalah itu.
Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang
telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya
sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru
yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai
Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanah Pesisir.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah
haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu,
diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh.
Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan
khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar
para santri.
Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai
dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke
guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas
(Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima,
ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati,
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Makkah.
Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada
tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya
cukup me-muaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai
syekh disana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis
kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya
dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari
karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis
syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan
karya pendahulunya yang sering meng-alami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar
lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya
beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan
padat isinya.
Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19
M. Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-
Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah,
Imam Ulama’ Al-Haramain.
Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya
banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia,
diantaranya adalah: Syekh Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng
Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi
dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH.
Abdul Karim dari Banten.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis
kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan
landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren.
Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari
sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian
kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang
kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena
besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya
mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit
menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab
beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di
Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah.
Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines,
ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai
kurikulum belajarnya. Selain itu, Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas
Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada
tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk
memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang
beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani secara lebih lengkap antara lain adalah sebagai berikut:
Beliau kemudian dimakamkan di Ma’la di Kota Mekkah, dekat makam Siti Khadijah, Ummul
Mukminin istri Rasulullah SAW.
Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di
desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu
diadakan acara haul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
1. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid
Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain
ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini menunjukkan
bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung
Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu
sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika ia dimakamkan
berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di Ma’la.
2. Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti
“Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang
menarik dari gelar di atas adalah beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-
Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi
di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-imam wa al-fahm al-
mudaqqig” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”.
Snouck Hourgronje memberi beliay gelar “Doktor Teologi”.
3. Pada tahun 1870, Syekh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah
seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syekh Nawawi di
Mesir. Ini membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syekh Nawawi al-
Bantani.
4. Paling tidak terdapat 34 karya Syekh Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic
Printed Books. Namun beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai
lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah,
syari’ah, tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah.
Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di
Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.
5. Kelebihan dari Syekh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa
Arab, termasuk sastera Arab yang susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang
digunakan Syekh Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar
jika syarah Syekh Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai
maksud penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syekh Nawawi
paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan dengan buku yang
terbit tanpa syarahnya.
6. Syekh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara
pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu
sisi serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at di sisi
lain.
Kelebihan dari Syekh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya.
Menurutnya, syari’at memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian
rohani. Karena itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at
dengan baik, namun rohaninya masih kotor.
Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang
hakiki, bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan
syari’at. Selain itu, di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan
aqli dan mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli.
Namun Syekh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan
aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara kedunya,
maka dalil naqli harus diutamakan.
7. Dalam konteks Indonesia, Syekh Nawawi merupakan tokoh penting yang memperkenalkan
dan menancapkan pengaruh Teologi ‘Asy’ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah
antara Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi
Jabariyah yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau
berbuat jahat.
8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Karena itu, banyak kalangan yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari
cara berpikir yang dianut oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim
‘Asy’ari merupakan salah satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.
9. Dalam konteks penjajahan, Syekh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama
dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi
al-Bantani merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan
kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan
Belanda, misalnya, merupakan salah satu contoh dari karya murid Syek Nawawi. Karena itu,
wajar jika Syekh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck Hourgronje.
10. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah
mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42
dari 46 pesantren itu menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani.
Menurut Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di
pesantren-pesantren itu.
1. Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah.
Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta.
Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk
menulis dan jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan,
maka berdo’alah ulama ‘alim allamah ini,
“Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan
Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi
tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.”
Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi
‘sekedup’nya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam
setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah
kitab Maroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
2. Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan
tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di
Ma’la) meskipun yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas
mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh
walaupun sudah bertahun-tahun dikubur.
Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di
pemakaman umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas
peninggalan beliau di Serang Banten.
Syekh Nawawi Al-Bantani mampu melihat dan memperlihatkan Ka’bah tanpa sesuatu alatpun.
Cara ini dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami’
Pekojan Jakarta Kota.
Makam Syech Nawawi al-Bantani
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama
setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan
dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat
lain di luar kota.
Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya
terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau
orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang
juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah
petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang
tak lazim.
Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka
temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau
tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain
putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.Terang saja kejadian
ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan
menceritakan apa yang telah terjadi.
Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam
orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar
makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang
makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah.
Diantara guru-gurunya antara lain ; Syaikh Daud ibn Abdullah ibn Idris alFatani (w. 1843),
seorang ulama besar yang menetap di Mekkah, Syeikh Samsuddin, syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari (w. 1812). Bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa beliau juga murid dari
Syeikh Abd Samad al-Palembangi (w. 1800). Seluruh murid-murid Syeikh Syamsuddin
memberikan penghargaan yang tinggi atas Kompetensinya serta menobatkannya sebagai
Syeikh Mursyid Kamil Mukammil.
Selain yang disebutkan di atas, terdapat juga sejumlah nama yang juga menjadi guru-guru
Khatib Sambas, seperti Syaikh Muhammad Salih Rays, seorang mufti bermadzhab Syafi’i,
Syeikh Umar bin Abd al-Rasul al-Attar, juga mufti bermadzhab Syafi’I (w. 1249 H/833/4 M),
dan Syeikh ‘Abd al-Hafiz ‘Ajami (w. 1235 H/1819/20 M). ia juga menghadiri pelajaran yang
diberikan oleh Syeikh Bisri al-Jabarti, Sayyid Ahmad Marzuki, seorang mufti bermadzhab
Maliki, Abd Allah (Ibnu Muhammad) al-Mirghani (w 1273 H/1856/7 M), seorang mufti
bermadzhab Hanafi serta Usman ibn Hasan al-Dimyati (w 1849 M).
Dari informasi ini dapat dikctahui bahwa Syeikh Khatib Sambas telah mendalami kajian Fiqh
yang dipelajarinya dari guru-guru yang representatif dari tiga madzhab besar Fiqh. Sementara,
al-Attar, al-Ajami dan al-Rays juga tiga ulama yang terdaftar sebagai guru-guru sezaman
Khatib Sambas, Muhammad ibnu Sanusi (w. 1859 M), pendiri tarekat Sanusiyah. Baik
Muhammad Usaman al-Mirghani (pendiri tarekat Khatmiyah yang sekaligus saudara Syeikh
‘Abd Allah al-Mirghani) maupun Ahmad Khatib Sambas, keduanya juga anggota dari sejumlah
tarekat yang kemudian ajaran-ajaran taraket tersebut digabungkan mcnjadi tarekat tersendiri.
Dalam kasus tarekat Khatmiyah, tarekat ini penggabungan dari tarekat Naqsabandiyya,
Qadiriyya, Chistiyah, Kubrawiyah dan Suhrawardiyah. Sementara dalam catatan pinggir
kitab Fath al-’Ariin dinyatakan bahwa sejumlah unsur tarekat penulis kitab tersebut adalah
Naqsabandiyya, Qadiriyya, al-Anfas, al-Junaid, Tarekat al-Muwafaqa serta, sebagaimana yang
disebutkan sejumlah sumber, tarekat Samman juga menggabungkan seluruh aliran tarekat di
atas.
Kelenturan ajaran Qadiriyya bisa disebut sebagai faktor yang memotivasi Syeikh Sambas
untuk mendirikan taerkat Qadiriyya wa Naqsabandiyya. Tentu saja, dalam tradisi sufi
memodifikasi ajaran tarekat bukanlah hal yang tidak biasa dilakukan. Misalnya, terdapat 29
aliran tarekat yang merupakan cabang dari tarekat Qadiriyya. Sebenarnya bisa saja Syeikh
Khatib Sumbas menamakan tarekat yang didirikannya dengan Tarekat al-Sambasiyah atau al-
Khaitibiyah sebagaimana kebanyakan aliran tokoh tainnya yang biasanya menamakan tarekat
dengan nama pendirinya, namun Khatib Sambas justru mcmilih menamakan tarekatnya
dengan Qadiriyya wa Naqsabandiyya. Disini ia lebih menekankan aspek dua aliran arekat
yang dipadukannya dan lebih jauh menunjukkan bahwa tarekat yang didirikannya benar-
benar asli (original).
Sementara itu, kebanyakan murid-murid Ahmad Khatib Sambas berasal dari tanah Jawa dan
Madura dan merekalah yang meneruskan larekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya ketika pulang
ke Indonesia. Diantara murid-muridnya tersebut adalah ‘Abd al-Karim (Banten), Kyai Ahmad
Hasbullah ibn Muhammad (Madura), Muhammad Isma’il ibn Abdurrahim (Bali), ‘Abd al-Lathif
bin ‘Abd al-Qadir alSarawaki (Serawak), Syeikh Yasin (Kedah), Syeikh Nuruddin (Filipina),
Syeikh Nur al-Din (Sambas), Syeikh ‘Abd Allah Mubarak bin Nur Muhamcnad (Tasikmalaya).
Dari murid-muridnya inilah kelak ajaran tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya sampai dan
menyebar luas ke pelosok Nusantara.
Menurut Naguib al-Attas, Syeikh Sambas merupakan seorang Syeikh dari dua tarekat yang
berbeda, tarekat Qadiriyva dan Naqsabandiyya. Karena ia sebenarnya tidak mengajarkan
kedua Tarekat ini secara terpisah akan tetapi mengkombinasikan kedua ajaran tarekat
tersebut sehingga dikenali sebagai aliran tarekat baru yang berrbeda baik
dengan Qadiriyya maupun Naqsabandiyya. Dalam prosedur dzikir, Syeikh Sambas
mengenalkan Dzikir negasi dan afirmasi (Dzikr al-Nafy wa al-Ithbat) sebagaimana yang
dipraktekkan dalam tarekat Qadiriyya. Selain itu, ia juga rnelakukan sedikit perubahan dari
praktek Qadiriyya pada umumnya yang diadopsinya dari konsep Naqsabandiyya tentang
lima Lathaif. Sedangkan pengaruh lain dari Naqsabandiyya dapat dilihat dalam praktek
visualisasi rabitha, baik sebelum rnaupun sesudah dzikir dilaksanakan. Selain itu, jika Dzikir
dalam tarekat Naqsabandiyya biasanya dipraktekkan secara samar dan dalam Qadiriyya
diucapkan dengan suara yang keras maka Syeikh Khatib Sambas mengajarkan kedua cara
drikir ini. Demikianlah Khatib Sambas menggabungkan dua tarekat yang berbeda sehingga
Akhirnya Qadiriyya dan Naqsabandiyya pun mengambil tehnik spiritual utama dari dua aliran
tarekat, Qadariyah dan Naqsabandiyya.
Untuk melihat lebih jauh ajaran Ahmad Khatib Sambas maka berikut akan dikemukakan
sejumlah tema-tema penting yang terdapat di dalam kitab Fath alArifin, sebuah kitab yang
diyakini ditulis oleh Syeikh Sambas sendiri. Kitab ini sangat besar pengaruhnya di kawasan
dunia Melayu dan sekaligus menjadi pedoman bagi pengikut tarekat Qadiriyya wa
Naqsabandiyya di pelosok Nusantara. Adapun sejumlah tema yang diangkat oleh Syeikh
Sambas dalam kitab ini antara lain ;
Prosedur Pembai’atan
Setelah menjelaskan prosedur dan tata cara pembai’atan terhadap seseorang yang ingin
memasuki Tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya, Syeikh Sambas kemudian menjelaskan
bahwa manusia terdiri dari sepuluh Latha’if. Lima Lalha’it yang pertama disebut sebagai alam
al-amr (alam perintah). Kelima Latu’if tersebut antara lain; Lathifa al-Qalbi (halus hati), Lathifa
al-Ruh (halus ruh), Lathifa al-Sirr (halus rahasia), Lathifa al-Khafi (halus rahasia) dan Lathifa
ul-Akhfa (halus yang paling tersembunyi). Sementara lima Latha’if seterusnya disebut
sebagai ‘alum al-khalq (alam ciptaan) yang meliputi; Lathifa al-Nafs dan al-’anaasir al-
arba’a (unsur yang empat) yakni air, udara, api dan tanah. Selanjutnya Syeikh Sambas
menentukan bahwa Lathifa al-Nafs bertempat di dalam dahi dan tempurung kepala.
Setetelah menjelaskan sepuluh Latha’if, Syeikh Sambas melanjutkan dengan petunjuk tata
cara beramal (baca: berzikir) sebagaimana berikut ;
ال إله إال هللا. اللهم صـل على سيـدنا محمد و صحبه و سلم.أستغفرهللا الغفور الرحيم
Cara membaca kalimat la ilaaha illa Allah dimulai dari menarik nafas panjang sambil
membaca “ ”الdari pusat ke otak. Lalu membaca “ ”إلـهke arah kanan kemudian dilanjutkan
dengan kalimat إال هللاke dalam hati seraya mengingat maknanya.
Kemudian membaca ال مقصود إال هللاsambil membayangkan wajah Syeikh di hadapannya jika
Syeikhnya jauh dari pandangannya akan tetapi jika dekat maka tinggal menanti limpahan
saja. Inilah yang disebut dengan dzikir Nafy wa Ithbat yang dapat dilakukan baik dengan
nyaring (zhihar) atau di dalam hati (sirr).
Setelah selesai berzikir diteruskan dengan membaca solawat Munjiyat sebagaimana berikut :
)اللهم صـل على سيـدنا محمد صالة تنجينا بها من حميع األهوال و األفات (الخ
Muraqabah
1. Muraqabah al-Ahadiyah
2. Murayabah al-Ma’iyah
3. Muruqabuh al-Aqrabiyah
4. Muraqabah al-Muhabbati fi Da’irat Ulu;
5. Muraqabah al-Muhabbati fi Da’irat Tsaniyah
6. Muruqabah al-Mahabbut fi Qawsi
7. Muraqabah wilayat al-’Uly
8. Muruqabah Kamalut Nubuwwah
9. Muraqabah Kamalat Risalah
10. Muraqaboh Kamalat Uli al-’Azm.
11. Muraqabah al-Mahabbat Da’irat Khullu
12. Muruqabah Da’iru, Mahabbat Syarfat Hiya Haqiqat Sayyidina Musa
13. Muraqabah al-Zatiyah al-Mumtazijah bi Mahabbat wa Hiya Haqiqat Muhammadiya
14. Muraqabah Mahbubiyat as-Syarfat wa Hiya Haqiqat Ahmadiyyah
15. Muraqabah Hubb al-Syirf
16. Muraqabah La Ta’ayyun
17. Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah
18. Muraqabah Haqiqat al-Qur’an
19. Muraqabah Haqiqat al-Sholat
20. Muraqabah Dairat Ma’budiyah al-Syirfa