Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH PEMIKIRAN IBNU HAZM

Makalah

Disampaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sejarah pemikiran dan peradaban

Oleh : M. Husnan
Marzuki Hasibuan

NIM. 3001213005

Dosen Pengampu :
Dr. Wirman, MA
Dr. Indra Harahap

PROGRAM STUDI
MAGISTER PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. latar Belakang
Judul makalah ini memberikan sebuah asumsi bahwa sosok yang akan dibahas dalam
makalah ini merupakan salah satu ulama yang hidup di Andalusia, sebuah daratan Eropa yang
pernah menjadi wilayah kekuasaan islam selama kurang lebih 7,5 abad lamanya.
Membahas tentang seorang Ibnu Hazm merupakan sebuah pembahasan menarik seiring banyaknya
kontroversi dalam pola pemikiran literalis yang diusungnya, dimana dalam mengkaji dan memahami
persoalan yang berhubungan dengan syara’, Ibnu Hazm selalu berpedoman pada nash Al Quran dan atau
Sunnah dengan menggunakan pola pendekatan literal atau dengan kata lain mengambil hukum berdasarkan
Dzahir-nya nash. Namun demikian bukan berarti Ibnu Hazm mengesampingkan fungsi akal dalam
memahami sebuah teks (baca: nash), karena akal merupakan karunia ilahi yang menjadi asas fundamental
dalam memahami segala bentuk keilmuan, hanya saja dia membatasi peran akal sekedar untuk memahami
pengertian literal yang telah dibuat oleh Allah atau Rasul-Nya.
Semasa hidupnya ibnu Hazm mengabdikan dirinya bagi pemerintah Bani Umayyah, Namun
pergolakan politik Islam Spanyol yang tiada henti dan berujung pada runtuhnya daulah Bani Umayyyah di
sana, membuat Ibnu Hazm memutar haluan hidupnya. Diplomasi ilmiah akhirnya menjadi solusi yang
ditempuh Ibnu Hazm dalam mengabdikan dirinya demi kejayaan Islam setelah sempat berkutat dengan
dunia politik.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa Ibnu Hazm?
2. Bagaiman latar pendidikan Ibn Hazm?
3. Bagaimana konsep Pemikiran Ibn Hazm tentag etika?
4. Bagaimana Konsep Pemikiran Ibn Hazm tentang Ekonomi?
5. Bagaimana konsep pemikiran Ibnu Hazm tentang Keberadaan Allah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu Hazm
2. Untuk mengetahui latar pendidikan Ibnu Hazm
3. Untuk mengetahui konsep pemikiran Ibn Hazm tentang etika.
4. Untuk mengetahui konsep pemikiran Ibn Hazm tentang ekonomi.
5. Untuk mengetahui konsep pemikiran Ibn Hazm tentang keberadaan Allah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Hazm


Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazm bin Ghalib bin
Shalih bin Abu Sufyan bin Yazid. Dalam berbagai karyanya, ia sering menggunakan nama
samaran Abu Muhammad. Namun di kalangan masyarakat luas ia lebih populer dengan nama
Ibnu Hazm.1
Ibnu Hazm dilahirkan di sebelah timur kota Cordoba yang saat itu menjadi pusat
peradaban keilmuan di Eropa. Ia lahir pada hari rabu pagi menjelang terbit matahari, akhir bulan
Ramadhan 384 H.
Ibnu Hazm berasal dari keluarga elit-aristokrat yang pernah menempuh jalur politik dalam
menggapai kejayaan Islam. Bahkan keluarga Ibnu Hazm mempu- nyai andil dalam pendirian
dinasti Umayyah di Spanyol, di mana Khalaf, salah seorang kakeknya dahulu menyertai
keluarga Bani Umayyah waktu pertama kali datang ke Spanyol. Setelah keluarga Bani Umayyah
berhasil mendirikan daulah Bani Umayyah di Spanyol, keluarga Khalaf akhirnya berdomisili di
Manta Lisyam. Ayah Ibnu Hazm yang bernama Ahmad, pernah menduduki posisi Wazir pada
masa pemerintahan Al-Manshur, sedangkan Ibnu Hazm sendiri pernah menduduki jabatan yang
sama di masa pemerintahan Al-Murtadha Abdurrahman bin Muhammad (Abdurrahman IV), Al
Mustadzhar (Abdurrahman V), dan Hisyam Al Mu‟tadd Billah .2
Menilik pemaparan di atas, jelaslah bahwa Ibnu Hazm berasal dari keluarga elit yang
terhormat sehingga ia merasakan kehidupan yang serba cukup. Dengan latar belakang historis-
politis yang demikian, wajarlah jika Ibnu Hazm memiliki ikatan batin dan fanatisme yang begitu
mendalam kepada keluarga bani Umayyah.
Dalam aspek keilmuan, Ibnu Hazm bukan hanya seorang politikus dan pemikir hukum,
namun juga merupakan seorang sastrawan dan pakar sejarah di masanya. Karyanya yang berjudul
Thouq al Hamamah merupakan bukti nyata kehebatannya dalam dunia sastra. Ibnu Hazm wafat di
Ounabah, desa yang terletak di sebelah barat Andalusia pada hari ahad tanggal 28 Sya‟ban 456
H. dengan usia 71 tahun 10 bulan 29 hari.3

1
Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Dar al Fikr al Arabi, Cairo: 1996,hal. 538
2
Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah, Intimedia, Jakarta: 2003, cet. 3,hal. 109
3
Mustafa Ahmad Zarqa, Ensiklopedi Fiqh Ibnu Hazm Al Dzahiri, Maktabah Dar el Fikr,Damaskus: 1966, Juz
1, hal. 13
B. Latar Belakang Pendidikan
Ibnu hazm banyak melakukan perjalanan ilmiah ke beberapa kota di Negeri Andalusia.
Kebanyakan perjalanannya dibarengi dengan beragam pergolakan dan penekanan, ia tertekan dan
tidak bebas. Sebagian dari kota Andalusia yang dikunjungi Ibnu Hazm memberikan pengaruh
kuat bagi pemikirannya. Kota Al-meria dimana kepergiannya ke kota itu bersamaan dengan
peristiwa pencaplokan daerah-daerah barat daya Kordova.4
Namun kota Al-meria tidak kondusif bagi Ibnu Hazm, karena orientasi politiknya adalah
menginginkan keturunan bani umayyah menjadi pemimpin pemerintahan. Karenanya ia menemui
banyak kesulitan, ancaman, dan kegelisahan sehingga ia tidak betah tinggal di kota itu dan hanya
tinggal 3 tahun dan ditangkap oleh seorang hakim beberapa bulan. Kemudian ia hijrah ke desa
Hishan al-Qashr yang ada di sebelah barat daya negeri Andalusia seraya tinggal beberapa bulan di
rumah sahabatnya, Abu Al-Qasim bin Hudzail dengan betah dan tenang. Dari karyanya diketahui
juga bahwa ia juga pernah pergi ke kota Valensia dan akhirnya kembali ke Kordova.
Sedangkan daerah lain yang dikunjungi Ibnu Hazm pada paruh akhir dari umurnya adalah
pada masa setelah meninggalkan jabatan menterinya dan berkonsentrasi pada keilmuan.
Penyebabnya adalah karena kekerasannya dalam memberikan pendapat. Ibnu hazm sering
mengunci lawan debatnya dengan keras sampai pada para ahli fikih saat itu. Mereka cenderung
kepada sebagian lainya, lalu mereka berusaha menghinakan dan mencemarkan nama baiknya
serta mengusir dari negeri mereka. Ibnu Hazm pada mulanya pergi ke kota Syatibi, lalu pindah ke
kota Qoiruwan di negeri barat seraya berdiskusi dengan para ulama di kota itu dan bertukar
pikiran dalam berbagai bidang.
Ibnu Hazm juga berkunjung ke Maroko dimana penduduknya tunduk kepada
kepemimpinan Ahmad bin Rasyiq yang oleh sejarawan dipandang memiliki kecendrungan kepada
ilmu Hadits. Dalam buku-buku sejarah tidak disebutkan kemana Ibnu Hazm pergi setelah
meninggalkan negeri Maroko. Sebagian ada yang mengatakan ia pergi ke Sevilla dan menetap
disana sampai kemudian kembali lagi ke kampung halamannya, yaitu Andalusia. Dan disana ia
mengahbiskan sisa hidupnya.

1. Guru-guru Ibnu Hazm

Guru pertama Ibnu Hazm adalah Abu umar Ahmad bin Muhammad bin al-Jaswar sebelum tahun
400 H. sedangkan di bidang logika adalah Muhammad bin Al-hasan al-Madzhaji yang dikenal dengan
sebutan “ibnu al-Kattani” yang dikenal sebagai paenyair, ahli sastra, dan dokter dengan beberapa

4
Mahmud Ali Himayah. Ibn Hazm,Biografi,Karya dan Kajiannya tentang agama-agama, (Jakarta:
PT.LenteraBasritama, 2001). hlm. 67.
karangannya dan meninggal setelah tahun 400 H. Ibnu Hazm ketika terkenal dengan karyanya thauq,
bersahabat dengan abu Ali al-Husein al-Fasi yang dikenal menjadi panutan di bidang akhlak dan agama.
Yaqut al-Hamawi menyebut bahwa Ibnu Hazm pertama kali belajar ilmu fikih dari al-Faqih Abu
Muhammad Ibnu Dahun yang fatwa-fatwanya dijadikan rujukan di Kordova.
Guru-guru Ibnu Hazm lainnya adalah Abu Muhammad ar-Rahuni dan Abdullah bin Yusuf bin
Nami yang dikenal sebagai tokoh yang santun dan utama. Gurunya yang lain adalah Mas‟ud bin Sulaiman
bin Maflat Abu Al-khayyar. Dari guru ini Ibnu Hazm menerima pendapatnya tentang mazhab Dzahiri
sehingga ia menjadi pemimpin tunggal mazhab ini. Adh- dhabi berkata Abu Muhammad bin Hazm
menyebut salah satu gurunya, Mas‟ud bin Sulaiman sebagai ahli fikih, ilmu, dan zuhud yang cenderung
memeilih pendapat Azh-Zhahiri. Ibnu hazm belajar ilmu logika dan ilmu kalam dari Abu Qasim
Abdurrahman bin Abu Yazid al-Mishri. Selain guru-guru di atas para penulis biografi juga menyebut bahwa
Ibnu Hazm memiliki banyak guru dan menerima hadist, syariah, dan sastra dari para guru di Kordova.
Karena pada saat itu Kordova dipenuhi para ulama besar.5

2. Murid-Murid Ibnu Hazm


Sebagian murid Ibnu Hazm yang terkenal adalah Muhammad bin Abu Nashhr Futuh Al-
Azdi al-Humaidi al-Andalusi al-Miwarqi (wafat 488 H), pengarang kitab jadzwah al-Muqtabis fi
Dzikr Wulah al-Andalus yang dikomentari Ibnu Khalikan, Al-humaidi banyak menerima riwayat
dari Ibnu Hazm Azh-Zhahiri dan berteman dengannya. Al-humaidi sendiri mengakui keutamaan
Ibnu Hazm dalam upaya terakhirnya mengenalkan sejarah Andalusia yang ditulisnya sebanyak
36 halaman dari karyanya jadzwah al-Muqtabis.

Sebagain dari murid-murid khusus Ibnu Hazm adalah al-Qadhi Abu al-Qasim Sa‟id bin
Ahmad al-Andalusi (wafat 463 H). ia mengakui bahwa karyanya Thabaqat al-Umam, dari sisi
metode dan isi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Hazm. Murid Ibnu Hazm lainnya adalah
Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin al-„arabi dimana muridnya, Muhammad bin
Tharkhan. Keilmuan Ibnu Hazm juga dikembangkan di wilayah negeri timur oleh anaknya, Abu
Rafi‟ yang diriwayatkan oleh kedua anaknya Abu Usamah Ya‟qub dan Abu Sulaiman al-
Mush‟ab. Mereka adalah murid-murid Ibnu Hazm yang belajar darinya dan mendapat pengaruh
darinya.

3. Karya-Karya Ibnu Hazm

Al-Fadhl Abu bakar Rafi‟ mengatakan bahwa karya ayahnya (Ibnu Hazm) di bidang Fiqh,
Hadist, Ushul dan lainnya sebanyak 400 jilid atau secara keseluruhan berjumlah 80.000 lembar.
Namun hanya sebagian yang dapat terlacak, karena kitab-kitabnya pernah dibakar oleh penguasa

5
Ibid, hlm 59-60
yang zalim kepadanya. Diantara kitab-kitab yang terlacak dan terkenal sebagai magnum opus-nya6
adalah :
a. Al-Ihkam fi ushul al-Ahkam, kitab ini berbicara tentang ushul Fiqh Zahiry, terdiri dari 2 jilid yang
didalamnya ada 8 juz
b. Al-Muhalla bi al-Atsar, terdiri atas 11 jilid tebal, tentang Fiqh beserta argumentasi-nya kitab ini
merupakan karya terakhir Ibnu Hazm.
c. Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’wa al-Nihal, kitab yang berbicara mengenai sekte-sekte, mazhab
dan agama-agama.
d. Thauq al-Hamamah fi Ulyah wa al-Ullaf, kitab yang berbicara tentang cinta dan para pecinta, ditulis
di kota Syathibi sekitar tahun 418 H. Menjadi karya Ibnu Hazm yang banyak di kaji di eropa. Dan
masih banyak karya yang lainnya.
e. Al-Akhlaq was-siyar fi mudawati-nufus. Kitab yang berisi prinsip- prinsip akhlak utama dan solusi
bagi pengobatan jiwa menuju kebahagiaan dan kesempurnaan.

C. Konsep Pemikiran Tentang Etika


7
Al-Akh laq was-siyar fi mudawati-nufus adalah sebuah risalah etika dari Ibnu Hazm yang
berbicara mengenai perilaku utama, moralitas, dan etika. Risalah ini ditulis pada sekitar tahun
terakhir dari kehidupannya. Hal ini bisa dilihat dari kematangan analisanya serta keluasaannya
dalam memaparkan beberapa informasi yang menunjukkan bahwa risalah ini tidak mungkin
ditulis pada masa awal hidupnya atau pada masa mudanya. Aspek-aspek etika yang dikaji oleh
Ibnu Hazm dalam risalahnya meliputi konsep akhlak, metode dalam mempertingkatkan akhlak
terpuji dan pandangannya dalam menyatakan tentang penyakit akhlak beserta pengobatannya.
Banyak pengamat yang mengkaji dan menerjemahkan risalah ini dalam berbagai bahasa.
Risalah ini pertama kali dipublikasikan di Mesir oleh Mahmud al-Hattab pada 1908 M. Dan diedit
oleh Ahmad Omar al-Mahmasani, serta diterjemahkan pula dalam bahasa Spanyol oleh Miguel
Asin Palacios dengan judul Los Caracteresy la Conducta dan tersimpan di Madrid pada 1916 M.
Disamping kedua tokoh tersebut, Ihsan Abbas juga memuat karya ini dalam Rasa’il Ibnu Hazm
pada 954 M serta yang terakhir terdapat Sayyidah Nadya dari Libanon yang berhasil
menerjemahkan ke dalam bahasa Persia pada 1967 M. Menyatakan bahwa risalah ini
merupakan risalah yang penting tentang etika Ibnu Hazm. Selain itu, ia juga memuji metode Ibnu
Hazm dalam penggunaan analisis diri dalam risalahnya sebagaimana yang dilakukan oleh al-
Ghazali, St. Agustinus.8

6
Ibnu Hazm, al-Akhlaq wa as-siyar fi Mudawati an-Nufus. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah, tt, h. 57
7
Ibnu Hazm, al-Akhlaq wa as-siyar. ibid, 58
8
Muktafi Sahal, Kebahagiaan Dalam Prespektif Moral. (Akademika, vol. 15, No. 1,September 2004.
Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.), 133
Menurut Abu Zahra bahwa Ibnu Hazm dalam menulis risalah ini setidaknya menggunakan
dua sumber, yaitu : unsur-unsur filsafat Yunani yang dapat dilihat dari pembahasannya mengenai
keutamaan (fadhilah) yang bersifat moderasi (jalan tengah) seperti halnya filsafat etika Ibnu
Hazm. Ibnu Hazm berkata :
“keutamaan itu ada ditengah-tengah antara yang berlebihan dan yang kekurangan yang
kedua sisi tersebut adalah yang tercela, dan keutamaan di antara keduanya adalah yang terpuji,
kecuali akal yang tidak melampaui batas didalamnya”.9
Sedangkan, unsur kedua adalah eksperimen diri yang dialami oleh Ibnu Hazm beserta
lingkungannya yang kemudian disandarkan pada penalaran dan nilai-nilai keagamaan bahwa
filsafat moral yang ditulis oleh Ibnu Hazm merupakan gambaran atas situasi dan kondisi yang
sangat tercela yang sangat kacau. Ia menulis refleksi moral yang ditawarkannya oleh di
maksudkan agar dipelajari dan dijadikan petunjuk dalam rangka memperbaiki moral dan
mengobati jiwa mereka. Setidaknya yang disajikan dari filsafat moralnya Ibnu Hazm dalam
risalah al-Akhlaq was-siyar fi mudawati-nufus,disamping penjelasan pada akhir mengenai etika
mencari ilmu.10
Ibnu Hazm menyatakan bahwa salah satu di antara empat kebajikan utama, adalah
intelegensi. Intelegensi tidak didefinisikan secara formal oleh Ibnu Hazm, namun sangat berkaitan
dengan tugas utama yang dibebankan kepada manusia berakal mencari pengetahuan dan hakikat
dan kebenaran. Menurutnya, kenikmatan yang pernah dialami oleh manusia secara umum. Untuk
itu, Ibnu Hazm memberikan penjelasan bagaimana usaha mencari ilmu yang baik dan benar. Ibnu
Hazm menyatakan bahwa ketika mencari ilmu dalam suatu majlis hendaknya diniati untuk
sungguh-sungguh mencari ilmu dan mencari ridha Allah. Sehingga dengat niat itu maka akan
bertambahlah segala kebaikan dalam segala hal. Namun, jika kedatangannya tanpa adanya niat
sebagaimana diatas, makaberdiam diri di rumah itu lebih baik dan lebih mulia.

D. Konsep Pemikiran Tentang Ekonomi


Menurut anaknya, Abu Rafi‟, Ibnu Hazm memiliki 400 karya yang terdiri dari 80.000
lembar. Karyanya meliputi bidang hukum, logika, sejarah, etika, perbandingan agama, dan
teologi. Beberapa pemikirannya yang terkenal dalam bidang ekonomi antara lain:

1. Masalah Sewa tanah dan Kaitannya dengan Pemerataan Kesempatan.


Sejalan dengan pendekatan zahirinya, Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan
kesempatan berusaha dalam istinbat hukumnya dibidang ekonomi,sehingga cenderung pada

9
Ibnu Hazm, al-Akhlaq wa as-siyar. ibid, 58
10
Ibnu Hazm, al-Akhlaq wa as-siya. Ibid, 63
prinsip-prinsip ekonomi sosial islami yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak
dan berlandasakan keadilan sosial dan keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-quran dan
hadis.oleh karena itu sebagian penulis kontemporer menyatakannya sebagai perintis ekonomi
sosialis yang islami. Namun demikian,penilaian tersebut terlalu berlebihan dan cenderung
menarik-nari syariat islam kepada suatu sistem ekonomi kontemporer produk pemikiran barat.
Syariat islam bukan merupakansistem sosialis yang menekankan kepemilikan
kolektifsebagaimana pula bukan pemikiran kaum kapitalisyang menekankan kepada pemilikan
individual. Diantara pernyataan Ibnu Hazm berkenan dengan sewa tanah adalah :

“Menyewakan tanah sama sekali tidak di perbolehkan, baik untuk bercocok tanam,
perkebunan, mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka
pendek,jangka panjang,maupun tanpa batas waktu tertentu,baik dengan imbalandinar
maupun dirham.Bila hal ini terjaddi, hukum sewa-menyewanya batal
selamanya.”
Selanjutnya, Ibnu Hazm menyatakan:
“Dalam persoalan tanah, tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah)
dengan sistem bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). Jikan
terdapat bangunan pada tanah itu, banyak atau sedikit, bangunanitu boleh disewakan dan
tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak masuk dalampenyewaan sama sekali”.

Dengan pernyataan tersebut,Ibnu Hazm memberikan tiga alternatif penggunaan tanah,yaitu


pertama, tanah tersebut dikerjakan atau di garap oleh pemiliknya sendiri, kedua, si pemilik
mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa meminta sewa. Ketiga, sipemilik memberikan
kesempatan orang lain untuk menggarabnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari
dirinya, kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan persentasi tertentu sesuai
kesepakatan. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dengan kaum yahudi
terhadap tanah khaibar.Dalam sistem ini, jika tanaman itu gagal, si penngarap tidak dibebani
tanggung jawab tertentu.11
Pandangan tersebut didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai berikut:
Dari Rafi‟ bin Khudaij r.a.,ia berkata: “Rasulullah saw melarang penyewaan tanah”
(Riwayat Bukhari).
Dari Jabir bin Abdillah r.a., ia berkata: “Rasulullah saw melarang pengambilan upah
atau bagian tertentu dari tanah”. (Riwayat Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a.,ia berkata: “Rasullah saw bersabda: “Barang siapa memiliki tanah,
hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah

11
Euis Amalia, 2010, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik
hingga Kontemporer, Depok: Gramata, h.188
tanah tersebut”.(Riwayat Muslim)
Selanjutnya, berkenaan dengan muamalah Rasulullah saw dengan penduduk yahudi khaibar
untuk mengerjakan dan menanami tanah khaibar dengan biaya dari mereka dan Rasul
memperoleh bagi hasil,hal tersebut atas permintaan mereka sendiri.Menurut Ibnu Hazm, hal
ini merupakan pengecualian dari seluruh larangan penyewaan tanah12
Agaknya,pandangan Ibnu Hazm tersebut bertitik tolak dari status tanah sebagai barang
yang tidak hancur (sil’ah ghair istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi
manusia tidak menonjol.Yang tampak ialah bahwa tanah itu merupakan ciptaan Allah Swt dimana
manusia tinggal memanfaatkannya dan mengklaim pemilikan dan penguasaannya. Dengan
demikian kepemilikan tersebut tidak mutlak, tetapi justru relatif selama ia memanfaatkannya.
Jika tidak memanfaatkannya,ia harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
memanfaatkannya sesuai dengan asas kepemilikan umum tanah sebagai ciptaan Allah Swt. Oleh
karena itu,menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa disamakan dengan rumah atau peralatan yang
secara nyata merupakan hasil kerja dan jerih payah manusia untuk membuatnya sehingga dapat
disewakan.
Disamping itu,larangan penyewaan tanah dan alternatif bagi hasil,menciptakan iklim
bekerja dan berusaha yang lebih baik bagi orang-orang yang tidak mampu dengan risiko kecil
dalam menangggung kerugian akibat bencana alam atau penyakit,sehingga gagal panen. Dengan
seperti ini,keuntungan akan dinikmati bersama, dan begitu pula sebaliknya,risiko kerugian dan
kegagalan panen dipikul bersama.
Hal ini, jauh berbeda dengan sistem penyewaan tanah.kerugian dalam panen sama sekali
tidak menyertakan pemilik tanah menanggun kerugian yang diakibatnya karena ia menerima sewa
secara utuh.konsekuensinya, kerugian yang ditanggung oleh penyewa semakin besar yaitu sewa
tanah dan biaya pengolahan,penanaman dan perawatan serta tenaga dan waktu yang tercurah
untuknya. Ini jelas tidak adil dan menempatkan orang lemah dalam posisi lemah terus-menerus.13
Pandangan Ibnu Hazm tersebut berbeda dengan jumhur fuqaha yang secara umum
memperbolehkan penyewaan tanah,sebagaimana bolehnya melakukan muzara’ah dan
mugharasah (Hammad ibn Abdurahman al-janidal, jilid 2). Termasuk di antara mereka adalah
Abu Hanifah,Malik, Abu yusuf, Zufar, Muhammad binal-Hasan al-Syaibani,al- Syafi‟i,dan Abu
Sulaiman.Agaknyapendapat ini bertitik tolak dari kepemilikan tanah secara mutlak.Si pemilik
berhak sepenuhnya atas tanah tersebut,apakah ia memanfaatkannya untuk jangka waktu tertentu
ia alihkan kepada orang lain dengan ganti rugi berupa sewa yang dibayarkan kepada pemilik

12
Bukhari, Shahih Bukhari, 1981, , Beirut: Dar al-Fikr, h. 47-48
13
Euis Amalia, 2010, h. 189
tanah itu sesuai dengan kesepakatan.

2. Jaminan Sosial bagi Orang Tak Mampu


a. Pemenuhan Kebutuhan Pokok (Basic Needs) dan Pengentasan Kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat kebutuhan pokok yang memenuhi standar kehidupan
manusia.yaitu makanan,minuman,pakaian,danperlindungan(rumah).Makanan dan minuman harus
dapat memenuhi kesehatan dan energi.Pakian harus dapat menutupi aurat dan melindungi
seseorangdari berbagai dari udara panas dandingin serta hujan.rumahharus dapat melindungi
seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan tingkat kehidupan pribadi yang layak.
Dalam konteks ini,Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi
tingkat komsumsi atau kebutuhan lebih tinggi dari pada pendapatan yang dapat memenuhi
kebutuhan.Hal ini,terjadi akibat laju populasi yang meningkat cepat akibat kelahiran dan migrasi.
Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan
orang kaya mempengaruhi struktur adminitrasi,Cita rasa dan berbagai pengaruh lain, seperti
kenaikan tingkat harga dalam aktivitas ekonomi (Abul Hasan,1992: 68).
Berkenaan dengan harta wajib di keluarkan zakatnya, Ibnu Hazmmemperluas jangkuan dan
ruang lingkup kewajiban sosial lain diluar zakat,yang wajib dipenuhi oleh orang kaya sebagai
bentuk kepedulian tanggung jawab sosial mereka terhadap orang miskin,anak yatim,danorang
yang tidak mampu atau yang lemah secara ekonomi. Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang
menarik dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
“ orang-orang kaya dari penduduk setiap negari wajib menanggung kehidupan orang- orang
fakir miskin diantara mereka.Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika
zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk mengatasinya,orang kafir
miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya,pakian untuk musim dingin
dan musim panas yang layak, dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari
hujan,panas matahari, dan pandangan orang-orangyang lalu lalang”.

Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya tersebut pada firman Allah Swt:


“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur- hamburkan
(hartamu) secara boros”.(QS. Surah Al Isra‟ 17: 26)

“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauhdan teman sejawat, Ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri”. (Qs. An-Nisa, 4: 36)

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: Kami
dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan Kami tidak (pula)
memberi Makan orang miskin”.(Qs. Al-Mudatsir, 74: 42-44)
Hak- hak yang diperintahkan Allah Swt untuk dipenuhi dipahami Ibnu Hazm sebagai suatu
kewajiban. Hak-hak yang mesti dipenuhi tersebut tidak lain merupakan pemenuhan kebutuhan
dasar manusia yang meliputi sandang, pangan, dan papan yang layak dan sesuaidengan harkat
kemanusiaan. Hak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang menjadi tanggung
jawab sosial secara bersama-sama dalam mewujudkannya, demi tercapainya keadilan sosial bagi
seluruh umat manusia. Bagaimanapun juga, kemiskinan tidak pernah dikehendaki oleh
siapapun.Orang miskin harus dibantu untuk bisa terbebasdari kemiskinan yang membelenggu.
b. Kewajiban Mengeluarkan Harta Selain Zakat
Persoalan mengenai adanya kewajiban harta selain zakat merupakan persoalan yang
diperselisihkan oleh fuqaha.Sebagian fuqaha menyatakan keberadaan kewajiban harta yang harus
dikeluarkan selain zakat.Pendapat ini juga mendapat sebagian sahabat, seperti Umar ibn al-
Khatthab, Ali Bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghifari, Aisyah, Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah,
Hasan ibn Ali, dan Fatima binti Qai. Di antara golongan tabi’in yang berpendapat senada
adalah al-Sya‟bi, Mujahid, dan Tawus.Dengan demikian, pendapat tersebut bukan merupakan
suatu yang baru dalam fiqih Islam dan Ibnu Hazm bukan orang yang pertama berpendapat
demikian.
Berbeda dengan pendapat diatas, sebagian fuqaha yang lain menyatakan tidak ada
kewajiban harta selain zakat14. Harta yang dikeluarkan selain zakat merupakan sedekah atau
santunan yang disunnahkan. Pendapat kedua ini mansyur dikalangan fuqahamutaakhirin,
sehingga nyaris tidak dikenal pendapat yang lain.Dalil yang dikemukakan oleh kelompok kedua
ini diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, dan lainnya dari sahabat
Thalhah r.a., ia berkata:
“Seorang sahabat laki-laki dari penduduk Najd dengan rambut tergerai datang
menghadap Rasulullah saw. Suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak
mudah ditangkap. Setelah mendekati Rasulillah Saw, ia bertanya tentang islam. Kemudian
Rasulullah Saw menjawab “Lima kali shalat dalam sehari-semalam”. Ia berkata, apakah
selain itu ada yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu shalat
sunnah.” Rasul berkata, “dan berpuasa Ramadhan”.Ia berkata, “apakah ada puasa yang
lain yang wajib bagi diriku? “Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”.
Kemudian Rasul menyebutkan zakat.Ia berkata, “apakah ada kewajiban selain zaka?”
Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu bersedekah sunna”. Lantas laki-laki itu berbalik
seraya berkata, “aku tidak akan menambahi ataupun menguranginya”. Rasulullah Saw
bersabda, “Dia berungtung jika jujur” atau “Dia masuk surga jika jujur”.(Muslim,
Syirkah al-Ma‟arif, tt Jilid 1:4).

Hadis di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat, akan tetapi sebenarnya

14
Yusuf al-Qardhawi, 1993, Fiqh al-zakah,Muassasah al-Risalah Jilid II, Beirut, h. 964
harus dipahami dalam konteks kualitas kewajibannya sama persis dengan zakat, yakni sebagai
suatu kewajiban harta yang bersifat periodik, penyebab kewajibannya melekat pada jenin dan
jumlah harta itu sendiri dengan ketentuan nisab dan kadar jumlah tertentu,tanpa memandang
kondisi orang-orang yang berhak menerimanya. Ini merupakanbentukfardu a’in yang wajib
dipenuhi oleh seorang yang memiliki harta tertentu yang mencapai satu nisab, meskipun tidak ada
fakir miskin. Dalam kondisi normal, ia tidakdituntut lebih dari pada itu.
c. Zakat
Dalam persoalan zakat, Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban
dan juga menekankan peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Menurutnya,
pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang enggan
membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkannya, baik secara suka rela maupun terpaksa.
Jika ada yang menolak zakat sebagai kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan cara ini, hukuman
dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik secara tersembunyi maupun
terang-terangan15.
Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang.Seseorang yang harus
mengeluarkan zakat dan yang belum mengeluarkan selama hayatnya harus dipenuhi
kewajibannya itu dari hartanya, sebab tidak mengeluarkan zakat berarti utang terhadap Allah Swt.
Hal ini berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pangdangan konvensional yang jika tidak di
bayarkan berarti kredit macet (tidak ada pemasukan) bagi negara dalam periode waktu tertentu.
Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu tertentu.
Pemerintah wajib memberi sanksi bagi yang tidak mau membayar Zakat.Dan beliau
menekankan bahwa kewajiban zakat harus dipenuhi karena urusannya terhadap Allah.Ibn Hazm
menerapkan konsep keadilan dalam system pajak, dengan pertimbangan kebutuhan bagi tiap
wajib pajak(Pemikiran-ekonomi-al-mawardi-ibn-hazm.html/di akses tanggal 9Mei2016).
d. Pajak
Ibnu Hazm sangat fokus terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak. Menurutnya, sebelum
segala sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus
dipertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang
dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan. Hal ini
mengajak kita untuk mendiskusikan teori keuangan publik (publik finance) konvensional
berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar pajak.
Ibnu Hazm sangat memperhatikan sistem pengempulan pajak secara alami.Dalam hal ini,

15
Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed.), 1992, Reading in Islamic Economic Thought, Longman,
Malaysia, 69.
menurutnya, sikap kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari.Pengumpulan
pajak juga tidak boleh melampaui batas ketentuan syariah.Hilangnya para pembayar zakat berarti
juga hilangnya eksistensi suatu negara.Hal ini, mungkin terjadi karena hilangnya hasrat orang
untuk membayar pajak sehingga mengurangi dukungan publik untuk tegaknya kekuasaan
pemerintah dan menurunnya pendapatan pajak potensial juga mungkin muncul akibat terjadinya
penyimpangan dan kecerobohan para petugas pajak.
Penghimpunan administrasi pajak diAndalusia pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh
S.M. Imamuddin:
“Cabang departemen keuangan terendah berada di pedesaan dan dikelola oleh seorang
kepala devisi yang disebut amil. Saat hasil panen tiba, ladang diawasi dan hasil
produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas yang di sebut ash-shar. Saat itu, ada
mutaqabbil yang bertugas mengumpulkan pajak dan kewajiban lain berkaitan dengan
fiskal di wilayahnya. Untuk mengawasi para petugs ini dari penipuan dan harga yang
melebihi kewajiban dilakukan pengawasan ketat, sehingga, jika hal ini dilakukan, mereka
akan ditangkap”.

Dari catatan penghitungan pajak dan sensus yang dilakukan selama masa Yusuf al- Fihri
dan Bishop Hostegesis telah mendeskripsikan secara lengkap daftar pembayar pajak dan jizyah
selama masa Muhammad. Hal ini menunjukkan pajak telah direalisasikan pada saat itu.

Besarnya nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas
tanah. Praktek pengumpulan zakat sejenis ini telah dilakukan oleh para amir (gubernur) masa
dinasti bani Umayyah dan terus berlanjut pada setelahnya dengan nilai yang sepadan ataupun
dengan uang tunai. Pajak tanah dikumpulkan dengan nilai yang sepadan dilakukan pada periode
Hakam I sejumlah 4700 mud gandum dan 7.747 mud barley.Ali ibnu Mahmud (1009-1018 M)
mewajibkan orang membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai sebesar 6 dinar untuk 1 mud
gandum dan 3 dinar untuk 1 mud barley. untuk orang muslim, diwajibkan membayar zakat 2,5%
dari kekayaannya dan seorang yang baru masuk islam berkewajiban membayar jizyah secara
bervariasi dari 12-48 dirhamsetahun. Saat itu, terdapat kantor-kantor pajak di kota besar dan kecil,
pusat perdagangan dan pelabuhan. Idris menyatakan bahwa terdapat kantor pajak di lorca da
Himyari. Senjata, kuda perang, buku-buku, dan alat-alat perkawinan bebas bea impor.
Setelah dikurangi pengeluaran administrasi lokal, sisa pajak disimpan di kantor kas lokal.
Dari sana, kemudian dialihkan ke kantor pusat di Kordova yang mengawasi seluruh kantor kas
daerah dan menutupi kekurangan pada provinsi lain yang mengalami defisit.
Pajak-pajak juga dikumpulkan dari mustakhlas (tanah kerajaan) yang diserahkan langsung
ke bait al-mal al-khas (kas kerajaan) untuk biaya pribadi raja. Pajak-pajak tanah kerajaan
dikumpulkan di provinsi yang memiliki tanah sitaan dari para bangsawan sepanjang masa.Kepala
administrasi kekayaan keraajan disebut rahib al-diya.Pendapatan tahunan dari tanah dan pasar ini
sendiri berjumlah 765.000 dinar pada periode abdurrahman III.Sejumlah penguasa menetapkan
kebijakan tertentu bagi para pembayar pajak yang mengalami musibah.Abdurrahman III saat
berkuasa menghapuskan pajak-pajak illegal.Hakam II mengurangi pajak militer dan pajak-pajak
yang tidak biasa tahun 1-6 pada tahun 975 M 16.
Paparan di atas bukan merupakan struktur administrasi pajak yang meliputi berbagai elemen
yang disampaikan Ibnu Hazm, tetapi merupakan berbagai cara pengumpulan pajak tertentu yang
pada saat itu berjalan meskipun keadilan bagi pembayar pajak tidak diperoleh saat membayar
sejumlah pajak yang ditentukan. Hal ini tidak adil dalam pandangan Ibnu Hazm. Ketiadaan etika
dapat menghancurkan sistem administrasi dan struktur yang karena di akhir analisisnya ia
menilai bahwa sistem ini masih dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki etika yang sesuai
dengan sistem administrasi yang baik.

E. Konsep Pemikiran Keberadaan Allah


Telah disepakati oleh para mutakallim atau teolog muslim, bahwa manusia, dengan fitrah
dan kemampuan akalnya, dapat sampai kepada keyakinan akan adanya Allah. Oleh sebab itu,
pembicaraan Teologi Islam di sekitar masalah keberadaan Allah ini bukan menyangkut persoalan
ada atau tidak adanya Allah, melainkan bagaimana manusia dapat sampai kepada pengetahuan atau
keyakinan akan adanya Wujud Mutlak tersebut.
Dalam hal ini, perhatian para mutakallim atau teolog muslim tertuju kepada upaya
menunjukkan proses pembuktian dan macam-macam bukti, baik secara „aqli maupun naqli,yang
akhirnya menghantarkan manusia kepada pengetahuan dan keyakinan akan adanya Allah Sang
Pencipta Yang Maha Esa. Ibn Hazm, seperti mutakallim lain, juga berupaya menunjukkan bukti
dan proses pembuktian, terutama secara rasional, akan adanya Allah sebagai Pencipta dan Pengatur
alam semesta dimaksud.
Pengetahuan atau keyakinan akan adanya Allah, demikian Ibn Hazm, secara rasional dapat
diperoleh melalui dua jalur pembuktian. Pertama, perenungan mendalam terhadap bukti-bukti
kebaharuan alam. Kedua, perenungan terhadap fenomena benda-benda angkasa dan keunikan
penciptaan seluruh makhluk.
Mengenai jalur pembuktian pertama, seluruh mutakallim bersepakat bahwa alam ini baharu
atau diciptakan, dari tiada kepada ada, oleh Zat yang tiada Tuhan selain Dia. Dalam hal ini,
persoalan yang ingin dijelaskan oleh para mutakallim adalah bagaimana cara menunjukkan bukti-
bukti, sehingga keyakinan akan kebaharuan atau terciptanya alam tersebut dapat dicapai terutama

16
Abul Hasan, 1992, h. 70
melalui argumen rasional, di samping argumen naqli atau nash.
Menurut Ibn Hazm, kebaharuan alam ini dapat dibuktikan secara rasional melalui lima butir
argumen. Pertama, segala sesuatu atau benda dalam alam ini, semua „ard, dan zaman pasti terbatas
atau mempunyai kesudahan. Keterbatasan suatu benda terlihat pada adanya awal dan akhir serta
masa keberadaannya. Keterbatasan „ard terlihat pada keterbatasan benda itu sendiri. Sementara
keterbatasan zaman terbukti dengan bermulanya masa yang akan datang setelah masa yang telah
berlalu. Dengan demikian, batas zaman adalah masa “sekarang”, yang menjadi pembatas antara
dua zaman, yaitu masa lampau dan masa yang akan datang. Lebih lanjut Ibn Hazm menegaskan,
segala sesuatu yang merupakan bagian (al-juz‟) dari alam ini jelas bersifat terbatas, dalam arti
mempunyai permulaaan. Sementara alam sebagai keseluruhan (al-kull) adalah sama keadaannya
dengan bagian-bagiannya. Dengan demikian, alam ini, seperti bagian-bagiannya, adalah terbatas,
dalam arti mempunyai permulaan dan kesudahan.17
Argumen kedua, segala sesuatu yang ada secara aktual pasti dapat dihitung dengan bilangan
dan dapat dibatasi oleh tabi‟atnya masing-masing. Adanya bilangan (keadaan dapat dihitung) dan
keterbatasan oleh tabiat ini, merupakan tanda bagi keterbatasan sesuatu tersebut; sebab sesuatu
yang tidak terbatas jelas tidak mungkin dapat dihitung dan tidak mungkin pula dapat dibatasi oleh
sifat dasar atau tabiatnya. Alam ini, lanjut Ibn Hazm, ada secara aktual dan, oleh karena itu, jelas
dapat dihitung dan dapat dibatasi oleh tabiatnya. Dengan demikian. alam ini terbatas.18 Dua jenis
argumen yang telah dikemukakan ini, demikian Ibn Hazm, sebenarnya sudah ditegaskan secara
gamblang oleh Allah di dalam firmanNya berikut ini:

٨ ‫ار‬ َ ‫ِندهُۥ بم ۡق‬


‫د‬ ِ ٍ ۡ َ ‫ۚ َو ُ ُُّك‬
َ ‫َشء ع‬
ٍ ِ

“... dan segala sesuatu di sisiNya ada ukurannya” (Q.S. 13: 8).

Argumen ketiga, sesuatu yang tidak terbatas, dalam arti tidak mempunyai permulaan dan
kesudahan, tidak mungkin dapat diberi tambahan. Arti tambahan di sini, demikian Ibn Hazm,
menambahkan sesuatu yang sejenis kepada sesuatu yang terbatas, sehingga bilangan atau
ukurannya bertambah. Zaman, menurutnya, jelas mempunyai permulaan. Seandainya zaman itu
tidak mempunyai permulaan, maka tambahan waktu yang terjadi sesudahnya tidak dapat dipandang
sebagai tambahan. Padahal, tegas Ibn Hazm, jumlah tahun sejak permulaannya sampai sekarang ini
lebih banyak dari jumlah tahun sampai masa hijrah Rasulullah SAW. “Zaman” sejak permulaannya
sampai masa hijrah tersebut adalah bagian (aljuz‟) dari rentang zaman sejak permulaannya sampai

17
Ibn Hazm, al-Fishâl fi al-Milâl wa al-Ahwâ‟ wa al-Nihâl (selanjutnya ditulis al-Fishâl), Mesir: al-
Mathba`ah al-Adabiah, 1317 H., juz 1, hal. 14-15.
18
Ibid., hal. 15-16.
sekarang. “Zaman” sejak permulaannya sampai masa sekarang adalah keseluruhan (al-kull) bagi
“zaman” sejak permulaannya sampai masa hijrah dan masa sesudahnya hingga sekarang. Kedua
istilah al-juz‟ dan al-kull ini, demikian Ibn Hazm, hanya berlaku pada segala sesuatu yang
mempunyai bagian-bagian. Alam adalah keseluruhan bagi bagian-bagiannya, dan bagian-
bagiannya adalah bagian dari alam sebagai keseluruhan. Sementara itu, seperti telah dikemukakan,
sifat keterbatasan pasti berlaku bagi segala sesuatu yang mempunyai unsur al-kull dan al-juz‟.
Dengan demikian, alam ini, simpul Ibn Hazm, terbatas oleh waktu, dalam arti mempunyai
permulaan dan kesudahan.19
Argumen keempat, seandainya alam ini tidak mempunyai permulaan dan kesudahan, maka
tidak mungkin membatasinya dengan bilangan dan tabiat. Sementara, sebagimana telah
dikemukakan, semua yang ada di alam ini jelas dapat dihitung dengan bilangan dan dapat dibatasi
oleh tabiatnya. Demikian pula, lanjut Ibn Hazm, adanya perhitungan oleh manusia tentang awal
terciptanya alam semesta ini merupakan bukti lain bagi keterbatasan alam. Kesimpulan yang ditarik
oleh Ibn Hazm dari argumennya ini adalah bahwa alam semesta jelas mempunyai permulaan.20
Argumen kelima, tidak mungkin ada istilah “kedua” kecuali setelah ada istilah “pertama”,
dan tidak mungkin ada istilah “ketiga” kecuali setelah adanya istilah “kedua”, demikian seterusnya.
Seandainya bagian-bagian alam ini tidak mempunyai permulaan, maka tidak akan ada istilah
“kedua”. Jika tidak ada istilah “kedua”, maka tidak akan ada pula istilah “ketiga”. Bila demikian
halnya, maka tidak ada “bilangan dan yang dibilang” atau “ hitungan dan yang dihitung”.
Kenyataan segala sesuatu di alam ini dapat ”dihitung” atau “dibilang”, menunjukkan bahwa
bilangan “tiga” adalah setelah “dua” dan bilangan “dua” adalah sesudah “satu”. Hal yang demikian,
tegas Ibn Hazm, jelas menunjukkan keharusan adanya “permulaan” secara pasti. Argumen yang
memastikan adanya bilangan yang meniscayakan keterbatasan ini, demikian
Ibn Hazm, telah ditegaskan pula oleh Allah dalam firmanNya:
َۢ َ َ َ ۡ َ َّ ُ ٰ َ ۡ َ َ
٢٨ ‫وأحَص ُك َش ٍء عددا‬

“… dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu” (Q.S. 72: 28).21

Dengan beberapa butir argumen di atas, Ibn Hazm sampai kepada kesimpulan akhirnya,
bahwa alam ini terbatas, dan karenanya mempunyai permulaan.22 Segala sesuatu yang terbatas dan
mempunyai permulaan berarti baharu atau diciptakan dari tiada kepada ada.

19
Ibid., hal. 16-17.
20
Ibid.
21
Ibid., hal. 19.
22
Ibid., hal. 21.
Demikian arguman Ibn Hazm di sekitar kebaharuan alam, yang menitikberatkan pada aspek
keterbatasannya, terutama keterbatasan segala benda, ard‟ dan zaman yang merupakan bagian dari
alam tersebut. Keterbatasan bagianbagian ini menunjukkan keterbatasan alam itu sendiri sebagai
keseluruhan. Beberapa argumen yang diketengahkan jelas merupakan argumen rasional filosofis,
yang mempunyai kekuatan dan keabsahan tersendiri.

Apabila telah jelas bahwa alam ini baharu dalam arti diciptakan, demikian Ibn Hazm, maka
akan lahir tiga kemungkinan berikut ini. Pertama, alam ini mungkin diciptakan oleh zat atau
dirinya sendiri. Kedua, mungkin bukan diciptakan oleh yang lain dan bukan pula oleh dirinya
sendiri. Ketiga, alam ini mungkin diciptakan oleh yang lain dari dirinya. Kemungkinan pertama,
tegas Ibn Hazm, jelas tidak benar. Sebeb kemungkinan ini mengandung arti bahwa sesuatu (alam)
itu bukan zatnya. Padahal, lanjutnya, sesuatu dan zatnya adalah sama, tidak dapat dibedakan.
Kemungkinan kedua juga tidak benar, sebab ini mengandung arti bahwa tidak ada hal yang
menyebabkan sesuatu (alam) itu keluar dari tiada kepada ada. Keadaan “keluar”, lanjutnya, tidak
sama dengan keadaan “tidak keluar”. Keadaan „keluar”, demikian Ibn Hazm, merupakan sebab
wujud atau keberadaan sesuatu, dan hal ini jelas mengharuskan apakah ia dikeluarkan oleh dirinya
sendiri atau dikeluarkan oleh sesuatu yang bukan dirinya. Karena alam ini tidak mungkin muncul
oleh dirinya sendiri dan tidak mungkin keluar tanpa dikeluarkan oleh yang lain selain dirinya, maka
kemungkinan ketigalah yang benar, yaitu bahwa alam ini pasti dikeluarkan atau diciptakan, dari
tiada kepada ada, oleh zat yang lain dari alam itu sendiri. Zat dimaksud tidak lain adalah Allah
Yang Maha Esa.23

Selanjutnya, berpindah kepada perihal keadaan berbagai makhluk yang ada di alam ini, Ibn
Hazm berupaya menunjukkan berbagai keunikan penciptaan. Ia, misalnya, menunjuk kepada
keunikan dan ketelitian susunan anatomi manusia yang antara lain berupa memasukkan tulang
punggung yang bengkok ke dalam rongga badan dan tersusun rapinya otot-otot besar yang
kemudian dibalut dengan urat saraf. Ini, lanjutnya, jelas merupakan suatu hasil karya yang tidak
mempunyai kekurangan kecuali dalam pandangan penciptanya sendiri.24

Setelah mengemukakan keunikan, keindahan, dan keteraturan pada penciptaan segala


makhluk ini, Ibn Hazm menegaskan bahwa pasti ada pencipta yang bebas menciptakan semua itu
sesuai dengan kehendaknya. Tidak terbayang oleh akal, lanjutnya, bahwa penciptaan yang aneka
ragam dan teratur yang terlihat pada makhluk tersebut sebagai hasil kreasi alam, melainkan pasti

23
Ibid.
24
Ibid.
ada pencipta yang dengan sengaja dan bebas menciptakan semua itu. Dialah Yang tidak
menyerupai dan diserupai semua makhlukNya, tiada tuhan selain Dia; Dia Yang Maha Esa, Yang
Awal dan Sang Pencipta.25

25
Ibid., hal. 23.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ibn Hazm adalah tokoh mutakallim yang tampil dengan metode dan mazhabnya sendiri.
Berbeda dengan bidang fikih, di dalam kalam atau teologi, sebagai disiplin yang berbicara masalah
akidah berdasarkan bukti-bukti atau argumen yang kuat, yang para pelakunya sudah barang tentu
kelompok khawas, rasionalitas menjadi ciri bahkan syarat utama. Demikian pula Ibn Hazm al-
mutakallim, sudah barang tentu, banyak bersandar kepada dalil `aqli atau argumen rasional.
Khusus di bidang kalam atau teologi ini, tokoh Ibn Hazm, di samping ketat bersandar
kepada nash al-Qur'an dan al-Sunnah, sesuai dengan watak zhahirinya, juga sangat kuat berpegang
kepada argumen dan analisis rasional.
DAFTAR PUSTAKA

al-Qardhawi, Yusuf. 1993, Fiqh al-zakah,Muassasah al-Risalah Jilid II, Beirut.


Amalia,Euis. 2010, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, Depok: Gramata.
Bukhari, Shahih Bukhari, 1981, , Beirut: Dar al-Fikr.
Hasan, Abul M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed.), 1992, Reading in Islamic Economic Thought,
Longman, Malaysia.
Himayah, Mahmud Ali. Ibn Hazm,Biografi,Karya dan Kajiannya tentang agama-agama, (Jakarta:
PT.Lentera Basritama, 2001).
Ibn Hazm, al-Fishâl fi al-Milâl wa al-Ahwâ‟ wa al-Nihâl (selanjutnya ditulis al-Fishâl), Mesir: al
Mathba`ah al-Adabiah, 1317 H., juz 1,
Ibnu Hazm, al-Akhlaq wa as-siyar fi Mudawati an-Nufus. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah, tt
Iqbal, Muhammad. 100 Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah, Intimedia, Jakarta: 2003, cet. 3.
Sahal, Muktafi. Kebahagiaan Dalam Prespektif Moral. (Akademika, vol. 15, No. 1, September
2004. Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Zahroh, Muhammad Abu. Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Dar al Fikr al Arabi, Cairo: 1996.
Zarqa, Mustafa Ahmad. Ensiklopedi Fiqh Ibnu Hazm Al Dzahiri, Maktabah Dar el Fikr,
Damaskus: 1966, Juz 1.

Anda mungkin juga menyukai