Dosen:
Bapak Ahmad Muthi
Penyusun:
Nabila Dwi Lestari
Nur Rizky Putri R
Laila Dzikriyah
Rahmat Ramadhan
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
1
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………1
Daftar Isi…………………………………………………...2
Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang………………………………………….3
1.2 Rumusan Masalah………………………………………4
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………..4
1.4 Manfaat Penulisan………………………………………4
Bab 2 Pembahasan
2.1 Al-Quran dan Isinya…………………………………….5
2.2 Hadits/As Sunnah dan Fungsinya……………………….6
2.3 Ijtihad dan Ketentuannya………………………………..9
Bab 3 Penutup
3.1 Kesimpulan ……………………………………………..15
3.2 Penutup…………………………………………………..17
Daftar Pustaka……………………………………………...19
2
Bab 1 Pendahuluan
3
1.2 Rumusan Masalah
4
Bab 2 Pembahasan
1) Sunnah Qauliyah
Yang dimaksud dengan Sunnah Qauliyah adalah segala
yang disandarkan kepada Nabi SAW., yang berupa perkataan
atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa,
dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, ahlak
maupun yang lainnya. Contonya tentang do’a Rosul SAW dan
bacaan al-Fatihah dalam shalat.
2) Sunnah Fi’liyah
Yang dimaksudkan dengan Sunnah Fi’liyah adalah segala
yang disandarkan kepada Nabi SAW., berupa perbuatannya
sampai kepada kita. Seperti Hadis tentang Shalat dan Haji.
3) Sunnah Taqririyah
Yang dimaksud Sunnah Taqririyah adalah segala hadts
yang berupa ketetapan Nabi SAW. Membiarkan suatu perbuatan
yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa
syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.
Diantara contoh hadis Taqriri, ialah sikap Rosul SAW.
8
Membiarkan para sahabat membakar dan memakan daging
biawak.
4) Sunnah Hammiyah
Yang dimaksud dengan Sunnah Hammiyah adalah hadis
yang berupa hasrat Nabi SAW. Yang belum terealisasikan,
seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam riwayat
Ibn Abbas, disebutkan sebagai berikut:
“Ketika Nabi SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata:
Ya Nabi! Hari ini adalah hari yang diagung-agungkan orang
Yahudi dan Nasrani .Nabi SAW. Bersabda: Tahun yang akan
datang insya’Allah aku akan berpuasa pada hari yang
kesembilan”. (HR.Muslim)
Nabi SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena
wafat sebelum sampai bulan ‘Asyura. Menurut Imam Syafi’iy
dan para pengikutnya, bahwa menjalankan Hadits Hammi ini
disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah yang
lainnya.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan
segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut
bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam
segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqih
mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-
9
Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan
kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat
operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan
hukum. Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad
adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum
syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu
untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam
al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari
definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
10
otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas
dari bahwa teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan
bahasa Arab.
b. Mengerti dan Memahami nasakh dan mansukh
ُس ْو َخه ُ ا َ ْل ِع ْل ُم ِبا ْلقُ ْرا َ ِن نَاس ُخهُ َو َم ْن
Syarat ini telah disyaratkan oleh imam Syafi’i dalam
kitabnya ar-Risalah, sebagaimana ia mensyaratkan kemampuan
berbahasa Arab. Persyaratan ini didasarkan kepada kedudukan
dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama syari’at
yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang
terkandung di dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar
mengatakan bahwa :
َم ْن َج َمعَهُ فَقَ ْد َج َم َع النُّبُ َّوة
11
mengetahui perbedaan antara ayat-ayat hukum dengan ayat
lainnya harus mengerti keseluruhannya.”
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan
agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu
hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh
dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di
mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh hadis-hadis
lain.
c. Mengerti Sunnah (Hadits)
ُّ ا َ ْل ِع ْل ُم ِبال
سنَّ ِة
Syarat ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama,
bahwa seorang mujtahid harus mengerti betul tentang sunnah,
baik qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan),
maupun taqririyah (ketetapan), minimal pada setiap pokok
masalah (bidang) menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi
pembidangannya. Menurut pendapat yang menolak adanya
pembidangan dalam ijtihad, maka seorang mujtahid harus
menguasai seluruh Sunnah yang mengandung
hukum taklifi, dengan memahami isinya serta menangkap
maksud hadits dan kondisi yang melatarbelakangi datangnya
suatu hadits. Mujtahid juga harus
mengetahui nasakh dan mansukh dalam
Sunnah, ‘am dan khasnya,muthlaq dan muqayadnya,
takhshish dan yang umum. Demikian juga harus mengerti alur
riwayat dan sanad hadits, kekuatan perawi Hadits, dalam arti
mengetahui sifat dan keadaan perawi Hadits yang
menyampaikan Hadits-hadits Rasulullah s.a.w.
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-
Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan,
perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
12
d. Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
ِ َاض ِع ا ْل ِخال
ف ِ َم ْع ِرفَةُ َم َو
ِ اض ِع ا ِالجْ َماعِ َو َم َو
Dengan mengetahui letak ijma’ yang telah disepakati para
ulama salaf, maka seorang mujtahid diharuskan juga mengetahui
ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi di antara fuqaha,
misalnya perbedaan pendapat serta metode antara ulama Fiqh di
Madinah dan Ulama Fiqh di Irak. Dengan demikian, mujtahid
secara rasional akan mampu membeda-bedakan antara pendapat
yang shahih dengan yang tidak shahih,kaitan dekat atau jauhnya
dengan sumber al-Quran dan hadits. Imam Syafi’i mewajibkan
seorang mujtahid memiliki kemampuan demikian, sebagaimana
dijelaskan dalam kitabnya ar-Risalah.
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang
telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus
memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’.
Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna
menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.
Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa
bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya
maslahat bagi manusia.
e. Mengetahui Qiyas
ِ َم ْع ِرفَةُ ا ْل ِق َي
اس
Imam syafi’i mengatakan, bahwa ijtihad itu sesungguhnya
adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Bahkan, dia juga
mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas itu sendiri. Oleh
sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui perihal qiyas yang
benar. Untuk itu, dia harus mengatahui hukum-hukum asal yang
ditetapkan berdasar nash-nash sebagai sumber hukum tersebut,
yang memungkinkan seorang mujtahid memilih hukum asal
yang lebih dekat dengan obyek yang menjadi sasaran ijtihadnya.
13
Pengetahuan tentang qiyas demikian memerlukan mujtahid
mengetahui tiga hal, yaitu:
1. Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum
asal beserta ‘illatnya untuk dapat menghubungkan dengan
hukum furu’ (Cabang).
2. Mengetahui aturan – aturan qiyas dan batas-batasnya,
seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang
tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-
sifat‘illatnya sebagai dasar qiyas dan faktor yang
menghubungkan dengan furu’.
3. Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama
salafusshalih dalam mengetahui‘illat-‘illat hukum dan
sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan
penggalian hukum fiqh.
Sedangkan dalam Kitab Al-Bayan dijelaskan bahwa syarat
ijtihad yaitu :
1. Mengetahui dan memahami nash Al-Qur’an dan
Hadits.
2. Menguasai bahasa arab agar memungkinkan
melakukan penafsiran terhadap teks
3. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh dan ilmu lainnya.
4. Mengetahui ilmu nasakh dan mansukh.
14
Bab 3 Penutup
3.1 KESIMPULAN
16
3.2 PENUTUP
17
DAFTAR PUSTAKA
18