Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Hubungan Aswaja dengan Organisasi


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ahlusunnah wa al Jamaah
Dosen Pengampu :
Saroni, S.Ag. MM. M.Pd I

Disusun Oleh :

1. Della Awaliya 181130001594


2. Anis Zunita Badriah 181130001602
3. Karina Zulaikha 181130001607

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA JEPARA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini kami susun berdasarkan pengalaman dan data-data yang kami peroleh
dari sebagai sumber.Makalah ini disusun sedemikian rupa dengan tujuan dapat
diterima dan dipahami oleh dosen serta mahasiswa atau mahasiswi.
Kami menyadari bahwa hal tersebut terlaksana berkat bantuan berbagai pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu izinkan kami
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak. Aan Zainul Anwar,S.H.I.,M.E,Sy. Selaku Kaprodi. Ekonomi
Islam.
2. Bapak Saroni, S.Ag. MM. M.Pd I Selaku Dosen Pengampu Ahlusunnah
wa al jamaah Universitas Islam Nahdhlatul Ulama.
3. Ayah dan ibu selaku orang tua yang mendukung kami.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa laporan masih jauh dari sempurna walaupun kami
telah berusaha dengan semaksimal mungkin dan daya upaya yang ada pada kami.
Semoga Makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak penyusun pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jepara, 21 Desember 2019

Della Awaliya
Anis Zunita Badriah
Karina zulaikha

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

1.1. Latar Belakang Masalah............................................................................4


1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.3. Tujuan Masalah.........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5

2.1. Pengertian Ahlussunah waljama’ah ( NU )...................................................5

2.2. Konsep NU Terhadap Aswaja.......................................................................6

2.2.1. Bidang Aqidah...................................................................................6

2.2.2. Bidang social plitik............................................................................6

2.2.3. Bidang istnbath Al-Hukun (pengambilan hukum syari’ah)...............6

2.2.4. Bidang Tasawuf.................................................................................6

2.3. Aspek Pemahaman Dan Implementasi Aswaja Menurut NU.......................7

2.4. Implementasi paham Ahlussunnah Waljama’ah di NU................................8

2.5. Prospektif Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam NU......................................10

BAB III PENUTUP...............................................................................................11

3.1. Kesimpulan..............................................................................................11
3.2. Saran........................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan) wadah


bagi para Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31
Januari 1926 M di Surabaya. NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa setiap
manusia hanya dapat memenuhi kebutuhannya, bila hidup bermasyarakat. NU
didirikan dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islamyang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan
menganut salah satu dari empat madzhab: Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta
mempersatukan langkah Ulama dan pengikutnya dan melakukan kegiatan yang
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan
ketinggian harkatdan martabat manusia.

Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang bertujuan


ikut membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas,
terampil, berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita cita
dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang di dasari oleh dasar dasar faham
keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut
sebagai khittah Nahdlatul Ulama. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926
merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham
kenegaraannya, dan lain-lain. Dalam hal ini penulis akan membahas tentang
gerakan-gerakan NU.
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa itu Aswaja ?


2. Bagaimana konsep NU terhadap Aswaja ?
3. Bagaimana Implementasi paham Ahlussunnah Waljama’ah di NU ?
4. Bagaimana Propektif Ahlussunnah Waljama’ah dalam NU ?

1
1.3. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui apa itu ASWAJA.


2. Untuk mengetahui konsep NU terhadap Aswaja.
3. Untuk mengetahui aspek pemahaman dan implementasi Aswaja menurut NU.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ahlussunah waljama’ah ( NU )

Pengertian Ahlussunah Waljama’ah secara bahasa Ahlun : keluarga,


golongan atau pengikut. Ahlussunnah : orang orang yang mengikuti sunnah
(perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Wal Jama’ah
: Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Dengan
demikian secara bahasa /aswaja berarti orang orang atau mayoritas para ‘Ulama
atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.

Pengertian Ahlussunah Waljama’ah secara Istilah Berarti golongan umat


Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al
Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih
menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang
tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.
Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti salah satu madzhab empat :
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas
bukanlah soal yang penting untuk menilai pokok faham keagamaan NU.

Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar hanyalah
aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu
terdapat warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti
pokok kehidupan keagamaan NU. Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas,

2
tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-Jama'ah merupakan sistem nilai
yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU. Oleh karena
itu, paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) tidak hanya dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan
sosial politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam
kehidupan kemasyarakatan bagi NU yaitu :

1. Tawasuth
2. Tasamuh
3. Tawazun
4. Amar ma’ruf nahi munkar.
2.2. Konsep NU Terhadap Aswaja

NU berpegang pada prinsip-prinsip Aswaja tentang islam iman dan ikhsan,


yaitu dalam hal fiqih mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu madzhab
Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Dalam hal teologi mengikuti abu hasan Al
asy’ari dan abu mansyur al maturidi dan dalam bidang tasawuf mengikuti Imam
Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi. Dari pemaparan diatas kita dapat
melihat bahwa antara Aswaja dengan NU adalah satu-kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, konsep serta prinsip yang sama antara keduanya setidaknya dapat
dilihat juga dalam beberapa contoh persoalan sebagai berikut :
2.2.1. Bidang Aqidah

Dalam bidang aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah


Ahlussunnah Waljamaah dan juga NU meliputi tiga hal

a. Aqidah uluhiyyah ( Ketuhanan ).


b. Aqidah nubuwwat yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan
wahyu kepada para Nabi dan Rasul.

3
c. Al ma’ad, yaitu sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan
dibangkitkan dari kubur pada hari iamat dan setiap manusia akan
mendapat imbalan atas amal perbuatannya.
2.2.2. Bidang social plitik

Ahlussunnah Wal Jamaah dan NU memandang Negara sebagai kewajiban


fakultatif (fardlu kifayyah). Pandangan tersebut tidak sama dengan golongan yang
lain, seperti syiah yang memiliki sebuah konsep Negara dan mewajibkan
berdirinya Negara (imamah).
2.2.3. Bidang istnbath Al-Hukun (pengambilan hukum syari’ah)

Ahlussunnah Wal Janaah dan NU menggunakan empat sumber hokum


dalam pengambialn hokum syari’ah, yaitu : Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas.
2.2.4. Bidang Tasawuf

Tasawuf adalah menyucikan diri dari apa saja selain Allah. Ketidak
terikatan kepada apapun selain Allah SWT baik dalam proses batin ataupun
bertingkah laku inilah yang kemudian disebut dengan zuhud. Namun engertian
zuhud tersebut bukan berarti manusia hanya sibuk dengan hubungan vertical
dengan Tuhannya dan meninggalkan urusan duniawi. Ahlussunnah Wal Jamaah
Nahdliyyin (NU) memandang bahwa justru ditengah-tengah kenyataan duniawi
posisi manusia sebagai hamba dan fungsinya sebagai khalifah harus diwujudkan.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah dan
juga urusan-urusan yang lain seperti politik, hukum, sosial, budaya dan lain
sebagainya. Dalam tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk
mencapai zuhud. Praktek zuhud adalah didalam batin sementara aktivitas sehari-
hari tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia agar
terwujudnya masyarakat yang baik.

2.3. Aspek Pemahaman Dan Implementasi Aswaja Menurut NU

4
Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljama’ah yang
dikembangkan NU disebutkan secara tegas dalam AD NU Bab II tentang
Aqidah/Asas Pasal 3, yakni ”Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah
Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah Waljama’ah dan
menganut salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali”.
Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak atau perilaku
kehidupan individu dan masyarakat, NU menganut paham yang dikembangkan
oleh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad ibnu Muhammad Al-
Ghazali serta Imam-Imam yang lain. Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa
NU mengembangkan faham Ahlussunnah Waljama’ah yang mencakup tiga hal
pokok yang secara garis besar juga merupakan aspek -aspek ajaran Islam, yaitu:

1. Akidah
2. Syari’ah atau fikih
3. Akhlak.

Akidah merupakan aspek terpenting sekaligus yang melatarbelakangi


lahirnya paham Ahlussunnah Waljama’ah dalam dunia Islam. Di lingkungan NU,
pemahaman terhadap aspek akidah menggunakan metode Asy’ariah dan
Maturidiah. Paham Ahlussunnah Waljama’ah menempatkan nash Al-Quran dan
Sunnah Nabi sebagai otoritas utama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat
manusia dalam memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai
potensi untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu
pengetahuan merupakan alat bantu untuk memahami nash tersebut.

Syari’ah atau fikih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan


dengan kegiatan ibadah (ibâdah) dan mu’amalah (mu’âmalah). Ibadah merupakan
tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam
berhadapan dengan Tuhannya, seperti yang tergabung dalam rukun Islam.
Hubungan secara langsung antara hamba dengan Tuhannya ini dalam bahasa Al-
Quran disebut habl min Allâh. Adapun mu’amalah merupakan bentuk kegiatan

5
ibadah (penghambaan kepada Allah atau pengamalan ajaran agama) yang bersifat
sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya secara horizontal,
misalnya jual beli,perilaku pidana-perdata, pembuatan kesepakatan-kesepakatan
tertentu, perilaku sosial-politik, dan lain sebagainya.

Dalam bahasa Al-Quran aspek ini disebut dengan habl min an-nâs. Semua
dasar dari syari’ah atau fikih ini ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Akan
tetapi, menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak semua orang akan dapat
menerjemahkan dan memahaminya secara langsung. Sebagaimana diketahui,
kebanyakan nash Al-Quran maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsip-
prinsip masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode pengambilan
hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi cabang-
cabangnya. Untuk melakukan hal ini diperlukan ijtihad yang tidak semua mampu
melakukannya. Itulah sebabnya mengapa dalam paham Ahlussunnah Waljama’ah,
mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agama menjadi demikian
penting.

2.4. Implementasi paham Ahlussunnah Waljama’ah di NU

Koridor bagi pemahaman keagamaan di lingkungan NU adalah taqdîm an-


nashsh ’alâ al’aql (mendahulukan nash atas akal). Itulah sebabnya mengapa dalam
mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljama’ah, NU mengenal hirarki
sumber ajaran Islam sebagaimana dilakukan oleh mayoritas umat Islam, yaitu
mulai dari Al-Quran, sunnah, ij’mâ’ (kesepakatan jumhur ulama), dan qiyâs
(pengambilan hukum melalui metode analogi tertentu), diletakkan dalam konteks
yang hierarkis, di mana sumber suatu hukum baru akan digunakan jika dalam
sumber di atasnya tidak ditemukan keketapannya. Hierarki sumber ini berlaku
untuk semua aspek keagamaan, baik akidah, syari’ah atau fikih, maupun akhlak.
Hierarki seperti ini, secara implisit juga tergambar dalam pernyataan Asy’ari pada
saat memproklamirkan pahamnya di depan publik, bahwa sandaran otoritas
pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh Al-Qur’an dan

6
Sunnah Rasulullah, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadis, dan apa yang
dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. Watak atau ciri NU dalam mengembangkan
paham Ahlussunnah Waljama’ah adalah pengambilan jalan tengah yang berada di
antara dua ektrim. Kalau kita melihat ke belakang, sejarah teologi Islam memang
banyak diwarnai oleh berbagai macam ektrem, seperti Khawarij dengan teori
pengkafirannya terhadap pelaku dosa besar, Qadariyah dengan teori kebebasan
kehendak manusianya, Jabariyah dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat
manusianya, dan Muktazilah dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal
dalam mencari sumber ajaran Islam.

Di sinilah Asy’ariah dan Maturidiah dengan mengambil inspirasi berbagai


pendapat yang sebelumnya dikembangkan terutama oleh Ahmad ibn Hanbal
merumuskan formulasi pemahaman kalamnya tersendiri dan banyak mendapatkan
banyak pengikut di seluruh dunia.Dalam Risalah Khittah Nahdliyyah, K.H.
Achmad Shiddiq (1979: 38-40), menjelaskan bahwa paham Ahlussunnah
Waljama’ah memiliki tiga karakter. Pertama, tawâsuth atau sikap moderat dalam
seluruh aspek kehidupan, kedua, al-i’tidâl atau bersikap tegak lurus dan selalu
condong pada keberanaran keadilan, dan ketiga, at-tawâzun atau sikap
keseimbangan dan penuh pertimbangan. Tiga karakter tersebut berfungsi untuk
menghindari tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan. Dengan
kata lain, harus ada pertengahan dan keseimbangan dalam berbagai hal. Dalam
akidah, misalnya, harus ada keseimbangan atau (pertengahan) antara penggunaan
dalil naqliy dan ’aqliy, antara ekstrim Jabariyah dan Qadariyah. Dalam bidang
syari’ah dan fikih, ada pertengahan antara ijtihad ”sembrono” dengan taklid buta
dengan jalan bermazhab. Tegas dalam hal-hal qath’iyyât dan toleran pada hal-hal
dzanniyyât.

Dalam akhlak, ada keseimbangan dan pertengahan antara sikap berani dan
sikap penakut serta ”ngawur”. Sikap tawâdlu’ (rendah hati) merupakan
pertengahan antara takabbur (sombong) dan tadzallul (rendah diri). Secara
keseluruhan, bisa juga dikatakan bahwa paham keagamaan Ahlussunah
Waljama’ah yang ditampilkan oleh NU merupakan manhaj yang mengambil jalan
7
tengah antara kaum ekstrem ’aqliy (rasionalis) dengan kaum ekstem naqliy
(skripturalis). Akan tetapi, dalil dalil berdasarkan nash Al-Quran dan sunnah
(naqliy) secara hierarkis berada di atas dalil berdasarkan akal atau logika (aqliy).
Dengan kata lain bahwa di dalam lingkungan NU diterapkan metode berpikir
untuk mendahulukan nash dari pada akal (taqdîm an-nashsh ’alâ alaql). Perpaduan
antara tawassuth, i’tidâl, dan tawâzun ini juga mencerminkan tradisi NU yang
dalam secara kultural bersikap mempertahankan tradisi lama yang baik, menerima
hal-hal baru baru yang lebih baik, tidak bersikap apriori dalam menerima salah
satu di antara keduanya, dan lain sebagainya.

2.5. Prospektif Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam NU

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di


Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di
Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah
pemimpin/pengasuh pesantren. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab
empat. Ini berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara konstitusional
membela dan mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.
Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah), NU
merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi, jika kita
telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat
erat dengan para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah
kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu berhaluan Aswaja.; Selama ini image
masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai kaum
tradisionalis, kolot, irasional dan jumud (stagnan) dalam pemikiran. Tentu saja
image tersebut tidak berdasar.

Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki umat 35 juta yang tersebar di


seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu ‘Ala
Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai dan tradisi

8
lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif terhadap nilai dan tradisi
baru yang lebih baik).

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam


menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti salah satu madzhab empat :
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas
bukanlah soal yang penting untuk menilai pokok faham keagamaan NU. Bahkan
boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar hanyalah aspek formal
dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat warna yang
sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan
keagamaan NU. Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa
faham Ahlussunah wa al-Jama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua
prilaku dan keputusan yang berlaku di NU. Oleh karena itu, paham ahlussunah
waljama’ah (aswaja) tidak hanya dijadikan landasan dalam kehidupan keagamaan
NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial politik.
3.2. Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi


pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah

ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amin, D. (2016). Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU.

10

Anda mungkin juga menyukai