Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AGAMA ISLAM TENTANG

MANHAJ AL-FIKR

KELOMPOK 5 :
DIAN RAHMAWATI AGUSTIN (20101485)
NAJMIYATU ZUHRIYAH (20102852)

PEMBIMBING :
SITI MAIMUNAH. S.Ag., M.Pd.I

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2020-2021

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang mana beliau telah
memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik, tepat waktu, dan tanpa halangan yang berarti. Tak
lupa sholawat serta salam senantiasa kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW yang mana beliau telah membimbing dan menunjukkan kita dari zaman
kegelapan menuju ke zaman yang terang benderang yaitu pada ajaran agama islam.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah ASWAJA Dalam
makalah ini kami akan menjelaskan “MANHAJ AL-FIKR”
Dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang terkait yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini sehingga
dapat terselesaikan secara tepat waktu, dari lubuk hati terdalam kami menghaturkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Siti Maimunah selaku pembimbing
2. Teman-teman sebagai penyemangat kami
Harapan kami dengan adanya makalah ini dapat membantu para pembaca dan
teman-teman sekalian dalam memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan
“MANHAJ AL-FIKR” yang kami bahas dalam makalah ini.
Seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, Kami menyadari sepenuhnya
bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar makalah ini
menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan, semoga makalah ini
dapat berguna bagi kita semua Aamiin.

Surabaya, 27 Oktober 2020

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….. 2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………................. 3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………... 4

1.1 Latar belakang……………………………………………………………….. 4

1.2 Rumusan masalah……………………………………………………………. 5

1.3 Tujuan……………………………………………………………………....... 5

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………. 6

2.1 Aswaja sebagai Manhaj Al-fikr .…………..……………………………........ 6

2.2 Prinsip Aswaja sebagai Manhaj Al-fikr..……………………………………. 9

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………. 15

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 16

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi
dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadlratus
Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi, yaitu dalam ilmu aqidah/teologi
mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam
syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas,
Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq
mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
Ahlusunnah Wal Jama’ah merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian
PMII. Dalam nilai dasar pergerakan, aswaja merupakan metode pemahaman dan
pengamalan keyakinan tauhid. Lebih dari itu disadari atau tidak aswaja merupakan
bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota organisasi. Akarnya tertanam dalam pada
pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan islam.
Selama ini proses reformulasi aswaja telah berjalan, bahkan masih berlangsung
sampai saat ini. Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya
untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk
memjawab perkembangan zaman. Namun ada gugatan yang muncul terhadap aswaja
yang diperlakukan sebagai sebuah madzhab, padahal dalam aswaja terdapat berbagai
madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. pemahaman demikian cenderung menjadikan
Aswaja sebagai sesuatu yang beku dan tidak bisa diutak-atik lagi. Pemaknaannya hanya
dibatasi pada produk pemikiran saja. Padahal produk pemikiran, secanggih apapun,
selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkan. selain itu
gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan
respon yang konteksual dan cepat pula. Aswaja senantiasa fleksibel dan terbuka untuk
ditafsir ulang dan disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Hal inilah
yang dinamakan sebagai ideologi terbuka. Dari latar belakang tersebut lahirlah gagasan
ahlussunnah wal jama’ah sebagi manhaj al-fikr (metode berpikir)
Aswaja sebagai Manhajul Fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para
sahabat Nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial
yang meliputi masyarakat muslim waktu itu (Said Aqil Siradj, 1996). Dari manhajul
fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah,
maupun akhlaq/tasawuf, yang walaupun beraneka ragam tetap berada dalam satu ruh.

4
PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i yaitu pola
perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rasulullah
SAW dan para sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat nanti dalam arus sejarah
peradaban masyarakat muslim. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai
manhajul fikr maupun manhaj al-taghayyur al-ijtima’i adalah sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari
rasul dan para sahabatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nilai: tawassuth (moderat),
tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan).
Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menuntukan bahwa islam adalah
agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk
sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan
selalu relevan. Namun relevansi dan makna terebut sanagat tergantung kepada kita,
pemeluk dan penganutnya memperkenalkan dan mengamalkan islam. Aswaja
merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan indonesia
yang beragam dalam etnis,budaya dan agama.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan dalam makalah ini adalah :
1. Apa makna Aswaja sebagai Manhaj Al-fikr ?
2. Apa saja prinsip aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui makna Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr
2. Untuk mengetahui prinsip Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr

BAB II
PEMBAHASAN

5
2.1 Makna Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr
Konsep dasar yang dibawa aswaja sebagai manhaj al-fikr memberikan kebebasan
lebih bagi para intelektual dan ulama yang merujuk langsung kepada ulama dan pemikir
utama yang tersebut dalam penertian aswaja.
Para ulama sepakat bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang
memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan
berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan
sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi
persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna
Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Sebagai manhaj al-fikr, Aswaja berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth
(moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat 
tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di
samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara
rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal.
Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang
kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat
dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja
tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena
itu tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan
sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung
sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah
memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi
kaidah atau tidak.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan
sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi
mengacu pada cara bergaul sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk
agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis,
ideologi politik dan agama, pandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan
juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan
manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap
yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

6
Aswaja sebagai manhaj (metode berfikir) memiliki sifat lebih fleksibel. Doktrin
aswaja sebagai manhaj mempunyai nilai substansi yang universal, mencakup segalanya.
Hal itu bisa dilihat dari nilai- nilai dasar Aswaja yaitu tawasuth, tawazun, tasamuh,
ta’adul.
a. Tawasuth
Tawasuth berasal dari kata wasatho artinya tengah-tengah. Hal ini berarti
memahami segala bentuk ajaran Islam senantiasa berpedoman pada nilai-nilai
kemoderatan.
Tawasuth adalah sikap tengah atau moderat yang tidak terjebak oleh sikap
ekstrimis.Dalam hal dosa besar, ia berada di antara teologi Khawarij dan Muktazilah.
Dalam masalah kepemimpinan, ia berada di antara khawarij dan Syiah , penganut garis
moderat di antara madhab liberal Muktazilah  dan madzhab literal Dawud Dahiri, dan
berada di garis tengan antara tradisi tasawuf madzhab kebatinan dengan kalangan
legalistik-formalistik yang membenci tasawuf. Tentu saja, sikap moderat ini memiliki
landasan ortodoksi sehingga bisa dibedakan dengan pengertian pragmatis-oportunis.
Kaitannya dengan konsep berbangsa dan bernegara, Ahlussunnah  waljamaah mampu
mengakomodir berbagai kepentingan golongan sehingga mampu dicapai kesepakatan
yang lebih baik (aslah).
Hal ini sesuai dengan Firman Allah:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah: 143).
b. Tawazun
Tawazun mempunyai makna seimbang. Setiap langkah dalam sendi kehidupan
beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan. Hal ini juga sesuai dengan
konsep Islam, Hablumminallah, hablumminannas, hablumminal ‘alam.
Tawazun adalah sikap berimbang dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan
hukum atau kebijakan. Proses harmonisasi dan integralisasi antara dalil nash dengan
pertimbangan-pertimbangan rasio menyebabkan posisinya seimbang dalam melakukan
putusan/ kebijakan. Ia tidak terpolarisasi kepada ekstrim kanan (fundamentalime) dan
ekstrim kiri (liberalisme). Dalam hal sosial-politik pun, sikap tawazun diwujudkan
dengan pertimbangan secara komprehensif dan holistik, baik ekonomi-politik,
geopolitik, sosio-kultur, dan hal-hal lainnya. Posisinya menanggapi kekuasaan, tentu
saja ia tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak suatu rezim, tetapi lebih

7
melihat prasyarat yang dipenuhi kekuasaan tersebut sudah dipandang memenuhi
kaidah-normativitas  atau kah tidak.
Hal ini termaktub dalam surat Al-Hadid ayat 25
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-
bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Al-Hadid: 25).
c. Ta’adul
Ta’adul berasal dari kata “adala” yang artinya adil. Adil disini dimaknai bukan
berarti harus sama, setara.adil disini dimaknai sesuai pada tempatnya dan kebutuhannya
Ta’adul ialah sikap adil dalam menyikapi suatu persoalan. Adil adalah sikap
proporsional dalam menyikapi persoalan berdasarkan hak dan kewajiban. Ta’adul
berbeda dengan tamastul yang menghendaki kesamaan. Seseorang mampu mencapai
kesamaan dan kesetaraan jika realitas individu benar-benar sama persis dan setara
dalam segala sifat-sifatnya. Jika terjadi tafadlul (keunggulan), maka keadilan menuntut
perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Dalam konteks politik, sikap ta’adul ini tercermin
dalam proporsional antara kewajiban pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan dan
kemaslahatan publik dan haknya seperti mendapatkan tunjangan dan lain sebagainya.
Dengan hal ini, jika pemerintah tidak melaksanakan tugas itu atau mengambil hak
rakyat, ia telah melakukan aniaya. Begitu pula rakyat yang membangkang dari
ketetapan konstitusinal Negara, maka rakyat pun dinyatakan aniaya.
Hal ini ditegaskan dalam firman allah.
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al-Ma'idah: 9).
d. Tasamuh
Tasamuh mempunyai makna toleransi. Atinya dalam menyikapi keberbedaan dan
kemajemukan yang ada baik suku, agama, ras, senatiasa denga prinsip toleransi.
Tasamuh ialah sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran,
keyakinan, social kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain. Keragaman
merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Ia merupakan entitas yang hadir sebagai
ajang untuk bersilaturahmi, bersosialisasi, akulturasi, asosiasi, sehingga tercipta sebuah
peraudaraan yang utuh. Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap kompromistis
dalam berkeyakinan karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang tidak bisa

8
dicampur dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran
keyakinan agama yang salah dan batil. Toleransi menjadi suatu hukum alam dalam
mengelaborasi perbedaan menjadi sebuah rahmat. Kaitannya dengan budaya, secara
substansial budaya ialah hasil dari akal budi manusia yang memiliki nilai luhur dan
merupakan arkeologi kesejarahan yang patut dihargai sebagai suatu kebijaksanaan.
Dalam pandangan Ahlussunnah  waljamaah, tradisi-budaya yang secara substansial
tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan
mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.
Dari sikap tasamuh inilah, Ahlussunnah waljamaah merumuskan konsep
persaudaraan (ukhuwwah) universal. Hal ini meliputi ukhuwwah islamiyyah
(persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan
ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan
universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan
implementasi dari firman Allah SWT:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat; 13).
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Al-Baqarah: 30)

2.2 Prinsip Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr


Prinsip-prinsip aswaja dalam kehidupan sehari-hari meliputi Aqidah, pengambilan
hukum, tasawuf/akhlak dan bidang social-politik
a. Aqidah
Dalam bidang aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah ahlussunnah
wal jama’ah diantaranya adalah aqidah uluhiyyah (ketuhanan). Aswaja menekankan
pilar utama ke-Imanan manusia adalah tauhid sebagai keyakinan yang teguh dan murni
yang ada dalam hati setiap muslim bahwa Allah-lah yang menciptakan, mmemelihara
dan mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa tidak terbilang dan tidak memiliki
sekutu.
Pilar kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para nabi dan Rosulsebagai utusannya. Sebuah wahyu yang
dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan umat manusia dalam menjalani kehidupan

9
menuju jalan kebahagian dnia dan akhirat, serta jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Umat manusia harus meyakini dengan sepenuhnya bahwa Muhammad SAW adalah
utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah
Rasul terakhir yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa manusia akan
dibangkitkan daari kubur ppad hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan
sesuai amal dan perbuatannya ( yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab)
seluruh amal perbuatan mereka selam hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal
baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
b. Bidang pengambilan keputusan (Istinbath Al-hukm)
Hampir seluruh kalangan sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu :
Alqur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm)
tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hokum naqli posisinya tiidak
diragukan. Al-Qur’an merupakan suumber hokum tertinggi dalam islam.
Sementara as-Suunnah meliuti Al-hadist dan segala tindak seta perilaku Rasul
SAW sebagaiman diriwayatkan oleh para sahabat da tabi’in. penempatannyya ialah
setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam al-qur’an atau digunakan
sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam al-qur’an.
As-sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. ada yang terus
menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisoir (ahad). penentuan tingkat As-
Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijjma’ shahabah.
Ijma’ (menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi) adalah
kesepaakatan kelompok legislative (ahl al-halli wa al-aqdi) dan umat Muhammad pada
suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus atau kesepakatan orang-orang
mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hokum dari suatu
kasus.
Dalam Al-qur’an dasar ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4:115 “Dan barang
siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan oaring-oarang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya ituu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali”.”dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia.” QS Al-Baqarah, 2:143

10
Qiyas sebagai sumber hukum islam merupakan salah satu hasil ijtihad para ulama.
Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang taka da nash hukumnya dengan hal lain yang
ada nash hukumnya karena ada persamaan “illat” hukum. Qiyas sangat dianjurkan
untuk digunakan oleh imam Syafi’i.
c. Tasawuf / Akhlak
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya
Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya” Tasawuf
adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun.
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan Tasawuf adalah menyucikan
hati dari apa saja selain Allah. Kaum sufi adalah para pencari dijalan Allah, dan
perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka dalah jalan yang terbaik,
pola hidup mmereka adalah pola hidup yang palong tersucikan. Mereka telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai
saluran tempat mengaliirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan
perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita dalam urusan sehari-hari yang
bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari
keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi karena manusia
sebagai hamba dan fungsi sebagai khalifah harus diwujudkan.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah
(pekerjaan), dan uruan lain seperti politik. Dari urusan itu kita lantas bersinggungan
dengan soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan social dan budaya. Dalam
tasawuf urusan tersebut tidak harus ditinggalkan unttuk mencapai zuhud, justru kita
mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin dilatih untuk tiidak
terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah kita maknai bahwa zuhud di dalam batin
sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap
potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
d. Bidang Sosial Politik
Ahlussunnah wal-jam’ah da golongan sunni umumnya memandang Negara
sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Negara merupakan alat untuuk
mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan
bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku.
sebuah Negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan), atau Negara

11
modern / demokrasi, asal mampu mmemenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus
dipenuhi oleh sebuah Negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka
gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin Negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah :
1. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala
keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang
menegaskan musyawarah adalah
“Maka sesuau apapun yang diberikan kepadamuu itu adalah kenikmatan
hidup didunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi
orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakkal. Dan (bagi) orang—orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedanag urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan
kepada mmereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila meraka diperlakukan
dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42:36-39)
2. Prinsip Al-Adl (keadilan)
Keadilan adalah salah satu perintah yang paling banyak ditemukan dalam
Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintah apapun
bentuk pemerintahan itu. Salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4:58)
3. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajb menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya.
Kebebasan tersebut wajib hukumnyya karena merupakan kodrat asasi setiap
manusia
Prinsip kebebasan manusia dalam syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul
Khams (prinsip yang lima), yaitu :

12
 Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa) adalah kewajiban setiap kepemimpinan
untuk menjamin kehidupan setiap warga Negara:bahwa setiap warga Negara
berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya
 Hifzhu al-Din (menjaga agama): adalah kewajiban setiap kepemimpinan
untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk,meyakini dan
menjalankan agamadan kepercayaannya.negara tidak berhak memaksakan
atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga Negara
 Hifzhu al-mal (menjaga harta benda): adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh
warga negaranya.negara wajib memberikan jaminan keamanan dan
menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia
 Hifzhu al-nasl: bahwa Negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-
usul, identitas,garis keturunan setiap warga Negara. Negara harus menjaga
kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mengunggulkan dan memprioritaskan
sebuah etnis tertentu. Hifzhu al- nasl berarti Negara harus memperlakukan
sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
 Hifzhu al-irdh adalah jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi,
pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga Negara. Negara tidak boleh
merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara
justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi
setiap warga Negara.
Al-ushulul khams identik dengan konsep hak azazi manusia yang lebih dikenal
dalam dunia modern-bahkan mungkin dikalangan ahlussunnah wal- jama’ah.lima pokok
atau prinsip diatas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan
sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian
hari.
4. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan
manusia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu
manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda
adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu
manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-
Hujuraat disebutkan :

13
”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat, 49:13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari
relasi dan proses social. Perbedaan merupakan keniscayaan telogis yang dikehendaki
oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.
“untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. sekiranya Allah menghendki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja),tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya, maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Maidah ;
5:48)
Dalam sebuah Negara kedudukan warga Negara adalah sama. Orang-orang yang
menjabat di tubuh pemerintah memiliki kewajiban yang sama sebagai warga Negara.
Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani, dan
menjamin kemaslahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di
mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia
di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status social, kelas
ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip diatas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-jama’ah. sebagaimanapun
tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan
salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah
pemerintahan baik negara maupun kerajaan harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria
di atas.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir
dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-
kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
2. Aswaja sebagai manhaj (metode berfikir) memiliki sifat lebih fleksibel. Doktrin
Aswaja tidak hanya berkutat pada doktrin belaka.  Doktrin aswaja sebagai manhaj
mempunyai nilai substansi yang universal, mencakup segalanya. Hal itu bisa
dilihat dari nilai- nilai dasar Aswaja yaitu tawasuth, tawazun, tasamuh, ta’adul.
3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini
kedepannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bagir Haidar dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan
Anggota IKAPI
Effendi Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Haq Hamka, 1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam
Rusli Nasrun. 1997. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Hukum Islam, Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press

16

Anda mungkin juga menyukai