PENDIDIKAN ASWAJA
“Penerapan Prinsip At-Tasamuh (Toleransi) Dalam Pelayanan Kefarmasian”
Disusun Oleh :
Kelompok IV
1. Latar Belakang
Ahlussunnah wal Jama’ah atau yang biasa disingkat dengan ASWAJA secara
bahasa berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal
yang memiliki tujuan. Jika dikaitkan dengan madzhab mempunyai arti sekumpulan orang
yang berpegang teguh pada salah satu imam madzhab dengan tujuan mendapatkan
Islam selalu mengajarkan kita kepada kebaikan. Selain itu Islam juga
mengajarkan bahwa kita wajib bertaqwa kepada Allah SWT dan saling berbuat baik
kepada sesama manusia (Hablum minallah dan Hablum minannas). Wujud dari perilaku
tersebut menurut ajaran Ahlussunnah Waljamaah adalah melalui prinsip Mabadi Khaira
Ummah. Salah satu prinsip tersebut adalah At- Tasamuh yang berarti toleransi.
berlaku baik, lemah lembut dan saling memaafkan”. Dalam pengertian istilah umum,
tasamuh adalah “ sikap akhlak terpuji dalam pergaulan dimana terdapat rasa saling
menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islam”
Oleh karena itu, di antara orang yang berbeda pendapat harus memperlihatkan sikap
dalam kehidupan ini, mulai dari urusan yang kecil hingga dalam pengaturan suatu negara
Biruni, farmasi merupakan suatu seni untuk mengenali jenis, bentuk dan sifat-sifat fisika
dari suatu bahan, serta seni mengetahui bagaimana mengolahnya untuk dijadikan sebagai
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah
Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai
meningkatkan kualitas hidup pasien (patient oriented), tentu dengan perubahan ini
menjalankan profesinya karena perbedaan budaya, agama suku dan ras Indonesia yang
begitu beragam, oleh karena itu kita sebagai calon Apoteker harus siap secara
pengetahuan dan mental dari sekarang demi menjaga nilai-nilai toleransi dalam
2. Rumusan Masalah
kefarmasian.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Makna At-tasamuh
arti tasahul yang berarti kemudahan. Artinya, islam memberikan kemudahan bagi siapa
saja dalam menjalankan apa yang dia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa
suatu tekanan dan sama sekali tidak mengusik ketauhitan atau keyakinan seseorang.
Kata toleransi berasal dari bahasa Latin tolerare yang berarti bertahan atau
memikul. Kata sifat dari toleransi adalah toleran. Toleran berarti saling memikul
walaupun pekerjaan itu tidak disukai, atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun
kedua belah pihak tidak sependapat. Dengan demikian, toleransi menunjuk pada adanya
suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda.
Toleransi diartikan memberikan tempat kepada pendapat yang berbeda. Pada saat
bersamaan sikap menghargai pendapat yang berbeda itu disertai dengan sikap menahan
diri atau sabar. Oleh karena itu, di antara orang yang berbeda pendapat harus
memperlihatkan sikap yang sama, yaitu saling menghargai dengan sikap yang sabar.
membiarkan, dan membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang
dimiliki seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada
terhadap prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti seseorang harus mengorbankan
kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. Dalam toleransi sebaliknya tercermin sikap
yang kuat atau istiqamah untuk memegangi keyakinan atau pendapatnya sendiri.
Allah berfirman dalam surah yunus ayat 40-41 tentang toleransi. Ayat tersebut
dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih
kamu, Maka Katakanlah : Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas
diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu
kerjakan”.
Sifat toleran akan menjadi lebih baik jika diiringi dengan sifat pemaaf. Kedua
sifat ini digambarkan dalam al-Quran sebagai sifat mulia yang disukai oleh Allah dan
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran (3): 134).
Orang yang memiliki sifat-sifat itu akan menjaga diri dari marah dan menjauhkan
diri dari kedengkian. Dia akan membebaskan diri dari beban kebencian dan memasuki
dunia baru yang penuh toleransi dan maaf. Dia juga akan memperoleh kesucian hati dan
ketenangan berpikir. Dan yang paling penting adalah dia akan memperoleh cinta dan rido
Sebagai panutan dan teladan umat Islam, Nabi Muhammad Saw. sangat toleran
dengan siapa pun, termasuk dengan orang-orang yang tidak seiman, kecuali jika mereka
memusuhi Islam. Dalam salah satu hadits, Aisyah berkata: “Nabi Saw. tidak pernah
memukul orang lain siapa pun, perempuan atau hamba dengan tangannya, kecuali jika
beliau berperang kepada Allah, dan beliau tidak pernah melukai sesuatu dan
mendendamnya kecuali jika salah satu hukum Allah dihina, maka beliau akan
Nabi Saw sebagai teladan dalam sikap yang mulia ini, yang meliputi seluruh
manusia. Nabi tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi beliau membalasnya
dengan memberi maaf dan kebaikan. Nabi menanamkan di hati umat Islam sikap untuk
senantiasa memaafkan dan toleran, sekalipun terhadap orang-orang yang berlaku kasar.
Dengan sikap seperti ini, justeru Nabi mendapatkan simpati dari banyak orang, termasuk
orang-orang yang semula membenci dan berbuat kasar kepada beliau berbalik mengikuti
Sifat toleran tidak hanya berlaku dalam hubungan keseharian kita. Sifat toleran
harus kita terapkan dalam setiap perbedaan yang terjadi di antara kita, termasuk dalam
hal beragama. Toleransi dalam beragama harus kita pegangi demi menjalin hubungan
umat beragama yang harmonis, tanpa harus mengorbankan agama yang kita anut (Islam).
Dengan tegas Allah menyebutkan dalam al-Quran bahwa agama Islam tidak boleh
dipaksakan kepada seseorang, sebab memaksakan agama kepada orang lain adalah
perbuatan sia-sia. Allah lah yang menentukan orang-orang yang mendapatkan hidayah
(memeluk Islam), bukan manusia. Seperti firman Allah dalam surat Al-Kafirun ayat 1-6,
menentukan bahwa agama yang diridoi di sisi- Nya adalah agama Islam. Antara agama
Islam dengan agama kenabian yang lain mungkin ditemukan adanya persamaan, akan
tetapi tidak dapat dielakkan bahwa telah terjadi perbedaan dalam beberapa hal, yang
menurut keyakinan Islam hal itu terjadi akibat campur tangan manusia. Begitu pula
agama Islam dan agama bukan kenabian, kemungkinan terdapat persamaan, terutama
dalam ajaran moralnya, karena akal budi manusia bisa sampai kepada kesimpulan-
Perbedaan tersebut yang menjadi alasan terciptanya sikap saling mengenal dan saling
menghargai. Perbedaan yang ada di antara manusia bukan saran untuk di pertentangkan.
Perbedaan yang ada harus dijadikan sebagai saran untuk saling melengkapi dan
Toleransi dalam pikiran adalah berfikir positif terhadap mereka yang berbeda dari
Toleransi dalam sikap adalah berprasangka baik terhadap siapapun yang bukan
kebencian.
b. Batasan toleransi
Toleransi tidak mesti dalam segala hal, tetapi ada batas-batas yang harus dipatuhi,
diantaranya ialah :
kita harus tetap menegakkan jati diri dan kembali kepada keyakinan masing-
masing-masing.
3. Dalam bidang kehidupan sosial, penghargaan atas penganut agama- agama dan
kepercayaan lain kita perbuat dengan menjaga dan memelihara hubungan sosial,
kita sendiri kepada orang lain, biar setiap individu memilih agama atau
kepercayaan masing-masing.
Pluralitas adalah merupakan realitas kehidupan, sejalan dengan di utusnya
Rasulullah SAW, tiada lain untuk menjadi rahmat bagi segenap alam (rahmatan lil-
alamin).
2. Pelayanan Kefarmasian
Ruang lingkup dalam pelayanan farmasi harus dilaksanakan dalam kerangka sistem
pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien. Ruang lingkup pelayanan farmasi
tersebut meliputi tanggung jawab farmasis dalam menjamin ketersediaan obat dan alat
kesehatan, menjamin kualitas obat yang diberikan aman dan efektif dengan
memperhatikan keunikan individu, menjamin pengguna obat atau alat kesehatan dapat
menggunakan dengan cara yang paling baik, dan bersama dengan tenaga kesehatan lain
bertanggungjawab dalam menghasilkan therapeutic outcomes yang optimal.
Peran Apoteker lambat laun berubah dari peracik obat (compounder) dan suplair
sediaan farmasi kearah pemberi pelayanan dan informasi dan akhirnya berubah lagi
sebagai pemberi kepedulian pada pasien. Selain itu tugas seorang Apoteker adalah
memberikan obat yang layak, lebih efektif dan seaman mungkin serta memuaskan
pasien. Dengan mengambil tanggung jawab langsung pada kebutuhan obat pasien
individual, Apoteker dapat memberikan kontribusi yang berdampak pada pengobatan
serta kualitas hidup pasien.
Pendekatan cara ini disebut ” pharmaceutical care ” (asuhan kefarmasian ; peduli
kefarmasian). Pharmaceutical care (p.c) adalah tanggung jawab pemberi pelayanan obat
sampai pada dampak yang diharapkan yaitu meningkatnya kualitas hidup pasien. (Hepler
dan Strand, 1990). Pharmaceutical care menurut International Pharmaceutical
Federation adalah tanggung jawab pemberi pelayanan obat sampai timbulnya dampak
yang jelas atau terjaganya kualitas hidup pasien.
Peran-peran farmasis serta fungsinya dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Caregiver: Farmasis harus dapat melaksanakan pelayanannya secara
terintegrasi dan berkesinambungan dengan sistem dan profesi kesehatan
lainnya.
b. Decision-maker: Penggunaan sumber (seperti personal, obat, bahan kimia,
peralatan, prosedur, serta pelaksanaan) yang tepat, berkhasiat, aman, dan hemat
biaya harus menjadi pondasi dari pekerjaan farmasis.
c. Communicator: Farmasis merupakan profesi yang ideal untuk menghubungkan
antara penulis resep dan pasien, serta berperan dalam pemberi informasi
mengenai kesehatan dan obat kepada masyarakat. Komunikasi meliputi verbal,
non-verbal, kemampuan mendengarkan, dan menulis.
d. Manager: Farmasis harus dapat mengelola sumber (baik manusia, fisik, dan
finansial) dan informasi secara efektif. Farmasis juga harus dapat diatur baik
oleh atasan atau manager/ketua tim pelayanan kesehatan.
e. Life-long-learner: Semua pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk
berkarir sebagai farmasis mustahil diperoleh dari sekolah. Farmasis sebaiknya
belajar untuk membuat pengetahuan dan keterampilannya selalu up to date
f. Teacher: Farmasis mempunyai tanggungjawab untuk membantu pendidikan
dan pelatihan masyarakat dan farmasis generasi selanjutnya.
g. Leader: Pada situasi multidisipliner (seperti tim) atau area dimana kurang atau
tidak adanya pengadaan pelayanan kesehatan, farmasis wajib menjadi
pemimpin yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan pasien dan
komunitas. Kepemimpinan mencakup perasaan iba dan empati serta
kemampuan mengambil keputusan, berkomunikasi, serta pengelolaan secara
efektif.
Penerapan tanggung jawab profesional Apoteker di rumah sakit ialah partisipasi
proaktif dalam berbagai kegiatan di rumah sakit yang bertujuan untuk peningkatan mutu
pelayanan penderita. Pelayanan dan partisipasi Apoteker dalam proses penggunaan obat
adalah pelayanan yang langsung berinteraksi dengan penderita dan profesional pelaku
perawatan kesehatan.
Kegiatan Apoteker dalam Pelayanan Farmasi yang Baik (PFB), diantaranya
menjaga profesionalisme adalah filasofi utama yg mendasari praktik, disamping faktor
ekonomi. Untuk penggunaan obat dokter perlu masukan dari Apoteker (secara normatif).
Hubungan kemitraan berdasarkan saling percaya dan yakin dalam berbagai hal yg
berkaitan dengan farmakoterapi. Apoteker perlu informasi yg independen, komprehensif
dan mutakhir tentang terapi dan obat yg digunakan.
Tujuan utama pelayanan farmasi Apoteker dalam pelayanan penggunaan obat,
antara lain :
a. Melindungi pasien dari kekambuhan penyakit yang berkaitan dengan obat yang
telah diberikan.
b. Mendeteksi dan memperbaiki ketidak tepatan terapi pengobatan.
c. Meramalkan dan mencegah toksisitas obat.
d. Meningkatkan kepatuhan pasien dengan edukasi kepada pasien melalui fungsi
klinis.
3. Peranan Prinsip At-Tasamuh Bagi Apoteker Dalam Melaksanakan Pelayanan
Kefarmasian
1. Bab II, kewajiban Apoteker terhadap pasien, pada pasal 9 yang berbunyi “ seorang
masyarakat. Menghormati hak asasi pasien dan melindungi makhluk hidup insani.”
2. Bab III, kewajiban Apoteker terhadap teman sejawat pada pasal 10, yang berbunyi : “
ingin diperlakukan.
3. Bab IV, kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain, pada pasal 13
dengan Kode Etik Apoteker Indonesia yang berlaku, selain itu seorang Apoteker harus
dalam pelayanan kefarmasian juga tertuang dalam sumpah/janji pada poin 5, yang
berbunyi : “Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-
suatu waktu di rumah sakit islam sultan agung, ada pasien yang baru saja kecelakaan dan
perlu mendapatkan pertolongan pertama, masyarakat membawa orang tersebut ke UGD,
setelah petugas rumah sakit melihat identitas pasien ternyata pasien non muslim, namun
tidak mempengaruhi dalam pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut, karena
dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit yang berbasis agama maupun dirumah
sakit pemerintah kita tidak boleh membeda-bedakan latar belakang agama, suku ataupun
ras dari seorang pasien. Demikian halnya di apotek setiap pasien yang datang untuk
membeli atau menebus resep obat harus dilayani dengan sepenuh hati sesuai dengan
etika dan sumpah jabatan yang telah diucapkan tanpa melihat latar belakang dan status
sosial.
Prinsip At-tasmuh juga harus diterapkan tidak hanya dalam melayani pasien,
namun juga dengan teman sejawat Apoteker, dan teman sejawat lainnya agar dapat
KESIMPULAN
1. Toleransi merupakan sikap tenggang rasa, membiarkan, dan membolehkan, baik berupa
pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lainnya. Dengan
kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. Toleransi tidak
berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. Dalam
toleransi sebaliknya tercermin sikap yang kuat atau istiqamah untuk memegangi
Kode Etik Apoteker Indonesia yang berlaku, selain itu seorang Apoteker harus
(pharmaceutical care) dengan tanpa membedakan agama, ras, suku, maupun kebangsaan
pasien. Prinsip At-tasamuh juga harus diterapkan dalam interaksi sosial antara teman
Anonim, 2009, Kode Etik Apoteker Indonesia dan Implementasi Penjabaran Kode Etik,
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,16551-lang,id-c,syariah-
Hidaya, N., ngatimin, M.R., dan Rachman, W.A., 2014, Interaksi Sosial Waria Terhadap
Syarbini, A., 2011, Al-Qur’an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama., Quanta, Bandung.,
hlm. 20-21
hlm. 10-11