Anda di halaman 1dari 20

WORKSHEET PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

SEMESTER GENAP 2020-2021


P4
ANTI INFLAMASI

Nama : NABILA PUTRI AYUANDARI

NIM : 2008010021

Golongan : A1

LABORATORIUM FARMAKOLOGI & TOKSIKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2021
PERCOBAAN 4
ANTIINFLAMASI

A. TUJUAN
Mempelajari daya anti inflamasi obat pada binatang dengan radang buatan.

B. PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh terauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik.
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktivasi atau merusak organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Namun kadang-kadang
inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu respon imun, seperti asma atau artritis rematoid,
atau suatu zat yang tidak berbahaya seperti tepung sari. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan
mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi bervariasi
dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin,
lipid seperti prostaglandin, peptida kecil seperti bradikinin dan peptida besar seperti
interleukin. Penemuan variasi yang luas diantara mediator kimiawi telah menerangkan
paradoks yang tampak bahwa obat-obat anti inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator
utama yang penting pada suatu tipe inflamasi, tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang
tidak melibatkan mediator tanpa target (Mycek, 2001).
Obat-obat anti radang dibagi menjadi dua golongan utama, golongan kortikostreroid dan
nonsteroid. Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan kelompok obat yang paling
banyak dikonsumsi untuk mendapatkan efek analgetika, antipiretika dan anti inflamasi.
OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan. Kebanyakan OAINS
lebih dimanfaatkan pada pengobatan musculoskeletal seperti arthritis rheumatoid,
ostoeartritis dan spondilitis ankilosa. OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi
peradangan – peradangan di dalam dan di sekitar sendi seperti lumbago, artralgia,
osteoarthritis, arthritis rheumatoid dan gout arthritis. Di samping itu, OAINS juga banyak
pada penyakit - penyakit non rematik, seperti kolik empedu dan saluran kemih, thrombosis
serebri, infark miokardium dan dismenorea. Namun, OAINS hanya meringankan gejala
nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak
menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan
musculoskeletal. Aktivitas antiinflamasi OAINS mempunyai mekanisme kerja melalui
penghambatan biosintesis prostaglandin. Efek terapi dan efek samping OAINS
berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1)
dan cyclooxygenase-2 (COX-2) yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin.
Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan
gastroprotektor. Oleh karena AINS dengan selektivitas menghambat COX-2, maka sediaan
ini diduga bebas dari efek samping yang menakutkan pada saluran cerna. Pada
kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek
samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna,
misalnya pada sistem kardiovaskuler (Charles, 2009).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas
kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial,
pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein
lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit
dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan
yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah,
dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang
tersensitisasi (Guyton, 1997).
Meskipun kejadian yang merupakan gabungan proses yang kompleks inflamasi
mempunyai tanda-tanda gejala yang bersifat umum yaitu bengkak kemerahan, nyeri dan
panas, tidak peduli sebabnya karena bahan kimia atau mekanis.
Obat-obat anti radang dibagi menjadi dua golongan utama, golongan kortikosteroid dan
nonsteroid. Argumen yang dewasa ini diterima mengenai mekanisme kerja obat-obat
tersebut ialah bahwa aksi obat-obat anti radang berkaitan dengan penghambatan
metabolisme asam arakhidonat (higgs dan Whittle, 1980).
Seperti diketahui asam arakhidonat adalah substrat untuk enzim enzim siklooksigenase
dan lipooksigenase. Siklooksigenase mensintesa siklik endoperoksida (prostaglandin G-2
dan H-2) yang kemudian akan diubah menjadi prostaglandin stabil, tromboksan dan
prostasiklin. Ketika produk ini berasal dari leukosit,dan senyawa-senyawa itu dijumpai pada
keadaan kadang. Didalam leukosit, asam arakhidonat ada oleh lipooksigenase akan diubah
menjadi asam-asam mono dan dihidroksi (HETE) yang merupakan prekursor dari leukotrien
(senyawa yang dijumpai pada keadaan anafilaksis). Dengan adanya rangsang mekanis atau
kimia, enzim lipooksigenase akan dipacu sehingga meningkatkan produksi leukotrien dari
asam arakhidonat.
Obat-obat yang dikenal menghambat siklooksigen secara spesifik (indometasin dan
salisilat) mampu mencegah produksi mediator inflamasi : PGE-2 dan prospasiklin. Karena
prostaglandin bersifat sinergik dengan mediator inflamasi lainnya (yakni bradikinin dan
histamin) maka pencegahan pembentukan prostaglandin akan mengurangi efektivitas
bradikinin dan histamin. Ibuprofen dan aspirin mampu berikatan dengan siklooksigenase,
dan bersifat kompetitif terhadap arakhidonat.
Secara in Vivo kortikosteroid mampu menghambat pengeluaran prostaglandin pada
tikus, kelinci, dan marmot. Penghambatan pengeluaran asam arakhidonat dan fosfolipida
juga akan mengurangi produk-produk siklooksigenase dan lipooksigenase sehingga
mengurangi mediator peradangan. Kedua enzim tersebut dapat dihambat oleh
benoksaprofen.

C. CARA PERCOBAAN
Bahan
1. Karagenin 1% dalam CMC Na 1%
2. Dexamethasone
3. Natrium diklofenak
4. Kurkumin (murni) 2% CMC Na 1%
5. Tikus jantan (wistar 200-300 g)

Alat
1. Jangka sorong
2. Alat suntik (+ 1ml)

Cara percobaan
1. Tikus ditimbang dan diberi tanda
2. Tikus kontrol (n=3)
a. Telapak kaki kanan (subpiantar), disuntik dengan karagenin 0,1 ml ukurlah
segera besar udem dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran di ulangi
setiap 30 menit selama 3 jam kemudian.
b. Telapak kaki kiri, disuntik dengan 0,1 ml CMC Na 1% diukur volume telapak
kaki Seperti di atas.
2. Tikus perlakuan :
a. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing sebanyak 3 ekor. Setiap
kelompok diberi obat intraperitoneal dengan volume suntikan 40 ml/kg BB,
seperti berikut :
i. kurkumin murni 60 mg/kg BB
ii. dexamethasone
iii. natrium diklofenak
b. 1 jam Setelah pemberian obat, tikus disuntik dengan karagenin Seperti di atas.
Pengukuran besar Udem dilakukan segera dan setiap 30 menit selama 3 jam
Setelah pemberian karagenin.

Pengumpulan data
1. Hitung persen penghambatan inflamasi untuk tiap obat pada tiap dosis uji.
% daya antiinflamasi =

T: Tebal kaki tikus kelompok control


T0: Tebal kaki tikus kelompok perlakuan
2. Jika daya antiinflamasi curcumin murni 60 mg/kg BB diberi skor 1 (absolut),
hitung potensi relatif tiap obat pada tiap dosis.

𝑅𝑏𝑠
Potensi relatif daya antiinflamasi (%) = x 100%
𝑅𝑛𝑑

Rbs: daya antiinflamasi (dalam %) kelompok perlakuan


Rnd: daya antiinflamasi (dalam %) kelompok kurkumin

D. PERHITUNGAN DOSIS
1. Perhitungan Kurkumin (IP)
a. Diketahui:
- Dosis Kurkumin pada Manusia 60 mg/kgBB manusia
- Berat Tikus : 120 gram = 0,12 kg
- Konsentrasi Kurkumin (murni) 2% CMC Na 1%
b. Ditanyakan:
- Dosis pada tikus :
Jawab:
Dosis Kurkumin = 60 mg/kgBB x 6,2
= 372 mg/kgBB tikus
372 mg/kgBB x 0,12 kg
= 44,64 mg.

- Volume yang di berikan:


Jawab:
2𝑔
2% b/v = 100 𝑚𝐿
2000
= 100 𝑚𝐿

= 20 mg/mL
44,64 𝑚𝑔
44,64 mg → ( ) x 1 mL
20 𝑚𝑔

= 2,232 mL

2. Perhitungan Dexamethasone (IP)


a. Diketahui:
- Dosis Dexamethasone 0,1 mg/kgBB manusia
- Berat Tikus : 125 gram = 0,125 kg
- Konsentrasi Dexamethasone 5 mg/mL

b. Ditanyakan:
- Dosis pada tikus :
Jawab:
Dosis Dexamethasone = 0,1 mg/kgBB x 6,2
= 0,62 mg/kgBB tikus
0,62 mg/kgBB x 0,125 kg
= 0,0775 mg
- Volume yang di berikan:
Jawab:
Konsentrasi Dexamethasne yang disediakan = 5 mg/mL
0,0775 𝑚𝑔
0,0775 mg → ( ) x 1 mL
5 𝑚𝑔

= 0,0155 mL

3. Perhitungan Natrium Diklofenak (IP)


a. Diketahui:
- Dosis Natrium Diklofenak 1 mg/kgBB manusia
- Berat Tikus : 115 gram = 0,115 kg
- Konsentrasi Natrium Diklofenak 10 mg/mL

b. Ditanyakan:
- Dosis pada tikus :
Jawab:
Dosis Natrium Diklofenak = 1 mg/kgBB x 6,2
= 6,2 mg/kgBB tikus
6,2 mg/kgBB x 0,115 kg
= 0,713 mg
- Volume yang di berikan:
Jawab:
Konsentrasi Natrium Diklofenak yang disediakan = 10 mg/mL
0,713 𝑚𝑔
0,713 mg → ( ) x 1 mL
10 𝑚𝑔

= 0,0713 mL

E. HASIL PENGAMATAN
Rata-Rata Ketebalan Udem (mm) tiap 30 menit
Kelompok
0' 30' 60' 90' 120' 150' 180'
Karagenin 1,8 3,34 3,9 3,99 3,95 3,99 3,99
Kurkumin 1,85 3,2 3,5 3,3 3,25 3,2 3,3
Dexamethasone 1,8 3 2,96 2,25 2,2 1,8 1,9
Natrium Diklofenak 1,85 2,88 3,2 3,25 3 2,4 2,5
Persen Daya Antiinflamasi
Kelompok
0' 30' 60' 90' 120' 150' 180'
Karagenin
Kurkumin 4,192% 10,256% 17,293% 17,722% 19,799% 17,293%
Dexamethasone 10,180% 24,103% 43,609% 44,304% 54,887% 52,381%
Natrium
Diklofenak 13,772% 17,949% 18,546% 24,051% 39,850% 37,343%

PERHITUNGAN

𝑇−𝑇0
Persen Daya Antiinflamasi = x 100%
𝑇

A) Kurkumin
𝑇−𝑇0 3,34−3,2
• 30’ → x 100% = x 100% = 4,192%
𝑇 3,34
𝑇−𝑇0 3,9−3,5
• 60’ → x 100% = x 100% = 10,256%
𝑇 3,9
𝑇−𝑇0 3,99−3,3
• 90’ → x 100% = x 100% = 17,293%
𝑇 3,99
𝑇−𝑇0 3,95−3,25
• 120’ → x 100% = x 100% = 17,722%
𝑇 3,95
𝑇−𝑇0 3,99−3,2
• 150’ → x 100% = x 100% = 19,799%
𝑇 3,99
𝑇−𝑇0 3,99−3,3
• 180’ → x 100% = x 100% = 17,293%
𝑇 3,99

B) Dexamethasone
𝑇−𝑇0 3,34−3
• 30’ → x 100% = x 100% = 10,180%
𝑇 3,34
𝑇−𝑇0 3,9−2,96
• 60’ → x 100% = x 100% = 24,103%
𝑇 3,9
𝑇−𝑇0 3,99−2,25
• 90’ → x 100% = x 100% = 43,609%
𝑇 3,99
𝑇−𝑇0 3,95−2,2
• 120’ → x 100% = x 100% = 44,304%
𝑇 3,95
𝑇−𝑇0 3,99−1,8
• 150’ → x 100% = x 100% = 54,887%
𝑇 3,99
𝑇−𝑇0 3,99−1,9
• 180’ → x 100% = x 100% = 52,381%
𝑇 3,99

C) Natrium Diklofenak
𝑇−𝑇0 3,34−2,88
• 30’ → 𝑇
x 100% = 3,34
x 100% = 13,772%
𝑇−𝑇0 3,9−3,2
• 60’ → x 100% = x 100% = 17,949%
𝑇 3,9
𝑇−𝑇0 3,99−3,25
• 90’ → x 100% = x 100% = 18,546%
𝑇 3,99
𝑇−𝑇0 3,95−3
• 120’ → x 100% = x 100% = 24,051%
𝑇 3,95
𝑇−𝑇0 3,99−2,4
• 150’ → x 100% = x 100% = 39,850%
𝑇 3,99
𝑇−𝑇0 3,99−2,5
• 180’ → x 100% = x 100% = 37,343%
𝑇 3,99

Jika daya antiinflamasi curcumin murni 60 mg/kg BB diberi skor 1 (absolut), hitung potensi
relatif tiap obat pada tiap dosis.

𝑅𝑏𝑠
Potensi relatif daya antiinflamasi (%) = x 100%
𝑅𝑛𝑑

Rbs: daya antiinflamasi (dalam %) kelompok perlakuan


Rnd: daya antiinflamasi (dalam %) kelompok kurkumin

Jawab :
PERHITUNGAN
𝑅𝑏𝑠
Potensi relatif daya antiinflamasi (%) = 𝑅𝑛𝑑 x 100%

A) Dexamethasone
𝑅𝑏𝑠 0,1018
• 30’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 10,18%
1
𝑅𝑏𝑠 0,24103
• 60’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 24,103%
1
𝑅𝑏𝑠 0,43609
• 90’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 43,609%
1
𝑅𝑏𝑠 0,44304
• 120’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 44,304%
1
𝑅𝑏𝑠 0,54887
• 150’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 54,887%
1
𝑅𝑏𝑠 0,52381
• 180’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 52,381%
1

B) Natrium Diklofenak
𝑅𝑏𝑠 0,13772
• 30’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 13,772%
1
𝑅𝑏𝑠 0,17949
• 60’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 17,949%
1
𝑅𝑏𝑠 0,18546
• 90’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 18,546%
1
𝑅𝑏𝑠 0,24051
• 120’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 24,051%
1
𝑅𝑏𝑠 0,3985
• 150’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 39,85%
1
𝑅𝑏𝑠 0,37343
• 180’ → 𝑅𝑛𝑑 x 100% = x 100% = 37,343%
1

F. ANALISIS HASIL
Bandingkan persen daya antiinflamasi kurkumin, dexamethasone, dan Natrium
diklofenak dengan uji t, taraf kepercayaan 95%.
Menit Kel Kel Kel Na Kel Kel Kel Na
ke- Kurkumin Dexamet Diklofenak Kurkum Dexamet Diklofe
2 2
hasone in hasone nak 2
30 4,192% 10,180% 13,772% 17,573 103,632 189,668
% % %
60 10,256% 24,103% 17,949% 105,186 580,955 322,167
% % %
90 17,293% 43,609% 18,546% 299,048 1.901,74 343,954
% 5% %
120 17,722% 44,304% 24,051% 314,069 1.962,84 578,451
% 4% %
150 19,799% 54,887% 39,850% 392,000 3.012,58 1.588,0
% 3% 23%
180 17,293% 52,381% 37,343% 299,048 2.743,76 1.394,5
% 9% 00%
TC 86,555% 229,464 151,511% (ΣX) 467,53%
%
NC 6 6 6 N 18

JUMLAH 1.426,9 10.305,5 4.416,7 (ΣX2) 16.149,2


KUADR
AT
24% 28% 63% 15%

Jumlah kuadrat perlakuan (SST)

𝑇𝐶 2 (ΣX)2
SST= Σ 𝑁𝐶

𝑁
(86,555)2 (229,464)2 (151,511)2 (467,53)2
SST = ∑ [ + + ]-( )
6 6 6 18
7.491,768 52.653,727 22.955,583 218.584,300
SST = [ + + ]-( )
6 6 6 18
83.101,078 218.584,300
SST = -
6 18
249.303,234 218.584,300
SST = -
18 18

SST = 13.850,180 – 12.143,572


SST = 1.706,608

Jumlah kuadrat kesalahan (SSE)

𝑇𝐶 2
SSE= (ΣX ) – Σ( 2
𝑁𝐶
)
SSE = 16.149,215 – 13.850,180
SSE = 2.299,035

Keseragaman total (SS Total)


SS Total = SST + SSE
SS Total = 1.706,608 + 2.299,035
SS Total = 4.005,643

Masukkan dalam tabel


Sumber Keragaman Jumlah derajat Derajat bebas Kuadrat tengah

Antar perlakuan SST = 1.706,608 DK1= K-1 MSTR= SST/DK1

1.706,608
= 3-1 MSTR =
2

=2
MSTR = 853,304

Kesalahan (dalam SSE = 2.299,035 DK2= N-K MSE= SSE/DK2


perlakuan)
= 18-3 2.299,035
MSE =
15

= 15
MSE = 153,269

SS Total 4.005,643

F Hitung = MSTR/MSE = 853,304


153,269
= 5,567

F table pada α=0,05 DK1=2 dan DK2= 15 adalah 3,682


- Fhitung < Ftabel untuk α = 0,05 maka Ho diterima
- Fhitung > Ftabel untuk α = 0,05 maka Ho ditolak
(Ho: persen daya antiinflamasi kurkumin, dexamethasone, dan Natrium diklofenak tidak
berbeda/sama. H1: persen daya antiinflamasi kurkumin, dexamethasone, dan Natrium
diklofenak berbeda/tidak sama)
Kesimpulan: Ho ditolak
G. PERTANYAAN
1. Apakah antiinflamasi itu?
Jawab :
Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki
aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapt
disebabkan oleh berbagai rangsangan yang mencakup luka-luka fisik, infeksi, panas
dan interaksi antigen-antibodi (Houglum, 2005).

2. Apa yang dimaksud dengan % daya antiinflamasi dan potensi relative daya
antiinflamasi?
Jawab :
% Daya Anti Inflamasi (DAI) menunjukkan kemampuan obat dalam menurunkan
volume udema.
Potensi relative daya antiinflamasi untuk melihat ada tidaknya peningkatan
peradangan.

3. Setelah pemberian karagenin, mengapa pengukuran volume udem Diulangi 3 jam


kemudian (waktu yang optimum 3-4 jam)?
Jawab :
Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan pada semua mediator nyeri yang
bersangkutan untuk dapat membuat pembengkakan secara maksimal.
Karagenin sebagai senyawa iritan menginduksi terjadinya cedera sel melalui
pelepasan mediator yang mengawali proses inflamasi. Pada saat terjadi pelepasan
mediator inflamasi terjadi udem maksimal dan bertahan beberapa jam. Pengukuran
volume udem diulangi 3 jam kemudian untuk memberi kesempatan pada semua
mediator nyeri yang bersangkutan untuk dapat membuat pembengkakan secara
maksimal.

4. Tentukan obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena karagenin.
Jelaskan jawaban saudara !
Jawab :
Obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena karagenin
adalah Dexamethasone karena dalam praktikum ini menunjukan % daya anti
inflamasi dexamethasone lebih tinggi sehingga lebih kuat/berpotensi dalam
menurunkan volume udema. Deksametason adalah glukokortikoid sintetik dengan
aktivitas imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan, deksametason
bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsangan.
Aktivitas anti-inflamasi deksametason dengan jalan menekan atau mencegah respon
jaringan terhadap proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang mengalami
inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi. Deksametason
merupakan obat golongan kortikostseroid. Kortikosteroid adalah suatu hormon yang
dibuat oleh bagian korteks (luar) dari kelenjar adrenal
H. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini yang berjudul “Anti Inflamasi” memiliki tujuan agar mahasiswa
mampu mempelajari daya anti inflamasi obat pada binatang dengan radang buatan.

Inflamasi merupakan suatu respon protektik normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi
adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan (Mycck, 2001).

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka
pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan
jaringan atau yang mencegah agen menyebar luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga
menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru, Rangkain
reaksi ini disebut radang (Rukmono, 2000).

Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah local yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yangberlebihan, kenaikan permeabilitas
kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar kedalam ruang interstisial,
pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya
yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan
monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang
menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam
produk reaksi system komplemen, produk reaksi system pembekuan darah, dan berbagai
substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi
(Guyton, 1997).

Berikut alasan terjadinya tanda-tanda Inflamasi :

1. Eritema (Kemerahan)

Merupakan tahap pertama dari inflamasii. Darah berkumpul pada adaerah cedera jaringan
akibat pelepasan mediator kimia tubuh.

2. Edema (Pembengkakan)

Tahap kedua dari inflamasi. Plasma menuju kedalam jaringan interstisial pada tempat cedera.
Kinin mendilatasi arteriol dengan meningkatkna permeabillitas.

3. Kolor (Panas)
Panas pada inflamasi dapat disebabkan oleh bertambahnya penggumpalan darah dan juga
dikarenakan pyrogen (substansi yang menimbulkan demam) yang mengganggu pusat
pengaturan panas dan hipotalamus.

4. Dolor (Nyeri)

Disebabkan peningkatan dan pelepasan mediator-mediator kimia.

5. Function Laesa (hilangnya fungsi jaringan)

Disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri,
yang mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena cedera.

Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu ada jangka sorong dan alat suntik. Jangka
sorong digunakan untuk mengukur diameter udem yang terjadi pada kaki hewan uji. Alat suntik
digunakan untuk menginjeksikan obat. Sedangkan bahan yang digunakan pada praktikum ini
yaitu ada Karagenin yang digunakan untuk pembentuka udem atau membuat radang buatan.
Dexamethason digunakan untuk mengatasis radang. Na Diklofenak dan Kurkumin sebagai
obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS).

Percobaan anti inflamasi ini menggunakan hewan uji tikus, alasannya adalah tikus
memiliki gen yang secara biologis dan karakteristik mirip dengan gen yang dimiliki oleh
manusia, sehingga banyak gejala-gejala penyakit pada manusia yang bisa diciptakan pada tikus
sehingga mempermudah untuk membuat obat bagi penyakit itu. Tikus yang digunakan adalah
wistar jantan, karena tikus wistar jantan memiliki telapak kaki yang lebih besar dari betina dan
kesesuaian jenis kelamin pada penelitian tergantung pada tujuan penelitian pada praktikum ini
tidak mengganggu tidak menggunakan obat-obatan hormone untuk wanita sehinggakita tidak
menggunakan tikus betina. Tikus sebagai Kelompok Kontrol pada telapak kaki kanan disuntik
dengan karagenin 0,1 ml. Telapak kaki kiri disuntik dengan 0,1 mL CMC Na 1%. Setelah itu
ukur besar udem yang terjadi menggunakan jangka sorong. Pengukuran diulangi setiap 30
menit sekali selama 3 jam. Dari hasil pengamatan, rata-rata ketebalan udem hewan uji pada
menit ke-0 = 1,8 mm, menit ke-30 = 3,34 mm, menit ke-60 = 3,9 mm, menit ke-90 = 3,99 mm,
menit ke-120 = 3,95 mm, menit ke-150 = 3,99 mm, menit ke-180 = 3,99 mm. Diperoleh bahwa
pada tikus kontrol mengalami peningkatan volume kaki akibat pemberian karagenin. Induksi
karagenin pada kaki hewan uji dapat mengakibatkan radang yang ditandai dengan
bertambahnya volume kaki hewan uji setelah pemberian karagenin (udem).
Tikus yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah tiga ekor dengan tiga perlakuan
yang berbeda. Mula-mula semua tikus ditimbang terlebih dahulu. Tikus sebagai Kelompok uji
memiliki berat badan untuk kelompok I Kurkumin Murni adalah 120 gr, kelompok II
Dexamethasone adalah 125 gr, dan kelompok III Na Diklofenak adalah 115 gr. Penimbangan
berat badan dilakukan untuk menentukan dosis injeksi yang akan diberikan. Adapun dosis yang
diberikan untuk tikus I = 44,64 mg, tikus II = 0,0775 mg, dan tikus III = 0,713 mg.

Kurkumin merupakan senyawa aktif yang memiliki berbagai aktivitas yaitu antivirus,
antijamur (Araujo dan Leon, 2001), antioksidan (Jayaprakasha dkk, 2006), antikanker (Anand
dkk, 2008), antibiotic, antiseptic (Pandey dan Sanjay, 2010), antiinflamasi, antidiabetes,
antikoagulan dan antiaging (Niazi dkk, 2010). Kurkumin mempunyai efek antiinflamasi yang
diterapkan secara topical untuk melawan peradangan, iritsai, dan alergi pada kulit yang terkait
dengan kondisi Inflamasi (Chainani-Wu, 2003). Kurkumin digunakan sebagai kontrol positif
yang merupakan suatu zat kimia berwarna kuning menjadikan sebagai obat anti inflamasi atau
anti radang yang bekerja menghambat pembentukan prostaglandin jika pemberian kurikulum
berlebih maka pembentukan prostaglandin pada lambung akan terganggu karena prostaglandin
berfungsi sebagai sitoprotektif lambung maka akan ulkus pada lambung.

Dexamethason merupakan obat golongan kortikosteroid sebenarnya memiliki efek yang


sama dengan hormone cortisone dan hydrocortisone yang diproduksi oleh kelenjar adrenal.
Kelenjar ini berada tepat diatsa ginjal. Dengan efek yang sama bahkan berlipat ganda maka
kortikosteroid ini utamanya digunakan untuk mengatasi radang, apapun penyebab radangnya
dan dimanapun lokasinya. Beberapa penyakit peradangan yang kerap diobati dengan
kortikosteroid adalah asma, radang rematik, radang usus, radang ginjal, radang mata, dan lain-
lain. Kortikosteroid terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein, juga bertindak sebagai anti-inflamasi dengan cara menghambat pelepasan
fosfolipid serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Sedangkan mineralokortikoid
berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air dengan cara penahanan garam di ginjal.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, deksametason digolongkan ke dalam kelompok
glukokortikoid.

Na Diklofenak mempunyai aktivitas analgesic, antipiretik dan antiinflamasi. Diklofenak


mempunyai kemampuan melawan COX-2 lebih baik dibandingkan dengan indometasin,
naproxen, atau beberapa NSAIA lainnya. NSAIA berfungsi sebagai antiinflamasi, analgesic
dan antipiretik yang pada dasarnya menginhibisi isoenzim COX-2; menginhibisi COX-1
kemungkinan terhadap obat yang tidak dikehendaki pada mukosa GI dan agregasi platelet
(AHFS, 2008). Penambahan Na diklofenak yaitu dikarenakan Mekanisme kerjanya adalah
dengan menghambat sintesis prostaglandin, mediator yang berperan penting dalam proses
terjadinya inflamasi, nyeri dan demam. Kalium diklofenak akan diabsorbsi dengan cepat dan
lengkap dan jumlah yang diabsorbsi tidak berkurang jika diberikan bersama dengan makanan.
Kadar puncak obat dicapai dalam ½ -1 jam. Ikatan protein 99,7%, waktu paruh 1-2 jam.
Pemberian dosis berulang tiidak menyebabkan akumulasi, eliminasi terutama melalui urin.
Natrium diklofenak dalam bentuk CR/lepas-lambat terkendali adalah salah satu tekonologi
yang dikembangkan untuk memperbaiki efikasi dan toleransi diklofenak. Pengembangan
formulasi yang canggih dengan teknologi tinggi pada “drug delivery System” telah dilakukan
oleh Klinge Pharma GmbH dan telah dipasarkan di Indonesia dengan nama Deflamat CR oleh
PT. Actavis Indonesia. Deflamat CR (gabungan antara teknologi Enteric-Coated dengan
Sustained-Release) memiliki bentuk yang unik yaitu pelet CR dimana zak aktif terbagi dalam
ratusan unit sferis kecil (pelet) yang akan menjamin penyebaran yang baik dari zat aktif
diseluruh saluran gastro-intestinal sehingga akan memperbaiki toleransi gastro-intestinal dari
obat AINS (Neal, 2006).

Pada tikus Kelompok Uji, mendapat perlakuan yakni pada tikus I diberikan kurkumin
murni, tikus II diberikan dexamethasone, tikus III diberikan Na Diklofenak secara IP. Karena
obat tersebut akan mudah berefek pada tikus karena terdapat banyak pembuluh daarah atau
aliran darah untuk mengabsorbsi obat, sehingga Ketika diberi perlakuan dengan pemberian
karagenin, obat antiinflamasi tersebut sudah terabsorbsi dengan baik. Setelah 1 jam pemberian
obat antiinflamasi, masing-masing tikus disuntikkan dengan karagenin. Setelah itu ukur besar
udem yang terjadi menggunakan jangka sorong. Pengukuran diulangi setiap 30 menit sekali
selama 3 jam. Dari hasil pengamatan, rata-rata ketebalan udem tikus I menit ke-0 = 1,85 mm,
menit ke-30 = 3,2 mm, menit ke-60 = 3,5 mm, menit ke-90 = 3,3 mm, menit ke-120 = 3,25
mm, menit ke-150 = 3,2 mm, menit ke-180 = 3,3 mm. Rata-rata ketebalan udem tikus II menit
ke-0 = 1,8 mm, menit ke-30 = 3 mm, menit ke-60 = 2,96 mm, menit ke-90 = 2,25 mm, menit
ke-120 = 2,2 mm, menit ke-150 = 1,8 mm, menit ke-180 = 1,9 mm. Rata-rata ketebalan udem
tikus III menit ke-0 = 1,85 mm, menit ke-30 = 2,88 mm, menit ke-60 = 3,2 mm, menit ke-90 =
3,25 mm, menit ke-120 = 3 mm, menit ke-150 = 2,4 mm, menit ke-180 = 2,5 mm.

Pada praktikum kali ini menghitung % daya anti inflamasi dan menghitung uji t. Hasil dari
% daya anti inflamasi dexamethasone yaitu menit 30 = 242,844%, menit 60 = 235,014%, menit
90 = 252,177% , menit 120 = 249,994%, menit 150 = 277,221%, dan menit 180 = 302,903%.
Lalu untuk Na diklofenak yaitu menit 30 = 328,531%, menit 60 = 175.010%, menit 90 =
107,246% , menit 120 = 135.713%, menit 150 = 201,273% dan menit 180 = 215,943%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa % daya anti inflamasi (DAI) menunjukkan kemampuan
obat dalam menurunkan volume udema yang lebih kuat/berpotensi adalah dexamethasone dan
yang lebih ringan adalah Na diklofenak dan itu tidak sesuai dengan teori/literatur, karena jika
berdasarkan literatur obat antiiflamasi yang paling baik adalah diklofenak. Sedangkan pada
tabel uji t diperoleh hasil dengan Fhitung > Ftabel maka Ho ditolak artinya % daya anti
inflamasi dexamethasone dan natrium diklofenak berbeda/tidak sama karena dexamethason
menunjukan % daya anti inflamasi yang lebih tinggi dari Na diklofenak.

I. KESIMPULAN

Pada praktikum dengan judul “Anti Inflamasi” ini dapat dsimpulkan bahwa :

1. Mahasiswa telah mampu mempelajari daya anti inflamasi obat pada binatang dengan
radang buatan.
2. Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki
aktivitas menekan atau mengurangi peradangan.
3. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Karagenin 1% dalam CMC Na 1%
sebagai penginduksi atau pembuat radang , Dexamethasone , Natrium diklofenak ,
Kurkumin (murni) 2% CMC Na 1%.
4. Pada tabel uji t diperoleh hasil dengan Fhitung > Ftabel maka Ho ditolak artinya %
daya anti inflamasi dexamethasone dan natrium diklofenak berbeda/ tidak sama karena
dexamethason menunjukan % daya anti inflamasi yang lebih tinggi dari Na diklofenak.
5. % daya anti inflamasi (DAI) menunjukkan kemampuan obat dalam menurunkan
volume udema yang lebih kuat/berpotensi adalah dexamethasone dan yang lebih ringan
adalah Na diklofenak dan itu tidak sesuai dengan teori/literatur.

J. DAFTAR ACUAN
AHFS Drug Information. 2008. American Society of Health System Pharmacist.

Anand, Sundaram, Jhurani, Kunnumakkara dan Anggarwal. 2008. Curcumin and Cancer: An
Old-Age Disease with an Age-Old Solution. Cancer Letter. 1 (267): 133-164.
Araujo, dan Leon. 2001. Biological Activities of Curcuma longa L. Memist Oswaldo Cruz. Rio
de Janeiro. 96 (5): 723-728.

Chainani-Wu, N. 2003. Safety and Anti-inflamatory Activity of Curcumin: A Component of


Tumeric (Curcuma Longa). The Journal of Alternative and Complementary Medicine.
9 (1), 161-168.

Chang, JC dan Malone, MH. 1971, J. Pharm. Sci. 60, 416-419.

Guyton, A.C. & Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.

Higges, G.A., dan Whittle, B.J.R., 1980, The Therapeutic and Toxic Effects of anti inflamatory
drugs which interference with arachidonic acid metabolism. Dalam turner, P (ed.),
Clinical Pharmacology and Therapeutics, Macmillan Publ. London, 277-287.

Lands, WEM., 1981, Trend Pharmaco. Sci. 2,78-80.

Mycck, J Mary. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta.

Neal,M.J., 2006, Farmakologi Medis, 70-71, Erlangga, Jakarta

Niazi, P.P., Vikas, G., and Narinderpal K. 2010. Pharmacotherapeutics Of Curcuma Longa-A
Potent Patent, International Journal Of Pharma Professional’s Research. 1:24-30.

Pandey, and Sanjay, K. 2010. Determination and Comparison of The Curcuminoid Pigments
in Tumeric Genotypes (Curcuma Domestica Val) by Highperformance Liquid
Chromatography, International Journal of pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2
(4): 125-127.

Rukmono, 2000. Kumpulan Kuliah Patologi, Bagian Patologi Anatomik. FK UI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai