Anda di halaman 1dari 11

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : PAI KONTEMPORER.


B. Kegiatan Belajar : MODERASI BERAGAMA(KB 4 )

C. Refleksi

BUTIR
NO RESPON/JAWABAN
REFLEKSI

PETA KONSEP

A. pengertian
Moderasi
B. Nilai nilai Moderasi Beragama
Beragama
1. Tawassuth
2. I'tidal (adil tegak lurus
3. Tasamuh C.
4 Syura Implementasi
Moderasi
5. ishlah
Beragama
Konsep 6. Qudwah
(Beberapa 7. muwathanah
1 istilah dan 8. Al-La'unf MODERASI
definisi) di BERAGAMA
9. i'tiraf
KB

A. Pengertian Moderasi Beragama


Moderasi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia online adalah pengurangan
kekerasan, penghindaran keekstreman63. Moderasi dalam bahasa arab disebut
dengan al-Wasathiyyah al-Islamiyyah. Secara etimologi, kata wasatiyyah berasal
dari bahasa Arab. Kata wasatiyyah tersebut mengandung beberapa pengertian,
yaitu adaalah (keadilan) dan khiyar (pilihan terbaik) dan pertengahan.
Al-Qaradawi menyebut beberapa kosa kata yang serupa makna dengannya
termasuk kata tawazun, i'tidal, ta'adul dan istiqamah.
Kata al-wasathiyah atau moderat yang mempunyai lebih dari satu makna yang
satu dengan lainnya saling mendukung, yaitu

(1) Tawassuth, berada pada posisi tengah antara dua sisi yang berseberangan.
Kedua titik itu tidak dipertentangkan atau dibenturkan tetapi dipertemukan pada
posisi tengah. Moderasi antara sikap ifrāth (berlebihan) dan tafrīth
(mengabaikan), antara sikap terlalu berpegang pada zhahir nash atau terlalu
memperhatikan jiwa nash.

(2) Mulāzamatu al-Adli wa al-‘Itidal, mempertahankan keseimbangan dan sikap


yang proporsional, sehingga permasalahan yang ada disikapi dengan wajar.
Memberi porsi yang wajar kepada ta’aqqul (rasionalitas) dan ta’abbud
(kepatuhan) yang tanpa reserve.

(3) Afdhaliyyah/Khairiyyah, memiliki sikap dan posisi yang afdhal, tidak


menegasikan sama sekali pendapat-pendapat yang berlawanan, tetapi
mengambil sisi positif atau keunggulan dari semuanya.

(4) Istiqāmah ala alThorīq, konsisten di jalan yang lurus, karena posisi tengah
memberikan kestabilan dan kemantapan.
Wasathiyah berarti sikap Islam yang dipilih, terbaik, adil, rendah hati, moderat,
istiqamah, ikuti ajaran Islam, tidak ekstrim untuk kedua ujung dalam hal-hal yang
berkaitan duniawi atau kehidupan setelah kematian, spiritual atau jasmani tetapi
harus seimbang antara keduanya. sikap moderat (wasatiyyah) merupakan
pendekatan yang diakui oleh Islam. Sebuah pendekatan yang komprehensif dan
terpadu yang mampu memecahkan permasalahan umat, terutama dalam hal
manajemen konflik untuk memelihara perdamaian. Sikap moderat dengan jalan
tengahnya dapat menjadikan kehadiran Islam di Indonesia sebagai agama
rahmatan lil alamin dan agama yang selamat.
Dari beberapa uraian di atas, moderasi beragama dapat diartikan sebagai sebuah
pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua
sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap
yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang.68
Moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian
moderasi tadi. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak
berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang
mempraktekkannya disebut moderat.

D. Nilai-nilai Moderasi Beragama

Moderasi (wasathiyyah) merupakan prinsip dalam beragama yang perlu


diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa nilai moderasi yang
dapat diimplementasikan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Nilai-
nilai moderasi ini dipandang relevan dengan ajaran agama Islam. Sementara itu, dua
nilai tambahan (anti kekerasan dan menghormati adat) berasal dari sumbang saran
para ahli kepada Kementerian Agama. Kesembilan nilai moderasi tersebut adalah
tengah-tengah (tawassuth), tegak-lurus (i’tidal), toleransi (tasamuh), musyawarah
(syura), reformasi (ishlah), kepeloporan (qudwah), kewargaan/cinta tanah air
(muwathanah), anti kekerasan (la ’unf) dan ramah budaya (i’tibar al-‘urf).

Berikut 9 nilai moderasi beragama disajikan dalam bentuk diagram:

1, Tawassuth (mengambil jalan tengah)

Tawassuth atau wasathiyyah adalah memilih jalan tengah di antara dua kutub
ideologi keagamaan ekstrem fundamentalisme dan liberalisme. Ciri sikap tawassuth
ini, antara lain: tidak bersikap ekstrem dalam menyebarluaskan ajaran agama; tidak
mudah mengkafirkan sesama muslim karena perbedaan pemahaman agama;
memposisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan senantiasa memegang
teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasamuh); hidup
berdampingan dengan sesama umat Islam maupun warga negara yang memeluk
agama lain.

Istilah wasathiyyah berasal dari bahasa Arab yang berarti kelas menengah, bukan
ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Tidak memihak individu dengan mengorbankan
masyarakat, dan tidak memprioritaskan masyarakat dengan mengorbankan
individu. Wasathiyyah sangat memperhatikan hak individu dan juga hak
masyarakat. Wasathiyyah sangat memperhatikan kehidupan dunia, seperti halnya
perhatiannya pada kehidupan setelah kematian. Wasathiyyah memberikan
perhatian yang besar pada kesalehan ritual seperti pada kesalehan sosial.
Wasathiyyah menekankan hidup sejahtera di dunia, dan keamanan di akhirat, tidak
mengejar kehidupan duniawi sedangkan kehidupan ukhrawi diabaikan, begitu pula
sebaliknya. Allah Swt., berfirman:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S.
AlQashas: 77).

Ada sejumlah harapan yang dapat disemaikan melalui pengetahuan nilai


wasathiyyah, di antaranya:

a. Terus menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa dengan berbagai suku
bangsa yang mendiami sejumlah pulau, dari Sabang hingga Merauke, dengan
perbedaan agama, ras, Bahasa, dan adat budaya.
b. Terus menumbuhkan rasa memiliki dan patriotisme untuk menjamin
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sikap dan perilaku patriotik
dimulai dengan hal-hal yang mendasar, yaitu: semangat gotong royong,
mewujudkan kerukunan umat beragama dan toleransi dalam menjalankan
ibadah menurut agama masing-masing, saling menghormati, mengedepankan
rasa damai dan menjaga keamanan lingkungan.
c. Terus meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab sebagai warga negara
Indonesia yang menghormati umat beragama di tanah air, antar umat beragama,
dan antar umat beragama dengan pemerintah, serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. (NKRI) untuk
mematuhi.

2. I’tidal (adil tegak lurus).


Adil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online adalah sama berat,
tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar dan tidak
sewenang-wenang. Sementara keadilan diartikan sebagai suatu sifat atau
perbuatan atau perlakuan yang adil.

Sedangkan menurut bahasa Arab, adil di sebut dengan kata ‘adlun yang berarti
sama dengan seimbang, dan al’adl artinya tidak berat sebelah, tidak memihak,
berpihak kepada yang benar, tidak sewenang-wenang, tidak zalim, seimbang dan
sepatutnya. Menurut istilah, adil adalah menegaskan suatu kebenaran terhadap
dua masalah atau beberapa masalah untuk dipecahkan sesuai dengan aturan-
aturan yang telah ditetapkan oleh agama.
Murtadha Muthahhari memaknai keadilan sebagai suatu keadaan yang
seimbang. Dalam suatu masyarakat terdapat bagian-bagian yang beragam yang
menuju satu tujuan tertentu, maka di situ terdapat banyak syarat. Dengan
terhimpunnya syarat ini, kelompok masyarakat tersebut dapat bertahan dan
dapat memberi pengaruh yang dikehendaki darinya, serta dapat memenuhi
tugas yang diletakkan padanya.
I’tidal bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak
dan memenuhi kewajiban secara proporsional. I’tidal merupakan bagian dari
penerapan keadilan dan etika bagi setiap muslim. Tanpa mengusung keadilan,
nilai-nilai agama terasa kering dan tiada bermakna, karena keadilan menyentuh
hajat hidup orang banyak. Karena itu, moderasi beragama juga harus mendorong
upaya untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (al mashlahah al-‘ammah)

3. Tasamuh (toleransi)
a. Pengertian Toleransi
Kata toleransi berasal dari toleran dalam KBBI diartikan menenggang atau
menghargai pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri. Dalam bahasa Arab, toleran adalah “tasāmuh”, yang berarti sikap baik
dan berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan dengan orang lain yang
tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. Umat manusia diciptakan
dengan berbagai ras, bangsa, suku, bahasa, adat, kebudayaan, dan agama yang
berbeda. sikap toleransi dan tasāmuh yang luas dan terbuka, maka akan
terbentuk suatu masyarakat yang saling menghargai, menghormati, dan
terjalinlah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, bangsa, negara,
maupun dalam kehidupan secara umum. Kemudian masyarakat yang harmonis
cenderung akan menghasilkan karya-karya yang besar yang bermanfaat bagi
manusia.

Toleransi dianjurkan dalam masalah muamalah dan hubungan kemasyarakatan


bukan menyangkut masalah akidah dan ibadah. Toleransi dalam masalah ibadah
dan akidah tertolak sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saat empat
pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad
ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui Rasulullah seraya
berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu
dan kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam
segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu
yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan
hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan
agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.

Sebagai jawaban dari perkataan mereka, kemudian Allah menurunkan surat Al-
Kafirun ayat 1-6, terutama dalam ayat 6 yang menegaskan bahwa tidak ada
toleransi dalam hal yang menyangkut akidah. Allah Swt berfirman:

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (Q.S. al-Kafirun [109]: 6)

Sedangkan sikap toleransi dalam masalah muamalah dan kemasyarakatan


dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. al-Mumtahanah [60] ayat 8-9:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari
kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan
mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah
orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9)

b. Bentuk-bentuk Toleransi dalam Islam


Ada beberapa bentuk toleransi dalam Islam, di antaranya:
1) Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang
yang sakit, muslim atau non-muslim, bahkan terhadap binatang sekalipun. Dari
Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda:

“Dalam setiap hati yang basah( makhluk hidup yang diberi makan minum) ada
pahalanya” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah Islam mengajarkan peduli
sesama.

2) Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara non muslim.
Allah Swt telah berfirman dalam Q.S. Luqman [31]: 15

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu


yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (Q.S. Luqman [31]:
15).

3) Boleh memberi hadiah pada non-muslim.


Islam memperbolehkan umat Islam memberi hadiah kepada nonmuslim, agar
membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin berdakwah dan atau ingin agar
mereka tidak menyakiti kaum muslimin.

c. Toleransi Antar umat Beragama


Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan
individu/manusia lain dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani
kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan
kelompok-kelompok yang berbeda dengannya salah satunya adalah perbedaan
kepercayaan/agama. Dalam menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan
ada gesekangesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang
berkaitan dengan agama atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan
dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati,
sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian.
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-
sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya". Sehigga kita
sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan
kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung
tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
Toleransi berasal dari bahasa latin dari kata "tolerare" yang berarti dengan sabar
membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku
atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, di mana seseorang
menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain.
Toleransi juga dapat dikatakan istilah pada konteks agama dan sosial budaya yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap golongan-
golongan yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas pada suatu
masyarakat. Misalnya toleransi beragama di mana penganut agama mayoritas
dalam sebuah masyarakat mengizinkan keberadaan agama minoritas lainnya. Jadi
toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang
beragama

Istilah toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi


golongan/kelompok yang lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai politik, dan
lain-lain. Sampai sekarang masih banyak kontroversi serta kritik mengenai prinsip-
prinsip toleransi baik dari kaum konservatif maupun liberal.
Pada sila pertama dalam Pancasila, disebutkan bahwa bertakwa kepada tuhan
menurut agama dan kepercayaan masing-masing merupakan hal yang mutlak.
Karena Semua agama menghargai manusia, oleh karena itu semua umat beragama
juga harus saling menghargai. Sehingga terbina kerukunan hidup antar umat
beragama.

4. Syura (Musyawarah).
Istilah musyawarah berasal dari kata ‫ م شاوزة‬. Ia adalah masdar dari kata kerja
syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra‟ dengan pola fa’ala.
Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “menampakkan dan menawarkan
sesuatu” Dari makna terakhir ini muncul ungkapan syawartu fulanan fi amri (aku
mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku). Pendapat senada
mengemukakan bahwa musyawarah pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu
dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala
sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat).
Karenanya, kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang
baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Kata “syura” atau dalam bahasa Indonesia menjadi “Musyawarah” mengandung
makna segala sesuatu yang diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk
pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Musyawarah merupakan esensi ajaran
Islam yang wajib ditetapkan dalam kehidupan sosial umat Islam. Syura memang
merupakan tradisi Arab Pra Islamyang sudah turun-temurun.

Syura berarti mekanisme pengambilan keputusan yang berlandaskan pada dialog,


komunikasi, saling bertukar pendapat mengenai sesuatu perkara. Mekanisme
musyawarah adalah salah satu ciri masyarakat beradab dan demokratis, sehingga
hak bersuara setiap warga dijamin dan dilindungi secara sah. Pemahaman ini
selaras dengan firman Allah, sebagai berikut: “Dan bagi orang-orang yang menerima
mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka
diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian
rizki yang kami berikan kepada mereka”. (QS Al-Syura:38).

5. Ishlah (Kreatif Inovatif)


Secara istilah, Ishlah adalah upaya yang dilakukan untuk menghilangkan terjadinya
kerusakan, dan perpecahan antara manusia dan melakukan perbaikan dalam
kehidupan manusia sehingga tercipta kondisi yang aman, damai, dan sejahtera
dalam kehidupan masyarakat..

Ishlah juga dapat difahami sebagai suatu tindakan atau gerakan yang bertujuan
untuk merubah keadaan masyarakat yang rusak akhlak dan akidah, menyebar
ilmu pengetahuan dan memerangi kejahilan. Ishlah juga menghapus bid’ah dan
khurafat yang memasuki agama dan mengukuhkan akidah tauhid. Dengan ini
manusia akan benar-benar menjadi hamba Allah Swt yang menyembah-Nya.
Masyarakat Islam juga menjadi masyarakat yang memandu ke arah keadilan dan
persamaan.
Menurut syariat Islam, tujuan Ishlah adalah untuk mengakhiri konflik dan
perselisihan sehingga mereka dapat menciptakan hubungan dalam kedamaian
dan penuh persahabatan. Dalam hukum Islam, Ishlah adalah bentuk kontrak
yang secara legal mengikat pada tingkat individu dan komunitas. Secara
terminologis, istilah Ishlah digunakan dengan dua pengertian, yakni proses
keadilan restoratif (restorative justice) dan penciptaan perdamaian serta hasil
atau kondisi aktual yang dilahirkan oleh proses tersebut.

Ishlah bermakna mengutamakan prinsip kreatif inovatif untuk mencapai


keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman
dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap
berpegang pada prinsip: al-muhafazah ‘ala al-qadimi alsalih wa alakhdzu bi al-
jadid al-aslah.

6. Qudwah (teladan).
Menurut kamus lisan Al-Arab, qudwah berarti uswah, yaitu ikutan (teladan).
Maka dalam Islam sering digunakan istilah Qudwah hasanah untuk
menggambarkan keteladanan yang baik, atau dima’rifatkan dengan al (kata
sandang) menjadi al-qudwah. Abdullah Nashih Ulwan mengartikan Uswah
Hasanah sebagai keteladanan, yakni dengan pendidikan dengan keteladanan
merupakan metode yang sangat berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial.
Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang
tindak tanduk, akhlaknya, disadari atau tidak, akan ditiru dan dicontoh mereka.
Muhammad Abu Fath Bayanuni, dosen pendidikan dan dakwah di Universitas
Madinah mengatakan bahwa menurut teorinya, Allah menjadikan konsep
Qudwah ini sebagai acuan manusia untuk mengikuti. Qudwah atau Uswah dalam
konteks ini adalah Rasulullah SAW dan orang-orang saleh.
Fitrah manusi adalah suka mengikuti dan mencontoh, bahkan fitrah manusia
adalah lebih kuat dipengaruhi dan melihat contoh ketimbang dari hasil bacaan
atau mendengar. Keteladanan yang disengaja adalah keadaan yang sengaja
diadakan oleh pendidik agar diikuti atau ditiru oleh peserta didik, seperti
memberikan contoh membaca yang baik dan mengerjakan shalat yang benar.
Keteladanan ini disertai penjelasan atau perintah agar diikuti. Keteladanan yang
tidak disengaja ialah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat
keikhlasan, dan sebagainya.
Dengan menggunakan metode praktek secara langsung akan memberikan hasil
yang efektif dan maksimal. Qudwah berarti melakukan kepeloporan dalam
prakarsaprakarsa kebaikan demi kemaslahatan hidup manusia (common good
and well-being) dan dengan demikian umat Islam yang mengamalkan
wasathiyyah bisa memberikan kesaksian (syahadah).

7. Muwathanah (menghargai negara-bangsa dan warga negara).


Al-Muwathanah adalah pemahaman dan sikap penerimaan eksistensi negara-
bangsa (nation-state) dan pada akhirnya menciptakan cinta tanah air
(nasionalisme) di mana pun berada. Al-Muwathanah ini mengedepankan
orientasi kewarganegaraan atau mengakui negara-bangsa dan menghormati
kewarganegaraan. Dalam konteks al-muwathanah, Islam dan negara memiliki
keterkaitan dengan moderasi beragama, menolak pengertian yang beranggapan
bahwa agama hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak
berkaitan dengan sistem ketatanegaraan. Paradigma moderat justru
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan yang
mutlak tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara
dapat ambil simpulakan bahwa al-muwathanah tersebut menunjukkan bahwa
mencintai tanah air atau nasionalisme dan mengakui kedaulatan negara lain
adalah bagian dari prinsip menjalankan Islam yang moderat. Agama dalam
pembangunan cinta tanah air (nasionalisme Indonesia) memiliki peranan yang
sangat penting. Hal ini juga tidak lepas dari faktor sejarah. Indonesia direbut dan
diperjuangkan atas dasar agama dan oleh orang-orang yang beragama
menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan adalah pertama-tama atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa, barulah kemudian didorong oleh keinginan
luhur. Ikrar tersebut menunjukkan tingginya keberagaman bangsa Indonesia,
khususnya dalam memperjuangkan dan mensyukuri kemerdekaan..

8. Al-La ‘Unf (Anti- Kekerasan)


Anti kekerasan artinya menolak ekstremisme yang mengajak pada perusakan dan
kekerasan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap tatanan sosial.
Ekstremisme dalam konteks moderasi beragama ini dipahami sebagai suatu
ideologi tertutup yang bertujuan untuk perubahan pada sistem sosial dan politik. Ini
merupakan upaya untuk memaksakan kehendak yang seringkali menabrak norma
atau kesepakatan yang ada di suatu masyarakat. Ciri-ciri dari anti kekerasan pada
moderasi beragama ini adalah mengutamakan cara damai dalam mengatasi
perselisihan, tidak main hakim sendiri, menyerahkan urusan kepada yang berwajib
dan mengakui wilayah negaranya sebagai satu kesatuan. Sifat anti kekerasan bukan
berarti lemah/lembek, tetapi tetap tegas dan mempercayakan penanganan
kemaksiatan/pelanggaran hukum kepada aparat resmi.

9. I’tiraf al-‘Urf (Ramah terhadap kebudayaan lokal)


Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
akal sehat”. Secara terminologi, seperti dikemukakan AbdulKarim Zaidan, istilah ‘urf
berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan ataupun
perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-
‘adah (adat istiadat). Kata al-‘adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan
secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.
Adat kebiasaan bisa dijadikan Sandaran Hukum Kaidah Fiqh. Seperti yang dijelaskan
oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf bahwa makna kaidah secara bahasa “
Aladatu“ (‫ )ال عادة‬terambil dari kata “ al audu” (‫ )ال عود‬dan “ al muaawadatu “ (‫) ال موادة‬
yang berarti “pengulangan”. Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti
perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga
mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan. Menurut jumhur ulama,
batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah’ adalah kalau
dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Sedangkan “Mukhakkamatun” secara
bahasa adalah isim maf’uI dari “takhkiimun” yang berarti “menghukumi dan
memutuskan perkara manusia.” Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah
adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisihan
antara manusia.
Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia yang telah menjadi
tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal yang meninggalkan
sesuatu juga disebut adat. Karena menurut istilah ahli syara’ tidak ada perbedaan di
antara ‘urf dan adat. Dalam ilmu ushul fiqih, yang dimaksud dengan ‘urf itu adalah
sesuatu yang telah terbiasa (di kalangan) manusia atau pada sebagian mereka
dalam hal muamalat dan telah melihat / tetap dalam diri-diri mereka dalam
beberapa hal secara terus menerus yang diterima oleh akal yang sehat.
E. Implementasi Moderasi Beragama
Moderasi beragama menjadi salah satu program yang diprioritaskan
pemerintah untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis dalam
bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara (Pokja IMA: 2019, 27). Selain
untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis melalui cara pandang,
sikap, dan praktik beragama yang moderat, moderasi beragama juga menjadi
dasar berpikir dalam memahami substansi ajaran agama yang
mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, kebangsaan,
kebhinnekaan, dan ketaatan pada konstitusi yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sembilan nilai Wasathiyah al-Islam yang diuraikan di atas dapat digunakan
sebagai bahan penguatan moderasi beragama, dengan penyesuaian secara
luwes untuk jenjang dan lingkungan yang berbeda. Penyesuaian dapat
berupa tata urutan nilai yang penyajiannya didahulukan atau
dikemudiankan, sesuai kebutuhan.
Tantangan bagi Pendidikan Agama Islam dalam pengembangan moderasi
beragama pada saat ini terletak pada komitmen sekolah dan guru Pendidikan
Agama Islam. Sebagaimana terdapat pada guru agama lain, kondisi tersebut
sangat dilematis. Pada saat tertentu pendidikan agama menekankan pada
otoritas kebenaran yang terkandung dalam ajaran agama, namun pada saat
yang sama juga harus bersikap toleran kepada keyakinan yang berbeda.
Begitu juga dengan ajaran Islam, karena secara umum orientasi Pendidikan
Agama Islam adalah untuk memperkuat pondasi keimanan.

Guru harus banyak melakukan inovasi dalam mengembangkan


pembelajaran, mendesain kurikulum, serta menciptakan suasana
pembelajaran yang komunikatif dan penuh inspirasi. Meskipun tidak
memberikan seluruh sembilan nilai moderasi beragama pada saat yang
sama, guru dengan kreativitasnya bisa mengintegrasikan satu atau beberapa
nilai moderasi beragama dalam setiap pokok 4. Integrasi Moderasi Beragama
dalam Materi PAI di Sekolah 4. Integrasi Moderasi Beragama dalam Materi
PAI di Sekolah bahasan mata pelajaran yang disampaikan di kelas. Untuk
keberhasilan penguatan moderasi di kalangan siswa, semua pihak
diharapkan memberikan kontribusinya, terutama keluarga, lingkungan, dan
pemerintah.

Implementasi nilai-nilai moderasi di sekolah bisa dilakukan dalam beberapa


hal berikut ini:

1. Pengembangan PAI Berbasis Nilai-Nilai Moderasi


Beragama Melalui Budaya Sekolah
2. 2. Penguatan Nilai Moderasi Beragama melalui Budaya
Kelas
3. Peran Guru PAI dalam Penguatan Moderasi Beragama
di Sekolah
4. Integrasi Moderasi Beragama dalam
Materi PAI di Sekolah
Secara umum capaian pembelajaran PAI pada masing-
masing jenjang yang dapat diintegrasikan dengan nilai-
nilai moderasi beragama adalah pada aspek yang
berhubungan dengan perilaku. Pada jenjang SD materi
tersebut berkaitan dengan sikap menghargai pendapat
yang berbeda, membangun suasana saling mengenal
antar sesama, memahami keragaman sebagai
sunnatullah, mengetahui pentingnya musyawarah,
dialog antar agama, dan membangun kesadaran bahwa
keragaman dapat dijadikan sebagai titik temu
(kalimatun sawa) untuk persatuan dan kerukunan.
Daftar materi
pada KB
2
yang sulit
Penguatan Nilai Moderasi Beragama melalui Budaya Kelas
dipahami
Daftar materi
yang sering
mengalami
3
miskonsepsi
Implementasi Moderasi Beragama
dalam
pembelajaran

Anda mungkin juga menyukai