Anda di halaman 1dari 13

FENOMENA BUDAYA CHILDFREE : Kajian Fiqih Modern

Bukti Padang, M. Iqbal Irham


buktisyahidluddinpadang@mail.com, muhammadiqbalirham@uinsu.ac.id
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Abstrac

Artikel ini bertujuan untuk menelaah pandangan Fiqih modern yang menyoroti
budaya childfree yang marak di saat ini. Childfree adalah komitmen suami istri untuk
tidak memiliki anak sepanjang pernikahan. Hal ini bertentangan dengan tujuan
pernikahan yakni memiliki dan melestarikan keturunan. Penelitian ini bersifat
kualitatif yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan, menganalisis, dan
mengintepretasikan narasi secara komprehensif terhadap data-data visual untuk
mendapatkan wawasan yang utuh, komprehensif, dan hilostik tentang fenomena
budaya childfree. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menunda memiliki keturunan
untuk sementara waktu (Childfree muwaqqat) diperbolehkan bahkan dianjurkan,
sedangkan menolak kelahiran anak untuk selamanya (Childfree Mu’abbat)
bertentangan dengan maqosid syari’ah apalagi menggunakan alat-alat kontrasepsi
untuk mencegah kehamilan yang berpotensi mengakibatkan kemandulan secara
permanen (kebiri).

Kata kunci: Childfree, perkawinan, fiqih modern

Abstrac

This article aims to examine the view of modern Fiqh which highlights the childfree
culture that is currently widespread. Childfree is a husband and wife's commitment
not to have children throughout their marriage. This is contrary to the purpose of
marriage, namely to have and preserve offspring. This research is qualitative in
nature, meaning it was carried out by collecting, analyzing and comprehensively
interpreting narratives of visual data to gain complete, comprehensive and holistic
insight into the phenomenon of childfree culture. The results of the research show
that delaying having children for a while (Childfree muwaqqat) is permitted and even
recommended, while refusing to give birth to children forever (Childfree Mu'abbat) is
contrary to the maqosid of the sharia, especially using contraceptives to prevent
pregnancy which has the potential to result in infertility. permanent
(castration).Keywords: Childfree, : Childfree, marriage, modern jurisprudence
Pendahuluan.
Istilah childfree saat ini tengah menjadi topik hangat yang memenuhi
berbagai media sosial diantaranya seperti Facebook, Youtube, Twitter dan Instagram.
Tidak hanya dalam lingkup masyarakat awam saja, namun ternyata para selebriti
juga mulai mengungkap pilihan mereka untuk childfree. Di Indonesia wacana ini
pertama kali muncul dan mulai di beritakan dari salah seorang muslimah yang juga
seorang Youtuber terkenal bernama Gita Savitri Devi dan suaminya Paul Andre
Partohap pada tahun 2021 yang saat itu memutuskan untuk tidak memiliki anak.
Dalam kanal youtube-nya, Gita Savitri Devi memiliki 1,26 juta subscribe yang mana
videonya berisikan opini-opini, daily vlog, dan lain-lain. Gita Savitri adalah sesosok
wanita muslimah berhijab cerdas lulusan Universitas Freiheit jurusan kimia murni,
Jerman. Gita dan suami memutuskan childfree karena mereka menganggap bahwa
memiliki keturunan bukanlah sebuah kewajiban, dan Gita mengungkapkan bahwa
finansial, pendidikan, kebudayaan dan alasan kesehatan semuanya menjadi acuan dari
gagasannya untuk melakukan childfree. Sejak saat itu, pilihan hidup childfree atau
keputusan untuk tidak memiliki anak mengalami peningkatan khususnya pada
generasi milenial di Indonesia.1
Diketahui bahwa asal usul dan fenomena childfree atau bebas anak ini
diperkenalkan oleh feminis Amerika Shirley Radl dan Ellen Peck, yang dimulai di
Palo Alto, California pada tahun 1972. Untuk melindungi hak-hak individu yang
tidak memiliki anak, Sh. Radl dan E. Peck memulai komunitas childfree pertama dan
menamakannya “National Organization for Non-Parents”. Yang kemudian berubah
nama menjadi “National Alliance For Optional Parenthood” dan berlanjut hingga
tahun 1980-an. Komunitas ini berdiri sebagai pendukung childfree dan bertujuan
untuk mendidik masyarakat tentang tidak menjadi orang tua sebagai pilihan gaya
hidup yang valid dan mendukung orang yang memilih untuk tidak memiliki anak.2
Istilah childfree itu sendiri keputusan yang diambil oleh suami istri untuk
tidak memiliki anak sejak awal menikah sampai selamanya. Padahal salah satu tujuan
pernikahan itu adalah mempunyai anak agar dapat melestarikan keturunan dan
melanjutkan pradabana. Memiliki anak adalah fitrah manusia dan salah satu
kebahagiaan orang tua adalah memiliki anak setelah menikah, betapa banyak
pasangan mandul yang sampai saat ini berusaha mengorbankan segala hal untuk
berobat agar dapat memiliki anak, pasangan mandul ini tentu sangat bersedih karena

1
Karunia Haganta, dkk, “Manusia, Terlalu (Banyak) Manusia: Kontroversi Childfreedi
Tengah Alasan Agama, Sains, dan Krisis Ekologi”, Jurnal Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi
Islam dan Sains, Vol. 4, 2022, hlm. 309-310.
2
Mariya Bicharova dkk, “Russian Childfree Community: Reality and Illusions”, Worldwide
trends in the development of education and academic research, 2015, hlm. 925-926.
mereka belum dikaruniai anak. Bahkan para Nabi ada yang belum dikaruniai anak
sampi mereka berumur tua, misalnya Nabi Ibrahim a.s dan Zakaria a.s akan tetapi
mereka tidak pernah putus asa untuk senantiasa berdo’a kepada Allah agar diberikan
keturunan.
Berdasarkan pemaharman diatas terlihat bahwa fenomena budaya childfree ini
merupakan sebuah prinsip atau pilihan hidup yang dianut oleh sekelompok orang,
yang merupakan buah pemikiran dari manusia sendiri, dan itu merupakan dampak
dari perkembangan zaman saat ini yang dijadikan pilihan hidup seseorang untuk tidak
memiliki anak sejak awal pernikahan sampai selamanya karena mereka menilai
bahwa anak merupakan beban kehidupan. Dan ini yang cenderung bertentangan
dengan fitrah manusia, maqosid syari’ah dan tujuan pernikahan. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui, bagaimana pandangan fiqih modern terhadap fenomena
childfree.
Metode Penelitian
Dalam artikel ini penulis menggunakan metodologi penelitian bersifat
kualitatif atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan yaitu dilakukan dengan
cara mengumpulkan, menganalisis, dan mengintepretasikan narasi secara
komprehensif terhadap data-data visual untuk mendapatkan wawasan yang utuh,
komprehensif, dan hilostik tentang fenomena budaya childfree. Dengan
menggunakan sebagai sumber, termasuk Al-Qur’an hadis, pendapat ulama yang
sejalan dan juga didukung oleh publikasi ilmiah misalnya jurnal, dan yang ada
diperpustakaan, buku, manuskrip dan lainnya.
Pembahasan
Dalam Islam perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, bermakna ibadah,
termasuk dalam sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung
jawab, dan mengikuti ketentuan hukum yang sudah ditetapkan. Dalam undang-
undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada bab I pasal 1 dijelaskan
bahwasanya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 3
Dalam perspektif Islam, pernikahan memiliki tujuan utama merealisasikan
penyatuan insani antara laki-laki dan perempuan dalam meneruskan (peran) khilafah,
keturunan anak cucu adam di bumi, mencetak generasi-generasi yang merealisasikan
risalah untuk terus beribadah kepada Allah dan memakmurkan bumi.4

3
Citra Umbara, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islami, edisi Kesembilan, (Bandung: Citra Umbara, 2017), hlm. 2
4
Syaikh ahmad Abdurrahim, Aku Terima Nikahnya Bekal Pengantin Menuju Keluarga
Sakinah, Mawaddah. Dan Rahmah, Cetakan 1, (Jakarta Timur: Istanbul, 2015), hlm. 23-24.
Sedangkan dalam pandangan ulama Syafi’i, tujuan menikah bukan hanya
mencapai sakinah/bahagia, melainkan tujuan utama dalam perkawinan adalah
memperoleh keturunan. Hal ini didasari dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Ibnu Hibban dan Said bin Manshur dari Anas bin Malik yaitu, “Nikahilah
perempuan yang penyayang dan memiliki anak banyak karena sesungguhnya aku
akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan Nabi nanti pada hari
kiamat kelak”.5
Belakangan ini sedang ramai menjadi perbicangan terutama di dunia maya
terkait pilihan hidup Childfree. Childfree ini merupakan sebuah keputusan antara
sepasang suami istri yang memilih untuk tidak memiliki anak, baik itu anak yang
dilahirkan sendiri dari rahim Ibunya ataupun anak angkat. Childfree di definisikan
sebagai orang yang tidak mempunyai anak dan tidak berkeinginan untuk mempunyai
anak di masa depan. Ada juga penelitian yang menjelaskan bahwa pasangan yang
memilih untuk Childfree merupakan pasangan yang berpendidikan tinggi dan
cenderung tinggal di daerah perkotaan. Justru dengan semakin tinggi pendidikan
seseorang, terkadang beberapa pasangan memutuskan untuk memilih Childfree agar
mereka bisa fokus untuk mengejar karir mereka masing-masing.6
Alasan seseorang memutuskan gaya hidup Childfree
Terdapat sejumlah sebab seseorang memutuskan untuk memilih gaya hidup
Childfree diantaranya sebagai berikut:
1. Karena Alasan Ekonomi
Beberapa pasangan memiliki tingkat ekonomi yang belum stabil sehingga
mereka khawatir akan biaya hidup yang semakin meningkat dikarenakan
inflasi,sehingga membesarkan anak akan menanggung seluruh biaya hidup anak
mulai dari pangan dan pendidikan hingga ia dewasa dan mendapat pekerjaan.
Mengurus segala hal yang berkaitan dengan anak juga memerlukan waktu yang
tidak sedikit sehingga beberapa dari penganut childfree khawatir akan
ketidakmaksimalan dalam meniti karir karena waktu yang terbagi, penganut
Childfree biasanya mereka dengan pendidikan tinggi serta karir yang bagus
sehingga mereka sering menduduki posisi-posisi tertentu dalam sebuah instansi
karena karena profesionlisme mereka.7

5
Rizqi Amalia, Childfree dalam Pandangan Istihsan, Desember (2021). Diakses melalui
https://rahma.id/childfree-dalam-pandangan-istihsan/, 15 oktober 2023.

6
Abdul Hadi dkk, “Childfree dan Childless Ditinjau Dalam Ilmu Fiqih dan Perspektif
Pendidikan Islam”, Journal of Educational and Language Research, Vol.1, No.6 Januari 2022. hlm. 2.
7
Ghea Teresa, Motif dangenerativitas Individu Childlessness, (skripsi pada Program Studi
Psikologi fakultas Psikologi tahun 2014) h.7
2. Ketidaksiapan mental
Untuk menjadi orang tua. Peran orang tua dalam pengasuhan anak
merupakan wadah pertama bagi anak, jika kondisi keluarga menyenangkan dan
edukatif tentunya akan sangat baik bagi pertumbuhan mental anak.# ref:Herviana
Muarifah Ngewa, Peran Orang tua dalam pengasuhan anak. 8 Kondisi mental
pasangan juga sangat berpengaruh bagi kualitas rumah tangga, seseorang yang
memiliki gangguan kesehatan mental terkadang cukup sulit untuk mengelola
emosi dan permasalahan sendiri, gangguan mental yang dimiliki oleh pasangan
sangat berpengaruh pada dinamika rumah tangga seperti argumentasi dan frustasi
yang berdiri sendiri biasanya akan melewati kehidupan rumah tangga dengan
kegaduhan. kesehatan mental yang tidak baik baik dapat berdampak pada perilaku
orang tua yang dikhawatirkan akan meneruskannya kepada anak melalui pola
pengasuhan.
3. Kekhawatiran akan lingkungan hidup (ranah makromos)
Penganut Childfree yang memilih dengan alasan ini adalah mereka yang
bertentangan dengan konsep antroposintrisme. antroposintrismeadalah ekosentris
yaitu sebuah konsep bahwa alam adalah pusat dan harus lebih diutamakan dari
manusia. Dimana manusia adalah makhluk istimewa melebihi kedudukan alam
yang dengan itu menjadikan manusia mengeksploitasi alam dan kerakusan
manusia membuat keadaan bumi tidak seimbang lagi, pada faktor ini sebagian
orang percaya bahwa manusia di muka bumi telah overpopulation sehingga
menambah anak akan menambah beban bumi karena setiap manusia membawa
jejak karbon yang tinggi sehingga dapat merusak dunia, permasalahan
Overpopulation memang sudah menjadi perhatian bayak pihak dan keilmuan.9
4. Obeshphobia
Ini adalah jenis gangguan kecemasan akan kenaikan berat badan yang
berdampak pada perubahan bentuk tubuh, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan Obeshophobia ini seperti stigma tentang berat badan, trauma akan
body shaming dimasa lalu.
Perempuan yang mengidap phobia jenis ini akan menghindari untuk
memiliki anak.faktor inilah yang paling banyak melatarbelakangi keputusan
Childfree hildfree membawa paham bahwa pemilik otoritas dari tubuh seseorang
adalah dirinya sendiri bukan intervensi pasangan, keluarga, maupun konstruksi
8
Jurnal Ya Bunayya, Vol. 1 No. 1 Desember 2019, h.113.
9
Karunia Haganta, Firas Arrasy, dan Siamrotul Ayu Masruroh , MANUSIA, TERLALU
(BANYAK) MANUSIA: KONTROVERSI CHILDFREE DI TENGAH ALASAN AGAMA, SAINS, DAN
KRISIS EKOLOGI, Prosiding konferensi integrasi interkoneksi islam dan sains.
sosial dan budaya. hal ini sejalan dengan konsep Body right atau Body Politic
sebagai ide yang digagas oleh feminis agar perempuan mendapatkan hak untuk
mengelola tubuh mereka sendiri. Childfree semakin banyak diminati terutama
oleh kaum perempuan karena ide-ide yang digagas oleh Feminisme dianggap
sejalan dengan kebanyakan wanita modern saat ini.
Dan mungkin ada beberapa faktorlain yang menyebabkan sepasang suami
istri memilih gaya hidup childfree yang belum penulis sebutkan di artikel ini.
Islam dan Childfree
Melihat hal tersebut, konsep childfree dalam Islam ini tidak sesuai dengan
ajaran Islam, kecuali dalam kondisi tertentu. Beberapa poin yang menjadi alasan di
antaranya:
1. Memiliki Anak adalah Fitrah Manusia
Fitrah memberi kebahagiaan pada orang tua saat memiliki anak. Banyak
pasangan mandul yang berusaha memiliki anak hinga rela mengorbankan apa saja
untuk berobat agar memiliki anak. Anak-anak adalah permata hati dan
kebahagiaan bagi mereka yang masih berada dalah fitrah. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).” (QS Ali ‘Imran: 14).
Bahkan, kesedihan belum memiliki keturunan juga dirasakan oleh para
nabi yang merupakan orang-orang pilihan Allah SWT. Mereka pun berdoa kepada
Allah SWT agar dikaruniai anak. Misalnya saat Nabi Zakaria berdoa: Artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia menyeru Tuhannya, ‘Ya Tuhanku
janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris
Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan do’anya, dan Kami
anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung.”
(QS. Al-Anbiya’: 89-90)
2. Memiliki dan Mendidik Anak Termasuk Sunah
Anas bin Malik RA berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan untuk
menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata: ‘Nikahilah wanita
yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan
berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat.” (HR Ibnu
Hibban).
3. Banyak Perintah untuk Memiliki dan Memperbanyak Keturunan
Salah satunya bahwa keturunan yang banyak adalah karunia. Sehingga
kaum Nabi Syu’aib diperingatkan tentang karunia mereka, yaitu jumlah yang
banyak padahal dahulunya sedikit sebagaimana firman Allah didalam Al-Qur’an:
Artinya: “Dan ingatlah di waktu dahulu kamu berjumlah sedikit, lalu Allah
memperbanyak jumlah kamu.” (QS Al-A’raf: 86).
4. Anak Mendatangkan Rezeki
Dengan izin Allah SWT, anak memiliki rezeki yang disebutkan oleh Allah
SWT bahwa anak terlebih dahulu diberi rezeki baru orang tuanya dan tentunya
dengan berikhtiar sebelumnya. Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan
memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS Al-Isra’: 31).
5. Anak adalah Amal Jariyyah
Memiliki anak yang saleh dan salihah akan menjadi amal jariyah yang
paling berharga, karena anak akan mendoakan ketika orang tuanya sudah
meninggal kelak. Rasulullah SAW bersabda: Artinya: “
Hasil penelitian: Respon Fiqih Modern terhadap budaya Childfree
1. Hadis tentang mengutamakakan menikahi wanita yang subur dan daripada
wanita mandul
Sebagaimana didalam subuah hadis Al-Nasa’i diterangkan yang Artinya :”
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahman ibn Khalid berkata, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibn Harun berkata, telah memberitakan kepada
kami Al Mustalim ibn Sa’id dari Mansur ibn Zadan dari Mu’awiyah ibn Qurrah
dari Ma’qil ibn Yasar berkata: “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan
berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah jatuh cinta kepada seorang wanita kaya dan
terhormat, hanya saja dia tidak melahirkan anak. Bolehkah aku menikahinya?”
Rasulullah melarangnya. Kemudian ia datang lagi kepada beliau dan bertanya lagi
tentang hal itu. Dan beliau tetap melarangnya dan bersabda: “Kawinlah dengan
wanita yang dapat melahirkan anak yang banyak dan yang penuh cinta pada
suami, karena pada hari kiamat aku akan membanggakan besarnya jumlah
umatku di hadapan nabi-nabi yang lain."10
Dalam hadis tersebut dikisahkan seorang laki-laki datang kepada Nabi
SAW untuk menanyakan suatu hal. Laki-laki itu bertanya bahwa dia menyukai
wanita yang kaya dan terhormat tapi dia tidak bisa melahirkan anak. Sehingga
Rasulullah melarang menikahinya dan menyarankan untuk menikah dengan
10
Abu Dawud Sulaiman bin ala‘yasy, Sunan Abi Dawud, Juz II (Beirut: almaktabah
al-‘asriyah,t.th ) h.220
wanita yang subur yang dapat memberikan keturunan bagi mereka. Hal tersebut
dianjurkan oleh Nabi SAW karena beliau akan membanggakan umatnya yang
banyak di hadapan umat nabi-nabi terdahulu pada hari kiamat kelak.
2. Hadis tentang anak sebagai pelindung dari api neraka
Salah satu faidah bagi orangtua yang memiliki anak, yakni dapat menjadi
pelindung baginya dari api neraka dan dapat mengangkat derajat orangtuanya di
surga kelak. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa seorang wanita
memiliki dua anak perempuan, dan hingga akhir kisah ini ketika Aisyah
radhiyallahu ‘anha menceritakan hal itu kepada Nabi Muhammad shalallahu
alaihi wassalam, beliau bersabda :“Barang siapa mendapat suatu ujian dari anak-
anak perempuan ini, lalu ia tetap memperlakukan mereka dengan baik, kelak
mereka akan menjadi penghalang baginya dari neraka.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda :“Sungguh Allah benar-
benar akan mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga”, maka
ia pun bertanya, “Wahai Tuhanku bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab,
“Berkat istighfar anakmu bagi dirimu” (HR. Ahmad)
Bahkan keistimewaan juga didapatkan bagi orangtua yang mengalami
keguguran. Ali radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam bersabda: “Sesungguhnya bayi yang gugur benar-benar akan
memprotes Rabbnya bila kedua orangtuanya dimasukkan ke dalam api neraka.
Hingga dikatakan kepadanya, ‘Wahai bayi yang gugur yang memprotes Rabbnya,
masukkanlah kedua orangtuamu ke dalam surga.’ Ia pun menarik keduanya
dengan tali pusarnya untuk dimasukkan ke dalam surga.”
Selain keutamaan di atas, memiliki keturunan juga dapat menjadi
penyelamat di akhirat ketika orangtua sudah meninggal, yakni amalan yang tidak
terputus yang berarti seorang anak tetap dapat menghadiahkan sesuatu kepada
orangtua yang sudah meninggal.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
shalallahu alaihi wassalam bersabda :“Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim).11

3. Hadist tentang larangan kekhawatiran akan mengurus Anak

11
Abu Dawud Sulaiman bin ala‘yasy, Sunan Abi Dawud, Juz II(Beirut: almaktabah
al-‘asriyah, t.th) h.117
Dalam sebuah riwayat hadis Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul
Firdaus dari hadits Abu Sa’id bahwa Rasulullah bersabda:Artinya, “Siapa saja
yang tidak menikah karena khawatir kesulitan mengurus anak istri maka tidak
termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.”
Dari semua hadist-hadist diatas Lalu bagaimana mungkin para penganut
tren childfree ini akan mendapatkan keutamaan-keutamaan ini jika memilih untuk
tidak memiliki keturunan.
Memutus Fungsi Reproduksi Melalui Childfree
Kesepakatan suami-istri untuk tidak punya anak dari pernikahannya dilakukan
dengan berbagai cara. Ada cara yang dilarang dan ada yang tidak. Karenanya dilihat
dari cara suami-istri merealisasikan pilihan childfree terdapat dua hukum. boleh bila
sekadar menunda kehamilan atau mengatur jarak anak dengan sebab-sebab tertentu;
dan haram bila dengan mematikan fungsi reproduksinya secara total. Sebagaimana
pendapat Syekh Ibrahim Al-Bajuri: “Demikian pula seperti hukum lelaki
menghilangkan syahwat seksual dengan cara mengonsumsi kafur t hayyar, yang
makruh bila hanya berdampak mengurangi syahwat dan haram bila berdampak
menghilangkannya secara total” beliau juga meneruskan “hukum perempuan
menggunakan atau mengonsumsi sesuatu yang memperlambat kehamilan atau
membuatnya tidak bisa hamil secara total, maka hukumnya makruh untuk yang
pertama dan haram untuk yang kedua.” (Ibrahim Al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ
Ibni Qasim Al-Ghazi).
Mengampayekan childfree sebagai ideologi
Berkaitan hal ini, pemikiran Sayyid Muhammad Muhammad bin Alawi al-
Maliki pada kasus yang kasus pembatasan keturunan atau tahdîdun nasl dapat
dijadikan referensi. Dalam kasus pembatasan keturunan atau pembatasan anak,
Sayyid Muhammad memilah antara pembatasan keturunan karena kondisi personal
pasangan suami-istri, dan pembatasan keturunan karena dijadikan sebagai prinsip
hidup semacam ideologi yang dikampanyekan agar orang lain untuk mengikutinya.
Pertama, pembatasan keturunan dalam konteks personal pasangan suami-istri atau
dharûrah syakhsiyyah karena alasan-alasan tertentu, Sayyid Muhammad tidak
mempermasalahkannya, karena hal itu merupakan pilihan hidup yang diserahkan
kepada masing-masing pasangan suami-istri. Mereka lebih tahu kondisi rumah tangga
sebenarnya. Apakah pasangan tersebut ingin menunda punya anak dahulu di awal-
awal pernikahannya karena alasan tertentu; apakah mereka merencanakan punya anak
dua, satu, atau bahkan memilih tidak punya anak sama sekali; semuanya tidak
masalah, selama berangkat dari motif atau dan dengan cara yang dapat diterima fiqih
Islam. Kedua, pembatasan keturunan dalam konteks menjadikannya sebagai mabda’
atau prinsip hidup semacam ideologi, atau menganggapnya sebagai akhlak terpuji. Di
sinilah Sayyid Muhammad sangat menolaknya. Beliau berkata: “Prinsip yang saya
anut dan saya gunakan sebagai sikap beragama kepada Allah Ta’ala adalah sungguh
pemikiran pembatasan keturunan sebagai prinsip hidup merupakan pemikiran ateisme
yang keji, tipu daya zionis yang sangat nyata dan mencolok.
Pemikiran itu meracuni sebagian orang-orang yang terkena fitnah dari
kalangan tokoh-tokoh beragama. Lalu mereka mengampanyekan pemikiran tersebut
dan semangat mengajak orang untuk mengikutinya dengan dalih prihatin terhadap
kondisi ekonomi bangsa Arab dan umat Islam, serta dengan dalih melindungi
masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, dan penyakit yang semakin bermunculan
seiring bertambahnya populasi manusia.”
Sayyid Muhammad menegaskan bahwa sebagian orang yang terpengaruh
pemikiran seperti itu pada hakikatnya sedang mengalami kebodohan dan kelemahan.
Sebab bila alasannya adalah keprihatinan terhadap kondisi kemiskinan, kebodohan,
dan masalah kesehatan masyarakat, semestinya yang wajib mereka lakukan adalah
mengoptimalkan semangat dan pemikiran mereka untuk menanggulanginya. Lalu
menggunakan kemahiran menulis untuk membahas cara penanggulangannya, yang di
antaranya dengan mengajak masyarakat untuk kembali pada ilmu pengetahuan
dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, membuka seluas-luasnya
kesempatan riset atau penelitian, dan mendorong orang-orang muda untuk aktif dalam
berbagai bidang ini.
Selain itu juga mendorong orang kaya dan konglomerat untuk menggunakan
hartanya demi kepentingan publik; mengampanyekan kesadaran atas urgensi
kesehatan secara sempurna dan menyeluruh, di mana hal tersebut dapat menjaga
kesehatan masyarakat, membuat mereka peduli terhadap berbagai sarana-sarana
medis, memenuhi berbagai sebab dan upaya kesehatan, baik yang bersifat preventif
pencegahan, maupun yang bersifat represif pengobatan. (Al-Hasani, Adabul Islâm:
160).
Pemikiran Sayyid Muhammad tentang pembatasan keturunan atau tahdîdun
nasl, yaitu tidak boleh dalam konteks menjadikannya sebagai prinsip hidup; dan
boleh bila dalam konteks personal, hemat penulis dapat diterapkan dalam kasus Azal.
Sama-sama menolak wujudnya anak. Bila pendapat fiqih ini dapat diterima, maka
dapat dirumuskan, sebagaimana pembatasan keturunan dalam konteks menjadi
prinsip hidup semacam ideologi (mabda’) dan dikampanyekan hukumnya dilarang,
demikian pula childfree. Karenanya, tidak boleh menjadikan childfree sebagai prinsip
hidup atau ideologi, mengampayekan dan mempromosikannya agar diikuti orang
lain. Lain halnya childfree dalam konteks pertimbangan personal, semisal karena
kekhawatiran beban finansial yang dapat menjerumuskan orang pada pekerjaan-
pekerjaan haram, alasan genetik dan semisalnya, maka tidak masalah, sebagaimana
tahdîdun nasl dalam konteks personal juga tidak menjadi problem. Berkaitan hal ini
Sayyid Muhammad menegaskan: Artinya, “Yang terpenting pembatasan keturunan
itu tidak menjadi prinsip hidup, atau tidak menjadi pemikiran yang dikampanyekan
untuk diikuti, atau dipromosikan kepada orang banyak.” (Al-Hasani, Adabul Islâm:
161).
Kesimpulan
Dari sekian banyak pemaparan diatas maka penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal yakni:
1. childfree disini merupakan sebuah prinsip atau pilihan hidup yang dianut oleh
sekelompok orang, yang merupakan buah pemikiran dari manusia sendiri, dan
itu merupakan dampak dari perkembangan zaman saat ini yang dijadikan
pilihan hidup seseorang untuk tidak memiliki anak seumur hidup mereka,
karena mereka menilai bahwa anak merupakan beban kehidupan. Bahwa
fenomena budaya childfree ini adalah budaya orang barat yang sudah ada
sejak sebelum tahun 1901, Komunitas ini berdiri sebagai pendukung childfree
dan bertujuan untuk mendidik masyarakat tentang tidak menjadi orang tua
sebagai pilihan gaya hidup yang valid dan mendukung orang yang memilih
untuk tidak memiliki anak.

2. Jika dilihat secara konteks dari dalil Al-Qur’an maupun hadist bahwa hukum
childfree ini sebenarnya tidak ada secara tegas diterangkan didalam Al-Qur’an
maupun hadist akan tetapi jika dihubungkan dengan Sekilas hal ini tentu
bertentangan dengan ajaran Islam yang menjadikan pernikahan sebagai
perantara untuk memiliki keturuanan. Bahkan menjadikannya sebagai salah
satu tujuan utama syari’at (maqoshidus syari’ah) yaitu Hifdzun nasl (menjaga
keturunan).

3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menunda memiliki keturunan untuk


sementara waktu (Childfree muwaqqat) atau isitilah fqih disebut ‘azl
(Mengelurkan Sperma Diluar Vagina Istri) diperbolehkan bahkan dianjurkan,
dengan kondisi dan alasan Teretentu. sedangkan menolak kelahiran anak
untuk selamanya (Childfree Mu’abbat) bertentangan dengan maqosid syari’ah
apalagi menggunakan alat-alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang
berpotensi mengakibatkan kemandulan secara permanen (kebiri).
Daftar Pustaka
Al-Syaharanfuri, Ahmad , bazlulmajhud fi halli sunan abi dawud, Bairut: Dar al
basair al-Islamiyah Juz VII, 1987
Al-Maliki al-Hasani, Muhammad bin Alawi, Adabul Islâm fî Nizhâmil Usrah,
Surabaya, Haiatush Shafwah al-Mâlikiyyah, 2007
Abdurrahim, Syaikh ahmad, Aku Terima Nikahnya Bekal Pengantin Menuju
Keluarga Sakinah, Mawaddah. Dan Rahmah, Cetakan 1, Jakarta Timur:
Istanbul, 2015
Amalia, Rizqi, Childfree dalam Pandangan Istihsan, Desember (2021). Diakses
melalui https://rahma.id/childfree-dalam-pandangan-istihsan/, 15 oktober
2023.

Abdul Hadi dkk, “Childfree dan Childless Ditinjau Dalam Ilmu Fiqih dan Perspektif
Pendidikan Islam”, Journal of Educational and Language Research, Vol.1,
No.6 Januari 2022
Bicharova dkk, Mariya, “Russian Childfree Community: Reality and Illusions”,
Worldwide trends in the development of education and academic research,
2015
bin isa al-Tirmidzi, Muhammad Al-Jami’ al-shahih Sunan al-Tirmidzi
Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2013
Jurnal Ya Bunayya, Vol. 1 No. 1 Desember 2019
Karunia Haganta, dkk, “Manusia, Terlalu (Banyak) Manusia: Kontroversi Childfreedi
Tengah Alasan Agama, Sains, dan Krisis Ekologi”, Jurnal Prosiding
Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, Vol. 4, 2022
Karunia Haganta, Firas Arrasy, dan Siamrotul Ayu Masruroh , MANUSIA,
TERLALU (BANYAK) MANUSIA: KONTROVERSI CHILDFREE DI
TENGAH ALASAN AGAMA, SAINS, DAN KRISIS EKOLOGI, Prosiding
konferensi integrasi interkoneksi islam dan sains.
Sulaiman bin ala‘yasy, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II Beirut: almaktabah
al-‘asriyah.
Sulaiman bin ala‘yasy, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II Beirut: almaktabah
al-‘asriyah
Teresa, Ghea, Motif dangenerativitas Individu Childlessness, skripsi pada Program
Studi Psikologi fakultas Psikologi tahun 2014
Umbara, Citra , Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islami, edisi Kesembilan, Bandung: Citra Umbara, 2017
Tunggono, Victoria , Childfree & Happy Yogyakarta; Buku Mojok Group,2021

Anda mungkin juga menyukai