BAB II
MODEL PENELITIAN
awalnya merariq merupakan istilah untuk sebuah tindakan membawa lari seorang
masyarakat adat sasak. Merariq Kodeq terdiri atas 2 kata yaitu “merariq” dan
“kodeq” dimana merariq diartikan sebagai menikah dan kodeq merupakan bahasa
sasak dari kecil (usia dini). Jadi merariq kodeq dapat diartikan sebagai sebutan
lain dari pernikahan dini yang sering dijumpai di seluruh daerah di Indonesia
Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa usia ideal untuk menikah
adalah 21 tahun. Pernikahan yang terjadi antara perempuan berusia 16 tahun dan
tentang perlindungan anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari pernikahan
9
10
sanksi pidana, sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam
bentuk perkawinan. Proses yang lebih dikenali oleh para informan sebagai
pacaran ini, dalam konsep adat disebut midang, yaitu kunjungan seorang laki-laki
lain dan bisa jadi digunakan kedua belah pihak untuk mengembangkan konsep
keluarga seperti apa yang akan dibangun bersama. Dalam proses midang
memungkinkan peran sang ayah yang cukup dominan pada anak perempuannya,
namun keputusan merariq yang akan dilakukan anak perempuan tersebut adalah
otonom berada pada diri si perempuan itu sendiri, jika ditelisik secara lebih jauh,
sebenarnya tetap ada dominasi ayah dalam proses midang ini. Sebagaimana
cara merariq, harus juga dilihat dari relasi yang terbangun antara perempuan
dengan laki-laki yang mengajaknya merariq, hal ini menjadi bagian yang penting
11
Kecurigaan ini terbukti dari data yang diperoleh, bahwa merariq pada
bahwa inisiatif merariq datang dari laki-laki, perempuan berada di pihak yang
tertekan, dan terancam. Beberapa perempuan menyatakan bahwa jika dirinya tidak
menikah dengan perempuan lain. Tidak ada peluang negosiasi sama sekali,
mengenal suaminya dari proses telepon nyasar, lalu berpacaran melalui telepon
perempuan tersebut. Selang satu bulan berikutnya dia diajak bertemu pertama kali
di depan masjid desa, dan saat bertemu langsung dibawa pulang laki-laki tersebut
untuk merariq. Gadis tersebut yang tidak berani untuk tidak datang karena sehari
sebelumnya si laki-laki telah mengirimkan sms berisi pesan bahwa jika dirinya
khawatir, padahal mau tamat sekolah dulu, karena waktu itu sudah kelas 2
SMP”. Akad nikah si gadis berlangsung beberapa hari kemudian, namun selang
beberapa bulan berikutnya gadis tersebut diceraikan, hal senada terjadi pada
dengan dalih ingin mengajak bertemu, jalan-jalan, atau menonton suatu acara,
ini adalah pengalaman seorang gadis yang membuat janji bertemu bukan untuk
layar tancap, tetapi kemudian tidak diperbolehkan pulang oleh si laki-laki dengan
merasa tidak enak menolak atau dilakukan karena ingin sang laki-laki tidak marah
pada dirinya, akhirnya si perempuan bersama laki-laki tersebut hingga malam hari
malam, untuk menghindari sanksi adat, dirinya terpaksa memilih untuk tidak
pulang sekalian ke rumah dan mau diajak merariq. Inilah yang kerap kali
menyebabkan banyak anak dibawah umur yang terjebak dalam adat merariq,
yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai
perasaan heroik tersendiri bagi para pelakunya. Hal ini karena ia berani dan
penolakan dari orang tuanya sendiri. Oleh karena itu, berani melakukan kawin lari
merupakan simbol maskulinitas yang diharapkan ada pada setiap lelaki sasak.
Lombok, penjelasan standar orang sasak adalah, inilah adat istiadat mereka.
Ketika ditanya lebih lanjut, mereka menjawab bahwa praktek itu menawarkan
kesempatan bagi seorang anak muda untuk menunjukkan kejantanannya dan dari
situ bisa diukur kepantasannya sebagai seorang suami di masa depan. Seorang
laki-laki yang memilih untuk tidak melakukan kawin lari dianggap kurang jantan
karena dia tidak mampu membuktikan bahwa dirinya berani menghadapi bahaya.
pandangan bahwa anak perempuan yang diculik akan menaikkan harga diri
keluarga daripada anak perempuan yang dilamar atau diminta. Karena menurut
mereka, apabila anak perempuan diculik berarti anak perempuan tersebut sangat
perumpamaan hal ini dengan sebuah benda atau hewan ternak. Apabila sebuah
benda tidak memiliki nilai yang tinggi maka benda tersebut bisa diminta. Tetapi
apabila suatu benda memiliki nilai yang sangat tinggi maka tidak lazimlah untuk
diminta, sehingga jalan pintas untuk memilikinya adalah dengan mencuri atau
menculiknya.
yang terkandung dalam praktik kawin lari (merariq) di pulau Lombok. Pertama,
prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merariq) dipahami dan diyakini sebagai
bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar
keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai
menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori
dan mental masyarakat tertentu di lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak
perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari
(merariq). Kedua, superioritas lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak
bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merariq) adalah seseorang lelaki tampak
sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon
istri. Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan
memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain
15
kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa
kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan
dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak
keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejati,
Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke.
Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam
sepanjang acara mbaitwali. Ada indikasi kuat bahwa orang tua telah merasa telah
membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha
tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul
sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut
16
memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan
tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang
Dalam hal ini faktor penyebab dari pernikahan dini dibagi dalam 2
kelompok.
1. Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah pada orang tua, anak dan juga
Jika seorang anak telah berhenti sekolah diusianya yang wajib sekolah dapat
berdampak pada perilaku mereka yang diluar kendali, hal ini disebabkan
karena mereka sudah tidak terkontrol lagi dari lingkungan sekolah tempat
mereka biasa melakukan rutinitas sehari-hari yang dalam masa wajib sekolah,
dengan usia nikah yang hasilnya adalah sebanyak 89,1% yang menikah usia
dini berpendidikan rendah (SD dan SMP) sehingga memiliki hubungan yang
2. Pengetahuan
manfaat dan kebenaran dari apa yang dilakukan, serta dorongan untuk
2012). Seperti halnya dengan penelitian oleh Pakal (2012) yang menunjukkan
bahwa pengetahuan kurang memiliki resiko 3,2 kali lebih besar untuk
2012).
3. Ekonomi
miskin memiliki resiko 3,1 kali lebih besar terhadap terjadinya pernikahan
4. Lingkungan
tertentu, bisa mengarah ke hal yang baik atau mengarah kepada keadaan yang
buruk. Hal ini tergantung dari penerimaan masing-masing individu dan juga
selayaknya suami istri menyebabkan para orang tua dari anak perempuan
anaknya sudah tidak perawan dan hal ini menjadi aib (Zulfa,2013). Penelitian
yang dilakukan oleh Pakal (2012) dengan hasil hamil di luar nikah memiliki
risiko 5,1 kali lebih besar terhadap terjadinya pernikahan usia dini (Zulfa,
2013).
1. Adat istiadat
masih dibawah umur dan tanpa restu orang tua, sehingga marak kasus
yang didapatkan dari orang tua mengenai hubungan yang dijalani sehingga
Jumhuriatul (2009) dalam hal ini merariq dijadikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan tertentu misalnya saja dilakukan karena orang tua tidak
(Jumhuriatul, 2009).
3. Ketidaktahuan perempuan
ada yang mengenal suaminya dari proses telepon nyasar, lalu berpacaran
midang ke rumah gadis tersebut, selang satu bulan berikutnya diajak bertemu
pertama kali di depan masjid desa, dan saat bertemu langsung dibawa pulang
20
laki-laki tersebut untuk merariq. Gadis tersebut tidak berani untuk tidak
pesan bahwa jika dirinya tidak datang maka si laki-laki akan merariq dengan
(Jumhuriatul, 2009).
4. Awig-awig adat
sepasang laki-laki dan perempuan keluar tanpa izin dan pulang melewati
batas waktu bertamu jam 10 malam, maka orang tua dari anak gadis tersebut
yang sudah diculik jika dikembalikan ke orang tuanya merupakan suatu aib
bagi keluarganya, apabila tidak ada persetujuan wali perempuan maka sanksi
sehingga orang tua biasanya merelakan saja anaknya yang telah diculik,
walaupun dengan terpaksa dan dengan keadaan putrinya yang masih dibawah
Reproduksi
Dampak dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah pengaruh kuat yang
pernikahan yang dilakukan oleh wanita yang berusia di bawah 16 tahun dan pria
di bawah usia 19 tahun. Jadi dapat disimpulkan bahwa dampak pernikahan dini
adalah pengaruh kuat dari pernikahan yang mendatangkan akibat baik negatif
Secara fisik tidak ada yang salah dengan umur yang ditentukan oleh
undang-undang. Bahkan yang menikah di usia dini pun tidak ada masalah. Hanya
dampak yang terjadi. Pada usia tersebut dari segi fisik seseorang umumnya sudah
menstruasi dan pada pria ditandai dengan mimpi basah. Artinya pada usia ini
salah satu tujuan menikah. Namun perlu diketahui bahwa pernikahan yang
Dampak bagi kesehatan reproduksi sering terjadi pada para wanita saat
mengalami kehamilan dan persalinan. Kehamilan yang terjadi pada usia remaja
22
memiliki resiko yang terbilang tinggi, dikarenakan pada usia remaja alat
umur 20 tahun baru siap dalam memaksimalkan fungsinya, yang juga berkaitan
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Afriani, 2016) dampak pada
kesehatan remaja putri yang sedang hamil dapat terjadi hiperemesis dan anemia,
pada persalinan dapat terjadi dengan bantuan alat, dan kondisi anak saat lahir
dapat terjadi BBLR dan dampak tidak memperoleh ASI Eksklusif, begitu pula
dengan penelitian oleh (Zulfa, 2013) tentang “Resiko Pada Remaja Akibat
Pernikahan Dini” jika dilihat dari sisi kesehatan, hamil diusia muda dapat
berpengaruh pada derajat kesehatan ibu dan anak serta berpengaruh secara tidak
langsung pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi baru lahir.
sebagai berikut: 1) Pernikahan dini merupakan salah satu faktor keganasan mulut
Rahim dimana wanita yang hamil pertama dengan umur kurang dari 17 tahun
memiliki resiko 2 kali untuk mengalami kanker serviks pada usia tua
signifikan antara wanita dengan riwayat menikah usia dini dengan kejadian
kanker serviks yang memiliki resiko 8,4 kali lebih besar dari wanita yang tidak
menikah usia dini (p=0,002; OR=8,442) (Ratna, 2013). 2) Kematian bayi dan
abortus. Kejadian ini dua sampai tiga kali lebih tinggi pada kelompok usia dini
23
daripada wanita berusia lebih dari 25 tahun karena remaja biasanya lebih lambat
kehamilan dalam hal ini preeklamsi dan eklamsi bisa terjadi akibat alat reproduksi
yang belum matang untuk hamil disertai anemia. Preeklamsi dan Eklamsi salah
satu penyebab kematian ibu dan bayi sehingga diperlukan perhatian khusus
(Bobak, 2004). 4) Mudah terkena penyakit infeksi. Keadaan gizi yang buruk
yang berlangsung lama dan disertai komplikasi pada ibu dan juga janin. Hal ini
berkaitan dengan gizi ibu selama hamil yang dapat menyebabkan kelainan letak
pada janin, kelainan bentuk panggul, kelainan his serta salah dalam mengejan
kira-kira 70% wanita hamil menderita anemia. Anemia saat hamil muda
(Endjun, 2002). 7) Berat bayi lahir rendah. Usia remaja beresiko dalam
dengan berat lahir rendah (BBLR). Studi di New York menunjukkan berat bayi
lahir berkurang 200-400 gram pada ibu yang melahirkan usia kurang dari 15 tahun
dibanding 19-30 tahun, hal ini merupakan resiko ringgi dalam proses kehamilan
kandungan kurang sempurna yang berakibat pada saat dilahirkan mengalami cacat
24
pada pernikahan usia muda. Kedewasaan seseorang memang tidak dilihat dari
usia, ada orang yang usia muda tetapi sudah dewasa atau bahkan sebaliknya.
Namun pada umumnya seseorang yang berusia 15 dan 18 tahun belum dapat
dikatakan dewasa secara psikologis. Pada usia itu seseorang masih digolongkan
kematangan dalam berpikir maka ia belum dewasa. Oleh sebab itu pasutri muda
Akibatnya adalah mereka mengalami stres dan frustrasi yang bisa berujung pada
Jika pasangan berpikir negatif maka akan memberikan dampak negatif pula,
2. Adaptasi dengan status baru sebagai kepala keluarga dan ibu rumah
tangga.
memberi dampak pada segi psikologis. Menerima perubahan status dari lajang
menjadi ibu rumah tangga atau kepala keluarga memang tidak mudah.
Terlebih pada pasangan yang menikah di usia muda. Faktor usia yang masih
yang belum matang, dan sikap egois dapat memberikan dampak negatif bagi
pasangan muda (Walgito, 2004). Dampak negatif yang dihasilkan antara lain
anak.
26
4. Mengatasi emosi
ketahui remaja masih memiliki emosi yang belum matang dan memiliki sifat
sesuatu dari sudut pandang orang lain (Santrock, 2003:122). Hal ini tentu
mempengaruhi remaja dalam mengatasi emosi. Salah satu hal yang merupakan
mengatasi emosi adalah mengatur marah. Marah adalah perasaan emosi yang
negatif. Jika seseorang dapat mengatasi emosinya dengan baik maka ia juga
Pada pasangan yang menikah muda, usia yang masih tergolong remaja
tentu memberi pengaruh dalam diri mereka yaitu belum mampu mengatur
emosi dengan baik. Hal ini dapat memberikan dampak negatif bagi pasangan
suami istri yang mungkin berujung pada hal-hal yang tidak dinginkan.
Dampak negatif yang mungkin muncul adalah stres dan keinginan untuk
bercerai.
Hal baik dan kurang baik dari pernikahan usia muda memberi dampak
muda. Hasil pemikiran para pasangan suami istri akan menunjukkan dampak
apa yang mereka alami. Hasil pemikiran ini juga menunjukkan seberapa tinggi
tingkat kematangan berpikir para pasangan muda ini. Dampak negatif yang
umumnya terjadi adalah munculnya pemikiran dan perasaan takut dan ragu.
27
Dilihat dari segi sosial ekonomi, usia juga memberi pengaruh dalam
dorongan untuk mencari nafkah kehidupan (Walgito, 2004). Hal yang paling
Umumnya ada sebagian pasangan muda yang belum siap secara sosial ekonomi.
Sebagian dari mereka ada yang belum bekerja dan masih menggantungkan
hidupnya pada orangtua. Hal ini dapat berdampak negatif bagi pasutri muda
tidak menjelaskan apakah pada usia itu orang sudah dikatakan dewasa atau belum.
memikirkan apakah menikah perlu menunggu usia dewasa atau tidak. Bagi
mereka jika seorang anak sudah dipandang layak untuk menikah, maka akan
dinikahkan. Seperti yang terjadi pada masyarakat sasak, budaya yang kuat serta
muda. Bagi mereka jika sudah melaksanakan pernikahan sesuai adat maka
28
anak dilindungi oleh undang-undang. Jika pernikahan dini terus dilakukan, maka
masa remajanya yang sangat berharga. Hal ini dikarenakan pemerintah kurang
dari lahir melainkan hasil dari pembentukan yang dipengaruhi oleh adat istiadat,
budaya, sosial ekonomi, tempat dan norma-norma yang berlaku di suatu daerah.
Secara sosial kaum wanita masih dianggap mahluk yang lemah dan harus
maskulinitas atau yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi
Sasak.
29
perempuan sasak. Praktek ini setidaknya melanggar dua hak mereka, yaitu hak
untuk menentukan sendiri siapa yang akan menjadi suami mereka dan hak untuk
remaja putri dapat memberi tanggungjawab dan beban melampaui usianya. Belum
lagi jika remaja putri mengalami kehamilan, menempatkan mereka pada risiko
tinggi terhadap kematian. Remaja putri juga berisiko terhadap pelecehan dan
kekerasan seksual, yang bisa terjadi di dalam rumah sendiri maupun diluar rumah.
Merariq secara etimologis diambil dari kata lari atau berlari dan secara
terminologis merariq mengandung dua arti, pertama lari ini merupakan arti yang
ini budaya merariq sering salah digunakan sebagai wahana menculik seorang
gadis untuk dinikahi dengan atau tanpa paksaan dengan usia yang masih dibawah
Dalam penelitian ini dilihat dari kategori usia pasangan yang beragam. Konsep ini
mengetahui tentang usia yang baik untuk menikah serta dampak yang akan
pengetahuan maka akan menghasilkan sebuah perilaku yang akan bertahan lama
atau melekat pada individu tersebut. Seseorang yang memiliki persepsi positif
terhadap sesuatu, maka individu tersebut akan berperilaku yang positif terhadap
hal tersebut. Pada penelitian ini ingin diketahui bagaimana pandangan remaja
mengenai pernikahan dini dilihat dari konsekuensi yang dihadapi dan keuntungan
ini adalah segala sesuatu yang mendorong remaja tersebut memutuskan untuk
menikah dini. Hal ini dapat dipengaruhi oleh keyakinan (belief), sikap (attitude),
kehendak (intention) dan perilaku (behavior) tentang perkawinan usia dini. Selain
itu alasan seseorang melakukan perkawinan usia dini juga bisa berasal dari dalam
diri sendiri seperti niat, persepsi seseorang terhadap perkawinan usia dini dan
menganggap posisi perempuan berada pada posisi lemah dan menerima semua
keputusan serta perubahan peran seorang perempuan sebagai laki-laki yang harus
31
meneruskan garis keturunan keluarga. Sedangkan dari luar diri sendiri seperti
dorongan sosial ekonomi, dorongan orang tua, dominasi struktur sosial, adat
Peran orang tua dalam penelitian ini adalah tanggapan orang tua terhadap
pernikahan dini yang dilakukan oleh anaknya baik yang sifatnya mendorong
maupun menghambat.
Peran tokoh-tokoh masyarakat antara lain tokoh agama, tokoh adat dan
Dampak adalah akibat dari suatu kejadian, yang dapat berakibat baik
maupun buruk. Dalam penelitian ini dilihat dampak dari segi kesehatan
reproduksi.
(TRA) dengan menambah sebuah kontruk yakni kontrol perilaku, dimana dalam
implikasi tindakan yang dilakukan, selain itu untuk mengontrol perilaku individu
kekurangan sumber daya yang digunakan untuk melakukan perilakunya (Hsu dan
Chiu, 2002).
sentral dari perilaku individu adalah bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh niat
berperilaku dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1) sikap (attitude), (2) norma
behavior control).
33
Background
Factors
Attitude
Individual Behavior toward the
Personality Beliefs Behavior
Mood, emotion
Intelligence
Values,
stereotypes
Experience
Normativ Subjective Intention Behavio
Social e Beliefs Norm r
Education
Age, gender
Income
Religion
Race, ethnicity
Culture, laws
Control Perceived
Information Beliefs Behavior
Knowladge Control
Media Actual
Intervention Behavior
Control
perilaku, namun ketika dihadapkan pada suatu kejadian tertentu, hanya sedikit
1991). Keyakinan yang menonjol ini dapat dibedakan menjadi pertama, behavior
belief yaitu keyakinan individu akan hasil suatu perilaku dan evaluasi atas hasil
terhadap harapan normatif orang lain yang menjadi rujukannya seperti keluarga,
teman dan orang-orang sekitar serta motivasi untuk mencapai harapan tersebut.
34
Harapan normatif ini membentuk variabel norma subjektif (subjective norm) atas
suatu perilaku. Ketiga adalah control belief yaitu keyakinan individu tentang
behavior control). Dalam TPB, sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol
sebagai secara positif maupun negatif. Teori Perilaku Terencana atau TPB
didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kategori personal, sosial dan
Keyakinan Perilaku:
1. Persepsi terhadap Sikap
pernikahan dini terhadap
(Keuntungan dan pernikahan
kerugian, dini
Konsekuensi
Faktor yang yang terjadi)
melatarbelakangi :
- Pendidikan
Keyakinan Normatif: Keyakinan
1. Dukungan orang- Alasan/niat
- Sosial ekonomi terhadap
orang terdekat untuk
orang-orang Pernikahan
2. Keyakinan melakukan
- Keyakinan (ajaran terdekat dan dini
terhadap pernikahan
agama atau norma) pasangan
pasangan dini
Gambar 2.4 Model Penelitian ini menggunakan Teori of Planned Behavior oleh Icek Ajzen
kerugian atas konsekuensi yang terjadi akibat dari pernikahan dini, baik
terhadap pilihan menikah dini, sikap tidak secara langsung menentukan perilaku
penting baginya untuk mendukung atau tidak mendukung pernikahan dini serta
peran/ kesetujuan dan atau ketidaksetujuan yang berasal dari orang-orang yang
berpengaruh bagi individu seperti orang tua, pasangan, teman, masyarakat sekitar
terhadap perilaku. Individu yang percaya bahwa akan mendapat dukungan untuk
persepsinya terhadap pernikahan dini. Selain faktor sikap dan norma subjektif
yang juga mempengaruhi perilaku pernikahan dini yakni kontrol terhadap perilaku
(perceived behavior control) yakni kepercayaan individu mengenai ada atau tidak
pernikahan dini, informasi yang dimiliki tentang pernikahan dini, dan juga
yakni pendidikan, sosial ekonomi, keyakinan, sosial budaya dan adat istiadat, dan
belief dan pada akhirnya berpengaruh juga pada intensi dan tingkah laku. Selain