Anda di halaman 1dari 29

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Merariq dan Pernikahan Dini

Pada perkembangannya, terjadi perluasan makna dari kata merariq,

awalnya merariq merupakan istilah untuk sebuah tindakan membawa lari seorang

gadis dengan maksud untuk dinikahi, namun selanjutnya istilah merariq

digunakan secara luas untuk menyebutkan seluruh rangkaian pernikahan dalam

masyarakat adat sasak. Merariq Kodeq terdiri atas 2 kata yaitu “merariq” dan

“kodeq” dimana merariq diartikan sebagai menikah dan kodeq merupakan bahasa

sasak dari kecil (usia dini). Jadi merariq kodeq dapat diartikan sebagai sebutan

lain dari pernikahan dini yang sering dijumpai di seluruh daerah di Indonesia

termasuk Nusa Tenggara Barat (NTB). Usulan perubahan Undang-Undang

Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa usia ideal untuk menikah

adalah 21 tahun. Pernikahan yang terjadi antara perempuan berusia 16 tahun dan

laki-laki berusia 19 tahun menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23

Tahun 2002, termasuk pada golongan pernikahan dini (Undang-Undang

Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974).

Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

tentang perlindungan anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari pernikahan

dini, tetapi pasal ini sebagaimana undang-undang pernikahan tanpa ketentuan

9
10

sanksi pidana, sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam

melindungi anak-anak dari ancaman pernikahan dini.

Merariq dalam praktik masyarakat sasak merupakan bagian dari sebuah

proses perkawinan yang dilakukan sebelum akad nikah dilangsungkan, biasanya

merariq dilakukan setelah seorang laki-laki dan seorang perempuan saling

mengenal (berpacaran) dan bersepakat akan mengakhiri masa lajangnya dalam

bentuk perkawinan. Proses yang lebih dikenali oleh para informan sebagai

pacaran ini, dalam konsep adat disebut midang, yaitu kunjungan seorang laki-laki

ke rumah seorang perempuan yang ingin dipinangnya untuk dapat berbincang-

bincang dan mengenalinya dengan lebih mendalam (Aniq, 2011).

Perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan saling mengenali satu sama

lain dan bisa jadi digunakan kedua belah pihak untuk mengembangkan konsep

keluarga seperti apa yang akan dibangun bersama. Dalam proses midang

memungkinkan peran sang ayah yang cukup dominan pada anak perempuannya,

namun keputusan merariq yang akan dilakukan anak perempuan tersebut adalah

otonom berada pada diri si perempuan itu sendiri, jika ditelisik secara lebih jauh,

sebenarnya tetap ada dominasi ayah dalam proses midang ini. Sebagaimana

penjelasan Raden Muhammad Rais, seorang tokoh adat, mengatakan bahwa

dalam midang, izin kebolehan perempuan bertemu dengan laki-laki yang

mengunjunginya ada di tangan ayahnya (Aniq, 2011).

Memahami cara perempuan mengambil keputusan untuk menikah dengan

cara merariq, harus juga dilihat dari relasi yang terbangun antara perempuan

dengan laki-laki yang mengajaknya merariq, hal ini menjadi bagian yang penting
11

diperhatikan dalam penelitian antropologi perspektif perempuan karena kerapkali

informan perempuan masih dikungkung oleh konsepsi budaya yang bias.

Kecurigaan ini terbukti dari data yang diperoleh, bahwa merariq pada

kenyataannya diakui para perempuan tidak selalu menjadi keputusan yang

sesungguhnya diinginkan oleh perempuan. Berbagai alasan yang dikemukakan

perempuan yang tampak berlawanan dengan konsepsi merariq itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman para responden perempuan, semuanya menyatakan

bahwa inisiatif merariq datang dari laki-laki, perempuan berada di pihak yang

menentukan untuk menyetujui atau tidak menyetujui.

Dalam pengambilan keputusan untuk merariq, perempuan juga mengaku

terpaksa menyetujuinya karena perempuan berada dalam situasi yang takut,

tertekan, dan terancam. Beberapa perempuan menyatakan bahwa jika dirinya tidak

menyetujui, laki-laki pasangannya mengancamnya meninggalkan dirinya dan

menikah dengan perempuan lain. Tidak ada peluang negosiasi sama sekali,

sebagaimana contoh pengalaman seorang responden perempuan, dimana ia

mengenal suaminya dari proses telepon nyasar, lalu berpacaran melalui telepon

tanpa sekalipun keduanya saling bertemu apalagi melakukan midang ke rumah

perempuan tersebut. Selang satu bulan berikutnya dia diajak bertemu pertama kali

di depan masjid desa, dan saat bertemu langsung dibawa pulang laki-laki tersebut

untuk merariq. Gadis tersebut yang tidak berani untuk tidak datang karena sehari

sebelumnya si laki-laki telah mengirimkan sms berisi pesan bahwa jika dirinya

tidak datang maka si laki-laki akan merariq dengan perempuan lain.

Keterpaksaannya sebenarnya dengan pertimbangan bahwa, “(saya) datang karena


12

khawatir, padahal mau tamat sekolah dulu, karena waktu itu sudah kelas 2

SMP”. Akad nikah si gadis berlangsung beberapa hari kemudian, namun selang

beberapa bulan berikutnya gadis tersebut diceraikan, hal senada terjadi pada

beberapa perempuan lain.

Selain karena terpaksa atau dalam kondisi diancam, perempuan juga

mengaku tidak dimintai persetujuan dari laki-laki yang membawanya merariq,

dengan dalih ingin mengajak bertemu, jalan-jalan, atau menonton suatu acara,

perempuan disituasikan terpaksa menyetujui merariq. Salah satu ilustrasi situasi

ini adalah pengalaman seorang gadis yang membuat janji bertemu bukan untuk

merencanakan merariq sebelumnya, hanya bertemu untuk menonton orkes atau

layar tancap, tetapi kemudian tidak diperbolehkan pulang oleh si laki-laki dengan

alasan masih ingin menonton, mengobrol, atau makan bersama. Perempuan

merasa tidak enak menolak atau dilakukan karena ingin sang laki-laki tidak marah

pada dirinya, akhirnya si perempuan bersama laki-laki tersebut hingga malam hari

dan mengakibatkannya melanggar hukum adat setempat karena pulang terlalu

malam, untuk menghindari sanksi adat, dirinya terpaksa memilih untuk tidak

pulang sekalian ke rumah dan mau diajak merariq. Inilah yang kerap kali

menyebabkan banyak anak dibawah umur yang terjebak dalam adat merariq,

sehingga kasus pernikahan dini menjadi marak di Pulau Lombok.

2.1.2 Peran Gender pada Tradisi Merariq

Masyarakat Sasak merupakan masyarakat patriarkat dimana kedudukan

perempuan dan laki-laki tidaklah sejajar. Superioritas laki-laki di atas perempuan

terlembagakan secara adat. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan maskulinitas atau


13

yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai

femininitas. Berani mengambil resiko, agresif dan kompetitif merupakan diantara

stereotip yang dilekatkan pada maskulinitas masyarakat Sasak.

Dalam budaya merariq, seorang lelaki akan dianggap lebih berwibawa

apabila berani mengambil resiko dengan melakukan penculikan terhadap

perempuan yang ingin dinikahinya. Melakukan penculikan akan menimbulkan

perasaan heroik tersendiri bagi para pelakunya. Hal ini karena ia berani dan

berhasil malakukan tindakan yang penuh resiko, yakni apabila tindakannya

diketahui oleh orang tua si perempuan ataupun bila pilihannya mendapat

penolakan dari orang tuanya sendiri. Oleh karena itu, berani melakukan kawin lari

merupakan simbol maskulinitas yang diharapkan ada pada setiap lelaki sasak.

Bartholomew ketika menanyakan mengapa kawin lari begitu populer di

Lombok, penjelasan standar orang sasak adalah, inilah adat istiadat mereka.

Ketika ditanya lebih lanjut, mereka menjawab bahwa praktek itu menawarkan

kesempatan bagi seorang anak muda untuk menunjukkan kejantanannya dan dari

situ bisa diukur kepantasannya sebagai seorang suami di masa depan. Seorang

laki-laki yang memilih untuk tidak melakukan kawin lari dianggap kurang jantan

karena dia tidak mampu membuktikan bahwa dirinya berani menghadapi bahaya.

Masyarakat pun mengamini adat penculikan tersebut, bahkan memiliki

pandangan bahwa anak perempuan yang diculik akan menaikkan harga diri

keluarga daripada anak perempuan yang dilamar atau diminta. Karena menurut

mereka, apabila anak perempuan diculik berarti anak perempuan tersebut sangat

bernilai sehingga ia harus diculik, bukan diminta. Mereka sering membuat


14

perumpamaan hal ini dengan sebuah benda atau hewan ternak. Apabila sebuah

benda tidak memiliki nilai yang tinggi maka benda tersebut bisa diminta. Tetapi

apabila suatu benda memiliki nilai yang sangat tinggi maka tidak lazimlah untuk

diminta, sehingga jalan pintas untuk memilikinya adalah dengan mencuri atau

menculiknya.

Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar

yang terkandung dalam praktik kawin lari (merariq) di pulau Lombok. Pertama,

prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merariq) dipahami dan diyakini sebagai

bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar

keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai

sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga

perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang

gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga

menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori

dan mental masyarakat tertentu di lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak

gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga

perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari

(merariq). Kedua, superioritas lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak

bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merariq) adalah seseorang lelaki tampak

sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon

istri. Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan

sebelumnya maupun belum direncanakan sebelumnya, kawin lari (merariq) tetap

memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain
15

menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas

segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari (merariq) memperoleh

kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa

rasa pasrah atau bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut. Ketiga,

egalitarianisme. Terjadinya kawin lari (merariq) menimbulkan rasa kebersamaan

(egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu,

kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan

handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan

keberlanjutan kawin lari (merariq). Kebersamaan melibatkan komunitas besar

masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merariq) tidak

selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir

dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak

keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejati,

mbaitwali, sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya

kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat. Keempat, komersial.

Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke.

Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam

acara mbaitwali sangat kental dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya,

pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan

sepanjang acara mbaitwali. Ada indikasi kuat bahwa orang tua telah merasa telah

membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha

tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul

sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut
16

memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan

tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis.

Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang

tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.

2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini

Dalam hal ini faktor penyebab dari pernikahan dini dibagi dalam 2

kelompok.

2.1.3.1 Faktor Sosial

1. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang rendah pada orang tua, anak dan juga

masyarakat, menimbulkan kecenderungan terjadinya pernikahan di usia dini.

Jika seorang anak telah berhenti sekolah diusianya yang wajib sekolah dapat

berdampak pada perilaku mereka yang diluar kendali, hal ini disebabkan

karena mereka sudah tidak terkontrol lagi dari lingkungan sekolah tempat

mereka biasa melakukan rutinitas sehari-hari yang dalam masa wajib sekolah,

sejalan dengan penelitian oleh Trias mengenai hubungan tingkat pendidikan

dengan usia nikah yang hasilnya adalah sebanyak 89,1% yang menikah usia

dini berpendidikan rendah (SD dan SMP) sehingga memiliki hubungan yang

bermakna (Putra, 2009).

2. Pengetahuan

Tindakan seseorang tidak lepas dari pengetahuan yang dimilikinya,

unsur dasar pengetahuan seseorang terhadap tindakannya adalah pengertian

dan pemahaman mengenai apa yang akan dilakukannya, keyakinan tentang


17

manfaat dan kebenaran dari apa yang dilakukan, serta dorongan untuk

melakukan sesuatu yang didasarkan oleh kebutuhan yang dirasakan (Pakal,

2012). Seperti halnya dengan penelitian oleh Pakal (2012) yang menunjukkan

bahwa pengetahuan kurang memiliki resiko 3,2 kali lebih besar untuk

melakukan pernikahan dini dibandingkan dengan berpendidikan baik (Pakal,

2012).

3. Ekonomi

Faktor ekonomi yang dilatarbelakangi oleh alasan kemiskinan

merupakan salah satu penyebab terjadinya perkawinan usia dini, bahwa

dengan adanya perkawinan tersebut merupakan sebuah praktik mengurangi

beban biaya kehidupan sehari-hari terutama biaya pendidikan. Dari hasil

penelitian yang dilakukan Pakal (2012) menunjukkan bahwa status ekonomi

miskin memiliki resiko 3,1 kali lebih besar terhadap terjadinya pernikahan

usia dini (Djamilah, 2014).

4. Lingkungan

Lingkungan memberikan arti sekitar keberadaan diri manusia yang

akan saling berinteraksi dengan alam sekitarnya dimana hubungan ini

menghasilkan sebuah kerjasama yang mengarah kepada sebuah keadaan

tertentu, bisa mengarah ke hal yang baik atau mengarah kepada keadaan yang

buruk. Hal ini tergantung dari penerimaan masing-masing individu dan juga

dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor selain lingkungan (Pakal, 2012).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Noorkasiani (2009) tentang

pengaruh lingkungan sosial budaya terhadap pernikahan dini, dimana


18

ditemukan adanya pengaruh yang sangat kuat antara lingkungan teman

sebaya, lingkungan masyrakat serta lingkungan keluarga terhadap terjadinya

pernikahan usia dini (Pakal, 2012).

5. Faktor telah berhubungan badan

Akibat banyaknya remaja sudah melakukan hubungan badan

selayaknya suami istri menyebabkan para orang tua dari anak perempuan

tersebut cenderung buru-buru menikahkan putrinya, karena menurut mereka

anaknya sudah tidak perawan dan hal ini menjadi aib (Zulfa,2013). Penelitian

yang dilakukan oleh Pakal (2012) dengan hasil hamil di luar nikah memiliki

risiko 5,1 kali lebih besar terhadap terjadinya pernikahan usia dini (Zulfa,

2013).

2.1.3.2 Faktor Budaya

1. Adat istiadat

Merariq dengan cara dilarikan merupakan adat istiadat yang sudah

membudaya di daerah pulau Lombok sehingga dijadikan salah satu alasan

untuk menikah bagi seorang laki-laki dengan gadis impiannya meskipun

masih dibawah umur dan tanpa restu orang tua, sehingga marak kasus

merariq kodeq, sejalan dengan penelitian yang dilakukan Jumhuriatul (2009)

mengenai adat kawin lari “merariq” masyarakat sasak yang merupakan

kebiasaan yang terjadi di masyarakat karena menjadi tradisi dan harus

dilestarikan. Nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat masih dijalankan

sebagaimana mestinya dan dijadikan sebuah identitas bagi mereka, walaupun

ditengah modernitas yang begitu pesat (Jumhuriatul, 2009).


19

2. Faktor orang tua

Alasan maraknya merariq juga disebabkan karena adanya pertentangan

yang didapatkan dari orang tua mengenai hubungan yang dijalani sehingga

dipilih merariq sebagai jalan keluarnya. Penelitian yang dilakukan

Jumhuriatul (2009) dalam hal ini merariq dijadikan sebagai alat untuk

mencapai tujuan tertentu misalnya saja dilakukan karena orang tua tidak

merestui hubungan mereka akibat perbedaan status yang mereka miliki,

sehingga memilih cara lari bersama untuk mencapai tujuan tersebut

(Jumhuriatul, 2009).

3. Ketidaktahuan perempuan

Merariq pada kenyataannya diakui para perempuan tidak selalu

menjadi keputusan yang sesungguhnya diinginkan, banyak alasan yang

dikemukakan yang tampak berlawanan dengan konsepsi merariq itu sendiri.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perempuan yang sudah merariq,

semuanya menyatakan bahwa inisiatif merariq datang dari laki-laki,

perempuan mengaku terpaksa menyetujuinya karena perempuan berada dalam

situasi yang takut, tertekan, dan terancam. Beberapa perempuan menyatakan

bahwa jika dirinya tidak menyetujui, laki-laki pasangannya mengancamnya

meninggalkan dirinya dan menikah dengan perempuan lain. Beberapa kasus

ada yang mengenal suaminya dari proses telepon nyasar, lalu berpacaran

melalui telepon tanpa sekalipun keduanya saling bertemu apalagi melakukan

midang ke rumah gadis tersebut, selang satu bulan berikutnya diajak bertemu

pertama kali di depan masjid desa, dan saat bertemu langsung dibawa pulang
20

laki-laki tersebut untuk merariq. Gadis tersebut tidak berani untuk tidak

datang karena sehari sebelumnya si laki-laki telah mengirimkan sms berisi

pesan bahwa jika dirinya tidak datang maka si laki-laki akan merariq dengan

perempuan lain. Selain karena terpaksa atau dalam kondisi diancam,

perempuan juga mengaku tidak dimintai persetujuan dari laki-laki yang

membawanya merariq, dengan dalih ingin mengajak bertemu, jalan-jalan, atau

menonton suatu acara, perempuan disituasikan terpaksa menyetujui merariq

(Jumhuriatul, 2009).

4. Awig-awig adat

Beberapa daerah di Lombok yang berada di wilayah pelosok, masih

terdapat awig-awig adat yang sangat kental dilaksanakan, yakni apabila

sepasang laki-laki dan perempuan keluar tanpa izin dan pulang melewati

batas waktu bertamu jam 10 malam, maka orang tua dari anak gadis tersebut

menganggap anaknya diajak merariq. Pandangan masyarakat, perempuan

yang sudah diculik jika dikembalikan ke orang tuanya merupakan suatu aib

bagi keluarganya, apabila tidak ada persetujuan wali perempuan maka sanksi

sosial masyarakat adat menjadi bayang-bayang bagi keluarga perempuan,

sehingga orang tua biasanya merelakan saja anaknya yang telah diculik,

walaupun dengan terpaksa dan dengan keadaan putrinya yang masih dibawah

umur (Wawancara dengan budayawan).


21

2.1.4 Dampak-dampak Pernikahan Dini ditinjau dari Kesehatan

Reproduksi

Dampak dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah pengaruh kuat yang

mendatangkan akibat baik negatif maupun positif. Pernikahan dini adalah

pernikahan yang dilakukan oleh wanita yang berusia di bawah 16 tahun dan pria

di bawah usia 19 tahun. Jadi dapat disimpulkan bahwa dampak pernikahan dini

adalah pengaruh kuat dari pernikahan yang mendatangkan akibat baik negatif

maupun positif. Pada dasarnya pernikahan adalah baik, karena pernikahan

merupakan penyempurnaan ibadah. Namun pernikahan yang dilakukan di usia

yang sangat muda biasanya memberikan dampak bagi pasutri.

2.1.4.1 Dampak dari segi fisik

Secara fisik tidak ada yang salah dengan umur yang ditentukan oleh

undang-undang. Bahkan yang menikah di usia dini pun tidak ada masalah. Hanya

saja pemerintah menentukan usia tersebut tidak dibarengi dengan memikirkan

dampak yang terjadi. Pada usia tersebut dari segi fisik seseorang umumnya sudah

matang, khususnya organ reproduksi. Pada wanita ditandai dengan datangnya

menstruasi dan pada pria ditandai dengan mimpi basah. Artinya pada usia ini

seseorang sudah dapat memproduksi keturunan. Memiliki keturunan merupakan

salah satu tujuan menikah. Namun perlu diketahui bahwa pernikahan yang

dilakukan di usia muda umumnya akan menimbulkan masalah secara fisik

khususnya dialami pada remaja putri.

Dampak bagi kesehatan reproduksi sering terjadi pada para wanita saat

mengalami kehamilan dan persalinan. Kehamilan yang terjadi pada usia remaja
22

memiliki resiko yang terbilang tinggi, dikarenakan pada usia remaja alat

reproduksinya belum cukup matang untuk menjalankan fungsinya. Rahim setelah

umur 20 tahun baru siap dalam memaksimalkan fungsinya, yang juga berkaitan

dengan fungsi hormonal (Kusmiran, 2011).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Afriani, 2016) dampak pada

kesehatan remaja putri yang sedang hamil dapat terjadi hiperemesis dan anemia,

pada persalinan dapat terjadi dengan bantuan alat, dan kondisi anak saat lahir

dapat terjadi BBLR dan dampak tidak memperoleh ASI Eksklusif, begitu pula

dengan penelitian oleh (Zulfa, 2013) tentang “Resiko Pada Remaja Akibat

Pernikahan Dini” jika dilihat dari sisi kesehatan, hamil diusia muda dapat

berpengaruh pada derajat kesehatan ibu dan anak serta berpengaruh secara tidak

langsung pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi baru lahir.

Dampak pernikahan dini terhadap kehamilan dan persalinan dapat diuraikan

sebagai berikut: 1) Pernikahan dini merupakan salah satu faktor keganasan mulut

Rahim dimana wanita yang hamil pertama dengan umur kurang dari 17 tahun

memiliki resiko 2 kali untuk mengalami kanker serviks pada usia tua

dibandingkan dengan wanita yang hamil pertama di usia 25 tahun keatas

(Manuaba, 2009). Penelitian Ratna dengan judul “Hubungan Pernikahan Dini

dengan Kanker Serviks” yang hasilnya ditemukan adanya hubungan yang

signifikan antara wanita dengan riwayat menikah usia dini dengan kejadian

kanker serviks yang memiliki resiko 8,4 kali lebih besar dari wanita yang tidak

menikah usia dini (p=0,002; OR=8,442) (Ratna, 2013). 2) Kematian bayi dan

abortus. Kejadian ini dua sampai tiga kali lebih tinggi pada kelompok usia dini
23

daripada wanita berusia lebih dari 25 tahun karena remaja biasanya lebih lambat

dalam memulai perawatan kehamilan dibandingkan wanita dewasa. Remaja juga

memiliki resiko lebih besar mengalami kondisi yang berhubungan dengan

masalah kehamilan misalnya hipertensi kehamilan (Bobak, 2004). 3) Keracunan

kehamilan dalam hal ini preeklamsi dan eklamsi bisa terjadi akibat alat reproduksi

yang belum matang untuk hamil disertai anemia. Preeklamsi dan Eklamsi salah

satu penyebab kematian ibu dan bayi sehingga diperlukan perhatian khusus

(Bobak, 2004). 4) Mudah terkena penyakit infeksi. Keadaan gizi yang buruk

mengakibatkan tubuh mudah terkena infeksi. 5) Persalinan macet yakni persalinan

yang berlangsung lama dan disertai komplikasi pada ibu dan juga janin. Hal ini

berkaitan dengan gizi ibu selama hamil yang dapat menyebabkan kelainan letak

pada janin, kelainan bentuk panggul, kelainan his serta salah dalam mengejan

yang merupakan penyebab persalinan macet. 6) Anemia kehamilan. Di Indonesia,

kira-kira 70% wanita hamil menderita anemia. Anemia saat hamil muda

disebabkan karena kurangnya pengetahuan akan pentingnya gizi saat hamil

(Endjun, 2002). 7) Berat bayi lahir rendah. Usia remaja beresiko dalam

menghadapi kehamilan begitupun pada saat persalinan dapat melahirkan bayi

dengan berat lahir rendah (BBLR). Studi di New York menunjukkan berat bayi

lahir berkurang 200-400 gram pada ibu yang melahirkan usia kurang dari 15 tahun

dibanding 19-30 tahun, hal ini merupakan resiko ringgi dalam proses kehamilan

dan persalinan (Aritonang, 2010). 8) Cacat bawaan, Manuaba (2009) mengatakan

kehamilan usia terlalu muda dapat menimbulkan pertumbuhan janin dalam

kandungan kurang sempurna yang berakibat pada saat dilahirkan mengalami cacat
24

bawaan, persalinan sering diakhiri dengan tindakan operasi, pulihnya alat

reproduksi setelah persalinan berjalan lambat, pengeluaran ASI tidak cukup.

2.1.4.2 Dampak dari segi psikologis

Secara psikologis, usia juga memberi pengaruh pada pernikahan, terlebih

pada pernikahan usia muda. Kedewasaan seseorang memang tidak dilihat dari

usia, ada orang yang usia muda tetapi sudah dewasa atau bahkan sebaliknya.

Namun pada umumnya seseorang yang berusia 15 dan 18 tahun belum dapat

dikatakan dewasa secara psikologis. Pada usia itu seseorang masih digolongkan

remaja yang secara psikologis belum memiliki kematangan dalam berpikir.

Menjalani pernikahan dibutuhkan kedewasaan, jika seseorang belum memiliki

kematangan dalam berpikir maka ia belum dewasa. Oleh sebab itu pasutri muda

umumnya sering mengalami keributan karena keegoisan masing-masing.

Akibatnya adalah mereka mengalami stres dan frustrasi yang bisa berujung pada

perceraian. Berikut uraian mengenai hal-hal yang memberikan dampak-dampak

yang terjadi secara psikologis:

1. Perasaan setelah menikah

Perasaan setelah menikah memberi dampak pada segi psikologis.

Pernyataan perasaan setelah menikah yang diungkapkan oleh pasangan dapat

menggambarkan siap atau tidak siapnya pasangan ini menikah. Perasaan

dipengaruhi oleh kematangan berpikir bagi pasangan. Seperti kita ketahui

bahwa kematangan berpikir usia remaja belum sempurna, sehingga

kemampuan berpikir yang belum matang dapat mendatangkan pikiran negatif.


25

Jika pasangan berpikir negatif maka akan memberikan dampak negatif pula,

contohnya munculnya perasaan takut dan ragu-ragu.

2. Adaptasi dengan status baru sebagai kepala keluarga dan ibu rumah

tangga.

Menjalani tugas baru sebagai ibu rumah tangga/kepala keluarga

memberi dampak pada segi psikologis. Menerima perubahan status dari lajang

menjadi ibu rumah tangga atau kepala keluarga memang tidak mudah.

Terlebih pada pasangan yang menikah di usia muda. Faktor usia yang masih

muda, ketidaksiapan untuk menikah, belum adanya pengalaman, pemikiran

yang belum matang, dan sikap egois dapat memberikan dampak negatif bagi

pasangan muda (Walgito, 2004). Dampak negatif yang dihasilkan antara lain

adalah munculnya sikap tidak peduli.

3. Kesulitan mengurus anak

Papalia dan Old (2008: 608) dalam bukunya “Human Development”

mengungkapkan bahwa “individu yang menjadi orangtua di usia remaja

cenderung kurang dewasa, kurang terampil, dan kekurangan dukungan sosial

untuk menjadi orangtua yang baik”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat

disimpulkan remaja yang menjadi orangtua umumnya mengalami kesulitan

dalam mengurus anak. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kesulitan

mengurus anak adalah ketidakpedulian orangtua terhadap tumbuh kembang

anak.
26

4. Mengatasi emosi

Mengatasi emosi memberi dampak pada segi psikologis. Seperti kita

ketahui remaja masih memiliki emosi yang belum matang dan memiliki sifat

egosentrisme. Sifat egosentrisme adalah ketidak-mampuan remaja melihat

sesuatu dari sudut pandang orang lain (Santrock, 2003:122). Hal ini tentu

mempengaruhi remaja dalam mengatasi emosi. Salah satu hal yang merupakan

mengatasi emosi adalah mengatur marah. Marah adalah perasaan emosi yang

negatif. Jika seseorang dapat mengatasi emosinya dengan baik maka ia juga

dapat mengatur marahnya dengan baik.

Pada pasangan yang menikah muda, usia yang masih tergolong remaja

tentu memberi pengaruh dalam diri mereka yaitu belum mampu mengatur

emosi dengan baik. Hal ini dapat memberikan dampak negatif bagi pasangan

suami istri yang mungkin berujung pada hal-hal yang tidak dinginkan.

Dampak negatif yang mungkin muncul adalah stres dan keinginan untuk

bercerai.

5. Persepsi hal baik dan kurang baik dari pernikahan dini

Hal baik dan kurang baik dari pernikahan usia muda memberi dampak

pada segi psikologis. Pernyataan tentang pernikahan usia muda

menggambarkan pemikiran pasangan suami istri tentang pernikahan usia

muda. Hasil pemikiran para pasangan suami istri akan menunjukkan dampak

apa yang mereka alami. Hasil pemikiran ini juga menunjukkan seberapa tinggi

tingkat kematangan berpikir para pasangan muda ini. Dampak negatif yang

umumnya terjadi adalah munculnya pemikiran dan perasaan takut dan ragu.
27

2.1.4.3 Dampak dari segi sosial ekonomi

Dilihat dari segi sosial ekonomi, usia juga memberi pengaruh dalam

pernikahan. Kematangan sosial ekonomi seseorang pada umumnya berkaitan erat

dengan usianya. Semakin bertambahnya usia seseorang, maka semakin kuat

dorongan untuk mencari nafkah kehidupan (Walgito, 2004). Hal yang paling

penting dalam pernikahan adalah mencari nafkah untuk membiayai hidup.

Umumnya ada sebagian pasangan muda yang belum siap secara sosial ekonomi.

Sebagian dari mereka ada yang belum bekerja dan masih menggantungkan

hidupnya pada orangtua. Hal ini dapat berdampak negatif bagi pasutri muda

diantaranya yaitu stres.

2.1.4.4 Dampak dari segi hak-hak reproduksi

Di Indonesia pernikahan sendiri diatur oleh undang-undang yang

membatasi usia pernikahan. Undang-undang pernikahan pasal 7 ayat 1 tahun 1974

menyebutkan bahwa usia minimum perkawinan untuk perempuan adalah 16

tahun, sedangkan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun undang-undang itu

tidak menjelaskan apakah pada usia itu orang sudah dikatakan dewasa atau belum.

Ketidakjelasan undang-undang tersebut membuat sebagian orang tidak

memikirkan apakah menikah perlu menunggu usia dewasa atau tidak. Bagi

mereka jika seorang anak sudah dipandang layak untuk menikah, maka akan

dinikahkan. Seperti yang terjadi pada masyarakat sasak, budaya yang kuat serta

pengetahuan yang kurang tentang dampak pernikahan dini membuat masyarakat

sasak tidak mempermasalahkan pernikahan walaupun di usia yang masih sangat

muda. Bagi mereka jika sudah melaksanakan pernikahan sesuai adat maka
28

pernikahan itu sah. Selain ketidakjelasan undang-undang, pernikahan dini juga

sudah melanggar undang-undang perlindungan anak. Keterbatasan pengetahuan

masyarakat tentang undang-undang membuat sebagian masyarakat tidak tahu jika

anak dilindungi oleh undang-undang. Jika pernikahan dini terus dilakukan, maka

anak-anak telah kehilangan haknya. Apalagi masa-masa tu adalah masa peralihan

anak-anak menuju remaja. Selain kehilangan haknya, mereka juga kehilangan

masa remajanya yang sangat berharga. Hal ini dikarenakan pemerintah kurang

mensosialisasikan tentang undang-undang pernikahan serta perlindungan anak

(Landung, Thaha, & Abdullah, 2009: 93).

2.1.4.5 Dampak dari segi aspek gender

Gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender bukan merupakan bawaan

dari lahir melainkan hasil dari pembentukan yang dipengaruhi oleh adat istiadat,

budaya, sosial ekonomi, tempat dan norma-norma yang berlaku di suatu daerah.

Secara sosial kaum wanita masih dianggap mahluk yang lemah dan harus

menerima semua keputusan yang seringkali bertentangan dengan hati nuraninya.

Seperti pada masyarakat sasak yang merupakan masyarakat patriarkat dimana

kedudukan perempuan dan laki-laki tidaklah sejajar. Superioritas laki-laki di atas

perempuan terlembagakan secara adat. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan

maskulinitas atau yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi

daripada nilai-nilai femininitas. Berani mengambil resiko, agresif dan kompetitif

merupakan diantara stereotip yang dilekatkan pada maskulinitas masyarakat

Sasak.
29

Diskriminasi gender juga sering dialami kaum perempuan dalam bidang

kesehatan reproduksi seperti praktek kawin lari tanpa mendapat persetujuan

perempuan yang dibawa lari merupakan bentuk pemaksaan nikah terhadap

perempuan sasak. Praktek ini setidaknya melanggar dua hak mereka, yaitu hak

untuk menentukan sendiri siapa yang akan menjadi suami mereka dan hak untuk

memperoleh dan menyelesaikan pendidikan (Aniq,2011). Perkawinan dini pada

remaja putri dapat memberi tanggungjawab dan beban melampaui usianya. Belum

lagi jika remaja putri mengalami kehamilan, menempatkan mereka pada risiko

tinggi terhadap kematian. Remaja putri juga berisiko terhadap pelecehan dan

kekerasan seksual, yang bisa terjadi di dalam rumah sendiri maupun diluar rumah.

2.2 Konsep Penelitian

1.2.2 Konsep Merariq

Merariq secara etimologis diambil dari kata lari atau berlari dan secara

terminologis merariq mengandung dua arti, pertama lari ini merupakan arti yang

sebenarnya, kedua keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat sasak. Saat

ini budaya merariq sering salah digunakan sebagai wahana menculik seorang

gadis untuk dinikahi dengan atau tanpa paksaan dengan usia yang masih dibawah

umur dengan sebutan merariq kodeq.

1.2.3 Konsep Pernikahan Dini

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan dibawah usia 20 tahun.

Dalam penelitian ini dilihat dari kategori usia pasangan yang beragam. Konsep ini

meliputi faktor-faktor yang mendorong pernikahan dini dan dampaknya yang

ditinjau dari segi kesehatan reproduksi.


30

1.2.4 Konsep Pengetahuan Remaja tentang pernikahan dini

Konsep pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah remaja

mengetahui tentang usia yang baik untuk menikah serta dampak yang akan

dialami dari segi kesehatan reproduksi. Pengetahuan seseorang nantinya akan

berpengaruh terhadap persepsi dan sikap terhadap perilaku pernikahan dini.

1.2.5 Konsep Persepsi Remaja terhadap pernikahan dini

Persepsi, sikap, dan perilaku yang dilandasi oleh kesadaran dan

pengetahuan maka akan menghasilkan sebuah perilaku yang akan bertahan lama

atau melekat pada individu tersebut. Seseorang yang memiliki persepsi positif

terhadap sesuatu, maka individu tersebut akan berperilaku yang positif terhadap

hal tersebut. Pada penelitian ini ingin diketahui bagaimana pandangan remaja

mengenai pernikahan dini dilihat dari konsekuensi yang dihadapi dan keuntungan

serta kerugian menikah dini.

1.2.6 Konsep Faktor Pendorong pernikahan dini

Yang dimaksud dengan konsep pendorong pernikahan dini pada penelitian

ini adalah segala sesuatu yang mendorong remaja tersebut memutuskan untuk

menikah dini. Hal ini dapat dipengaruhi oleh keyakinan (belief), sikap (attitude),

kehendak (intention) dan perilaku (behavior) tentang perkawinan usia dini. Selain

itu alasan seseorang melakukan perkawinan usia dini juga bisa berasal dari dalam

diri sendiri seperti niat, persepsi seseorang terhadap perkawinan usia dini dan

kesehatan reproduksi serta pandangan terhadap kedudukan gender yang

menganggap posisi perempuan berada pada posisi lemah dan menerima semua

keputusan serta perubahan peran seorang perempuan sebagai laki-laki yang harus
31

meneruskan garis keturunan keluarga. Sedangkan dari luar diri sendiri seperti

dorongan sosial ekonomi, dorongan orang tua, dominasi struktur sosial, adat

istiadat, budaya, dan norma yang berlaku.

1.2.7 Konsep Peran lingkungan sosial dalam pernikahan dini

Peran dalam penelitian ini terbagi menjadi sebagai berikut.

1. Peran Orang Tua

Peran orang tua dalam penelitian ini adalah tanggapan orang tua terhadap

pernikahan dini yang dilakukan oleh anaknya baik yang sifatnya mendorong

maupun menghambat.

2. Peran Tokoh-tokoh Masyarakat

Peran tokoh-tokoh masyarakat antara lain tokoh agama, tokoh adat dan

perangkat desa terhadap pernikahan dini yang terjadi dilingkungannya baik

yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.

1.2.8 Konsep Dampak

Dampak adalah akibat dari suatu kejadian, yang dapat berakibat baik

maupun buruk. Dalam penelitian ini dilihat dampak dari segi kesehatan

reproduksi.

2.3 Landasan Teori

Pada penelitian ini menggunakan model theory of planned behavior. Teori

Perilaku Terencana merupakan pengembangan dari Teori Perilaku Beralasan

(TRA) dengan menambah sebuah kontruk yakni kontrol perilaku, dimana dalam

berperilaku manusia menggunakan cara-cara yang masuk akal dengan

mempertimbangkan semua informasi yang ada untuk mempertimbangkan


32

implikasi tindakan yang dilakukan, selain itu untuk mengontrol perilaku individu

yang dibatasi oleh kekurangan-kekurangannya dan keterbatasan-keterbatasan dari

kekurangan sumber daya yang digunakan untuk melakukan perilakunya (Hsu dan

Chiu, 2002).

2.3.1 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)

Teori Perilaku Terencana atau TPB (Theory of Planned Behavior)

merupakan pengembangan lebih lanjut dari Teori Perilaku Beralasan (Theory of

Reasoned Action). TPB merupakan kerangka berpikir konseptual yang bertujuan

untuk menjelaskan determinan perilaku tertentu. Menurut Ajzen (1991), faktor

sentral dari perilaku individu adalah bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh niat

individu (behavior intention) terhadap perilaku tertentu tersebut. Niat untuk

berperilaku dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1) sikap (attitude), (2) norma

subjektif (subjective norm) dan (3) persepsi kontrol keperilakuan (perceived

behavior control).
33

Background
Factors
Attitude
Individual Behavior toward the
Personality Beliefs Behavior
Mood, emotion
Intelligence
Values,
stereotypes
Experience
Normativ Subjective Intention Behavio
Social e Beliefs Norm r
Education
Age, gender
Income
Religion
Race, ethnicity
Culture, laws
Control Perceived
Information Beliefs Behavior
Knowladge Control
Media Actual
Intervention Behavior
Control

Gambar 2.3 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) Icek


Ajzen 2017

Seseorang dapat saja memiliki berbagai macam keyakinan terhadap suatu

perilaku, namun ketika dihadapkan pada suatu kejadian tertentu, hanya sedikit

dari keyakinan tersebut yang timbul untuk mempengaruhi perilaku. Sedikit

keyakinan inilah yang menonjol dalam mempengaruhi perilaku individu (Ajzen

1991). Keyakinan yang menonjol ini dapat dibedakan menjadi pertama, behavior

belief yaitu keyakinan individu akan hasil suatu perilaku dan evaluasi atas hasil

tersebut. Behavior belief akan mempengaruhi sikap terhadap perilaku (attitude

toward behavior). Kedua adalah normative belief yaitu keyakinan individu

terhadap harapan normatif orang lain yang menjadi rujukannya seperti keluarga,

teman dan orang-orang sekitar serta motivasi untuk mencapai harapan tersebut.
34

Harapan normatif ini membentuk variabel norma subjektif (subjective norm) atas

suatu perilaku. Ketiga adalah control belief yaitu keyakinan individu tentang

keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilakunya dan

persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal tersebut mempengaruhi perilakunya.

Control belief membentuk variabel persepsi kontrol keperilakuan (perceived

behavior control). Dalam TPB, sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol

keperilakuan ditentukan melalui keyakinan-keyakinan utama. Determinan suatu

perilaku merupakan hasil dari penilaian keyakinan–keyakinan dari individu, baik

sebagai secara positif maupun negatif. Teori Perilaku Terencana atau TPB

didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan

menggunakan informasi-informasi yang mungkin baginya secara sistematis

(Achmat, 2010). Orang memikirkan implikasi dari tindakan mereka sebelum

memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku-perilaku tertentu.

Disamping faktor-faktor utama tersebut, terdapat beberapa variabel lain

yang mempengaruhi atau berhubungan dengan belief, beberapa variabel tersebut

dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kategori personal, sosial dan

informasi. Kategori personal meliputi sikap secara umum dan disposisi

kepribadian, kategori sosial meliputi usia, ras, etnis/budaya, dan lain-lain,

sedangkan kategori informasi meliputi pengalaman, pengetahuan, dan lainnya.

Variabel-variabel ini mempengaruhi belief dan pada akhirnya berpengaruh juga

pada intensi dan tingkah laku.

2.4 Model Penelitian


35

Keyakinan Perilaku:
1. Persepsi terhadap Sikap
pernikahan dini terhadap
(Keuntungan dan pernikahan
kerugian, dini
Konsekuensi
Faktor yang yang terjadi)
melatarbelakangi :

- Pendidikan
Keyakinan Normatif: Keyakinan
1. Dukungan orang- Alasan/niat
- Sosial ekonomi terhadap
orang terdekat untuk
orang-orang Pernikahan
2. Keyakinan melakukan
- Keyakinan (ajaran terdekat dan dini
terhadap pernikahan
agama atau norma) pasangan
pasangan dini

- Sosial budaya dan Dampak


adat istiadat Pernikahan
Kontrol Perilaku: dini
1. Pengalaman Kontrol
- Pengetahuan
orang lain Perilaku
tentang pernikahan
2. Sanksi yang
diniDesa
3. Peran orang tua, dirasakan
toga, toma dan
perangkat desa

Gambar 2.4 Model Penelitian ini menggunakan Teori of Planned Behavior oleh Icek Ajzen

Berdasarkan model Teori Perilaku Beralasan, perilaku pernikahan dini

dilakukan secara rasional berdasarkan pertimbangan persepsi keuntungan dan

kerugian atas konsekuensi yang terjadi akibat dari pernikahan dini, baik

konsekuensi positif maupun negatif yang menentukan sikap secara keseluruhan

terhadap pilihan menikah dini, sikap tidak secara langsung menentukan perilaku

melainkan melalui intensi perilaku. Semakin individu memiliki evaluasi bahwa

perilaku pernikahan dini akan menghasilkan konsekuensi positif maka individu

akan cenderung bersikap positif terhadap pernikahan dini, begitupun sebaliknya.


36

Berdasarkan norma subjektif, perilaku dikonseptualisasikan sebagai persepsi

tekanan sosial yang menggambarkan harapan orang-orang terdekat yang dianggap

penting baginya untuk mendukung atau tidak mendukung pernikahan dini serta

peran/ kesetujuan dan atau ketidaksetujuan yang berasal dari orang-orang yang

berpengaruh bagi individu seperti orang tua, pasangan, teman, masyarakat sekitar

terhadap perilaku. Individu yang percaya bahwa akan mendapat dukungan untuk

melakukan pernikahan dini akan merasakan tekanan sosial untuk melakukan

perilaku tersebut, dan begitu juga sebaliknya sehingga akan menghasilkan

persepsinya terhadap pernikahan dini. Selain faktor sikap dan norma subjektif

yang juga mempengaruhi perilaku pernikahan dini yakni kontrol terhadap perilaku

(perceived behavior control) yakni kepercayaan individu mengenai ada atau tidak

adanya faktor yang mendukung atau menghalangi individu untuk memunculkan

perilaku, kepercayaan ini didasarkan pada pengalaman seseorang terhadap

pernikahan dini, informasi yang dimiliki tentang pernikahan dini, dan juga

berbagai faktor lain yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan perasaan

individu mengenai tingkat kesulitan dalam melakukan suatu perilaku.

Disamping faktor-faktor utama tersebut, terdapat beberapa variabel lain

yang mempengaruhi atau berhubungan dengan belief, beberapa variabel tersebut

yakni pendidikan, sosial ekonomi, keyakinan, sosial budaya dan adat istiadat, dan

pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Variabel-variabel ini mempengaruhi

belief dan pada akhirnya berpengaruh juga pada intensi dan tingkah laku. Selain

variabel-variabel yang mempengaruhi perilaku, dikaji juga dampak yang

diakibatkan dari perilaku pernikahan dini dari segi kesehatan reproduksi.


37

Anda mungkin juga menyukai