Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukanlah barang baru dalam khasanah budaya dan
peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu di dalam kehidupan
setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem persekolahan. PLS
mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di
pendidikan persekolahan. PLS timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana
kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan/pendidikan formal
saja. PLS pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan
dalam suatu bidang tertentu.

Berbagai kelemahan sistem persekolahan dimuntahkan, terutama pada aspek-aspek


prosedural yang dinilai mengeras, kaku, serba ketat dan formalistis. Pada intinya, walaupun
sistem persekolahan masih tetap dipandang penting, pijakan pemikiran sudah mulai realistis
yaitu tidak semata-mata mengandalkan sistem persekolahan untuk melayani aneka ragam
kebutuhan pendidikan yang kian hari semakin mekar dan beragam. Pembinaan dan
pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling isi-mengisi atau topang menopang
dengan sistem persekolahan, agar setiap insan bisa menyesuaikan hidupnya sesuai dengan
perkembangan zaman. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang
pendidikan luar sekolah yang kita kenal dengan pendidikan informal atau nonformal.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan dengan empat pilar pendidikan?
2. Apakah yang dimaksud hubungan antara empat pilar pendidikan dengan Pendidikan
Luar Sekolah (PLS) ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang empat pilar pendidikan
2. Unruk mengetahui hubungan antara empat pilar pendidikan dengan Pendidikan Luar
Sekolah (PLS)
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Empat Pilar Pembelajaran

Pendidikan sepanjang hayat (life long education) adalah sebuah sistem pendidikan yang
dilakukan oleh manusia ketika lahir sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat
merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi. Dimana tahap-tahap pelaksanaannya
adalah harus ada : motivasi, perhatian dan pelajaran, menerima dan mengingat, reproduksi,
generalisasi, menerapkan apa yang telah diajarkan serta umpan balik. Dimana pendidikan
sepanjang hayat ini juga akan mampu membentuk kemandirian dari seseorang, salah satunya
dengan pendidikan non formal, yang mampu membangkitkan daya pikir, berbuat positif dari,
oleh dan untuk dirinya sendiri serta lingkungan. Dalam upaya memajukan pendidikan di
Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar yang dapat menopang pendidikan yang ada di
Indonesia ini. Ke empat pilar tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be
dan learning to live together.

Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa dapat dilakukan melalui peningkatan
mutu pendidikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui lembaga UNESCO (United Nations,
Educational, Scientific and Cultural Organization) yang bergerak dibidang pendidikan,
pengetahuan dan budaya mencanangkan empat pilar Pendidikan, yaitu merupakan empat
sendi atau sokoguru pengetahuan sebagai landasan berpijaknya pendidikan non formal
yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live
together.1
Ke empat pilar tersebut secara sinergi membentuk dan membangun pola pikir pendidikan di
Indonesia. Adapun empat pilar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Learning to know
Pilar pertama ini memeliki arti bahwa para peserta didik dianjurkan untuk mencari
dan mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melalui pengalaman- pengalaman. Hal
ini akan dapat memicu munculnya sikap kritis dan semangat belajar peserta didik
meningkat. Learning to know selalu mengajarkan tentang arti pentingnya sebuah
pengetahuan, karena di dalam learning to know terdapat learning how to learn, artinya
peserta didik belajar untuk memahami apa yang ada di sekitarnya, karena itu adlah proses

1
Sigit Dwi Laksana and Fakultas Agama Islam Universitas Muha, “INTEGRASI EMPAT PILAR PENDIDIKAN
(UNESCO) DAN TIGA PILAR PENDIDIKAN ISLAM Sigit” (1386): 43–61.
belajar. Hal ini sesuai pendapat Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004: 128) yaitu
belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Sedangkan menurut Purwanto (2004: 44), belajar merupakan proses dalam diri individu
yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya.
Dari dua pendapat diatas menunjukkan bahwa belajar bukan saja berasal dari bangku
sekolahan saja tetapi belajar dapat terjadi melalui interaksi dengan lingkungan. Belajar
bukan hanya dinilai dari segi hasilnya saja, melainkan dinilai dari segi proses, bagaimana
cara anak tersebut memperoleh pengetahuan, bukan apa yang diperoleh anak tersebut.
Learning to know juga mengajarkan tentang live long of education atau yang disebut dengan
belajar sepanjang hayat. Arti pendidikan sepanjang hayat (long life education) adalah bahwa
pendidikan tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa, tetapi tetap berlanjut sepanjang
hidupnya (Suprijanto, 2008: 4).
Hal ini menegaskan bahwa pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga.
Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua
setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya.
Sekolah diselenggarakan secara formal. Di sekolah anak akan belajar apa yang ada di dalam
kehidupan, dengan kata lain sekolah harus mencerminkan kehidupan sekelilingnya. Oleh
karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan masyarakat
sesuai dengan perkembangan budayanya.

b. Learning to do
Pilar kedua menekankan pentingnya interaksi dan bertindak. “di sini para peserta didik
diajak untuk ikut serta dalam memecahkan permasalahan yang ada di sekitarnya melalui
sebuah tindakan nyata”. Belajar untuk menerapkan ilmu yang didapat, bekerja sama dalam
sebuah tim guna untuk memecahkan masalah dalam berbagai situasi dan kondisi. Learning
to do berkaitan dengan kemampuan hard skill dan soft skill. Soft skill dan hard skill sangat
penting dan dibutuhkan dalam dunia pendidikan, karena sesungguhnya pendidikan
merupakan bagian terpenting dari proses penyiapan SDM (Sumber Daya Manusia) yang
oberkualitas, tangguh, dan terampil dan siap untuk mengikuti tuntutan zaman. Peserta
didik sebagai hasil dari produk pendidikan memang harus dituntut memiliki kemampuan
soft skill dan hard skill.
Hard skill merupakan kemampuan yang harus menuntut fisik, artinya hard skill
memfokuskan kepada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan teknis
yang berhubungan dengan kemampuan peserta didik. Penguasaan kemampuan hard skill
dapat dilakukan dengan menerapkan apa yang dia dapatkan /apa yang telah dipelajarinya di
kehidupan sehari-hari, contohnya anak disekolah belajar tentang arti penting sikap disiplin,
maka untuk memahami dan mengerti tentang disiplin itu, anak harus belajar untuk
melakukan sikap disiplin, baik dirumah, disekolah atau dimanapun. Dengan begitu anak
menjadi tahu dan faham tentang pentingnya sikap disiplin.
Selanjutnya adalah soft skill, artinya keterampilan yang menuntut intelektual. Soft skill
merupakan istilah yang mengacu pada ciri-ciri kepribadian, rahmat sosial, kemampuan
berbahasa dan pengoptimalan derajat seseorang . Jadi yang dimaksud dengan kemampuan
soft skill adalah kepribadian dari masing-masing individu. Soft skill tidak diajarkan tetapi
gurulah yang harus mencontohkan, seperti sikap tanggung jawab, disiplin, dan lain
sebagainya. Dengan memberikan contoh tersebut, anak akan mencoba untuk menirukan apa
yang dilihat. Hal itu merupakan bagian dari menumbuhkan kemampuan soft skill.
c. Learning to be
Pilar ketiga artinya bahwa pentingnya mendidik dan melatih peserta didik agar menjadi
pribadi yang mandiri dan dapat mewujudkan apa yang peserta didik impikan dan cita-
citakan.
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan (soft skill dan hard skill) merupakan bagian dari
proses menjadi diri sendiri (learning to be). Menjadi diri sendiri dapat diartikan sebagai
proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar untuk berperilaku sesuai dengan
norma-norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil,
sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
Learning to be sangat erat kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik,
kejiwaan anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan

menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya
bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai fasilitator bertugas sebagai penunjuk arah
sekaligus menjadi mediator bagi peserta didik. Hal ini sangat diperlukan untuk menumbuh
kembangkan potensi diri peserta didik secara utuh dan maksimal. Selain itu, pendidikan
juga harus bermuara pada bagaimana peserta didik menjadi lebih manusiawi, menjadi
manusia yang berperi kemanusiaan.
d. Learning to live together
Pilar terakhir artinya menanamkan kesadaran kepada para peserta didik bahwa mereka
adalah bagian dari kelompok masyarakat. jadi, mereka harus mampu hidup bersama.
Dengan makin beragamnya etnis di Indonesia, kita perlu menanamkan sikap untuk dapat
hidup bersama.

Pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi
dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh
peserta didik, sebagai hasil dari proses pembelajaran, dapat dijadikan sebagai bekal untuk
mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan sekaligus
mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang
lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning
to live together). Untuk itu, pembelajaran di lembaga formal dan non formal harus diarahkan
pada peningkatan kualitas dan kemampuan intelektual dan profesional serta sikap dalam hal
ini adalah kemampuan hard skill dan soft skill. Dengan kemampuan dan sikap manusia
Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia
masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.

Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan pendidikan yang berlangsung


di seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi lebih baik, namun yang mejadi masalah
adalah dunia pendidikan di Indonsia yang saat ini masih mini m fasilitas, terlebih lagi di
daerah-daerah terpencil, belum meratanya fasilits pendidikan, tentunya akan menjadi
halangan bagi siswa untuk mengembnagkan diri mereka. Untuk itu semua, pendidikan di
Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional
serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang
demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat yang bermartabat di mata
masyarakat dunia.

2. Hubungan Empat Pilar Pendidikan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS)


Dalam UUD nomor 20 tahun 2003 ayat 1 menjelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2

2
Depdiknas, “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL,” Zitteliana 18, no. 1 (2003): 22–27.
Dalam hak dan kewajiba warga negara untuk memperoleh pendidikan juga tertera di
pasal 5 yang berbunyi :
a. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu.
b. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
c. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
d. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
e. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat.
Nah sudah terlihat jelas bahwa pendidikan itu bukan hanya di dalam lingkungan
pendidikan sekolah saja, tetap di luar sekolah pun sangat di butuhkan oleh masyarakat.
Lalu hubungan dengan Pendidian luar sekolah dengan menyangkutkan empat pilar
pendidikan di mana rehabilitas hanya terpusat pada beberapa tempat umumnya kota-kota
besar yang menjadi tempat sentral pendidikan, sementara di daerah yang sudah tidak
terjamah lagi, rasanya akan menjadi sesuatu yang sulit untuk memajukan pendidikannya
karena pemerintah tidak memandang bagaimana kondisi pendidikan di daerah tersebut,
apakah sudah sejahtera atau tidak dari segi pendidik dan peserta didik.
Sebagaimana pilar pendidikan pada point pertama di atas, “Learning to know”,
bagaimana siswa dapat menambah ilmu sebanyak-banyaknya misalnya di desa terpencil
sedangkan fasilitasnya saja tidak memadai misalnya referensi bagi peserta didik disana.
Lalu, mengarah ke point kedua, “Learning To Do”, masih terkait dari point di atas, tentu
sesuatu yang sangat tidak mungkin untuk menghasilkan output yang berkualitas yang
mampu berkarya jika tidak dibekali pengetahuan dimana fasilitas sebelumnya sudah tidak
memadai.
Mengarah ke point ketiga, “Learning To Be” belajar untuk menjadi seseorang. Hal ini
sangat berkaitan dengan bakat dan minat yang dimiliki seseorang. Jika seseorang memiliki
bakat yang lebih, dalam suatu bidang tidak akan mampu berkembang apabila tanpa ada
dukungan dan fasilitas baik dari guru itu sendiri dan pengaruh lingkungan luar. Jadi tanpa
peranan guru sebagai fasilitator maka pilar ketiga yang dicetuskan UNESCO tidak akan
terlaksana dengan baik.
Begitu juga dengan poin yang keempat “Learning to Live Together ” belajar untuk
menjalani kehidupan bersama. Maksud dari point keempat ini adalah bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang aman tentram, dan saling menghargai antar agama, suku, ras,
dan budaya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini toleransi antar
sesama manusia sangat diperlukan, karena umat manusia itu ditakdirkan untuk menjalani
kehidupan bersama-sama dan tidak dapat menjalani kehidupan itu sendiri. Disinilah
diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam memajukan pendidikan Indonesia. Baik itu
guru, pemerintah, masyarakat, orang tua siswa, dan juga siswa itu sendiri sebagai objek
pendidikan. Yang nantinya mampu memajukan pendidikan di Indonesia agar mampu
mewujudkan negara yang maju dan mampu bersaing dengan dunia luar, dengan kualitas
SDM yang tinggi.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pendidikan sepanjang hayat mutlak untuk dijalankan oleh setiap manusia yang
terlahir ke dunia ini. Adapun empat pilar pendidikan yang dikeluarkan oleh UNESCO adalah
learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together.

Pendidikan itu bukan hanya di dalam lingkungan pendidikan sekolah saja, tetap di luar
sekolah pun sangat di butuhkan oleh masyarakat.
Lalu hubungan dengan Pendidian Luar Sekolah dengan menyangkutkan empat pilar
pendidikan di mana rehabilitas hanya terpusat pada beberapa tempat umumnya kota-kota
besar yang menjadi tempat sentral pendidikan, sementara di daerah yang sudah tidak
terjamah lagi, rasanya akan menjadi sesuatu yang sulit untuk memajukan pendidikannya
karena pemerintah tidak memandang bagaimana kondisi pendidikan di daerah tersebut,
apakah sudah sejahtera atau tidak dari segi pendidik dan peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003


TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.” Zitteliana 18, no. 1 (2003): 22–27.
Laksana, Sigit Dwi, and Fakultas Agama Islam Universitas Muha. “INTEGRASI EMPAT
PILAR PENDIDIKAN (UNESCO) DAN TIGA PILAR PENDIDIKAN ISLAM Sigit”
(1386): 43–61.

Anda mungkin juga menyukai