Anda di halaman 1dari 25

Sosialisme Marx: Dari Utopis Ke Ilmiah

mazhabkepanjen.comJanuary 28, 2017

Oleh: Herlianto A, santri STF Al Farabi Malang

Sumber: suprijono.blogspot.com

“Orang harus mengajari rakyat menakut-nakuti diri sendiri untuk membuatnya berani”

Rupanya tema sosialisme tetap saja seksi dalam perdebatan dan diskusi-diskusi, meski sebagian pemikir
mencoba mencibir bahkan menghina tema ini. Sebagian lagi menilainya utopis lantaran tak mewujud
dalam realitas. Namun seiring dengan kritik yang bertubi-tubi, sosialisme semakin nyaman
bermetamorfosa dengan segala varian-variannya hingga di abad kontemporer ini.

Jika ditelusuri sejarahnya, sosialisme sebenarnya tidak muda usianya. Pada zaman keemasan Yunani (the
miracle of Greece) sudah dapat ditemukan embrio sosialisme. Salah satu pemikirnya yang kondang
adalah Plato (428-374 SM), yang dituangkan dalam magnum opus-nya Republik. Sosialisme ala Plato
berbeda cukup kontras dengan sosialisme abad pertengahan: ala Saint Simon, Babeuf, Robert Owen,
dan Fourier, termasuk berbeda dengan sosialisme ala Marx. Sosialisme Plato mengandaikan terjadi dan
berada dalam negara, sementara pasca Plato justru menghapuskan negara.

Selain itu, etika peripatetik Stoik (4-3 SM) juga mengajarkan bagaimana hidup dalam kebersatuan
dengan alam yaitu alam dan tubuh manusia sebagai satu unitas. Tak perlu lagi negara dan tak ada lagi
kepemilikan, kehidupan menjadi mendunia dengan prinsip hukum alam. Kehidupan menjadi tanpa
strata sosial tertentu. Sosialisme macam ini, meminjam bahasa Frans Magnis Suseno, adalah sosialisme
purba. Sekalipun terdapat perbedaan yang cukup mendasar, pada intinya ada satu benang merah yang
menyatukan silsilah sosialisme yaitu kehidupan bersama yang lebih baik dengan menghilangkan
kepemilikan atau mencapai kesejahteraan umum.

Fakta sejarah pemikiran inilah yang membuat sosialisme never die di jagat pemikiran ini. Tulisan ini
mencoba menelusuri perkembangan sosialisme dari utopis abad pertengahan hingga ilmiah ala Marx.
Batasan ini karena titik tekannya pada sosialisme versi Marx, sehingga perlu menelusuri keadaan
sosialisme sekitar masa Marx. Dengan demikian, oretan ini ingin menjawab bagaimana Marx
mengkonsepsi sosialisme ilmiahnya? Serta bagaimana sosialisme ilmiah itu sendiri?

Menakar Sosialisme Utopis

Sosialisme[1] pada dasarnya keyakinan diri bahwa segala bentuk penderitaan dan penindasan dapat
dilenyapkan. Penderitaan dalam arti penzaliman atau pembajakan politik dan ekonomi yang
mengakibatkan teralienasinya manusia dari hak dan hakekatnya sendiri. Sosialisme menurut Kristeva,
berarti suatu masyarakat dimana para pekerja mengelola dan meguasai sepenuhnya alat-alat produksi
dan menata ekonomi dan politik secara demokratis[2].

Sosialisme abad pertengahan muncul setelah liberalisasi dan kapitalisasi dunia mencapai puncak
penistaannya. Dimana manusia tak lagi punya nilai sebagai manusia, ia tak lebih dari benda mati yang
dikomuditaskan dan dieksploitasi sedemikian rupa dengan segala rupa modus operadi-nya oleh
segelintir orang yang mengaku pemilik modal. Muncullah disorientasi dan disorganisasi sosial yang
meresahkan. Dalam situasi ini memicu keinginan untuk melenyapkan gigantisme kapital tersebut melalui
tata sosial baru yang disebut sosialisme.

Beberapa tokoh yang dianggap sebagai pelopor sosialisme ini, di antaranya: F Noel Babeuf (1760-1797),
Saint Simon (1760-1825), Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (1772-1837), Louis A Blanqui (1813-
1882) dst. Tokoh-tokoh ini pada dasarnya ingin menegakkan kepemilikan bersama sebagai prasyarat
kesejahteraan dan sebagai sistem tandingan terhadap kapitalisme yang menistakan manusia. Namun
dalam upaya penegakan sosialisme, masing-masing tokoh melalui konsepsi teknis yang berbeda.

Mulai dari cara perlawanan diktator, melibatkan negara, hingga membangkitkan kekuatan kalangan
tertindas. Misalnya Babeuf, dalam gejolak revolusi Prancis menyuarakan perang kaum miskin melawan
kaum kaya. Bahwa tanah dan bumi mestinya tidak dikuasai secara pribadi, melainkan milik bersama.
Pemilikan dan akumulasi kekayaan secara pribadi adalah pencurian atas hak-hak manusia lainnya. Untuk
mewujudkan ini, bagi Babeuf perlu perlawanan kekerasan dari kalangan tertindas itu sendiri.
Simon satu konsep dengan Babeuf dalam memahami sosialisme tetapi mewujudkannya bukan melalui
perjuangan kelas, tetapi melalui penataan mayarakat dari atas yang ilmiah. Dalam konteks ini
melibatkan pengaturan oleh negara dan pemerintah. Sementara Owen, menitikberatkan pada reformasi
tatanan industrial, pengupahan, dan sistem keuangan. Pembentukan ulang ini dapat dilakukan dengan
memerhatikan kesejahteraan buruh melalui peraturan-peraturan yang ketat sebagaimana kerap
diupayakan oleh pemerintah Indonesia belakangan ini. Dengan begitu antara buruh dan borjuis sama-
sama diuntungkan[3].

Fourier mencoba mewujudkan sosialismenya melalui pengorganisasian ekonomi dan masyarakat dalam
bentuk komunitas-komunitas yang disebut phalansterium. Dalam komunitas ini masyarakat hidup
secara agraris dan mandiri serta memproduksi segala kebutuhan mereka sendiri. Perumusan dasar-
dasar sosialisme ini, menurut Marx, tidak didasarkan pada kondisi objektif masyarakat, sehingga disebut
sosialisme ilmiah.

Sosialisme Ilmiah

Yang membedakan sosialisme Marx dengan sosialisme lainnya adalah bahwa Marx menyusun
gagasannya berdasarkan pada syarat-syarat objektif perkembangan masyarakat. Sehingga ia
menamakan sosialismenya ilmiah. Syarat objektif ini mengacu pada dua hal, yaitu kekuatan-kekuatan
produksi (forces of production) dan relasi-relasi produksi (relation of production).

Kekuatan produksi mencakup orang yang bekerja, alat produksi, dan bahan yang digunakan. Intinya
relasi manusia dengan alam. Sementara relasi produksi kaitannya dengan segala segi kehidupan manusia
yang ada hubungannya dengan proses produksi termasuk dengan lembaga sosial. Diantaranya campur
tangan kaum borjuis yang membuat mereka menderita[4]. Dua poin tersebut selanjutnya, dalam
struktur determinisme ekonomi Marx, disebut basis yang mempengaruhi superstruktur.

Menurut Marx, dua hal itu menjadi faktor objektif dari setiap perkembangan masyarakat. Dalam
Ideologi Jerman, dia membagi lima perkembangan masyarakat, yaitu: 1) komunal primitif, masyarakat
bersifat pemilikian kesukuan, 2) masyarakat perbudakan, munculnya hak milik pribadi, 3) masyarakat
feodal, penguasaan atas tanah, 4) masyarakat borjuis, munculnya kaum kapital dan buruh yang
dipekerjakan, dan 5) masyarakat sosialis yaitu masyarakat tanpa kelas. Dari setiap lompatan
perkembangan tahapan masyarakat ini semuanya didasari atas kondisi objektifnya: kekuatan produksi
dan relasi produksi. Temuan ini selanjutnya diistilahkan “Materialisme Historis.” Jadi faktor
perkembangan masyarakat bukanlah sesuatu yang mengawang di langit metafisika begitu saja.
Melainkan sesuatu yang empiris-objektif dalam kehidupan masyarakat.

Premis dari konsep sejarah kami adalah individu-individu nyata, aktivitas mereka dan kondisi material
dari kehidupan mereka, entah yang sudah ada di hadapan mereka ataupun yang diproduksi oleh
aktivitas mereka. Premis-premis ini bisa diuji secara empiris.[5]

Selanjutnya, menurut Marx, antara satu tahapan sejarah bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan
memiliki keterkaitan yang erat. Bahkan perkembangan sejarah yang lebih dulu menentukan terhadap
perkembangan yang selajutnya.“Sejarah hanyalah pergantian dari generasi yang berbeda, setiap
generasi menggunakan materi, dana kapital, sumberdaya produksi yang diwariskan sebelumnya.

Sehingga sejarah selanjutnya dibuat sebagai tujuan dari sejarah sebelumnya.” Ketersambungan sejarah
ini menjadi penting untuk menjelaskan bagaiamana masyarakat sosialis yang saat ini masih belum
terwujud. Sekalipun tak sedikit negara yang telah mengklaim diri sosialis tetapi sebenarnya tidak
sepenuhnya tepat dengan apa yang dinubuatkan Marx. Kegamangan ini yang membuat kalangan
Marxian sendiri saling melontarkan kritik revisionis satu sama lain.

Masyarakat Sosialis

Bagaimana masyarakat sosialis itu sendiri? Benarkah yang diwujudkan Lenin (Uni Soviet), Mao
(Tiongkok), Fidel Castro (Kuba), atau bahkan yang direncanakan oleh DN Aidit di Indonesia merupakan
realitas sosialisme ala Marx? Atau setidaknya sejalan dengan kerangka Marx? Jika memang benar,
berarti sosialisme tak usah dibicarakan lagi. Karena sosialisme atas tafsir tokoh-tokoh tersebut sudah
collapse. Hampir tak ada yang tersisa, sekalipun masih ada, wujudnya kepingan-kepingan yang tak lama
lagi juga akan menemui ajalnya.

Lalu bagaimana sosialisme digambarkan Marx? Marx banyak menjelaskan sosialisme dalam Jerman
Ideologi, Manifesto Komunis, Das Kapital dan Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat 1844. Sebenarnya
sulit rasanya menjelaskan masyarakat yang seutuhnya sosialis, lantaran tak ada satupun di antara kita
yang sudah mendahului hidup di zaman tersebut. Tetapi Marx menjelakan material-material yang
mendasari kemungkinan lahirnya masyarakat sosialis. Meraba masyarakat sosialis, perlu mengkaji
bagaimana sejarah masyarakat borjuis.
Marx membeber begitu detail bagaimana praktek kehidupan masyarakat borjuis ini dalam Das Kapital.
Tentu tidak mudah menghadirkan analisa ekonomi buku setebal tiga jilid itu dalam paper sederhana ini.
Namun pada dasarnya, Marx menjelaskan eksploitasi proletar oleh borjuis. Proletar sebagai kelas yang
ditindas dan borjuis sebagai penindas. Ini kemudian disebut pertentangan kelas, yang hendak dihapus
dalam masyarakat sosialis, yang terjadi di dalam relasi produksi objektif. Dalam konteks sejarah,
pertentangan kelas bukan sesuatu yang baru, sudah menyejarah sama tuanya dengan kehidupan itu
sendiri. Abstraksi ini kemudian disebut “Materialisme Dialektis.”[6]

Melalui materialisme dialektis, Marx menganalisa masyarakat borjuis yang berujung sosialisme. Bahwa
kapitalis pada dirinya mengandung kontradiksi internal. Kontradiksi ini dapat dilihat dari watak
kapitalisme itu sendiri yang ekspansif dan saling melemahkan satu sama lain. Produksi kecil gulung tikar
akibat bentangan sebaran out put produksi besar-besaran yang kian gencar melalui free trade (pasa
bebas). Disisi lain:

Borjuis tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakasn produksi dan
karenanya merevolusionerkan hubungan produksi, dan dengan itu semua merevolusionerkan segenap
hubungan dalam masyarakat.[7]

Konsekuensinya, selain over produksi juga memicu pertambahan jumlah proletar yang disebabkan
efiensi tenaga kerja yang ketat karena diganti dengan tenaga mesin. Pertumbuhan jumlah proletar ini
berpotensi pada dialektika selanjutnya yaitu kuantitas ke kualitas, yaitu bahwa massa proletar seantero
dunia akan bersatu berkat kesamaan nasib dan rasa seperjuangan dan akan merebut basis produksi
beserta alat-alatnya.

Perebutan ini disebut diktator proletariat. Yang mana proletar kemudian menata sendiri ekonomi dan
politiknya berdasarkan prinsip demokratis dan tanpa kepemilikan pribadi. Inilah masyarakat sosialis yang
dicita-citakan Marx. Jadi sosialisme mensyaratkan kematangan kapitalis dan hanya terjadi pada negara
yang kapitalisme sangat maju. Dari analisa ini tentu yang dilakukan Lenin dan beberapa tokoh lainnya
adalah ketergesaan belaka.

Tugas Proletariat
Proletariat menempati posisi istimewa dalam proses revolusi sosialis. Marx menyatakan bahwa “dari
semua kelas yang sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan borjuasi, hanya proletariatlah satu-
satunya kelas yang betul-betul revolusioner. Kelas lain (tuan pabrik kecil, tuan toko, kelas tengah
rendahan) melapuk dan akhirnya lenyap ditelan industri besar.”[8] Hal ini karena kaum tersebut, hanya
berupaya menyelamatkan diri dari kemusnahan. Mereka justru berupaya untuk kembali memutar
sejarah, sehingga sikapnya konservatif dan bahkan reaksioner.

Untuk itu, tugas revolusi disandangkan pada kaum proletar. Penyematan tugas suci itu berkait erat
dengan potensi kekuatan kuantitas dan kenyataan bahwa proletar berada dalam kungkungan dan
penindasan. Sehingga memungkinkan proletar menyadari kondisinya yang tertindas dan segera bangkit.

Kaum proletar tidak dapat menjadi tuan atas tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat, kecuali dengan
menghapuskan cara pemilikan mereka sendiri yang terdahulu atas tenaga-tenaga produktif, dan dengan
begitu juga menghapuskan segala cara pemilikan lain yang terdahulu. Mereka tidak mempunyai sesuatu
pun yang harus dilindungi dan dipertahankan, tugas mereka ialah menghancurkan segala perlindungan
dan jaminan yang terdahulu atas milik perseorangan[9].

Marx juga menegaskan bahwa sudah menjadi takdir sejarah bahwa mula-mula perjuagan dilakukan oleh
orang-seorang dari kalangan proletar, kemudian buruh-buruh di suatu pabrik, lalu oleh buruh-buruh
dalam suatu perusahaan, buruh suatu negara hingga buruh secara internasional. Untuk itu bersatunya
buruh menjadi kunci revolusi sosialisme, hingga diakhir Manifesto Komunis Marx tegas menyatakan
KAUM BURUH BERSATULAH! Dengan demikian sosialisme terwujud bukan karena kapitalisme jahat,
melainkan karena masyarakat memiliki syarat objektifnya untuk penghapusan hak milik pribadi.

Kiritik Atas Sosialisme Marx

Belum terwujud sosialis, tampaknya kritik atasnya sudah bertubi-tubi. Diantaranya: bahwa penghapusan
kepemilikan pribadi menimbulkan kekerasan perampasan dan kemalasan umum sehingga berhentilah
semua pekerjaan. Dengan begitu tata kehidupan tidak akan berjalan. Marx menjawab jika bersandar
pada argumen ini mestinya dari dulu borjuis sudah lenyap karena mereka adalah pemalas. Tidak bekerja
tetapi mendapat sesuatu. Hidup mewah dengan memeras keringat kaum buruh.
Bahwa penghapusan milik pribadi apakah berarti juga penghapusan hak atas istri. Sehingga akan lahir
satu istri untuk semua. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? menurut Marx bukankah selama ini para
kapitalis kaya telah melakukan praktek kepemilikan bersama atas satu perempuan, sebagaimana terjadi
melalui praktek-praktek prostitusi.

Kemudian, pendasaran filsafat Marx atas segala yang material juga dikritik sebagai anti agama dan
metafisika. Kritik Marx atas agama adalah konsekuensi dari realitas bahwa agama digunakan untuk
membelenggu sehingga manusia (proletar) atas nama Tuhan tidak melawan. Untuk itu, Marx menantang
agar agama beranjak dan dijadikan senjata revolusi jika memang begitu. Konsepsi filsafat ilmiah Marx
mengingkari yang metafisis?

Menjawab ini, Analisa Dede Mulyanto menarik dihadirkan, bahwa adalah fakta tak ada dalam ruang-
ruang akademis yang menyandarkan pada sesuatu yang metafisis. Belum ada seorang guru besar
meneliti “Pengaruh Intensitas Kunjungan Setan Terhadap Meningkatnya Prostitusi di Doly,” atau
“Intervensi Malaikat Dalam Turun-Naiknya Rupiah terhadap Dolar.” Dengan demikian, filsafat ilmiah
Marx bukanlah sesuatu yang doktrinal melainkan kerangka yang selalu terbuka untuk dikritisi dan
dikembangkan secara ilmiah pula.

#filsafatmazhabkepanjen

[1] Kata sosialisme muncul di Prancis pada tahun 1830 termasuk komunisme. Semula artinya sama,
tetapi komunisme cenderung diatributkan pada sosialis radikal. Keduanya sama-sama menuntut
penghapusan total hak milik pribadi serta mengharapkan kesamaan hidup tanpa melalui negara. Marx
dan Angel awalnya menggunakan kata komunis tetapi selanjutnya lebih banyak menggunakan
sosialisme. (Suseno: 1999, 19)

[2] Nur Sayyid Santoso Kristeva. Sejarah Ideologi Dunia: Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Fasisme,
Anarkisme, Anarkisme-Marxisme, Konservatisme. Jogjakarta. 2012., hal 26

[3] Frans Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1999., hal 25

[4] Andi Muawiya Ramly. Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis.
Jogjakarta: LkiS. 2009., hal 139-142

[5] Karl Marx & Frederick Engels. Ideologi Jerman. Jogjakarta: Pustaka Nusantara.2013., hal 10
[6] Materialisme dialektis dalam arti marxisme memiliki tiga pemahaman: negasi atas negasi, kontradiksi
internal dan perubahan dari kuantitas ke kulaitas.

[7]Karl Marx & Friedrich Engel. Manifesto Partai Komunis. Jogjakarta: Cakrawangsa. 2014., hal 39

[8] Manifesto Partai Komunis., hal 49

[9] Manifesto Partai Komunis., hal 50

"Materialisme Dialektis: Konsep Pengetahuan Marxisme Sebagai Epistemologi Kiri

mazhabkepanjen.comMarch 01, 2015

Oleh: Herlianto A, penikmat kajian sosial dan filsafat STF Al Farabi Malang

Bagi kalangan aktivis gerakan, nomenklatur kiri[2] bukan sesuatu yang baru. Istilah tersebut menjadi
petanda semangat perlawanan, anti kemapanan, anti kekuasaan, dan semangat revolusioner. Namun,
secara historis terminologi tersebut acap kali distigmatisasi sebagai pembangkangan dan subversif.
Agen-agennya dipersempit ruang geraknya oleh penguasa, sebagian diculik dan dibunuh. Buku-buku
yang berbau kiri dibredel dan dibumi hanguskan. Pada 19 April 2001 lalu, di Indonesia dilakukan
pembakaran buku-buku Marxis yang dinilai berbau kiri dan membahayakan kekuasaan.[3] Tindakan fisik
ini menunjukkan ketakmampuan diri, para musuh-musuh gerakan kritis, untuk melawan dengan
keterbukan pemikiran dan kejujuran intelektualitas.

Tak berhenti disitu, kiri kemudian dicitrakan sebagai “hantu” dengan segala variannya: Komunisme,
Sosialisme, dan Marxisme yang super duper ngeri karena muatan perlawanan yang dikandungnya.
Streotype ini dibangun oleh kemapanan (establishment), kuasa dan kelas borjuasi kapitalis yang nyaman
menikmati darah kelas proletar agar tetap langgeng dan mapan dan selamanya menari diatas
penderitaan orang lain (I’ll home par I’ll home).

Kenyataan ini dialami oleh mereka yang terlanjur dicap kiri, di beberapa negara di dunia termasuk
Indonesia lebih-lebih pasca tragedi 65. Sedihnya, tak sedikit elemen masyarakat, yang mestinya berada
di kiri, terlarut dalam stigmatisasi tersebut hingga juga menghujat. Menurut Listiyono Santoso, ini
“menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk (model) pemikiran, juga
menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan (fatal) dalam pemahaman masyarakat atas terminologi kiri.”
Karena hakikatnya, kiri merupakan pemikiran dan gerakan sosial yang punya spirit kritis dan gerakan
sosial perlawanan atas kemapanan yang selama ini justru mendera kelas bawah.

Itulah substratum atau kerangka dasar kiri. Dengan demikian, term itu tidak bisa dipersempit pada
Marxisme dan komunisme saja, tak sedikit pemikir dan aliran-aliran gerakan perubahan yang membawa
misi kritis dan semangat anti kemapanan, dengan begitu mereka juga kiri. Tak hanya pemikir Barat,
seperti K. Marx, F. Nietzsche, A.Gramsci, H. Marcuse dst, pemikir Islam juga tak sedikit memiliki
semangat kiri, sebut saja kritik Epistemologi ala M. Arkoun, Oksidentalisme Hasan Hanafi, Gugatan
epistemologi-liberatif Asghar A Engineer, Kritik turas Abed Al Jabiri, dst.

Namun tulisan ini tidak bermaksud mengulas keseluruhan epistem tokoh-tokoh tersebut. Pembahasan
dikerucutkan pada “Materialisme dialektis” sebagai epistem Marxisme. Pilihan ini didasarkan selain
ajaran ini paling banyak mendapati sorotan hampir di sepertiga dunia disepanjang abad 18/19 hingga
kini, juga lebih awal dari tokoh-tokoh lain yang disebutkan diatas. Adapun rute pembahasan akan start
dari soal konsepsi epistemologi itu sendiri: bagaimana lahirnya epistemologi dan apa varian-variannya?
Kemudian berlanjut ke jejak dialektika: bagaimana sejarah dialektika? Selanjutnya masuk ke
materialisme dialektis: apa dan bagaimana materialisme dialektis? Logika apa yang menjadikan materi
dasar absolut? dan bagaiman memposisikan materialisme dialektis?

Loop Epistemologi

Secara sederhana epistemologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengetahui atau ilmu tentang
pengetahuan. Dari definisi ini epistemologi paling tidak meniscayakan tiga hal. Pertama, ada internal
(yang mengetahui/subjek), ada eksternal (yang diketahui/objek), dan keraguan yang memicu upaya
internal mengerti yang eksternal. Dari tiga kerangka inilah epistemologi menjadi mungkin. Sehingga
urutannya alam dan non manusia lainnya (eksternal) ditanggkap indera lalu dikonsepsi dalam pikiran
dan membentuk kriteria umum dalam pikiran (internal).

Jadi alam sebagai salah satu sumber pengetahuan yang diolah dalam pikiran. Sayangnya tidak semua
filsuf sepakat dengan pola alam-indera-rasio sebagai satu rangkaian epistemologi manusia. Sebagian
filsuf berhenti pada indera dan melahirkan aliran empirisisme sebagai satu-satunya epistemologi dengan
begitu menangguhkan rasio. Sebagian lainnya hanya bertumpu pada rasio dan memunculkan
rasionalisme, dan mengganggap pengetahuan indera tidak utuh.
Immanuel Kant (1724-1804) sebenarnya sudah mencoba untuk memadukan empirisisme dan
rasionalisme, tetapi lagi-lagi masih menyisakan residu idealisme dan berkubang dalam lumpur
transendentalisme. Alih-alih mengawinkan, Kant terjebak pada kriteria-kriteria pengetahuan (kategori)
yang tak menyentuh secara tepat pada problem empirisisme-idealisme.

Setelah memastikan “ada ekstenal” dan “ada internal,” pertanyaan selanjutnya bagaimana memastikan
bahwa “ada eksternal” itu ada tanpa prasyarat atau jaminan apapun dari yang lain (ada internal).
Bukankah adanya semesta ini karena ada manusia yang mempersepsinya sebagai ada. Tanpa subjek
yang memikirkan, kemungkina semesta bisa dua: “ada eksternal” ada atau tiada? Maka yang absolut
internalitas, ini mengafirmasi cogito ergo sum ala Rene Descartes. Lantas bagaiman yang ekternal
material bisa absolut? Pertanyaan ini akan dijawab di pembahasan selanjutnya.

Jejak (Trace) Dialektika

Dialektika sebenarnya bukanlah barang baru dalam dunia filsafat, zaman Yunani kuno sudah
membicarakannya. Herakleitos (535-475 SM) adalah salah satu dedengkotnya. Dia menyatakan bahwa
kontradiksi adalah imanen dalam alam semesta (unity of opposite). “Kontradiksi bersemayam dalam
setiap “hal ada” dan inilah yang menjadi penyebab segala perubahan.”[4] Segala sesuatu beropposisi
biner: siang-malam, laki-laki-perempuan, tua-muda dst dan karenanya memungkinkan unitas (unity)
bukan singularitas ala Permedian, mazhab Elea dan jajaran Monis lainnya. Dengan demikian tidak ada
yang konstan dalam semesta, semuanya dinamis dan berubah. Diktumnya yang terkenal yaitu
“seseorang yang turun ke sungai tidak akan menyentuh air yang sama dua kali.” Dan sebab itu
kehidupan di alam ini terus berlanjut.

Dialektika menemukan momentumnya yang terakbar ditangan GWF Hegel, filsuf mashur asal Jerman
(1770-183). Dia merumuskannya dengan lebih bernas, baginya kenyataan adalah sebuah proses
dialektika. Dialektika berarti segala sesuatu hanya benar apabila dilihat dalam keseluruhan
hubungannya, yaitu hubungan negasi. Maka, “pengetahuan adalah proses dimana objek yang diketahui
dan subjek yang mengetahui saling mengembangkan (menegasikan), sehingga tidak pernah selesai satu
sama lain.”[5] Ini berarti bahwa pengetahuan adalah proses yang tak berkesudahan (on going process),
dimana apa yang kita ketahui hari ini akan disangkal (dinegasikan) oleh pengetahuan besok yang lebih
baru. Dan pengetahuan besok akan disangkal lagi oleh pengetahuan hari berikutnya (lusa). Yang terjadi
adalah negasi atas negasi yang tak berkesudahan.
Namun demikian, setelah dinegasi, suatu pengetahuan lama bukan berarti salah, melainkan berada
dalam cahaya pengetahuan yang baru. Negasi-negasi itu diangkat ke jenjang yang lebih tinggi, yang
disebut dalam istilah Jerman aufgehoben. Menurut Budi Hardiman, aufgehoben berarti diangkat dan
bukan peniadaan atau pembatalan, melainkan dua negasi yang beropposisi diangakat ke taraf yang lebih
tinggi dan kebenaran dari kedua negasi masih dipertahankan.[6]

Dengan demikian memungkinkan adanya triadik: tesis, antitesis, dan sintesis. Contoh sederhanya yang
sering dipakai: Pulau adalah tanah (tesis), tidak betul karena Cina juga tanah tetapi bukan pulau, pulau
bukan tanah melainkan air (antitesis). Pulau itu bukan air, melainkan tanah yang dikelilingi air (sintesis).
Dalam contoh ini “kebenaran pulau” melalui proses dua kali negasi.

Hegel melihat alam tidak hanya real tetapi juga sebagai roh atau yang absolut. Untuk sampai pada
dirinya, roh harus mengojektifikasi diri dalam alam, alam merupakan alienasi dari roh. Alam menjadi
sesuatu yang memungkinkan kesadaran manusia. Dengan demikian pengetahuan manusia adalah
pengetahuan akan yang absolut. Ajaran ini yang membuat Hegel masuk dalam pemikir idealisme, yang
berarti tindakan manusia ditentukan oleh kesadarannya akan yang absolut. Tetapi, menurut Martin
Suryajaya, idealisme Hegel tidak hanya soal kesadaran menentukan hasil produksi dan segala peradaban
manusia, tetapi menambatkan argumen dasarnya yaitu “relasi internal”.

Doktrin ini melihat identitas atau esensi dibentuk oleh kaitannya dengan yang lain. Dan hukum ini
berlaku universal pada semua benda apapun. Misalnya, mengatakan buku bukan pulpen, berarti pulpen
hadir secara negatif dalam buku (negativitas internal). Relasi buku dengan pulpen bersifat menentukan
bagi identitas buku. Artinya buku identik dengan dirinya sendiri sejauh ia identik dengan relasinya pada
yang lain. Pola konstitusi demikian terjadi pada semua hal. Setiap positivitas senantiasa ada negativitas.

Namun, negativifitas internal ala Hegel mensyarakatkan positivitas mutlak yaitu sesuatu yang tak lagi
membutuhkan negativitas, dan ia adalah materialisme objektif itu sendiri, yang selanjutnya menjadi
dasar inti kritik Marx atas Hegel. Jika segala sesuatu berkorelasi maka harus ada yang a-korelasi agar
korelasi menjadi bermakna. Disini kita mulai membuka batas idealisme, dan batas itu adalah realisme
dimana Marx mengembangkan kritik epistemologinya[7].

Epistemologi Marxian
Menurut Listiyono, sebenarnya tak ada karya Marx yang secara khusus membahas soal epistemologi,
tetapi secara implisit dari keutuhan filsafatnya menyiratkan konsep pengetahuannya. Terlebih setelah
masuk dalam materialisme dialektis dan kritiknya atas idealisme Hegelian. Listiyono secara sederhana
meletakkan materialisme dialektika Marxian dalam arti semata-mata dialektika yang bersandar pada
materi. Dia memulai dari mendefinisikan materialisme sebagai teori yang memposisikan materi sebagai
unsur dasar yang membentuk alam, dan bahwa kesadaran manusia dan segala bentuk psikologis yang
menempel padanya dibentuk oleh mode materi.[8]

Lantas, dia menarik materi ini ke dalam dialektika, bahwa dialektika adalah satu kesatuan dari segala hal
yang berlawanan (relasi interanal: positivitas dan negativitas) yang bersifat materi. Dengan demikian,
prinsip ini menolak prinsip ontologis dialektika Hegelian yang berkesan mistik dan bernuansa rohaniah.
Marx ingin membalik bahwa pemahaman dialektika idealisme (kontradiksi dan relasi internal) hanya
terdapat dalam pikiran dan dunia yang abstrak, bahwa dialektika adalah sesuatu yang bersifat empiris
nyata dalam alam dan dapat diteliti secara ilmiah. Dengan begitu Marx menegaskan bahwa hal-hal yang
roh (kesadaran) itu muncul karena dialektika materi. Dialektika itu nyata dalam kehidupan keseharian
bermasyarakat, sebagaimana ditulis Marx dalam Manifesto Partai Komunis bahwa:

“Sejarah semua masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan
plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang
tertindas senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain.”[9]

Pernyataan lain yang secara implisit bisa dikutip sebagai dialektika misalnya:

“Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan
tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan milik
yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasannya.”

Sampai disini Marx resmi menjadi antitesis dari dialektika Hegelian, dan secara perlahan
merobohkannya. Dalam Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat 1844, secara tegas Marx menyebut bahwa
filsafat Hegelian melihat hakikat manusia setara dengan kesadaran diri. Karena itu, setiap perenggutan
hakikat manusia tidak lain sebagai alienasi kesadaran diri. Namun sayang, Hegelian menambatkan
alienasi itu pada pikiran. Padahal alienasi yang sesungguhnya, bagi Marx, adalah manifestasi dari alienasi
itu sendiri yang kemudian menyebabkan internalisasi ke dalam kesadaran diri. Marx menyatakan:

“Orang yang menguasai keberadaan hakikinya hanyalah kesadaran diri yang menguasai hakikat-hakikat
objektifnya. Oleh karenanya, kembalinya objek ke dalam dirinya adalah pemilikan kembali objek itu
sendiri.”[10]

Sampai disini, teori relasi internal Hegelian, bahwa positivitas sekaligus negativitas ditolak mentak-
mentah. Artinya kontradiksi internal itu hanya mungkin dalam pikiran, tetapi tidak mungkin dalam
realitas nyata. Bagaimana bisa kita menyebut buku sekaligus pulpen atau pria sekaligus wanita,
pernyataan ini tidak memiliki acuannya dalam realitas. Dalam pandangan Aristoteles, kontradiksi
internal ini menyalahi prinsip logika lainnya yaitu non-identitas. Sehingga mustahil terjadi dalam realitas.
Dengan kata lain Marx mengajak kita pada batas akhir idealisme yaitu realisme itu sendiri.

Kerangka materialisme dialektis ini membawa konsekuensi epistemologis bahwa segala sesuatu atau
segala bentuk pengetahuan harus dikonstitusi melalui materi secara dialektis. Dengan kata lain bahwa
pengetahuan manusia diperoleh melalui proses yang objektif-material. Dan khasnya adalah kenyataan
objektif ini berada dalam situasi yang dialektis satu sama lain yang justru memungkinkan lahirnya
pengetahuan. Pada titik ini Marx tegas menyatakan bahwa bukan kesadaran yang membentuk
kehidupan manusia, melainkan hidup itu sendirilah yang menentukan kesadaran manusia.

Dasar Logika Materialisme

Sampai pada gagasan diatas, rasanya cukup untuk mengerti secara sederhana epistemologi dan kritik
epistemologi Marx atas Hegelian. Tapi mari jangan berpuas diri, kita perlu mengorek lebih filosofis
kelahiran materialisme dialektis Marx. Karena jika ditelisik lagi dasar materialisme dialektis tidak
sesederhana itu. Artinya ada alasan yang lebih mumpuni untuk menjangkarkan materialisme sebagai
dasar ontologis dan epistemologis. Kita akan mulai dengan pertanyaan dasarnya yaitu bahwa bagaimana
tanpa kesadaran (subjek) yang objektif (semesta) itu bisa “ada”. Bukankah tanpa subjek yang
mengetahui, keber-ada-an semesta ini memiliki dua kemungkinan: “ada” dan “tiada”. Karena memang,
meminjam bahasa Martin Heidegger, hanya manusia (subjek/dasein) yang membicarakan yang ada.

Dua kemungkinan tersebut muncul, menurut Martin Suryajaya, karena subjek tidak mengeta-huinya.
Misalnya, saat kita tidak berada dalam ruangan ini, bisakah kursi-kursi ini kita sebut ada atau tidak ada,
maka jawabannya jelas bisa “ada” dan “tidak ada”. Jika demikian lantas bagaimana Marx berpijak pada
materi (eksternalitas) sebagai dasar teori epistemologisnya. Artinya bagaimana Marx memastikan yang
objektif itu “ada”. Dalam hal ini, mestinya, Marx tidak serta merta berangkat dari kenyataan sejarah
bahwa proses produksi mengubah pola hidup dan pengetahuan manusia. Ada yang lebih mendasar dari
itu, dan ini sekaligus menjadi kritik filosofisnya terhadap Hegelian dan siapapun yang berhenti di ranah
roh-idealisme.

Dalam menjelaskan ini saya akan mengutip tiga tahap renungan Martin Suryajaya. Ini sekaligus sebagai
logika mencapai yang eksternal. Perenungan pertama seperti dijelaskan diatas bahwa jika subjek tidak
ada, maka yang ekstenal bisa “ada” dan “tiada.” Artinya keberadaan eksternal mungkin tidak
mensyaratkan keberadaan subjek, juga mungkin mensyaratkan keberadaan subjek. Yang kedua,
bagaimana jika yang eksternal tidak ada, artinya semesta, tata surya, beserta hiruk-pikuk sejarah dan
peradaban tidak ada. Maka tentu konsekuensinya manusia akan terjatuh dan entah berada dimana.

Sebagaimana kita tidur dalam rumah lalu rumah itu menghilang. Jika semesta “tidak ada” maka manusia
(subjek) juga “tidak akan ada.” Lantas bagaimana subjek tahu akan ketiadaannya tanpa yang eksternal?
Bisa kita korek kembali dari perenungan kedua bahwa eksternalitas ada yang tidak esensial terhadap
keberadaan subjek. Jika papan tulis, kursi, mobil dst tidak ada, maka tidak akan ada berpengaruh
terhadap keberadaan subjek. Tetapi apabila tidak ada air atau makanan, maka secara perlahan subjek
akan mati (tiada), dalam proses kematian itu subjek dapat mengamati secara sadar bahwa tanpa yang
eksternal, subjek tiada.

Tahap ketiga adalah mengamati relasi biologis berupa respirasi (pernafasan), bahwa keberadaan oksigen
tidak mensyaratkan adanya relasi respirasi dengan subjek. Subjek bisa saja mengintuisikan
menangguhkan keberadaan oksigen (bisa makanan dan minuman), tetapi intusi penangguhan oksigen
ini tidak akan mengubah fakta bahwa pada saat subjek mengguhkan oksigen dan makanan, dia akan
mati (tiada). Maka kebenaran bahwa “tanpa oksigen subjek akan turut tiada” tidak dihasilkan oleh
intuisi. Ia ada secara independen. Dengan begitu subjek sampai pada materialitas eksternal absolut yaitu
keberadaan oksigen niscaya tanpa keberadaan subjek[11]. Inilah yang menjadi dasar materialis secara
logis-filosofis, bahwa yang eksternal itu absolut, sebagaimana epistemologi membutuhkannya, dan
material.

Tak Sekedar Epistemologi


Setelah menangkap materi sebagai eksternal absolut, kita mencoba mengelaborasi Marx dalam ajaran
materialismenya, sebagaimana dituang dalam Jerman Ideologi bahwa perkembangan masyarakat
ditentukan oleh relasi materialnya, sebagaimana dia merumuskan tahapan masyarakat mulai dari
primitif, feodal dan kapitalis (dan rencananya komunis). Semua tahapan itu dasarnya adalah relasi
material berupa baik apa yang mereka produksi serta dengan apa mereka memproduksinya. Dengan
demikian:

“Produksi ide, konsepsi, kesadaran (pengetahuan), pada mulanya berkaitan langsung dengan aktivitas
material dan hubungan material manusia−bahasa kehidupan yang nyata. Pemahaman, pemikiran, dan
hubungan mental manusia pada tahap ini tampil sebagai akibat langsung dari prilaku material
mereka.”[12]

Selain itu, menurut Nur Sayyid Santoso Kristeva, materialisme dialektis Marx tidak sekedar memahami
ada keterasingan manusia dalam relasinya dengan materi. Namun juga bagaimana mengubah
keterasingan itu menjadi keadilan. Pada poin ini materialisme Marx berbeda dengan materialisme
Ludwig Feuerbach, yang hanya berhenti pada analisis bahwa manusia teralienasi oleh keyakinan
metafisisnya (agama).

Untuk itulah Marx menegaskan dalam Theses on Feuerbach khususnya thesis ke sebelas bahwa “para
ahli filsafat hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, tetapi persoalan sebenarnya adalah
bagaimana mengubahnya.” Dengan demikian jelas bahwa epistemologi materialisme dialektis tidak
hanya untuk memahami keterasingan tetapi bagaimana menghapuskan keterasingan. Filsafat tidak
hanya untuk mengerti adanya ketidakadilan, penindasan, korupsi, nepotisme dan segala bentuk
kejahatan kemanusiaan lainnya, melainkan yang terpenting adalah bagaimana memerangi itu semua.
[13]

Penutup

Epistemologi kiri pada dasarnya adalah pengetahuan yang menonjolkan semangat perlawanan terhadap
kenyamanan dan gigantisme kekuasaan. Epistemologi kiri menyediakan piranti analisa yang khas untuk
kemudian diterjemahkan dalam bentuk perlawanan konkrit. Marxisme dengan bentuknya materialisme
dialektika adalah salah satu bentuk aliran filsafat yang mengawali secara serius dan detail tentang
bagaimana epistemologi kiri lahir dan ditempatkan. Dengan begitu harapan kita setelah mengerti
kerangka epistemologi kiri dapat menggunakannya tak sekedar epistemologi untuk mengetahui tetapi
bagaimana melakukan tindakan praktis nyata untuk perubahan. (tulisan ini pernah dimuat di
Ragepublic.com, dimuat lagi untuk tujuan pendidikan).

#filsafatmazhabkepanjen

[1] Disampaikan dalam sekolah epistemologi kiri STF Al Farabi Kepanjen.

[2] Ada yang menjelaskan istilah kiri berasal dari tempat duduk legislatif dari kaum republik yang berada
disisi kiri saat menentang rezim sewenang-wenang Prancis. Karena kiri diidentikkan dengan “melawan”.
Tetapi rupanya, istilah kiri terus dinamis dengan segala bentuknya, dengan begitu tak bisa lagi direduksi
ke dalam konteks sejarah sempit itu.

[3] Listiyono Santoso dkk. Epistemologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia. 2014., hal 16

[4] Budiono Kusumo Hamidjojo. Filsafat Yunani Klasik: Relevansi Untuk Abda XI. Jogjakarta: Jalasutra.
2012., hal 62

[5] F Magnis Susesno. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 1999., hal 56

[6] F Budi Hardiman. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka.
2007.,hal 181

[7] Martin Suryajaya. Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer.
Jogjakarta: Resist Book. 2012., hal 9

[8] Listiyono Santoso. Epitemologi Kiri., hal 39

[9] Karl Marx & Friedrich Engel. Manifesto Partai Komunis (diterjemahkan DN Aidit). Jogjakarta:
Cakrawangsa.2014., hal 35

[10] Karl Marx. Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat (diterjemahkan oleh Ira Iramanto). Jakarta: Hasta
Mitra.1998., hal 156

[11] Martin Suryajata. Materialisme Dialektis., hal 336-338

[12] Karl Marx & Frederick Engel. Ideologi Jerman (jilid I: dialihbahasakan oleh Nasikhul Mutamanna).
Yogyakarta: Pustaka Nusantara. 2013., hal 17-18.

[13] Nur Sayyid Santoso Kristeva. Negara Marxis dan Revolusi Proletariat. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
2011., hal 183
"

"

Tags

Marxisme

NEWER

Stoisisme: Dari Pantheisme Hingga Logika Proposisi

OLDER

Menakar Kritik Ibn Rusdy: Meletakkan Modernitas Pada Tempatnya

YOU MAY LIKE THESE POSTS

Kehendak Komunis

Kehendak Komunis

September 30, 2020

Pandemi Corona Tunjukkan Watak Kapitalis, Tapi Berandai-Andai Sosialisme Tidak Tepat

Pandemi Corona Tunjukkan Watak Kapitalis, Tapi Berandai-Andai Sosialisme Tidak Tepat

May 04, 2020

Khilafahisme dan Komunisme, Imajinasi?

Khilafahisme dan Komunisme, Imajinasi?

December 25, 2019


TRENDING

Biarkan Peserta Didik Bicara, Pendidikan Ala Paulo Freire

Biarkan Peserta Didik Bicara, Pendidikan Ala Paulo Freire

August 18, 2021

Aristotelianisme Dan Rasionalisme Islam

Aristotelianisme Dan Rasionalisme Islam

July 14, 2017

Posibilitas Dunia Pasca Kematian

Posibilitas Dunia Pasca Kematian

August 25, 2021

Ibnu Khaldun dan Indonesia

Ibnu Khaldun dan Indonesia

August 17, 2021

Tuhan Dan Kemiskinan

Tuhan Dan Kemiskinan

July 27, 2017

Amien Rais Bukan Sangkuni

Amien Rais Bukan Sangkuni

June 18, 2017

Plato dan Aristoteles: Hylemorfisme sebagai Kritik terhadap Ke-adiduniawian Alam Ide

Plato dan Aristoteles: Hylemorfisme sebagai Kritik terhadap Ke-adiduniawian Alam Ide

November 11, 2014

“Triadik Putuisme”, Strukturalisme Yang Tersisa di UGM?

“Triadik Putuisme”, Strukturalisme Yang Tersisa di UGM?


November 23, 2019

Filsafat Itu Bukan Pengkultusan

Filsafat Itu Bukan Pengkultusan

November 19, 2019

“PKI Bangkit” Dan Bualan Tukang Bakso

“PKI Bangkit” Dan Bualan Tukang Bakso

September 30, 2018

TOPIK

Agama

Barat Kontemporer

Barat Modern

Budaya

Epistemologi

Filsafat

Filsafat Islam

Filsafat Yunani

Ibnu Khaldun

Logika dan Dialektika

Marxisme

Mikir Populer

Milenial
Nalar

Nalar Bahasa

Nalar Sains

Pascamodernisme

Paulo Freire

Populis

Review Filsafat Islam

Seksualitas

Sosial

Sufisme

Teori Negara

FACEBOOK

TERBARU

Posibilitas Dunia Pasca Kematian

Posibilitas Dunia Pasca Kematian

August 25, 2021

Biarkan Peserta Didik Bicara, Pendidikan Ala Paulo Freire

Biarkan Peserta Didik Bicara, Pendidikan Ala Paulo Freire

August 18, 2021

Ibnu Khaldun dan Indonesia

Ibnu Khaldun dan Indonesia


August 17, 2021

Dukun: Mengapa Diminati?

Dukun: Mengapa Diminati?

August 09, 2021

Menulis Tak Harus Opini

Menulis Tak Harus Opini

August 08, 2021

Bolot Tidak Budeg Soal Uang dan Perempuan

Bolot Tidak Budeg Soal Uang dan Perempuan

June 21, 2021

Konspirasi Aristoteles dan Iskandar Agung: Sebuah Biografi

Konspirasi Aristoteles dan Iskandar Agung: Sebuah Biografi

June 04, 2021

Tuhan dan Matematika: Rene Descartes Part 7

Tuhan dan Matematika: Rene Descartes Part 7

April 15, 2021

Because of Belief? Two Sides of Religion

Because of Belief? Two Sides of Religion

March 24, 2021

Filsafat Barat dan Tradisi Ilmiah

Filsafat Barat dan Tradisi Ilmiah

March 22, 2021

Dari Mana Asal Ide Tuhan?: Rene Descartes Part 6

Dari Mana Asal Ide Tuhan?: Rene Descartes Part 6

March 16, 2021


Ide Dalam Relasi Kausalitas: Rene Descartes Part 5

Ide Dalam Relasi Kausalitas: Rene Descartes Part 5

February 02, 2021

Tuhan dan Hal di Luar Manusia: Rene Descartes Part 4

Tuhan dan Hal di Luar Manusia: Rene Descartes Part 4

January 31, 2021

Substansi dan Analogi Lilin: Rene Descartes Part 3

Substansi dan Analogi Lilin: Rene Descartes Part 3

January 28, 2021

Keraguan Untuk Kepastian: Rene Descartes Part 1

Keraguan Untuk Kepastian: Rene Descartes Part 1

January 25, 2021

ARTIKEL PILIHAN

Biarkan Peserta Didik Bicara, Pendidikan Ala Paulo Freire

Biarkan Peserta Didik Bicara, Pendidikan Ala Paulo Freire

August 18, 2021

Ibnu Khaldun dan Indonesia

Ibnu Khaldun dan Indonesia

August 17, 2021

“Maha-Siswa” Bukan “Tuhan”

“Maha-Siswa” Bukan “Tuhan”

September 26, 2019


Dari Mana Asal Ide Tuhan?: Rene Descartes Part 6

Dari Mana Asal Ide Tuhan?: Rene Descartes Part 6

March 16, 2021

Tuhan dan Matematika: Rene Descartes Part 7

Tuhan dan Matematika: Rene Descartes Part 7

April 15, 2021

Debat Sains Al Ghazali Versus Ibn Rusyd

Debat Sains Al Ghazali Versus Ibn Rusyd

June 09, 2020

Autobiografi Ibn Sina: Minum Anggur Saat Ngantuk Belajar

Autobiografi Ibn Sina: Minum Anggur Saat Ngantuk Belajar

December 20, 2020

Segenggam Kekuasaan dan Sekeranjang Kebenaran

Segenggam Kekuasaan dan Sekeranjang Kebenaran

October 27, 2019

Paradoks Wahdatul Wujud Dan Lilin Ibnu ‘Arabi

Paradoks Wahdatul Wujud Dan Lilin Ibnu ‘Arabi

April 14, 2013

Filsafat Barat dan Tradisi Ilmiah

Filsafat Barat dan Tradisi Ilmiah

March 22, 2021

ARTIKEL TERFAVORIT

Biarkan Peserta Didik Bicara, Pendidikan Ala Paulo Freire


Biarkan Peserta Didik Bicara, Pendidikan Ala Paulo Freire

August 18, 2021

Debat Sains Al Ghazali Versus Ibn Rusyd

Debat Sains Al Ghazali Versus Ibn Rusyd

June 09, 2020

Paradoks Wahdatul Wujud Dan Lilin Ibnu ‘Arabi

Paradoks Wahdatul Wujud Dan Lilin Ibnu ‘Arabi

April 14, 2013

Ibnu Khaldun dan Indonesia

Ibnu Khaldun dan Indonesia

August 17, 2021

Seks, Seks, dan Seksualitas

Seks, Seks, dan Seksualitas

January 03, 2017

Segenggam Kekuasaan dan Sekeranjang Kebenaran

Segenggam Kekuasaan dan Sekeranjang Kebenaran

October 27, 2019

“Maha-Siswa” Bukan “Tuhan”

“Maha-Siswa” Bukan “Tuhan”

September 26, 2019

Stoisisme: Dari Pantheisme Hingga Logika Proposisi

Stoisisme: Dari Pantheisme Hingga Logika Proposisi

April 27, 2015

Kenabian, Humanisme dan Sosialisme

Kenabian, Humanisme dan Sosialisme


December 15, 2019

Cinta di antara Agama Tuhan dan Agama Manusia

Cinta di antara Agama Tuhan dan Agama Manusia

October 26, 2019

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *

Designed with by Way2Themes | Distributed by Blogger Themes

Anda mungkin juga menyukai