Anda di halaman 1dari 29

ِ َ‫األ ُم ْو ُر ِب َمق‬

‫اص ِد َها‬

Dosen Pengampu : Bpk. Irhamsyah Putra, M.A.


Anggota Kel 1 :
Iik Kurnia ( 11210850000012 )
Dwi Cahya Adityansyah ( 11210850000016 )
Lia Nurliana ( 11210850000041 )
Marchel Aiman Mahdi ( 11210850000042 )
Muhammad Farhan Arrasyid ( 11210850000046 )
Kharisma Yogi Pratiwi ( 11210850000098 )
Nurhayfa Nabilla ( 11210850000107 )
Safira Nur Azijah ( 11210850000109 )
Maharani Puspa Dewi ( 11210850000114 )
PERBANKAN SYARIAH
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
Muhammad Farhan Arrasyid
11210850000046
Qawaid Al-Fiqhiyah
Kaidah pertama yaitu ‫ األمور بمقـاصدها‬Artinya: “Segala perkara tergantung dengan
niatnya” (as-Suyuthi, t.,t.:6)yang berarti segala sesuatu itu tergantung pada tujuannya.
Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung dalam didalam hati seseorang saat
melakukan perbuatan,menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal
perbuatan yang telah dilakukan,baik yang berhubungan dengan peribadatan maupun adat
kebiasaan.
Dengan demikian,setiap perbuatan itu pasti didasarkan pada motivasi, jika tidak,maka
perbuatan tersebut bersifat spikulatif. Karenannya,niat atau motivasi tu memiliki posisi yang
penting sebab ia sebagai penentu segala gerak tingkah dan kontruksi pekerjaan yang dilakukan
yang berkonsentrasi pada perbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak.
Menurut ulama, niat dilihat dari beberapa aspek diantaranya: Syarat-syarat niat, tata
cara niat, waktu niat, tujuan niat, dan tempat niat.
Menurut Surat Al-Ahzab Ayat 5 yang berbunyi :
‫طأْت ُ ْم با ٖه َو ٰلك ْان‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح فا ْي َما ْٓ اَ ْخ‬
َ ‫ْس‬ ‫ّٰللا ۚ فَا ْان لَّ ْم ت َ ْعلَ ُم ْْٓوا ٰابَ ۤا َءهُ ْم فَا ْاخ َوانُ ُك ْم فاى ا‬
َ ‫الد ْي ان َو َم َوا ال ْي ُك ْم َۗولَي‬ ‫ط اع ْندَ ه ا‬ َ ‫اُدْع ُْوهُ ْم ا ِٰلبَ ۤا ِٕى اه ْم ه َُو ا َ ْق‬
ُ ‫س‬
‫غفُ ْو ًرا َّرحا ْي ًما‬ ‫ت قُلُ ْوبُ ُك ْم َۗو َكانَ ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ْ َ‫َّما تَعَ َّمد‬
Artinya : Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;
itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu
jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Berikutnya, dari kaidah tersebut terdapat beberapa kaidah cabang lain di bawahnya antara lain
sebagai berikut:
Yang pertama,

‫اب إاِلَّ باالنايَّة‬


َ ‫ِلَ ثَ َو‬
Artinya : Tidak ada pahala kecuali dengan niat
Kaidah ini berkaitan dengan perbuatan yang tidak dianggap baik atau buruk bila tidak
ada niat pelakunya. Dalam konteks ini, perbuatan tidak akan mendapatkan pahala selama tidak
diniatkan dengan niat yang baik .
Perlu dikemukakan bahwa mengenai sahnya suatu perbuatan ada yang disepakati ulama
tentang niat sebagai syaratnya umpamanya shalat dan tayamum; ada juga yang masih
dipeselisihkan umpamanya niat wudhu‟. Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah
menganggapnya wajib (rukun), sedangkan ulama Hanafiyah menganggapnya sunnah
mu‟akkadah. Ini berarti, ada niat maka berwudhu mendapat pahala,tetapi bila tanpa niat maka
ber-whudu‟ tidak berpahala sekalipun shalat yang dilakukan adalah sah. Ulama Hanabilah
menganggapnya syarat sah.
Selain itu kaidah ini juga menjelaskan tentang urgensi niat bagi seorang hamba.
Karena pahala di akhirat dan balasan yang baik dari amalan yang dilakukan seorang hamba
tidak akan diperoleh kecuali diiringi niat baik dalam rangka bertaqarrub kepada Allâh Azza wa
Jalla . Sehingga hanya orang yang melaksanakan ibadah dengan niat ikhlas yang akan meraih
pahala. Adapun yang beramal karena ingin memperoleh keuntungan dunia, maka ia tidak akan
meraih pahala dari-Nya. Dan menjelaskan perbedaan antara amalan yang dilakukan dengan
niat yang baik dan amalan yang dilakukan dengan niat yang buruk.
Meskipun secara lahiriah kedua amalan tersebut sama namun hakikatnya memiliki
perbedaan.
Contoh : Telah dimaklumi bahwa menaati penguasa dalam perkara ma’ruf termasuk kewajiban
syar’i, namun seseorang yang menaati penguasa sekedar untuk mendapatkan keuntungan
dunia, meraih jabatan atau mempertahankannya, tanpa terbesit dalam hatinya niat beribadah
dan taqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla maka tidak ada pahala baginya dalam ketaatannya
itu.
Bahkan bisa jadi perbuatannya itu akan menjadi musibah baginya di dunia dan akhirat.
Adapun seseorang yang taat kepada penguasa karena Allâh yang telah memerintahkan,
sehingga ia melakukannya karena melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla , juga perintah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang seperti inilah yang akan mendapatkan
pahala dari-Nya,
Kaidah selanjutnya ialah :

‫طأ ُ فا ْي اه ُمب اْط ٌل‬


َ ‫ فَ ْال َخ‬،ُ‫ط فا ْي اه الت َّ ْع اييْن‬
ُ ‫ َما يُ ْشت ََر‬.
Artinya: “Dalam perbuatan yang disyaratkan menyatakan niat (ta‟yin) maka kesalahan
pernyataan dapat membatalkan perbuatan tersebut.”
kaidah fikih yang menyatakan bahwa kesalahan dalam niat untuk amal yang menuntut
kejelasan niat, kesalahan berimplikasi terhadap batal amal tersebut.
Dalam rukun sholat salah satunya adalah niat. Apa yg dimaksud dengan niat fi’li, niat ta’yiin
dan niat fardhiyah dalam shalat?
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa dalam madzhab Syafi’i niat hukumnya yang wajib adalah
dihati, adapun pengucapan niat sholat hukumnya sunnah selain berguna sebagai penuntun hati
dalam “krêntêk” niat yang dimaksud (lihat Fat-hul Mu’in Hamsy I’anatut Tholibin I / 130)
Dalam lingkup niat sholat ada tiga kriteria yang digunakan sebagai acuan sah / tidaknya niat :
1. Niatu fi’lis sholat (qoshdul fi’li) , yaitu menyengaja melakukan sholat untuk membedakan
antara ibadah sholat dengan ibadah yang lain.
2. Ta’yiinus Sholat , yaitu menentukan sholat apa yang mau dilakukan, apakah itu subuh,
dhuhur dsb atau sholat yang lain.
3. Niatul Fardliyyah, yaitu niat sholat fardlu bila yang dilakukan adalah sholat fardlu gunanya
untuk membedakan dengan sholat lain selain yang fardlu (seperti sholat sunat dll)
Prakteknya adalah sebagai berikut :
Contoh : USHOLLI FARDLO DHUHRI
maka dalam definisi diatas :
USHOLLI : Niatul FI’li / Qoshdul Fi’li
FARDLO : Niatul Fardliyyah
DHUHRI : Ta’yiinus Sholah
Adapun niat sholat setelah lafadl ini (arba’a roka’atin mustaqbilal qiblati ada-an / ma-muuman
lillaahi ta’ala) hukumnya adalah sunnah (lihat I’anah I / 129 – 130) , dalam artian walaupun
tidak ditambahi lafadl ini sudah sah sholatnya.
Contoh:
Pertama, Salah niat shalat zhuhur dengan shalat ashar, atau sebaliknya. Misalnya, seseorang
shalat zhuhur dengan niat shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.
Kedua, Salah niat membayar kifarat zhihar dengan kifarat pembunuhan
Ketiga, Salah niat shalat rawatib zhuhur dengan shalat rawatib ashar.
Keempat, Salah niat shalat Idul Fitri dengan shalat Idul Adha; dan sebaliknya.
Kelima, Salah niat shalat dua rakaat Ihram dengan shalat dua rakaat Thawaf; dan sebaliknya.
Keenam, Salah niat puasa Arafah dengan puasa Asyura’; dan sebaliknya.
Dwi Cahya Adityansyah

11210850000016

Ushul Fiqh

Qawaidul Fiqhiyah

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan
menjadi kebutuhan bagi kita semua. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang memahami
tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya kita untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui benang merah yang menguasai
fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu kita juga
akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk
kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan
pada akhirnya kita juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik,
ekonomi, sosial, budaya sehingga kita bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama, yaitu
‫( االمور بمقاصدها‬al-Umur bi Maqasidiha). Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah
seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan
perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung
orang lain.

Niat harus sudah ada pada permulaan melakukan perbuatan, sedangkan tempat niat
didalam hati, sehingga untuk mengetahui sejauh mana niat dari yang berbuat. Harus kita
ketahui bukti-bukti yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui macam niat orang yang
berbuat. Dalam amal kemasyarakatan misalnya, dapat diketahui dengan bukti yang ada, apakah
perbuatan tersebut karena Allah atau karena manusia. Demikian juga suatu perbuatan
pembunuhan,dengan bukti yang dapat diketahui apakah perbuatan pembunuhan tersebut
dilakukan dengan sengaja atau tidak.

Kaidah al-umur bi Maqashidiha terdiri dari dua kata, yakni al-umur dan al-maqashid.
Lafadz al-umur diartikan sebagai tingkah laku atau perbuatan seorang mukallaf yang berupa
ucapan, perbuatan, i’tikad, dan meninggalkan sesuatu. Lafadz al-maqashid merupakan bentuk
jama’ dari bentuk mufrod maqshud yakni bentuk mashdar dari lafad qashada, secara bahasa
qashada berarti menyengaja sesuatu yang berarti niat, adapun niat secara bahasa berarti qashdu.

َ ‫نية المؤمن َخيْر مِ ْن‬


‫ع َم ِل ِه‬

“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya”.

Pertama, orang yang berniat melakukan suatu amal kebaikan lalu mengerjakannya,
maka kepada orang tersebut diberikan pahala mulai dari 10 kebaikan, 700 kebaikan, hingga
berlipat-lipat. Kedua, seseorang yang berniat melakukan suatu amal kebaikan dan mampu
melakukannya tetapi tidak jadi melakukannya, maka kepada orang tersebut diberikan pahala 1
kebaikan saja. Ketiga, seseorang yang berniat melakukan suatu amal kebaikan tetapi ternyata
tidak mampu melakukannya, kepada orang tersebut diberikan pahala sebagaimana orang yang
mampu melakukannnya.

Contohnya yang pertama yaitu, apabila ada seseorang yang mengalami musibah
kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan membantu orang tersebut untuk
dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS tersebut. Namun kenyataannya setelah
keluarga orang itu datang, kita langsung memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga
orang itu, agar mengganti biaya tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak
sama dengan yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan menolong orang
tersebut bukanlah benar-benar ingin membantu, tetapi hanya ingin membangun citra “baik” di
mata orang, agar mendapat sanjungan dari orang lain.

Dari seluruh uraian diatas dapat diketahui bahwa niat lebih utama dari pada amal.
Artinya Allah subhanhu wataála sangat memperhitungkan niat seseorang. Seseorang yang
sudah berniat berbuat baik dan betul-betul melaksanakan dia mendapatkan pahala yang berlipat
ganda. Seseorang yang sudah berniat berbuat kebaikan tetapi tidak jadi melakukannya, ia tetap
mendapatkan pahala. Bahkan orang yang sudah berniat melakukan kemaksiatan tetapi tidak
jadi melakukannya juga mendapatkan pahala dari Allah karena mengurungkan niatnya.

Contoh yang kedua yaitu bila seseorang berniat melakukan suatu kejahatan lalu ia tidak
melaksanakan, Allah akan mencatat pahalanya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan sempurna,
dan bila ia berniat melakukan suatu kejahatan kemudian melaksanakannya pula, maka Allah
akan mencatatnya di sisi-Nya sebagai satu kejahatan.
‫ما يشترطالتعرض له جملة وِل يشترط تعيينه تفصيالاذاعينه وأخطأ ضر‬

“Sesuatu yang di syaratkan menyebutkannya secara garis besar, jika di dalam pelaksanaannya
ditentukan secara rinci, jika salah dalam penentuan berakibat fatal”

Maksud kaedah ini terkait dengan niat yang mengharuskan untuk disebutkan secara
global saja. Ketika niat ibadah tersebut disebutkan secara lebih detail dan ternyata keliru, maka
kesalahan itu mengakibatkan rusaknya ibadah.

Contoh yang pertama yaitu, Jika seorang yang berniat menjadi makmum dari imam
bernama Bayu, pada hal imamnya bernama Wisnu, maka solatnya menjadi batal, sebab yang
wajib baginya hanya ta’yin secara global, yaitu hanya berniat makmum, tetapi tidak diwajibkan
ta’yin secara terinci, yaitu menentu siapa nama imamnya. Jika demikian, solatnya dianggap
batal dan tidak sah.

Contoh yang kedua yaitu, Jika orang yang niat melaksanakan sholat jenazah laki-laki,
tetapi ternyata jenazahnya perempuan, maka sholatnya tidak sah. Dalam hal ini menentukan
jika sholat jenazah sangat dipersyaratkan secara rinci.

Kesinpulannya yaitu Qaidah al-Umur bi Maqahidiha merupakan qaidah yang ringkas


lafalnya namun memiliki arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik
berupa perkataan maupun berupa perbuatan. Qaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum
yang menjadi konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi
tujuan dari perkara tersebut.

Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya
dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-Umuru bi
maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi.
Qaidah ini memiliki enam macam cabang yang diantaranya cabang yang pertama membahas
tentang suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya
membatalkan pekerjaannya.
Nama : Marchel Aiman Mahdi
NIM : 11210850000042

Kaidah Pertama

ِ َ‫األ ُم ْو ُر ِب َمق‬
‫اص ِدهَا‬
“Setiap perkara tergantung pada niatnya”

ِ َ‫ األ ُم ْو ُربِ َمق‬ini memiliki makna yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
Kaidah ‫اص ِدهَا‬
perbuatan manusia mulai dari perkataan sampai pada tingkah laku manusia tersebut, semuanya
digantungkan kepada niat daripada orang yang melakukan perbuatan. Karena suatu niat itu
sangat penting untuk melihat bagaimana kualitas atau makna perbuatan seseorang. Apakah dia
melakukan perbuatan tersebut niatnya semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah
dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan atau yang dibolehkan
oleh agama atau dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat kepada Allah, tetapi
semata-mata karena kebiasaan saja. Dengan kata lain, niat atau motif yang ada dalam hati
nurani seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi tolok ukur amal yang ia lakukan.
Berdasarkan kaidah tersebut, baik pahala maupun dosa sangat bergantung pada niat
seseorang. Ulama fiqh sepakat bahwa apabila seseorang berniat akan melakukan suatu
perbuatan baik namun belum mampu untuk menunaikannya disebabkan sebuah masyaqqah
atau keadaan tertentu, maka ia akan tetap mendapat pahala. Dalam konteks lain, ulama fiqh
juga sepakat bahwa seseorang akan mendapat dosa jika salah dalam niat.
Misalnya apabila ada orang yang berkunjung ke rumah saudaranya lalu orang tersebut
mengobrol dengan saudaranya, maka ia akan mendapatkan pahala ibadah apabila
berkunjungnya ke rumah saudara itu ia niatkan untuk bersilaturrahmi. Namun apabila ia
berkunjung ke rumah saudaranya dengan niat untuk menggunjing orang lain maka ia dan
saudaranya akan mendapat dosa. Oleh karena itu sebaiknya melakukan segala sesuatu dengan
niat yang baik semata-mata untuk beribadah kepada Allah.
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari kaidah di atas:
Pertama, tujuan niat, Pada dasarnya, tujuan dan fungsi niat itu adalah untuk
membedakan antara perbuatan ibadat dari perbuatan adat dan untuk penentuan (at-ta‟yin)
spesifikasi atau kekhususan antara mandi dan berwhudu‟ untuk shalat dengan mandi dan
mencuci anggota badan untuk kebersihan biasa. Dengan niat, maka akan terbedalah menahan
lapar karena berpuasa dengan menahan lapar untuk menghindari penyakit atau untuk diet.
Kemudian, memberikan sebagian harta kepada fakir miskin dengan niat zakat, akan berbeda
dari memberikannya kepada mereka tanpa niat, tindakan ini sebagai sumbangan sosial.
Menyembelih hewan untuk lauk dan untuk kurban hanya dapat dibedakan dengan niat.
Berwhudu‟ shalat, berpuasa ada yang wajib dan ada yang sunnat. Untuk menentukannya secara
spesifik hanya dengan niat. Bertayamum yang cara pelaksanaannya sama, tetapi hanya dapat
dibedakan dengan niat untuk menentukan tujuan menghilangkan hadas kecil atau hadats besar.
Kedua, persoalan fiqh yang dapat dirujuk kepada kaidah di atas adalah hukum Islam
bidang ibadah dan bidang muamalah dalam arti luas. Dalam bidang ibadah umpamanya,
bersuci, berwudhu‟, mandi (baik wajib maupun sunnat), tayammum, sholat (wajib atau sunnat
rawatib, qashar, ber-ja‟maah atau munfarid, zakat, shadaqah tathawu‟, puasa, haji, umrah,
thawaf, i‟tikaf dan lain-lain). Demikian juga halnya bidang mu‟amalah dalam arti luas yakni
munakahat, al-„uqud (transaksitransaksi), jinayat, qadha‟, (peradilan) dan segala macam
amalan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah). Semua itu dapat dikembalikan
kepada kaidah di atas.
Ketiga, segala amal perbuatan manusia, yang dinilai adalah niat yang melakukannya,
dan amal perbuatan itu mestilah yang masuk dalam kategori perbuatan yang diperbolehkan.
Perbuatan yang haram, sekalipun dengan niat baik, tetap tidak boleh dilakukan, kecuali hal-hal
yang pada saat tertentu memang dibenarkan oleh hukum. Umpamanya, pada dasarnya
berbohong adalah dilarang, kecuali berbohong dalam peperangan (yang dikenal dengan
strategi) supaya tidak dapat dikalahkan oleh musuh, dan berbohong untuk menghindari
pertengkaran, umpamanya untuk keutuhan rumah tangga. Dengan demikian berjudi dengan
niat untuk dibagikan kepada fakir miskin jelas tidak dapat dibenarkan. Izin wali terhadap
anaknya kawin dengan laki-laki non-muslim dengan niat untuk menariknya masuk Islam, tetap
tidak dibenarkan. Dengan niat baik, melakukan perbuatan pada dasarnya mubah, harus
dipertimbangkan efeknya.

Beberapa kaidah cabangnya :

ِ ‫وال ْقلبُ فَ ْال ُم ْعتَبَ ُر َما فِ ْي ْالقَل‬


‫ب‬ ْ ‫سا ُن‬
َ ‫ف ْال ِل‬
َ َ‫لَ ْو ا ْختَل‬
“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang dijadikan pegangan adalah
yang didalam hati”
Berdasarkan kaidah tersebut, jika terjadi perbedaan antara sesuatu yang diucapkan dengan
sesuatu yang ada ada di dalam hati, maka yang dijadikan pegangan adalah sesuatu yang ada di
dalam hati. Segala perbuatan yang diucapkan tidak ada nilainya di hadapan syara’ tanpa disertai
niat di hati. Namun sebaliknya, meskipun tidak diucapkan melalui lisan akan tetapi terdapat
niat di dalam hati maka hal ini sudah memadai dan bernilai di hadapan syara’.
Dari kaidah cabang ini terdapat beberapa contoh, antara lain:
1) Apabila dalam hati berniat mandi karena hadast besar, sedangkan yang diucapkan adalah
mendinginkan badan, maka mandinya tetap sah.
2) Seseorang yang berniat shalat dhuhur di dalam hati, namun lidahnya mengucapkan shalat
ashar, maka tetap sah shalatnya sesuai apa yang diniatkan dalam hati.
3) Apabila di dalam hati kita bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa tas kerja, tetapi
pada saat diucapkan kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar bahwa kita hanya ingin jalan-
jalan saja. Maka yang dijadikan pegangan itu adalah yang ada di dalam hati.
‫طأ ْ لَ ْم َيض َُّر‬
َ ‫عيَّنَهُ َو أَ ْخ‬ ِ ‫ض لَهُ ُج ْملَة َو َال تَ ْف‬
َ ‫صيْل اِذَا‬ ُ ‫َم َاال يُ ْشت ََر‬
ُ ‫ط الت َّ َع ُّر‬
Artinya: “Suatu perbuatan yang, baik secara keseluruhan atau secara terperinci, tidak
disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakannya dan ternyata keliru, maka tidak
berbahaya. Atas kaidah ini maka dipahami bahwa:
a. Seseorang shalat dan meniatkan shalatnya itu pada hari Sabtu, padahal hari itu hari jumat,
maka shalatnya tetap sah, sebab meniatkan hari dan tanggal ia shalat tidaklah disyaratkan
dalam shalat.
b. Seseorang imam yang shalat dan meniatkan bahwa makmumnya adalah Hasan, padahal yang
menjadi makmumnya adalah Husen, maka shalatnya tetap sah. Sebab meniatkan siapa yang
menjadi makmumnya itu tidaklah disyaratkan.
Contohnya apabila terjadi transaksi jual beli tanpa adanya sighat. Secara urf (kebiasaan) apabila
telah terjadi kesepakatan jual beli (harga), si pembeli telah menyerahkan uangnya, dan penjual
telah menyerahkan barangnya, maka yang demikian itu menyatakan bahwa jual beli telah sah.
Sehingga jual beli yang banyak dipraktikkan di pasar, supermarket, dan mall yang antara
penjual dan pembelinya sama-sama tidak megucapkan apa-apa, namun telah ada kesepakatan
antara keduanya cukup saling ridho ditandai dengan si penjual menyerahkan barang dan si
pembeli menyerahkan uang, maka itu sudah dianggap sah. Namun apabila si pembeli
menyatakan “saya bawa barang ini ya” (membawa diartikan mengambil tanpa membayar),
maka yang demikian itu tidak mempengaruhi jual beli yang sudah terjadi secara sah.
Pernyataan “saya bawa barang ini” menurut kaidah ini tidak berbahaya. Selain karena
kebiasaan hal ini dianggap wajar (karna transaksi jual beli telah selesai, maka pembeli telah
memiliki hak atas barang tersebut), sighat tersebut (yang diucapkan kurang tepat) tidak menjadi
kewajiban bagi pembeli.
Iik kurnia
11210850000012
Ushul Fiqh

QAWAID AL-FIQHIYAH
Mungkin sebagian orang belum mengetahui tentang apa kaidah fiqh tersebut maka dari
itu dalam makalah ini penulis akan membahas tentang kaidah-kaidah fiqh. Al-qawaid al-
fiqhiyah atau disebut dengan kaidah-kaidah fiqh merupakan ketentuan umum yang dapat di
terapkan terhadap kasus-kasus yang menjadi cakupannya agar kasus tersebut dapat diketahui
hukumnya.
Alasan mengapa harus mengetahui tentang kaidah tersebut ialah untuk membantu pakar
fiqh memahami maqashid asy-syariah, seorang pakar fiqh perlu memahami maqashid syariah
sebelum mengeluarkan fatwa, dengan begitu fatwa yang dikeluarkan dapat memberikan
kemaslahatan bagi manusia. Selain itu hal yang penting dalam mengetahui kaidah-kaidah fihq
ini untuk mengetahui makna pada setiap kaidah sehingga kita bisa mengimplementasikannya
pada kehidupan yang nyata.
Kaidah pertama yaitu ‫األمور بمقـاصدها‬Artinya: “Segala perkara tergantung dengan
niatnya” (as-Suyuthi, t.,t.:6). Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat dimana niat
merupakan hal yang penting dalam melakukan suatu perbuatan sesorang. Niat menjadi tolak
ukur sesorang apakah dia berniat melakukan ibadah karena Allah atau karena hal lain. Niat
juga diperlukan karena untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang bersifat
adat (kebiasaan), seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain.
Dengan niat itu kita bisa menciptakan beranekan ragam ibadah dengan tindakan yang
berbeda namun tata cara yang sama seperti wudhu, mandi besar, shalat dan puasa. Niat terletak
pada hati lalu di sertai oleh perbuatan, niat tanpa adanya perbuatan itu sama saja bohong
sebagai contoh seseorang berniat mengerjakan tugas tapi tidak adanya tindahkan sehingga
tugas tersebut masih belum di kerjakan.
Kaidah Al–Umuru Bi Maqasidiha itu sendiri terdiri dari dua unsur yaitu kata al-umuru
yang merupakan bentuk plural dari kata al-amru yang berarti keadaan, peritiw, keadaan, dan
kata al-maqashid yaitu bentuk plural dari kata al-maqshod,qashd,maqshid,qushud yang berarti
menuju suatu arah tujuan, jalan lurus.
Secara terminology Al–Umuru Bi Maqasidiha adalah suatu perbuatan seseorang baik
secara lisan maupun tingkah laku yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dan tujuan
dari perbuatan tersebut. Kaidah ini merupakan hukum yang berimplikasi terhadap suatu
perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan mukallaf tergantung pada maksud dan
tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan hukum yang di larang dalam syariat
Islam sebagai contoh Makan dan minum jika dimaksudkan agar menjadi kuat beribadah, maka
mndapat pahala,tetapi jika tidak ada maksud tersebut maka tidak ada pahala.

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kaidah ‫ األموربمقاصدها‬adalah


sesungguhnya amal seorang mukallaf itu tergantung pada niatnya yang menunjukkan sah,
fasid, pahala atau dosanya amal yang dilakukan oleh si mukallaf tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

ۗ ‫اِلخا َرةا نُؤْ ت ٖاه ما ْن َها‬ َ ‫اب الدُّ ْنيَا نُؤْ ت ٖاه ما ْن َه ۚا َو َم ْن ي اُّردْ ثَ َو‬
ٰ ْ ‫اب‬ ‫َو َما َكانَ النَ ْف ٍس اَ ْن ت َ ُم ْوتَ ا َّاِل با ااذْ ان ه ا‬
َ ‫ّٰللا اك ٰتبًا ُّم َؤج ًَّال ۗ َو َم ْن ي اُّردْ ث َ َو‬
‫سنَ ْج ازى ال ه‬
َ‫شك ااريْن‬ َ ‫َو‬

Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya
kami berikan kepadanya pahal dunia, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-
orang yang bersyukur.”(Q. 3. Ali-„Imran: 145)

Dari kaidah tersebut terdapat beberapa kaidah lain di bawahnya antara lain sebagai
berikut:
‫اليلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله‬
Artinya: Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang
dikerjakan.
Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Ibnu Taimiyah v mengatakan,“Niat itu
letaknya di hati. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka
niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa,
18:262)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan
melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan
makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat.
Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika
seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah
pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu
amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam
hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)
Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.
Kaidah selanjutnya ialah
َّ ‫ظ ْالخ‬
‫َاص‬ َ ‫ظ ْال َعا َّم َوت ُ َع ام ُم اللَّ ْف‬
َ ‫ص اللَّ ْف‬ ‫النيَّةُ فاي ْال َيما ي اْن تُخ ا‬
ُ ‫َص‬ ‫ا‬
Artinya: Niat dalam sumpah membuat lafadz yang umum menjadi khusus dan lafadz khusus
menjadi umum.
Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang yang bersumpah.
Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara dengan manusia tetapi, yang
dimaksudkannya hanya orang tertentu.
Kaidah ini terdiri atas beberapa kata yang perlu kita fahami maknanya. Kata yamîn maknanya
sumpah. Dinamakan demikian karena kebiasaan yang ada, ketika seseorang besumpah maka
akan disertai dengan saling berjabat tangan dengan tangan kanan. Sedangkan makna secara
syar’i adalah suatu akad yang berfungsi menguatkan kesungguhan dalam mengerjakan atau
meninggalkan suatu perbuatan. Oleh karena itu, sumpah dalam pembahasan ini tidaklah
terbatas dalam sumpah dengan nama Allâh Azza wa Jalla semata, akan tetapi juga mencakup
permasalahan thalaq (perceraian), ‘ithq (pembebasan budak), ila’[1] dan semisalnya. Kata al-
âm maksudnya adalah lafadz yang mencakup seluruh satuannya tanpa ada pembatasan.[2]
Sebaliknya, kata al-khâsh maksudnya adalah lafadz yang menunjukkan kepada satu perkara
baik bersifat satuan atau jenis. Sedangkan kata at-takhshîsh maksudnya membatasi lafadz
umum pada sebagian anggotanya.
Selain itu kaidah ini juga menjelaskan bahwa niat memiliki pengaruh dan peran dalam
sumpah. Apabila seseorang bersumpah dengan lafadz yang umum dan ia meniatkannya dengan
sesuatu yang khusus, maka niatnya itu menjadkan lafazh yang umum tersebut bermakna
khusus, dan sumpah yang diucapkan dihukumi sesuai apa yang ia niatkan. Demikian pula
sebaliknya, apabila ia mengucapkan lafadz khusus dan ia meniatkan sesuatu yang bersifat
umum maka niat itu menjadikan lafadz khusus tersebut bermakna umum, dan yang danggap
dan diterapkan adalah apa yang ia niatkan itu.
Secara umum kaidah ini terdiri atas dua bagian.
1. Peran niat dalam mengkususkan sesuatu yang bersifat umum. Ini adalah perkara yang
disepakati oleh para Ulama’
2. Peran niat dalam menjadikan sesuatu yang khusus menjadi umum. Ini adalah perkara
yang diperselisihkan oleh para Ulama’. Ulama’ Mâlikiyah, Hanabilah, dan sebagain
Hanafiyah menetapkannya. Mereka berpendapat bahwa niat berperan dalam
menjadikan lafadz khusus menjadi umum, sebagaimana niat juga menjadikan lafadz
umum menjadi khusus.
Adapun Ulama’ Syâfi’iyah dan sebagian Hanafiyah menolak hal tersebut sehingga
َّ ‫ظ ْال َعا َّم َوِلَ ت ُ َع ام ُم ْالخ‬
lafadz kaidah ini menurut mereka adalah (‫َاص‬ َ ‫ص اللَّ ْف‬ ‫)النايَّةُ فاي ْاليَما ي اْن تُخ ا‬.
ُ ‫َص‬
Contoh pertama: yaitu Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal serupa
juga berlaku pula pada orang yang menerima minuman dari orang lain. Lalu orang yang
menerima minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan minuman itu, tetapi diniatkan
untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai melanggar sumpah apabila ia menerima
makanan atau pakaian pemberiannya dan kemudian memanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhannya.
Contoh ke dua : Apabila seseorang mengucapkan sumpah untuk tidak mengajak bicara seorang
pun. Ketika bersumpah, niatnya adalah tidak mau berbicara dengan Zaid saja. Jika kemudian
ia mengajak bicara kepada seseorang selain Zaid maka ia tidak dianggap melanggar
sumpahnya.
Dalam hal ini, meskipun sumpahnya bersifat umum namun telah dikhususkan dengan niatnya.
Nurhayfa Nabilla

11210850000107

Ushul Fiqh

Qawaid Fiqhiyyah

Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yaitu kata qawaid dan
fiqhiyyah, keduanya memiliki arti tersendiri. Secara etimologi kata qaidah (‫)قاعدة‬, jamaknya
qawaid (‫) قواعد‬, berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongret,
materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non
materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh
( ‫ ) الفقه‬ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara
etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan
perkataannya. Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah
menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.

Pada dasarnya qawaid fiqhiyyah yang dibuat para ulama berpangkal dan menginduk kepada
lima qaidah asasiyyah (qawaid asasiyyah al-khamsah). Kelima qaidah pokok ini melahirkan
bermacam-macam qaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama menyebut kelima qaidah
asasiyyah ini dengan qawaid al-kubra. Adapun salah satu qawaid asasiyyah yang akan dibahas
yaitu qaidah pertama yang berbunyi ‫مقاصدهَا‬
ِ ‫ور ِب‬
ُ ‫ األ ُ ُم‬berarti “Segala perkara tergantung kepada
tujuannya”.

Al-Umuru Bi Maqashidiha

Al-Umuru bi maqasidiha merupakan salah satu daripada kaidah yang digunakan oleh para
Fukaha’dalam Qawa’id Fiqhiyyah. Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat
penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang
melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan
menjauhi larangannya. Ataukah dia tidak niat karena Alah tetapi agar disanjung orang lain.

Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru
dan al- maqashid. Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru
yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. Menurut terminologi berarti
perbuatan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’
sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan. Maqashid secara bahasa adalah jamak
dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-
yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti
alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan
menuju.

Kaidah pertama menegaskan bahwa semua urusan sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu
berbunyi: ‫“( األمور بمقـاصدها‬segala perkara tergantung kepada niatnya”). Niat sangat penting
dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan
perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Atau dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.

Makna Niat, Kata niat (‫ )النيّة‬dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk mashdar dari kata
kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca
niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah). Dapat diambil benang merah bahwa makna
niat tidak keluar dari makna literar linguistiknya, yaitu maksud atau kesengajaan. Sementara
Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu,
sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah
dalam mewujudkan tindakan

Niat itu diperlukan karena untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang hanya
bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. Hal itu merupakan
suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaannya
karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam
aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegas tubuh sehingga lebih konsentrasi
dalam berinteraksi dengan Tuhan maka di samping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan
bernilai ibadah di sisi Allah.

Cabang Kaidah Al Umuru Bimaqashidiha.

Dari qaidah tersebut terdapat beberapa qaidah lain dibawahnya antara lain sebagai berikut:

‫كل مفرضين فلتجزيهنانية واحدة اال الحج والعمرة‬

“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah”.
Berdasarkan kaidah di atas, dapat diambil contoh sebagai berikut, yaitu seseorang berniat
melakukan mandi wajib kemudian orang tersebut ingin berwudhu dengan menggunakan niat
yang pertama yaitu niat mandi wajib, maka hal itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua
kewajiban tidak boleh dengan satu niat saja.

َ َ‫َللا إِالَّ أ ُ ِج ْرت‬


َ‫ َحتَّى َما تَ ْجعَ ُل فِى فِى ا ْم َرأَتِك‬، ‫علَ ْي َها‬ ِ َّ َ‫إِنَّكَ لَ ْن ت ُ ْنفِقَ نَفَقَة ت َ ْبتَغِى بِ َها َو ْجه‬

“Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah
kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari)

Berdasarkan kaidah di atas hadits ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bisa mendapat
pahala jika diniatkan dengan ikhlas untuk meraih ridha Allah. Namun jika itu hanya aktivitas
harian semata, atau yakin itu hanya sekedar kewajiban suami, belum tentu berbuah pahala.

Keutamaan mencari nafkah yang pertama ialah suami akan mendapatkan pahala yang
berlimpah, jika diniatkan dengan ikhlas semata karena Allah. Namun jika apa yang suami
lakukan hanyalah untuk sebuah rutinitas biasa, yakni hanya sekedar untuk memenuhi
kewajiban suami dalam memberi nafkah tanpa disertai niat yang ikhlas karena Allah, maka
belum tentu akan berbuah pahala. Sebab pahala akan tergantung dengan niatnya.
Maharani Puspa Dewi

11210850000114

Dalam kajian Fiqh terdapat salah satu kaidah yaitu al-umuru bi maqashidiha, yang
merupakan kaidah yang berkenaan dengan niat. Kaidah Al-Umuru Bimaqasidiha ini adalah
salah satu dari kaidah yang digunakan oleh para Fukaha’ dalam Qawaidul Fiqhiyah. Lebih
lanjut dikemukakan oleh Hammam bahwa Qawaidul Fiqhiyah memiliki peran strategis dalam
membantu merumuskan hukum dari permasalahan yang tidak dijelaskan secara spesifik baik
di dalam Al-Quran dan Hadits (Hammam, 2017).

Berdasarkan salah satu hasil penelitian mengemukakan penerapan al-umuru bi


maqashidiha dalam kasus hukum tindak pidana pembunuhan, peneliti menyimpulkan Niat
dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni niat baik dan niat jahat. Niat baik adalah niat untuk
melakukan hal yang baik dan positif, sedangkan niat jahat adalah niat melakukan sesuatu yang
jahat dan hal negatif lainnya. “Dari kedua niat tersebut, niat yang termasuk dalam kajian hukum
tindak pidana hanyalah niat jahat. Sementara niat baik masuk ke dalam kajian hukum tentang
ibadah” (Azmi, 2019).

Kaidah al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan
al- maqashid terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshid. Secara etimologi lafadz al-umuru
merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan
perbuatan. Jadi, lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu
anggota.

Sedangkan menurut terminologi berarti perbuatan dan tindakan mukallaf baik ucapan
atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang
dilakukan. Sedangkan maqashid secara etimologi adalah jamak dari maqshad, dan maqshad
mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada- yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al
qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang
teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
Kaidah al-umuru bi maqashidiha menegaskan bahwa semua urusan sesuai dengan
maksud pelakunya. Kaidah itu berbunyi: ‫ األمور بمقـاصدها‬yang artinya “segala perkara tergantung
kepada niatnya”. Pengertian kaidah ini yaitu bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu
perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada
maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata,
maka niat yang tidak terefleksikan dalam bentuk dhanir tidak akan berimplikasi pada wujud
syar’i. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yang dilarang
dalam syari’at Islam.
Dalam kaidah al-umuru bi maqashidiha terdapat beberapa cabang kaidah lain di
dalamnya, diantaranya yaitu:

‫كــل ماكان له أصل فالينتقل عن أصله بمجرد النية‬

Artinya: “Setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal karena
semata-mata niat”

Contoh yang pertama yaitu seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at,
dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka shalat zuhurnya akan menjadi batal.
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda
dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat
puasa sunnah, maka sah puasanya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.
Contoh yang kedua yaitu ketika seseorang berniat membayar hutang puasa ramadan,
tetapi belum selesai dia melakukan puasa tersebut, dan misalnya ternyata pada siang hari, tiba-
tiba dia berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa ramadan dan ingin mengganti
niatnya menjadi hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak
diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.
Kaidah selanjutnya yaitu:

‫من قتل لتكون كلمة هللا هي العليا فهو فى سبيل هللا عزوجل‬

Artinya: “Barang siapa yang berperang dengan maksud meninggikan kalimat Allah, maka dia
ada di jalan Allah”

Maksud dari perang harus di jalan allah (fii sabilillaah) yaitu siapa yang berjuang untuk
menegakkan kalimat Allah. Perang dengan maksud untuk menegakkan agama, meninggikan
panji-panji Islam yang meliputi ajaran tauhid, menegakkan keadilan dan kebenaran, mengajak
kepada akhlak yang mulia, menyembah Allah yang Maha Esa dan menagungkan-Nya bukan
untuk mengagungkan salah satu tokoh di kalangan manusia.

Orang yang berperang di jalan Allah juga akan masuk surga, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya yang termasuk kedalamnya yaitu orang yang berjuang untuk
meninggikan kalimat Allah, bukan untuk mempertahankan diri, menguji keberanian, dan riya’.
Tetapi untuk meninggikan kalimat Allah. Ada orang yang berjuang untuk mempertahankan
diri contohnya seperti, mempertahankan suku Arab misalnya, hal ini tidak disebut syuhada’
karena perjuangan yang dilakukannya demi suku Arab bukan karena di jalan Allah. Dan ada
pula orang yang berjuang untuk menguji keberanian, maka dalam hal ini keberanian lah yang
mendorongnya untuk berperang.

Hal ini juga dapat termasuk kedalam pengertian jihad. Kata Jihad berasal dari kata Al
Jahd (ُ‫ )ال َج ْهد‬dengan huruf jimnya difathahkan yang bermakna kelelahan dan kesusahan atau dari
Al Juhd (ُ‫ )ال ُج ْهد‬dengan huruf jimnya didhommahkan yang bermakna kemampuan. Kalimat (‫بَلَ َغ‬
ُ‫ ) ُج ْهدَه‬bermakna mengeluarkan kemampuannya. Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah
adalah orang yang mencapai kelelahan karena Allah dan meninggikan kalimat-Nya yang
menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga. Jihad disini dalam pengertian perang,
namun jihad tidak selalu berkonotasi perang, dan tidak semua peperangan bisa disebut jihad.
Berperang dijalan Allah merupakan jihad yang paling tinggi. Dan jihad dalam makna luas
adalah setiap kegiatan yang dimaksudkan untuk meninggikan kalimat Allah, apapun
bentuknya.

Di balik jihad memerangi jiwa dan jihad dengan pedang, ada juga jihad hati yaitu jihad
melawan setan dan mencegah jiwa dari hawa nafsu serta syahwat yang diharamkan. Selain itu
juga ada jihad dengan tangan dan lisan berupa amar ma’ruf nahi mungkar. Jihad dengan pedang
adalah memerangi kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan
dirinya untuk dzat Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah. Dan apabila terdapat seseorang
yang mati di medan perang dengan niat bersungguh-sungguh untuk menegakkan agama Allah
SWT, maka dia akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang mati syahid. Terdapat juga
dalam Al-Quran yang menjelaskan bahwa orang yang mati syahid akan mendapatkan pahala
yang besar yaitu terdapat pada surat An-Nisa ayat 74 “Dan barangsiapa berperang di jalan
Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka akan Kami
berikan pahala yang besar kepadanya.”
Safira Nur Azijah
11210850000109
2B Perbankan Syariah

A. Kaidah Fiqh
Kaidah Fiqh atau Qowaid Fikhiyyah adalah aturan umum atau prinsip-prinsip Fiqh yang
mencakup seluruh hukum Syariah dari berbagai bab atau bagian masalah dalam ruang
lingkupnya. Salah satu kelebihan kaidah fikih adalah dapat menjawab permasalahan yang
kompleks dalam waktu yang singkat, sehingga dapat menemukan solusi dari berbagai
permasalahan yang diinginkan.
Didalam pembahasan kali ini kaidah yang akan dibahas adalah Kaidah Al-Umuru
Bimaqasidiha yang terkait dengan semua aktifitas manusia, baik perkataan maupun berupa
perbuatan. Didalam Kaidah ini juga membahas tentang akibat atas setiap masalah haruslah
selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan terjadinya masalah tersebut atau berdasarkan
niat yang melandasinya. Kata Al-Umuru Bimaqasidiha ini terbentuk dari dua unsur yakni kata
al-umuru dan al-maqashid. Secara bahasa al-umuru merupakan bentuk dari kata al-amru yang
dapat diartikan keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. Sedangkan al-Maqasihidu artinya
maksud atau tujuan. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf
baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari
pekerjaan yang dilakukan. “Mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan hukum
umum yang berlaku atas hukum-hukum yang bersifat detail. Sedangkan arti fiqhiyyah diambil
dari kata fiqh. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang
banyak dipahami oleh para sahabat”
Menurut ulama-ulama Syafi’iyah niat didefinisikan sebagai maksud melakukan sesuatu
disertai dengan pelaksanaannya. Sedangkan menurut mazhab Hanbali bahwa tempat niat ada
didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud tersebut
berada di dalam hati. Jika seseorang memiliki keyakinan di dalam hatinya, hal itu dianggap
niat sebelum melakukan perbuatan.
Niat berperan penting sebagai penentu seberapa berkualitas dan bermakna perbutan
perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu amal perbuatan dengan niat baik,
niat beribadah, untuk mendapatkan ridho Allah. Atau melakukan kegiatan tanpa niat ibadah
tetapi semata-mata karena kebiasaan saja. Atau bahkan dia melakukan amalperbuatan dengan
niat tidak baik, atau niat jahat yang melatarbelakanginya. Oleh karena posisi niat yang penting,
niat diyari’atkan dengan beberapak tujuan berikut:
1. Niat dilakukan agar dapat menjadi pembeda antara hal yang bernilai ibadah dan hal yang
merupakan adat/ kebiasaan.
2. Niat dilakukan agar menjadi pembeda antara perbuatan jahat atau perbuatan baik.
3. Niat dilakukan untuk penentu apakah perbuatan ibadah itu sah atau tidak sertamenjadi pembeda
mana yang merupakan ibadah wajib dan mana yang sunnah.‫س‬

B. Cabang-cabang Kaidah Al-Umuru bi maqashidiha

Dalam Qaidah ini memiliki beberapa cabang yang didalamnya membahas lebih dalam
tentang niat,

1.

Artinya: “Tujuan ucapan tergantung pada niat orang yang mengucapkan, kecuali dalam satu
tempat, yaitu sumpah di hadapan Qadhi. Dalam kondisi ini, maksud lafadz adalah menurut niat
qadhi.”
Maksud kata-kata seperti hibah, nadzar, shalat, sedekah dan seterusnya dikembalikan
kepada niat orang yang mngucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah
sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunah. Kecuali dalam masalah sumpah diperadilan
maka itu tergantung niat qadhi (hakim).
Contoh yang pertama, seandainya seorang suami memanggil dengan panggilan thaliq
(orang yang tertalaq), maka apabila niat pemanggilnya itu adalah untuk menceraikan istrinya
maka jatuhlah thalaq. Tetapi, kalau ucapan itu hanya semata-mata bermaksud memanggil
bukan niat mentalaq maka tidaklah jatuh thalaq.
Contoh yang kedua, seandainya ada seseorang yang sedang Shalat mengucapkan atau
membaca suatu ayat yang mengandung pengertian tertentu dengan tidak ada maksud lain
kecuali membaca ayat, maka jelas diperbolehkan. Tetapi jika dimaksudkan untuk
memberitahukan atau memerintahkan kepada orang lain supaya melakukan sesuatu, maka
shalatnya batal. Umpamanya, orang yang shalat tersebut membaca ayat udkhula bi salamin
aminim (alHijr:46), dengan tujuan memerintahkan orang lain (tamu) untuk masuk, atau seorang
yang sedang shalat membaca ayat ya yahya khuz al-kitab bi quwwah (maryam:12), dengan
tujuan menyuruh seseorang bernama yahya mengambil buku kitab, maka shalat seseorang
tersebut hukumnya batal.
2.

"Barangsiapa beranjak tidur dengan niat untuk bangun dan sholat malam , namun kantuk
mengalahkannya hingga tiba pagi , maka akan ditulis baginya apa yang dia niatkan . Tidurnya
itu dihitung sebagai sedekah dari Rabbnya Azza Wajalla ." (HR . Nasa'i)
Hadits ini , "kata Muhammad bin Shalih Abu Abdillah dalam Kaifa Tatahammas li
Qiyamil, "bukan bermaksud agar orang malas bangun untuk mengerjakan sholat malam dan
mencukupkan diri dengan niat untuk bangun . Lalu orang itu mengira bahwa niat ini sebanding
dengan pahala bangun malam. Tentu bukan demikian. Ini adalah pemahaman yang salah
terhadap kandungan hadits tersebut. Dalam timbangan Allah, tidak sama antara orang yang
bangun pada waktu malam untuk mengerjakan sholat dengan ikhlas dan khusyuk kepada Allah
serta meninggalkan istrinya yang cantik, kasurnya yang empuk, dan tidurnya yang nyenyak
dengan orang yang hanya berniat untuk bangun ketika beranjak tidur, kemudian matanya
terpejam sehingga sepanjang malam tidur sampai terbit fajar".
Artinya, kita memang harus berniat dan juga harus mengamalkannya. Niat yang
terlaksana ,tentu lebih baik dari amalan tanpa niat, atau niat yang hanya tinggal niat saja tanpa
melaksanakannya

Kesimpulan
Kaidah Al-Umuru Bimaqasidiha merupakan salah satu Kaidah Fiqhiyahyang boleh
digunakan oleh ahli fuqaha’ pada hal-hal dalam menyelesaikan masalah ummat yang tidak
terdapat didalam Al-Quran dan Hadist, sama halnya ijtihad, qiyas dan sebagainya,Fiqih pun
dikeluarkan bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Karena setiap masalah yang terjadi
begitu dinamis, dan mengikuti perkembangan zaman, maka Fiqih kontemporer ini menjadi
bagian dari dasar hukum, karena sesuai dengan keadaan zaman tersebut.
Setiap sesuatu perbuatan itu akan dinilai berdasarkan niatnya, jika perbuatan yang
dilakukannya niatnya adalah untuk kebaikkan maka dia akan mendapat pahala, sebaliknyajika
perbuatan yang sama niatnya untuk kejahatan, maka ia akan mendapat dosa. Niat juga
merupakan salah satu alat pengukur bagi perbuatan seseorang, apakah perbuatan tersebut
bernilai ibadah, yang akan diganjar dengan pahala, atau hanya sebagai kebiasaan saja tanpa
adanya niat untuk beribadah. Dan ibadah akan sempurna jika dimulai dengan niat.
Nama : Kharisma Yogi Pratiwi
NIM : 11210850000098

Kaidah Induk Pertama

‫ْاأل ُ ُمور با َمقَ ا‬


‫اص ادهَا‬
“Segala Sesuatu Tergantung Pada Niatnya”

Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat. Niat adalah kunci ibadah. Amalan
apapun tidak akan berguna tanpa dilandasi niat yang jelas dan baik. Dalam fikih, setiap ibadah,
baik shalat, puasa, zakat, dan haji, diwajibkan berniat terlebih dahulu sebelum melakukannya.
Niat sekaligus menjadi pembeda antara masing-masing ibadah. Salat subuh dengan salat
sunnah rawatib meskipun sama-sama dua rakaat, perbedaan keduanya terletak pada niat.
Demikian pula mandi wajib, mandi sunnah jum’at, dan mandi biasa, perbedaan ketiga hal ini
tergantung pada niatnya.
Tidak hanya itu, standar diterima dan ditolaknya sebuah amalan pun tergantung pada
niat. Meskipun sama-sama mengerjakan shalat, pahala yang diterima oleh orang yang ikhlas
akan berbeda dengan orang yang merasa terpaksa mengerjakannya. Ulama fikih merumuskan
kaidah, al-umur bi maqasidiha (segala sesuatu tergantung pada niat dan tujuannya). Dengan
demikian, tujuan dan niat merupakan aspek terpenting yang harus diperhatikan dalam
menghukumi sesuatu. Kaidah ini dikembang lebih lanjut oleh ahli maqasid al-shari’ah bahwa
menilai sesuatu tidak cukup dari aspek lahirnya semata, tetapi perlu dilihat substansi dan
kandungannya.
Muhammad Hasan Abdul Ghofar dalam kitab al-Qowaidh al Fiqhiyyah bayna al-
Aholih wa al-Taujih menjelaskan beberapa hal pentingnya niat, yakni :
1. Perbedaan antara ibadah dengan ibadah lain, yakni antara ibadah fardhu, sunnah, nadzar, atau
kafarat. Contoh: jika seseorang hendak melaksanakan sholat dzuhur dengan niat sunnah maka
yang menjadi hukum adalah sholat sunah dzuhur dan dia tidak dianggap melaksanakan sholat
fardhu dzuhur.
2. Bertaqarrub kepada Allah. Niat menjadi penentu antara suatu yang ikhlas dan amal ria.
3. Merubah adat kebiasaan menjadi ibadah. Tidur merupakan bentuk kegiatan adat kebiasaan
yang mubah, namun jika tidurnya orang muslim diniatkan untuk dapat bangun melaksanakan
sholat malam, maka setiap detik, jam, dan nafas yang keluar mendapatkan pahala.
Dari kaidah induk pertama tersebut, terdapat beberapa cabang kaidah-kaidah di dalamnya,
diantaranya yaitu:
‫األيمان مبنية على األلفاظ والمقاصد‬
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”

Maksud dari kaidah ini yaitu, kata sumpah tidak boleh sembarangan diucapkan seorang
Muslim. Atau menjadi bahan candaan. Itu hanya dapat diucapkan dalam situasi genting yang
mengharuskan Anda mengucap sumpah, atau dalam kesaksian atas suatu perkara di pengadilan.
Allah menerangkan jika kita mengucapkan sumpah dengan tidak ada maksud untuk
mengatakannya, maka tidak ada dosa atau hukuman yang akan kita dapatkan. Oleh karena itu,
tak mengapa jika kita tak sengaja mengucapkan kata sumpah tersebut, dan segeralah ucapkan
kalimat istighfar, sebagai tanda penyesalan atas perkataan yang tak terpikirkan sebelumnya itu.
Namun jika kita mengucapkan sumpah dengan ada maksud dan disengaja, maka Allah
akan menghukum kita dengan memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. dan siapa yang tidak sanggup melakukannya, maka kaffaratnya
puasa selama tiga hari.
Contoh penerapan kaidah ini sebagai berikut:
Apabila seseorang bersumpah untuk tidak makan daging. Dan ketika bersumpah niatnya adalah
tidak makan daging onta saja. Jika kemudian ia makan selain daging onta, seperti daging ayam
atau kambing maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Dalam kasus ini, meskipun
sumpahnya bersifat umum namun telah dikhususkan dengan niatnya.
Sumpah itu ada tiga macam: (1) Sumpah Laghwi: yaitu sumpah yang tidak
dimaksudkan untuk bersumpah, contohnya: “Demi Allah kamu harus datang” dan “Demi Allah
kamu wajib makan”. (2) Sumpah Mun’aqidah: yaitu sumpah yang memang benar-benar
sengaja diucapkan untuk bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu hal,
contohnya: “Demi Allah saya akan bersedekah sebanyak satu juta rupiah” dan “Saya
bersumpah demi Allah tidak akan menipumu”. (3) Sumpah Ghamus: ialah sumpah
palsu/bohong, yaitu sumpah yang diucapkan untuk menipu atau mengkhianati orang lain.
Sumpah palsu ini adalah salah satu dosa besar sehingga tidak ada kaffarat/dendanya atau tidak
bisa ditebus dengan kaffarat. Pelakunya wajib bertaubat nasuha.

‫ِل ثواب وِل عقاب إِل بالنية‬

“Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya”
Kaidah ini menjelaskan tentang urgensi niat bagi seorang hamba. Karena pahala di akhirat dan
balasan yang baik dari amalan yang dilakukan seorang hamba tidak akan diperoleh kecuali
diiringi niat baik dalam rangka bertaqarrub kepada Allâh SWT. Sehingga hanya orang yang
melaksanakan ibadah dengan niat ikhlas yang akan meraih pahala. Adapun yang beramal
karena ingin memperoleh keuntungan dunia, maka ia tidak akan meraih pahala dari-Nya.
Kaidah ini menjelaskan perbedaan antara amalan yang dilakukan dengan niat yang baik dan
amalan yang dilakukan dengan niat yang buruk. Meskipun secara lahiriah kedua amalan
tersebut sama namun hakikatnya memiliki perbedaan yang jauh ditinjau dari sisi hasilnya.

Contoh penerapan kaidah ini sebagai berikut :

a) Telah dimaklumi bahwa menaati penguasa dalam perkara ma’ruf termasuk kewajiban syar’i,
namun seseorang yang menaati penguasa sekedar untuk mendapatkan keuntungan dunia,
meraih jabatan atau mempertahankannya, tanpa terbesit dalam hatinya niat beribadah dan
taqarrub kepada Allâh SWT maka tidak ada pahala baginya dalam ketaatannya itu. Bahkan
bisa jadi perbuatannya itu akan menjadi musibah baginya di dunia dan akhirat. Adapun
seseorang yang taat kepada penguasa karena Allâh yang telah memerintahkan, sehingga ia
melakukannya karena melaksanakan perintah Allâh SWT, juga perintah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam maka orang seperti inilah yang akan mendapatkan pahala dari-Nya
b) Ada orang mengerjakan sholat tapi tidak dengan niat, maka sholatnya tidak sah. Hal ini sesuai
dengan Hadist Nabi.
c) Menulis kitab yang bermanfaat sesungguhnya termasuk kategori amal shalih, namun seorang
penulis tidak akan memperoleh pahala kecuali jika niatnya niat yang baik. Apabila niatnya saat
menulis sekedar untuk berbangga-bangga, sum’ah, atau untuk mencari perhatian manusia, atau
mencari keuntungan dunia semata, maka ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun.
Lia Nurliana
11210850000041
Ushul Fiqh

Qawaidul Fiqhiyah
Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-fiqhiyah.
Al-qawa‟id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara kebahasaan
berarti dasar, aturan atau patokan umum. Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang
mengatakan bahwa qa`idah secara kebahasaan berarti fondasi atau dasar (al-Ashfihani, 1961:
409). Kata alqawa`id dalam Al-Qur`an ditemukan dalam surat alBaqarah ayat 127 dan surat
an-Nahl ayat 26 juga berarti tiang, dasar atau fondasi, yang menopang suatu bangunan.
Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata al-fiqh yang berarti paham atau pemahaman yang
mendalam (al-fahm al-„amiq) yang dibubuhi ya‟ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan atau
pembangsaan atau pengkategorian. Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh
adalah dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum mengenai jenis-
jenis atau masalahmasalah yang masuk dalam kategori fiqh.
Secara kemaknaan (istilah ulama ushul al-fiqh) kaidah-kaidah fiqih dirumuskan dengan
redaksi-redaksi yang berbeda. Sebagai sampel, dikemukakan beberapa rumusan ahli hukum
Islam, sebagai berikut : Pertama, menurut at-Taftazani, kaidah adalah hukum yang bersifat
umum (kulli) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya (juz`i) dimana hukum yang juz`i itu
menjadi bagian dari hukum yang umum atau kulli (Ali Shabah, 1967. 1: 20). Kedua, an-Nadwi
mengutip at-Tahanawi mengatakan bahwa kaidah adalah sesuatu yang bersifat umum
mencakup seluruh bagian-bagiannya, manakala hukum dari bagian-bagian sebelumnya itu
telah diketahui (anNadwi, 1986: 40). Ketiga, menurut as-Subki (t.t, 2: 10) kaidah-kaidah fiqih
adalah suatu perkara hukum yang bersifat kulli (umum) bersesuaian dengan
partikularpartikular (hukum-hukum cabang) yang banyak, yang darinya (dari hukum-hukum
kulli) diketahui hukumhukum masing-masing partikular atau hukum cabang tersebut.
Keempat, menurut az-Zarqa yang dikutip oleh A. Rahman (1976:10), kaidah fiqih adalah dasar-
dasar fiqih yang bersifat kulli, dalam bentuk teks-teks perundangundangan ringkas, mencakup
hukum-hukum syara‟ yang umum pada peristiwa-peristiwa yang termasuk di bawah tema-nya
(maudu‟nya).
Dari rumusan-rumusan di atas, dipahami bahwa sifat kaidah fiqih itu adalah kulli atau
umum, yang dirumuskan dari fiqih-fiqih yang sifatnya partikular (juz‟iyah). Jadi kaidah fiqih
adalah generalisasi hukumhukum fiqih yang partikular. Kendatipun demikian, menurut
kebiasaan, setiap sesuatu yang bersifat kulli, termasuk kaidah-kaaidah fiqih ini, ditemukan
pengecualian (istitsna), pengkhususan (takhshish), penjelasan (tabyin) dan perincian (tafshil).
Hal ini disebabkan, karena ada kemungkinan-kemungkinan partikular-partikular atau hukum-
hukum cabang tertentu yang tidak dapat dimasukan dalam kaidah tersebut, berdasarkan
spesifikasi atau kekhususan tertentu. Pengecualian tersebut akan terlihat dalam contoh-contoh
kasus dari setiap kaidah sebagaimana yang akan dikemukakan kemudian.
‫العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني لأللفاظ والمباني‬

Artinya: ”yang dipertimbangkan dalam transaksi adalah maksud dan makna, bukan lafal dan
bentuk ucapan.”

Kaidah ini mengandung pengertian bahwa yang diprioritaskan untuk dipertimbangkan


dalam suatu transaksi adalah maksud dan niat, bukan semata-mata lafal atau ucapan. Oleh
karena itu, tidak sah berpegang dengan zahir ucapan, apabila telah jelas berbeda dari maksud
dan niat seseorang. Untuk memperjelas makna kalimat di atas, maka diuraikan kalimat seperti
berikut:

a. Suatu ungkapan terkadang muncul dari seseorang tanpa ada niat untuk
mengungkapkannya, seperti ungkapan orang tidur, orang pingsan (pitam), orang gila
dan orang mabuk
b. Suatu ungkapan terkadang muncul dari seseorang dengan tujuan memang
mengucapkan lafadznya,tetapi bukan bertujuan maknanya, baik karena tidak
mengetahui maknanya seperti ungkapan anak kecil yang belum mumayyiz dan orang
yang dituntun (dipandu) berbicara dengan bahasa yang tidak dipahaminya atau ia
mengetahui maknanya, namun ada qarinah (clue) bahwa hal itu tidak dikehendakinya
seperti orang yang mendiktekan suatu ungkapan kepada tukang tulis atau membacanya
dalam buku
c. Suatu ungkapan terkadang muncul dari seseorang dengan tujuan mengucapkannya,
mengetahui maknanya dan secara zahir ia memaksudkannya namun secara batin tidak
demikian, seperti ungkapan orang yang main-main dan orang yang dipaksa
d. Suatu ungkapan yang muncul dari seseorang dengan tujuan melafalkannya
(mengucapkannya), mengetaui maknanya dan memang jelas itulah yang
dimaksudkannya.

Dalam keadaan pertama dan kedua di atas ungkapannya harus diabaikan, tidak
diperhatikan untuk terciptanya suatu transaksi, karena tidak ada maksud pada pengertian
yang sebenarnya, dan pengungkapannya tersebut bukan keinginan atau kehendak orang
yang mengucapkannya. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang ungkapan orang
yang mabuk dengan sebab benda yang diharamkan. Sebagian mereka tidak
mempertimbangkannya (artinya masih tetap diabaikan, tidak diperhatikan, tidak
dipertimbangkan untuk diberi sanksi), yakni mazhab Hanabilah, pendapat masyhur dari
Malikiyah, satu pendapat golongan Syafi‟iyah. Dan sebagian mereka tetap
mempertimbangkannya (yakni ungkapannya dipertimbangkannya untuk berakibat hukum),
sebagai hukuman baginya, yaitu mazhab Hanafiyah dan satu pendapat dari golongan
Syafi‟iyah.

Dalam keadaan keempat, maka tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama, yakni
mempertimbangkan ungkapannya, serta terwujud sifat mengikat sehingga ada akibat
hukum, karena petunjuk tentang tujuan dan keinginan dalam menciptakan transaksi sangat
sempurna. Dalam keadaan keempat ini, ungkapan orang yang bertransaksi mesti
dipertimbangkan memiliki sifat mengikat dan berakibat hukum, kecuali ada petunjuk yang
mengalihkannya kepada pengertian majazi. Oleh karena itu, seandainya seseorang berkata
kepada orang lain: Saya berikan kitab ini kepadamu dengan harga 20 ribu rupiah
umpamanya, maka hukumnya adalah jual beli bukan hibah.

Dalam keadaan ketiga dari empat keadaan di atas, yaitu ungkapan yang main-main dan
orang yang dipaksa, terjadi perbedaan pendapat para ulama, ada yang menganggapnya
harus dipertimbangkan sebagai bersifat mengikat dan berakibat hukum, dan ada ulama
yang berpendapat sebaliknya.

‫ومايجب التعرض له جملة وال يشترط تعيينه تفصيلاذاعينه وأخطأ ضر‬

Artinya:

“Seseuatu yang (dalam niatnya) harus disebutkan secara garis besar, tidak harus
terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan nyatanya salah, maka
membahayakan perbuatan”

Contoh : Orang shalat berjamaah dengan niat makmum pada Umar, kemudian ternyata
yang menjadi makmum adalah Zaid, maka tidak sah makmumnya.

Orang shalat jenazah dengan niat menyembayangkan mayit laki-laki, kemudian


ternayata mayitnya perempuan, shalatnya tidak sah. Demikian pula kalau dalam niatnya
disebutkan jumlah mayit, dan ternyata jumlahnya tidak cocok, maka shalatnya harus
diulang.

Anda mungkin juga menyukai